Share

Tempat Kerja Baru

Nisa berjalan di pekarangan luas. Lalu lalang anak-anak usia remaja tak membuat dirinya terdistraksi, tujuannya hanya satu: sebuah ruangan di belakang masjid.

Nisa merapikan kerudungnya sebelum memasuki ruangan itu. Ia melangkah pelan sambil mengucap salam dan mengetuk pintu. Seorang lelaki bertubuh gempal keluar dari ruangan kecil di dalam ruang itu dengan senyum mengembang di bibirnya, membuat pipinya juga semakin membesar.

"Waalaikumsalam. Monggo monggo." Ucap lelaki itu dengan ramah, mempersilahkan Nisa masuk ke ruangan yang memiliki banyak sekali kursi dan bangku, dengan buku dan catatan yang bertumpuk-tumpuk di meja.

Nisa berjalan sembari sedikit membungkukkan badan sebagai sikap hormat. Si Lelaki mengawasi seluruh ruang, mencari tempat duduk yang paling nyaman. Ia sendiri kebingungan, akhirnya menawarkan kepada Nisa untuk duduk di ruang sebelah. Nisa mengiyakan saja penawaran si Lelaki.

Nisa duduk di kursi kayu yang ditata membentuk huruf L, terlihat tua namun sepertinya terbuat dari kayu jati. Lelaki itu memanggil remaja perempuan yang kebetulan melintas di depan ruang, memintanya menyajikan 2 gelas teh hangat.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Muhaimin. Guru-guru dan siswa-siswi di sini biasa memanggil saya Pak Min. Kebetulan saya adalah kepala sekolah di sini." Lelaki itu memperkenalkan namanya sambil tertawa renyah. Nisa hanya tersenyum sungkan dan beberapa kali mengangguk. Ia tak menyangka kalau ternyata kepala sekolah di sini memiliki usia yang terbilang cukup muda, mungkin sekitar 30 tahun.

"Lamaran Ibu Faranisa sudah saya baca dan lulusan pendidikan fisika dari universitas ternama ya? Yakin mau mengajar di sini?" Muhaimin tersenyum tulus. Nisa mendadak gelagapan ditanya seperti itu. Mengapa harus tak yakin? Ketika di bangku kuliah, dosen-dosennya sudah mengingatkan jika ingin kaya raya di dunia, maka jangan pernah memilih bekerja menjadi guru.

Nisa menarik napas tak kentara, dengan yakin menjawab, "Iya Pak. Insyaallah saya sudah ridho menjadi guru."

Muhaimin menyambut jawaban Nisa dengan senyuman lega.

"Alhamdulillah. Biar saya jelaskan terlebih dahulu Bu. Untuk jam mengajar panjenengan. Sebentar Bu, saya panggil Pak Akbar dulu, soalnya beliau yang menata jadwalnya." Muhaimin tergopoh-gopoh berjalan ke ruangan sebelah. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang lelaki yang tampak lebih muda, agak tinggi, dan berkulit sawo matang. Rambutnya bergelombang dan dagunya berjambang. Lelaki itu tersenyum tipis kemudian bersalaman dengan Nisa. Lelaki itu terlihat sangat cekatan. Ia duduk di samping Muhaimin dengan membawa selembar kertas yang berisi angka dalam tabel sangat kecil.

"Bu Nisa, perkenalkan ini Pak Akbar Waka Kurikulum di sini." Muhaimin menatap Nisa dan Akbar bergantian, senyum tak lepas dari bibirnya.

"Paling canggih di sini Bu." Muhaimin berusaha memecahkan suasana yang masih dingin. Nisa membalas dengan senyuman, sedangkan Akbar terlihat cuek dan tersenyum tipis saja.

"Monggo Pak Akbar dijelaskan ke Bu Nisa untuk jadwalnya." Muhaimin mempersilakan Akbar. Akbar menaruh kertas yang ada di tangannya ke atas meja kaca. Akbar mencondongkan badannya agak ke depan. Kemudian menunjuk bagian yang berisi nama lengkap Nisa beserta nomor kodenya.

"Jadi Bu Faranisa, ibu memiliki kode 32 untuk pelajaran kimia kelas 11 dan 12. Untuk harinya bisa Ibu cek di sini, karena masa pandemi kami jadi memotong per jam pelajaran hanya 25 menit." Jelas Akbar. Nisa mengangguk tanda mengerti.

"Karena di sini pondok dan anak-anak tidak dipulangkan jadi sekolah harus tetap berjalan offline, Bu. Pernah diberlakukan online ternyata tidak efektif, banyak anak yang tidak ikut sekolah. Jadi untuk sementara apabila mengajar Bapak Ibu guru tidak disarankan memakai seragam, cukup batik atau gamis untuk guru perempuan." Muhaimin menambahkan penjelasan. Nisa mengangguk lagi tanda ia sudah paham dengan penjelasan lugas itu.

