Cahaya matahari menembus celah gorden yang berwarna krem keemasan, menyentuh wajah Camila yang terbaring di atas ranjang besar berlapis satin putih. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya kabur, lalu mengerjap-ngerjap, mencoba memahami di mana ia berada.
Semua terasa asing. Dinding-dinding tinggi berlapis wallpaper elegan, lampu gantung kristal yang menggantung megah, dan aroma mawar yang samar menguar dari sudut ruangan. Tidak, ini bukan rumahnya. Camila segera bangkit, tubuhnya kaku dan lelah. Pikirannya penuh tanda tanya. Tapi setelahnya dia baru ingat kalau dia sudah menikah dengan Victor yang terasa seperti mimpi buruk dan dia berada di kediaman Aryasena. Suara langkah pelan namun berat terdengar mendekat. Ketika ia menoleh, seorang wanita tua berdiri di ambang pintu. Rambutnya kusut, berantakan seperti tidak pernah disisir, dan pakaiannya lusuh, seolah tidak cocok dengan keindahan ruangan ini. Matanya yang cekung menatap Camila tajam, dan senyum aneh menghiasi wajahnya. Camila terperanjat. "Siapa... siapa Anda?" suaranya gemetar, nyaris berbisik. Wanita tua itu hanya tertawa kecil, nada tawanya menggema dan terdengar menyeramkan. Camila yang merasa ketakutan langsung bergeser ke ujung ranjang, berusaha menjauh. "Jangan dekat-dekat!" teriaknya, suaranya melengking. Belum sempat wanita tua itu menjawab, pintu kamar terbuka lebar dengan suara keras. Victor masuk tergesa-gesa. Wajahnya datar, namun sorot matanya tajam dan dingin. "Ada apa ini?" tanyanya tegas, menatap bergantian antara Camila dan wanita tua itu. Wanita tua itu, tanpa rasa takut sedikit pun, menunjuk Camila dengan jemarinya yang kurus. "Victor, apakah ini boneka yang kau janjikan padaku?" tanyanya sambil tertawa kecil lagi. Camila yang mendengar itu hanya bisa menatap mereka berdua dengan bingung. "Apa maksudnya boneka? Siapa dia? Mengapa ia ada ke tempat ini?" Victor mendesah panjang, lalu menatap wanita tua itu. "Ibu, keluar dulu. Aku akan membereskannya," ucapnya dengan nada lembut, meski wajahnya tetap dingin. Sophia melirik Camila untuk terakhir kali, senyumnya semakin lebar. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia keluar dari kamar, meninggalkan Camila dan Victor berdua. Begitu pintu tertutup, atmosfer ruangan berubah drastis. Camila ingin bertanya, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Victor berjalan mendekat dengan langkah berat. Tanpa peringatan, tangan besarnya melayang dan mendarat keras di pipi Camila. "Beraninya kau berteriak seperti itu di depan ibuku!" bentaknya, suaranya tajam dan penuh amarah. Camila terjatuh ke lantai, memegangi pipinya yang panas. "Aku tidak tahu ... aku tidak sengaja." Suaranya tercekat karena sakit dan takut. Victor menatapnya dengan penuh kebencian. "Dengarkan aku baik-baik. Wanita tadi adalah ibuku, Sophia Aryasena. Jangan pernah memperlakukannya seperti orang gila lagi. Dia adalah segalanya bagiku! Jika kau berani bersikap tidak sopan lagi, aku tidak akan segan-segan membuatmu lebih menderita!" Air mata Camila mulai mengalir deras. "Aku tidak tahu, aku mohon ampun, aku hanya takut ...." Suaranya terputus-putus karena isak tangis. Victor memandangnya dengan tatapan dingin selama beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas kasar. "Jangan membuatku kehilangan kesabaran lagi, Camila. Mulai sekarang, kau harus tahu tempatmu." "Segeralah bersiap! Karena tradisi di keluarga ini adalah seorang menantu wanita harus menyapa mertua setelah tidur satu malam di kediaman Aryasena" katanya sebelum berjalan keluar, meninggalkan Camila yang tergeletak di lantai dengan tubuh gemetar. *** Camila menatap bayangan dirinya di cermin besar yang menghiasi sudut kamar. