Share

Apakah Itu Cinta?

"Cinta itu bagaikan jamur ya tumbuh di tempat-tempat yang lembap." Ridha berucap agak nyaring dengan sengaja. Nisa sadar bahwa ucapan itu ditujukan untuk dirinya. Ia hanya bungkam sambil membereskan buku-buku yang berserakan di meja. Nisa hanya meyakini bahwa dirinya tak bersalah!

"Dari mata turun ke dada, dari dada turun ke anu. Upsss." Ridha makin bersemangat dalam memancing amarah Nisa. Nisa tetap bungkam, selama namanya tidak disebut berarti perkataan Ridha tidak ditujukan untuknya. Nita yang memiliki kursi berdekatan dengan Nisa, hanya mampu memandang Nisa kasian. Ia tentu saja tak ingin melihat Nisa dipojokkan seperti itu, tapi masalahnya adalah Nisa memang salah. Saat akan keluar dari kantor gawai Nisa berdering dengan keras yang membuat seisi ruang terdiam, menunggu tindakan Nisa selanjutnya.

Nisa menatap gawai yang tergeletak di atas meja. Nama Ardan tertera di layar gawai. Nisa tanpa sungkan menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum." Terdengar suara di seberang sana.

"Waalaikumsalam." Nisa menjawab dengan tenang.

"Aku ingin ketemu kamu, Dik." Kata Ardan dengan suara serak. Nisa mengangguk, ia tak akan sembunyi-sembunyi lagi mulai sekarang.

"Iya mas. Mau ketemu di mana? Ini jadwal Nisa sudah selesai." Nisa menjawab dengan santai. Seisi ruang membisu, mereka sedang menduga-duga apakah orang di seberang sana adalah Ardan?

"Di kafe yang waktu itu saja. Ini aku juga sudah mau jalan dari LBB." Terdengar suara Ardan yang begitu berat. Nisa suka suara itu dan mungkin akan selalu merindukannya kelak.

"Iya mas. Mas hati-hati ya." Nisa berucap lembut.

"Iya Dek. Mas tutup dulu ya. Wassalamualaikum." Terlihat sekali dari nada bicaranya, Ardan sedang tersenyum.

"Waalaikumsalam." Nisa menjawab pelan kemudian menutup sambungan telepon. Semua orang di dalam ruangan itu menatapnya dengan skeptis. Bahkan Ridha sampai tak bisa berkata apapun. Dia hanya diam sembari menatap Nisa. Kali ini bukan dengan tatapan kesal, marah, iri atau semacamnya namun tatapan kasihan. Nisa tak peduli lagi dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang-orang itu. Ia memilih melenggang pergi, meninggalkan ruangan yang masih bisu tanpa sepatah katapun.

***

"Ini buat kamu." Ardan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah muda dari dalam tasnya. Nisa terkejut. Ia penasaran dengan isi kotak itu, tapi tangannya ragu untuk menerima.

"Ini nggak apa-apa buat saya mas?" Nisa bertanya ragu. Ardan mengangguk sambil tersenyum riang. Nisa meraih kotak itu dari tangan Ardan, jemari mereka sedikit bersentuhan. Ada desiran yang tak lagi ringan di hati keduanya. Nisa tersenyum malu, mata Ardan terlihat berbinar.

"Aku buka, ya." Nisa menatap Ardan dengan senyum merekah. Ardan mengangguk senang. Hatinya berdebar-debar, menduga apakah Nisa akan suka hadiah yang ia berikan atau justru sebaliknya. Nisa membuka kotak itu dengan perlahan dan tatapannya langsung tertuju pada sebuah bros yang terlihat berkilau. Nisa mengambil bros itu, mengamatinya dengan seksama. Ia tersenyum manis. Ardan menikmati pemandangan indah itu: perempuan cantik yang dipadukan dengan bros manis, perpaduan yang sungguh tak akan ia hapus dari memori ingatannya. Andai saja Nisa sudah ada dalam hidupnya sejak tiga atau empat tahun lalu.

"Ini mahal ya mas?" Nisa bertanya, ia merasa tak enak hati. Ardan menggeleng, senyum masih melekat kuat pada bibirnya.

"Enggak kok. Itu hadiah atas pekerjaan barumu. Selamat yaaa!" Ardan bergumam dengan riang. Nisa tertawa. Ia tak menyangka bisa melihat sisi hangat Ardan. Di kesehariannya Ardan dikenal sebagai lelaki yang tak banyak bicara, tersenyum pun jarang, bahkan Ardan dikenal sebagai salah satu tentor yang garang di LBB Mentari.

"Terima kasih." Senyum masih tak lepas dari bibir Nisa. Ia meletakkan kembali bros ke dalam kotak. Ardan menyentuh tangan Nisa, menggenggamnya dengan erat. Sekilas melihat, orang pasti menilai jika mereka adalah pasangan yang sangat serasi. Siapa yang menyangka jika sebenarnya Nisa sedang bersama seseorang yang sudah distempel secara resmi oleh norma hukum dan agama milik orang lain. Ardan yang sedang terbuai asmara seolah lupa bahwa ia punya kewajiban untuk menjaga hati manusia lain.

"Bagaimana di tempat kerja baru?" Ardan memulai obrolan lagi ketika menu yang mereka pesan telah tiba.

