Share

Dua Wanita yang Terluka

Meita berjalan di bawah terik sinar matahari siang yang menyengat membakar kulit. Dia mengipasi wajahnya yang berkeringat dengan tangan, berusaha mengusir rasa gerah. Dia berhenti di tempat parkir pasar yang sepi. David meletakkan motornya di sana, menghindari tukang parkir yang biasanya suka muncul secara ajaib.

“Cepetan dong, Mas!” ucap Meita kesal.

Tak jauh darinya, David sedang berjalan sambil menggendong anak mereka dan menenteng belanjaan di sebelah tangan. Pria itu memicingkan mata melawan sinar matahari yang menyilaukan.

“Sabar, Mei ... Ngomong-ngomong, aku mau bayar tunggakan listrik dulu ya,” kata David seraya mengusap keringat di dahinya.

“Halah, kok nggak sekalian tadi juga sih?” sungut Meita dengan wajah cemberut.

David meletakkan belanjaannya di atas jok motor matic miliknya. Dia menatap sang istri dengan sabar, berusaha tidak meladeni emosi Meita yang semakin menjadi.

Sudah sebulan berlalu, dan semuanya masih sama saja. Meita masih kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan adanya Keanu, buah hati mereka berdua. Dia selalu uring-uringan dan seringkali marah-marah sendiri. Terutama ketika Keanu menangis keras dan membangunkan Meita dari tidurnya.

David ingin sekali membiarkan istrinya beristirahat tanpa gangguan, kalau saja dia bisa. Masalahnya, dengan kesibukannya bekerja serabutan dan tidak adanya orang lain yang membantu, maka terpaksa Meita harus mengurus bayinya seorang diri. Memang terkadang ibu David datang dan menginap untuk membantu, namun itu tak membuat suasana hati Meita membaik. Ia malah mengeluh karena sering dimarahi oleh ibu mertuanya.

David merasa pusing, tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menghibur Meita. Bahkan untuk melakukan kegiatan sehari-hari pun dia selalu saja menggerutu. Seperti hari ini, ketika bahan-bahan makanan di dapur sudah menipis, maka tidak ada pilihan lain selain mengajak Meita pergi berbelanja.

David sebagai seorang lelaki memang tak pandai dalam urusan ini. Jangankan berbelanja, membedakan antara jahe dan kunyit saja dia tak bisa. Apalagi harus membeli banyak bahan makanan. Meita sekali lagi harus mengesampingkan rasa perih jahitannya untuk ikut suaminya pergi ke pasar.

Dan sekarang dia harus menunggu, di bawah terik matahari yang sepanas ini.David harus pergi ke kantor pos yang terletak di dekat pasar untuk membayar tagihan listrik yang sudah menunggak dua bulan. Meita berharap agar lelaki itu segera menyelesaikan urusannya dan kembali. Dia sudah letih dan jahitannya terasa perih, mungkin akibat dia berjalan terlalu cepat.

Sementara itu, di sebuah warung bakso di dekat Meita, segerombolan anak berseragam putih abu-abu nampak sedang sibuk bercanda ria. Mereka nampak ceria, penuh semangat dan tidak memiliki beban hidup. Meita merasa cemburu dengan kebebasan mereka.

Dia ingat dirinya sendiri di usia yang sama. Waktu itu, dia bahagia menikmati tahun-tahun masa SMA-nya. Tak ada beban, tak ada problem kehidupan yang rumit selain soal-soal matematika. Dia tak pernah menyangka betapa kerasnya kehidupan yang harus dia jalani sepuluh tahun kemudian. Andai waktu itu dia tahu, maka Meita pasti sudah belajar dengan giat agar bisa memperbaiki kehidupannya.

Jika dia belajar tekun waktu itu, mungkin saat ini dia sedang duduk di kantor sebuah perusahaan besar dengan AC sejuk yang menyala, atau mungkin dia sedang berjuang meniti karirnya dan membentuk sebuah nama besar yang bisa dia banggakan ke semua orang. Atau bisa saja dia sedang menjadi istri seseorang, tapi jelas bukan dengan David yang keadaan ekonominya pas-pasan. Mungkin dia bisa menggaet seorang pejabat atau pengusaha sukses kaya raya. Pokoknya apa saja yang hidupnya mapan dan tenang tanpa perlu repot-repot memikirkan soal uang.

Sayang sekali itu hanyalah khayalan belaka. Waktu tak mungkin bisa kembali. Dan dia tak akan pernah bisa memperbaiki kesalahannya semasa SMA dulu. Inilah realita yang harus dia hadapi, bahwa dirinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang memiliki seorang bayi rewel dan suami yang penghasilannya tidak pasti. Meita menelan kembali khayalannya.