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, tidak hanya karena kelelahan, tapi juga karena luka yang masih memerah di sudut bibirnya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil spons makeup dan mencoba menutupi bekas pukulan Victor. Berkali-kali ia menambahkan lapisan foundation dan bedak, berharap hasilnya bisa lebih baik, namun tetap saja guratan merah itu samar terlihat. Ia menghela napas panjang. Tidak ada waktu lagi untuk memperbaiki penampilannya. Victor sudah menyuruhnya untuk segera menemui kedua orang tuanya, dan ia tahu apa yang akan terjadi jika ia terlambat. Camila menarik napas dalam-dalam, membetulkan gaunnya, dan melangkah keluar kamar. Di ruang keluarga besar yang mewah, dua sosok sudah menunggunya. Julian Aryasena, seorang pria paruh baya dengan rambut keperakan yang tertata rapi, duduk di sofa dengan sikap tenang. Di sebelahnya, Sophia Aryasena, wanita tua yang sebelumnya masuk ke kamar Camila, duduk dengan posisi miring, senyum geli masih terpahat di wajahnya. Camila menundukkan kepala dengan sopan. "Selamat pagi, Ayah, Ibu," sapanya, suaranya lembut namun gemetar. Julian tersenyum ramah. "Selamat pagi, Camila. Silakan duduk," ucapnya, gestur tangannya menunjuk sofa di depannya. Camila melangkah mendekat dan duduk dengan hati-hati. Namun, tatapan Sophia yang terus tertuju padanya membuatnya merasa tidak nyaman. Wanita tua itu tiba-tiba terkekeh, seperti ada sesuatu yang sangat menghiburnya. "Boneka ini cantik juga, ya," kata Sophia, menunjuk Camila sambil tertawa kecil. "Tapi sayang sekali, ada lecet sedikit di sini." Ia menunjuk sudut bibirnya sendiri, tepat di tempat luka Camila berada. Sebelum ia bisa menjawab, suara langkah berat terdengar dari belakang. Victor muncul dengan ekspresi dingin khasnya. "Ada apa ini, Ibu?" tanyanya sambil melirik ibunya sekilas. Sophia menoleh ke Victor dengan senyum puas. "Bonekaku ini cantik, Victor. Tapi kau harus lebih hati-hati merawatnya. Jangan sampai lecet-lecet begini," ujarnya dengan nada bercanda, tapi jelas menyindir. Victor mendekat, menatap Camila sebentar sebelum menjawab. "Tenang saja, Bu. Saya akan memastikan boneka ini terawat dengan baik," katanya dingin, tatapan matanya menusuk langsung ke Camila. Camila hanya bisa menunduk. Hatinya perih, tapi ia tidak berani membantah. Ia tahu dirinya hanyalah boneka seperti yang mereka sebut. Tidak lebih. Julian, yang tampaknya menyadari suasana mulai tidak nyaman, segera berbicara. "Camila," katanya lembut, menarik perhatian semua orang di ruangan. "Selamat datang di keluarga Aryasena. Aku harap kau bisa memaklumi sikap Sophia. Dia memang ... sedikit unik," tambahnya dengan senyum tipis. "Terima kasih, Ayah," jawab Camila lirih, mencoba tersenyum walaupun hatinya penuh rasa takut dan bingung. "Baiklah," Julian berdiri, merapikan jasnya. "Mari kita nikmati makan pagi bersama. Camila, kuharap kau merasa nyaman di sini." Camila hanya mengangguk pelan. Nyaman? Kata itu terasa begitu jauh dari kenyataan yang ia hadapi. Namun, ia tahu tidak ada pilihan lain selain bertahan. Apa pun yang terjadi, ia harus mencari cara untuk tetap bertahan di keluarga itu, meskipun itu berarti mengorbankan harga dirinya. *** Di sebuah ruangan luas bergaya klasik dengan dinding berlapis kayu mahal, Lucas Ardhana duduk di kursi berlapis kulit hitam. Tangan pria paruh baya itu memegang segelas anggur merah, sementara sorot matanya memancarkan ketenangan yang penuh perhitungan. Di hadapannya berdiri Nathan Ardhana, putranya yang berperawakan tinggi dan berwajah tajam. Meski ada kemiripan fisik antara keduanya, aura mereka berbeda. Lucas penuh dengan keegoisan dingin, sementara Nathan memancarkan energi penuh ambisi. "Jadi, Victor akan membawa istrinya ke perkumpulan nanti?" tanya Lucas, meletakkan gelas anggurnya di atas meja kecil di samping kursinya. Tatapannya menembus Nathan, seolah-olah mencari jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata. Nathan mengangguk, wajahnya serius. "Ya, Ayah. Dia sudah berjanji untuk memperkenalkannya di sana," jawabnya. Ada nada kepuasan di suaranya, seperti seseorang yang melihat rencana besar mulai berjalan sesuai harapan. Lucas menyunggingkan senyum kecil. Senyumnya tidak hangat, melainkan dingin dan penuh arti. "Bagus. Akhirnya, dendam Selena bisa kita balaskan dengan tangan kita sendiri," katanya pelan, tapi penuh tekad. Nama "Selena" terucap