"Loh sudah dipesankan?" Nisa terkaget-kaget. Di hadapannya telah tersaji soto Lamongan, beberapa camilan pedas, dan segelas lemon tea. Ketiganya adalah beberapa hal yang menjadi favorit Nisa di dunia ini.

"Kok kamu tahu semua makanan favoritku?" Nisa mengerutkan dahi sembari menatap Ardan penasaran. Lagi-lagi Ardan tersenyum, dua lesung pipi yang terbit akibat tarikan bibir lelaki itu melelehkan hati Nisa.

"Selama ini aku mengamati kamu, saat masih sama-sama di LBB pusat." Ardan menjawab malu-malu. Nisa tertawa lepas. Ia tak menyangka ketertarikannya terhadap Ardan bersambut. Hatinya meriah, pipinya juga memerah. Nisa berusaha bersikap biasa, menyicipi kuah soto di hadapannya. Mata Nisa berbinar, "Wah! Ini enak banget."

"Iya dong! Aku tuh sudah survei tau nggak sebelum ngajak kamu ke sini." Mata Ardan tak lepas dari raut muka Nisa yang berseri-seri.

"Oh ya jadi bagaimana tempat kerja baru kamu?" Ardan mengulang pertanyaan lagi. Nisa menarik napas panjang, bersiap untuk mencurahkan segala pengalamannya beberapa hari ini.

"Asik sih di sana, tapi ya anak-anaknya istimewa gitu deh. Terus ya teman-teman kerjaku juga baik-baik." Bagi Ardan mata Nisa selalu penuh gemintang ketika bercerita. Ardan mendengarkan dengan senang hati.

"Ada loh teman kerjaku yang lucu banget, namanya Kang Bahru. Sumpah deh dia tuh selalu punya lelucon bapak-bapak yang crunch tapi lucu gitu." Nisa melanjutkan ceritanya dengan antusias. Ardan awalnya menanggapi dengan santai seluruh cerita Nisa, namun entah mengapa ia merasa Aneh. Dalam cerita panjangnya, Nisa menyebut nama Bahru sebanyak hampir 10 kali. Seolah rekan kerja Nisa yang ada hanyalah Bahru.

"Memang nggak ada teman yang lain selain Kang Bahru ya?" Ardan berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Ya ada sih cuma Kang Bahru ini unik. Tahu nggak sih? Dia itu nggak pernah ganti baju deh kayaknya terus rambutnya itu astaga ingin rasanya aku rapikan gitu. Padahal rambutnya bagus, hitam legam gitu, lurus tapi sayangnya nggak rapi." Nisa menjawab cepat, lagi-lagi bercerita tentang Bahru. Entah mengapa Ardan mulai tak nyaman. Mengapa muncul nama lelaki lain dalam pertemuan mereka?

"Kamu suka ya sama Bahru?" Ardan memaksakan diri untuk tersenyum, sehingga mukanya jadi menampakkan ekspresi canggung. Nisa agak tersinggung, mengapa Ardan bertanya seperti itu? Apa dia bosan mendengar cerita Nisa? Lantas mengapa ia bertanya tadi?

"Enggak. Mengapa memangnya?" Nisa menjawab dengan tegas, agak cemberut kemudian melempar pertanyaan kembali.

"Nggak apa-apa sih. Soalnya kamu selalu menyebut dia." Sanggah Ardan, ia masih merasa tak enak hati, kesal bercampur geregetan. Nisa terdiam sejenak, mengapa Ardan masih bertanya seperti itu kepada dirinya? Selama ini Nisa selalu menuruti permintaan Ardan untuk bertemu dan rajin membalas pesannya. Apa itu belum cukup untuk menunjukkan perasaan Nisa. Gawai Ardan berdering sekali, sebuah pesan masuk. Perhatian Nisa teralihkan. Gawai Ardan menyala, memperlihatkan layar kunci yang dipilih empunya. Di sana jelas terlihat potret perempuan cantik dengan fitur wajah nyaris sempurna: mata teduh, alis yang tertata rapi, rambut lurus dan panjang, kulit putih, hidung runcing, dan bibir tipis kemerahan. Perempuan itu menggendong bayi mungil yang terlihat lucu. Ardan yang menyadari arah tatapan Nisa, langsung menekan tombol power sehingga layar gawainya berubah menjadi hitam.

Dada Nisa bergemuruh, terasa panas dan berat. Ia jadi tak berselera makan.

"Kalau kamu? Apa kamu selalu cerita soal istrimu ke orang-orang?" Cibir Nisa.

"Nis..." Muka Ardan terlihat kaku.

"Kan katamu sering bercerita tanda suka. Bukannya orang hanya menikahi orang yang dia suka ya?" Telak! Nisa berujar dengan tajam. Ardan menahan kesal. Mengapa tiba-tiba Nisa membawa Margaretha, istrinya dalam obrolan mereka.

"Nis, kamu tahu kan perasaanku ke kamu itu...." Penjelasan Ardan terpotong oleh ucapan Nisa, "Kita kan bukan apa-apa Mas. Sejenak aku hampir lupa." Suara Nisa bergetar, menahan tangis. Ardan terdiam, merasa bersalah.

"Kamu mau aku bagaimana Nis?" Ardan bertanya putus asa sembari menggenggam jemari Nisa. Nisa membisu, ia sendiri tak tahu menginginkan apa dan harus bagaimana. Ia tak tahu hubungannya dengan Ardan ini bernama apa? Dan apakah hubungan semacam itu pantas mendapat nama?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status