Muhaimin melanjutkan penjelasannya karena dirasa Nisa sudah mengerti, "Untuk bisaroah dari Pak Kyai sekitar 20.000 per jam pelajaran, Bu. Silakan dihitung sendiri seminggu Ibu dapat berapa jam. Mohon maaf hanya segitu, karena Pak Kyai menghendakinya seperti itu, insyaallah pasti nanti ada kenaikan."

Nisa tersenyum lembut, ia merasa tak masalah. Kalau dihitung-hitung memang ia hanya mendapat gaji sekitar dua ratus dua puluh ribu. Tentu saja nominal itu tak cukup untuk mengganti tenaganya, tapi tak apa yang penting ada tambahan pemasukan.

"Tidak masalah, Pak." Nisa merespons dengan lembut. Tak lama setelah mulut Nisa terkatup, seorang lelaki dengan baju putih yang tak putih lagi menghampiri Muhaimin dengan tergopoh-gopoh.

"Ada apa Kang Bahru?" Muhaimin bertanya penasaran. Orang yang dipanggil Bahru itu terengah-engah sembari menanyakan keberadaan sebuah berkas kepada Akbar. Akbar dengan cepat tanggap berdiri.

"Saya tinggal dulu ya Bu Nisa." Akbar berpamitan kepada Nisa untuk pergi ke ruang sebelah, kemudian langkahnya diikuti oleh Bahru.

"Itu Kang Bahrudin, tangan kanan Pak Kyai." Muhaimin menjelaskan, menjawab rasa penasaran Nisa.

"Ibu Nisa ada yang perlu ditanyakan lagi?" Muhaimin bertanya kepada Nisa yang terlihat agak canggung.

"Oh tidak ada Pak. Saya sudah cukup mengerti dengan penjelasan Bapak tadi." Nisa menjawab dengan tergagap.

"Baiklah. Ibu Nisa bisa mulai bekerja Senin depan ya." Muhaimin tersenyum seraya menatap Nisa.

***

Nisa mengerjapkan matanya berulang-ulang. Ia masih tak mempercayai apa yang terjadi pada dirinya kemarin. Ia sudah diterima kerja di sebuah sekolah! Ia akan jadi guru sungguhan! Yang lebih mengejutkan lagi, sehari yang akan datang ia sudah boleh mulai bekerja.

Nisa bahkan sudah dimasukkan dalam grup W******p khusus untuk guru di SMA Islam Al-Qomariyah. Nisa iseng melihat-lihat anggota grup dan ia menemukan sebuah nomor dengan profil bergambar pria yang jadi tangan kanan Pak Kyai tadi. Ah siapa ya namanya? Nisa berusaha keras untuk mengingat.

Nisa memutuskan untuk memencet nomor tersebut untuk melihat foto sang empunya. Nisa terkikik sendiri, fotonya terlihat lucu. Lelaki berkacamata itu mengenakan kopiah hitam dengan atasan baju koko putih lusuh dan sarung hitam.

"Apa orang ini tidak pernah ganti baju?" Nisa bergumam sendiri.

Saat sedang asyik mengamati anggota grup yang lain, tiba-tiba gawai Nisa berdering. Sebuah nomor asing, tanpa display picture tertera di layar gawainya. Nisa memberanikan diri untuk mengangkat telepon tersebut.

"Assalamualaikum." Nisa menyapa. Orang di seberang sana hanya terdiam.

"Mohon maaf ada keperluan apa ya?" Nisa bertanya lagi, masih sunyi tak ada jawaban. Nisa menarik napas, kesal. Pasti ia sedang dikerjai. Nisa sudah akan mengakhiri panggilan tak jelas itu, sampai akhirnya manusia di seberang sana angkat bicara, mungkin karena mendengar dengusan napas Nisa barusan.

"Waalaikumsalam." Suara berat itu menjawab salam yang telah diluncurkan Nisa. Nisa tahan napas. Ia sangat kenal dengan suara itu: Ardan!

Nisa menelan ludah sebelum akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, "Ada apa ya Pak Ardan?"

"Dik Nisa saya ingin bertemu dengan kamu, sekarang." Suara Ardan terdengar serak dan putus asa. Nisa menggigit bibirnya sendiri. Mengapa Ardan tak memanggilnya dengan kata sapaan Bu Nisa dan justru ada embel-embel Dik pada namanya? Dada Nisa berdentum tak karuan! Debaran itu masih ada untuk Ardan! Nisa sangat ingin datang kepada Ardan, tapi faktanya Ardan sudah mengikat hati dan janji sehidup semati dengan perempuan yang bukan dirinya.

"Nggak bisa ya?" Tanya Ardan, suaranya makin lemas. Nisa hanya terdiam, air mata diam-diam merayap di pipinya. Andai ia yang bertemu Ardan lebih dulu, dua atau tiga tahun lalu pasti ceritanya akan lain!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status