seperti mantra gelap yang membawa bayangan masa lalu ke dalam ruangan. Nathan menatap ayahnya sejenak, sebelum berkata, "Victor tahu apa yang harus dia lakukan. Dia menyerahkan Camila ke dalam lingkaran kita. Aku yakin dia sadar apa yang akan terjadi." Lucas mengangguk pelan, menyandarkan punggungnya ke kursi. "Memang seharusnya begitu. Keluarga Aryasena punya hutang janji pada kita, dan mereka harus membayarnya," ucapnya. Matanya menyipit, seperti mengingat kembali luka lama yang belum sembuh. Setelah beberapa saat hening, Lucas bertanya lagi. "Lalu bagaimana tampang istri Victor? Apa dia sesuai dengan ekspektasi kita?" Suaranya datar, tapi jelas penuh rasa ingin tahu. Nathan mengangkat bahu, tampak tidak terlalu peduli. "Aku tidak tahu, Ayah. Aku hanya tahu namanya saja, Camila," jawabnya santai. "Tapi mengingat Victor, kurasa dia tidak akan menerima seseorang yang tidak menarik perhatian." Lucas tersenyum tipis mendengar jawaban itu. "Camila, ya?" gumamnya, merenungkan nama itu. "Kita akan lihat nanti apakah dia cukup tangguh untuk bertahan di keluarga Aryasena setelah semua ini." Nathan melirik jam tangannya yang berlapis logam mahal. "Ayah, sebaiknya kita segera berangkat. Acara perkumpulan dimulai dalam satu jam, dan kita tidak boleh terlambat." Lucas mengangguk setuju. Ia bangkit dari kursinya, membetulkan kerah jasnya, lalu menatap Nathan dengan penuh arti. "Hari ini adalah hari yang besar, Nathan. Pastikan semuanya berjalan sesuai rencana." Nathan tersenyum tipis, matanya memancarkan ambisi yang sama dengan ayahnya. "Tentu, Ayah. Aku tidak akan mengecewakanmu." Keduanya kemudian berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan bayangan dendam yang menggantung di udara. Mereka tahu, itu adalah langkah awal untuk membalaskan luka lama yang telah lama terpendam. Camila, nama itu kini menjadi bagian dari permainan mereka, meski ia sendiri belum tahu betapa besar badai yang sedang menunggunya. "Aku akan membuat dia menangis darah karena keluarganya secara sukarela mendorong ke kandang singa."Mentari sore mulai merunduk perlahan, menyisakan cahaya keemasan yang menyelinap masuk melalui jendela besar di ruang kerja Victor. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan satu tangan mengusap pelipis, menyudahi rapat yang melelahkan. Di hadapannya, Raphael berdiri sambil merapikan berkas-berkas yang baru saja selesai dibahas.“Jadi … hanya itu yang aku bisa kerjakan hari ini?” tanya Victor santai, meski nada suaranya menggoda dan sedikit menantang.Raphael menatap Victor dengan alis terangkat. “Tuan sudah selesai. Berkas-berkas sudah ditandatangani, laporan sudah kuperiksa ulang. Tidak ada yang tersisa untuk hari ini, Tuan.”Victor tertawa pelan sambil berdiri dan mengambil jasnya. “Bagus. Karena aku sudah tidak sabar ingin pulang.”Raphael mengangguk mengerti. “Nyonya Camila, ya?”Victor hanya tersenyum, tapi dari matanya, jelas terpancar kerinduan. “Kau tahu sendiri bagaimana Camila akhir-akhir ini. Masih sedikit terganggu sejak William datang bersama Elena. Aku harus c
Camila duduk di sisi ranjang, menatap layar tablet yang memperlihatkan beberapa artikel dan foto tentang Elena—putri dari William, sekutu Victor.Cantik, anggun, berpendidikan tinggi, dan yang paling membuatnya terdiam lama… Elena berasal dari keluarga terpandang, memiliki reputasi mentereng di dunia bisnis dan sosial. Camila menghela napas berat, menutup layar tabletnya perlahan.Pikiran-pikiran gelap mulai mengendap di benaknya. Ia memandang bayangannya di cermin besar di seberang ruangan, mengamati dirinya yang kini tengah hamil, dengan lingkaran gelap di bawah mata karena sering sulit tidur akhir-akhir ini.“Elena memiliki segalanya …,” gumamnya lirih. “Sedangkan aku .…”Ia menggigit ujung jarinya, kebiasaan lamanya saat sedang gelisah. Wajahnya mengerut, hatinya diliputi kecemasan. Bagaimana pun, Elena adalah tawaran menarik dalam dunia Victor. Ia takut jika Victor berpaling. Seperti yang dulu dilakukan Victor pada Selena—meninggalkan seorang perempuan untuk perempuan lain.Camil