“Aku benci kehidupan ini!” gumamnya pahit.

***

“Woi, kalau nyetir yang bener dong!”

Rhea Raviza Askara tersenyum miring. Gadis itu melirik dari spion tengah kerumunan kecil orang yang telah dia tabrak. Sebenarnya dia tidak benar-benar menabrak mereka. Dia hanya menyerempet sebagian saja dari mereka.

Lagipula itu bukan salahnya. Dia sudah menekan klakson beberapa kali dari kejauhan. Mereka saja yang keras kepala dan tidak mau minggir. Jangan salahkan dia kalau pada akhirnya Rhea menabrakkan mobil mini coopernya ke arah mereka.

“Makanya, jangan jualan di tengah jalan!” gumam Rhea seraya tertawa sendiri.

Dia ingat bagaimana wajah si tukang bakso dan para pelanggannya yang sedang duduk santai itu berubah dari panik menjadi marah dan kesakitan. Mereka memang orang-orang yang pantas diberi pelajaran sesekali. Siapa sih yang menyuruh mereka menggelar kursi di jalanan sempit dan ramai seperti pasar ini? Sudah jalannya sempit, malah dipakai jualan pula.

Rhea mengacungkan jari tengahnya melalui kaca mobil yang terbuka, ia tunjukkan kepada orang-orang yang mengumpati dirinya. Mereka makin marah, memaki dirinya tidak jelas. Tapi Rhea tidak peduli. Dia tidak memikirkan soal kemarahan orang-orang itu. Dia memikirkan hal lain.

Ada banyak hal yang mengusik hidupnya akhir-akhir ini. Banyak sekali masalah yang muncul dan menyerangnya bersamaan. Rhea merasa frustasi menghadapi semuanya. Belum lagi satu masalah teratasi, masalah-masalah yang lain bermunculan. Rhea merasa dirinya seperti sedang dipojokkan. Seakan Tuhan ingin mengatakan padanya untuk maju selangkah lagi dan jatuh ke dalam jurang.

Rhea tahu, kali ini tidak akan ada yang menolongnya jika ia jatuh. Tak ada siapapun yang akan membela dirinya. Tak ada yang akan mengulurkan tangan. Bahkan, Rhea ragu apakah ada yang akan menangisi dirinya jika dia mati. Mungkin tidak ada. Tak ada seorangpun.

Membayangkan hal itu membuat Rhea merasa sakit. Dadanya sesak oleh perasaan dikhianati. Semua orang yang dia kenal dalam kehidupannya pasti akan merasa senang dan bersyukur jika dia mati. Mereka semua adalah makhluk-makhluk munafik yang tidak tahu diri. Tidak tahu terima kasih. Padahal Rhea sudah berbuat banyak untuk mereka. Tapi tak ada seorangpun yang merasa peduli padanya.

Termasuk kedua orang tuanya. Mereka adalah orang terakhir yang Rhea ingin lihat jika maut menjemputnya. Dia masih bisa mendengar suara penuh amarah papanya, yang berteriak lantang bahwa dia menyesal memiliki putri seperti dirinya. Andai bisa, lelaki itu pasti akan senang memilih anak lain sebagai anaknya. Asalkan bukan Rhea!

Rhea menginjak gas untuk menambah kecepatan mobil mini coopernya. Ia mencoba untuk mengabaikan rasa perih yang menyiksa di hatinya. Dia juga tak mau repot-repot mengusap air mata yang mengalir turun ke wajahnya.

“Aku tak takut mati, Tuhan! Kalau memang aku harus mati, maka aku akan pergi dengan senang hati!” jerit Rhea dengan lantang.

Dia tersenyum dalam air mata. Tak ada yang bisa menandingi rasa sakit hatinya saat ini. Kematian tak lagi membuatnya merinding. Dia justru merasa bahwa kematian adalah jalan keluar terbaik dari segala permasalahan hidupnya yang pelik.

“Kehidupan ini membenciku. Biarkan aku melepasnya pergi,” ucap Rhea seraya memacu mini coopernya dengan kecepatan maksimal.

Dia menginjak gas terus menerus dan menatap lurus ke depan. Sebuah tekad muncul di hatinya. Dia ingin membuat papa dan mamanya menangis menyesal. Dia ingin membuat Valerie membayar atas pengkhianatannya. Dia ingin membuat K menyesal telah membuat harga dirinya terluka. Rhea akan melakukan hal ini agar semua orang paham bagaimana rasanya kehilangan dirinya. Kalau perlu, dia ingin meninggal betulan. Dia toh sudah letih dengan semuanya.

Tin! Tin!

“Mei, awaaaasss!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status