Udara sore itu terasa hangat, langit dihiasi semburat jingga yang perlahan memudar ke ungu, menyiratkan senja yang menenangkan. Camila melangkah masuk ke dalam mansion dengan senyum ceria yang tak bisa ia sembunyikan. Pertemuan dengan Selena memberi kelegaan dalam hatinya, seolah satu beban besar telah terangkat. Wajahnya bersinar ketika melihat Victor tengah menunggunya di ruang tengah, seperti biasa dengan tatapan lembut yang hanya diperuntukkan untuknya.Victor berdiri, menghampiri Camila dengan langkah ringan, lalu menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kau tersenyum,” katanya lirih, penuh makna. “Aku senang melihatmu seperti ini lagi.”Camila menatapnya sambil tersipu, lalu menjawab, “Aku juga lega. Setelah semua yang terjadi … aku merasa ini pertama kalinya aku bisa bernapas tanpa beban.”Victor mengangguk, memandangi istrinya dengan mata yang berbinar. “Kalau begitu … setelah ini, apa yang ingin kau lakukan, hm?”Camila menggenggam tangan Victor dengan manja. “Aku ingin makan
Udara sore hari membawa semilir angin lembut yang menyusup masuk ke dalam ruang tamu vila kecil di pinggiran kota. Sebuah tempat netral yang dipilih Victor untuk mempertemukan dua perempuan yang pernah—dan masih—menjadi bagian dari kehidupannya.Camila duduk dengan tubuh tegak di sofa, bersebelahan dengan Victor, namun ada jeda kecil di antara mereka. Tangannya bertaut di atas pangkuan, dan tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang duduk di seberang, Selena. Wajah Camila terlihat canggung, dan kepalanya lebih sering tertunduk.Selena menyambut kedatangan mereka dengan senyum merekah. Ia tampak begitu hangat dan ramah, seolah tidak ada beban di antara mereka bertiga. Rambut panjangnya tergerai lembut, dan perutnya yang mulai membuncit terlihat jelas di balik gaun panjang berwarna pastel.“Terima kasih sudah datang, Victor, Camila.” Suara Selena terdengar tenang dan bersahabat.Camila membalas senyuman itu dengan anggukan kecil, berusaha keras menyembunyikan rasa canggungn
Pagi di rumah besar keluarga Aryasena masih terasa lengang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat jendela besar, menciptakan bayangan hangat di lantai marmer. Di ruang tengah yang hening, Victor duduk bersama Camila. Tangannya menggenggam tangan perempuan itu erat, seolah tak ingin melepaskannya barang sedetik pun.Camila menatapnya dengan tenang, bibirnya membentuk senyum kecil yang lembut. “Victor … kau tidak perlu melakukan semua itu hanya untuk membuatku percaya. Aku sudah percaya padamu. Percaya sepenuh hati.”Victor tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Camila dalam-dalam, seolah ingin menyimpan tiap detailnya di ingatan. “Aku tahu kau sudah percaya,” katanya akhirnya. “Tapi aku tidak bisa merasa lega jika aku belum membuktikannya langsung di depan matamu. Aku ingin menghapus semua keraguan yang mungkin masih bersisa—meski hanya sedikit.”Camila menghela napas pelan. Ia tahu Victor bukan sekadar berkata—pria itu memang tipe yang akan menyelesaikan semuanya dengan jelas dan
Senja semakin meredup saat Camila dan Victor duduk di teras belakang mansion Aryasena. Bayangan pohon-pohon tinggi memanjang, menciptakan kesunyian yang bersahaja. Namun di hati Camila, gelombang ketidakpastian masih bergulung.“Kau benar-benar bisa melupakan Selena?” tanya Camila pelan, hatinya berdegup kencang. “Evelyn mirip sekali dengannya … Aku takut, kau akan teringat lagi padanya.”Victor menatap Camila dengan lembut, merangkul pinggang istrinya. “Haruskah aku membawa Selena ke hadapanmu, lalu bersumpah di depan Tuhan bahwa hubungan kami telah benar‑benar kandas?” ucapnya tenang, suaranya mantap. “Aku menegaskan sekali lagi, yang kusayangi sekarang hanyalah kau, Camila. Tak ada yang lain. Apa itu saja belum cukup setelah semua perjuanganmu?”Camila terdiam, mengerjakan pergumulan di dalam dada. Benar, Victor telah menanggalkan segala kekuasaannya, mempertaruhkan nyawa, bahkan melupakan rasa sakit lamanya hanya demi menyelamatkan dirinya. Air matanya mengalir perlahan saat ia me