Share

Hidup Kembali

Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam.

“Argh ....”

Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine.

Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda.

Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? Pikir Meita heran.

Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengenakan cat kuku berwarna merah menyala?

Meita merasa konyol, ketika dia berpikir bahwa Tuhan akhirnya memberikan dia jari tangan yang indah setelah dua puluh tujuh tahun. Tapi apa pentingnya itu sekarang? Jari-jari itu tidak akan berfungsi untuk model iklan, melainkan untuk mengganti popok Keanu yang penuh. Atau menggosok bekas pupnya yang bau.

Meita mengernyitkan hidungnya membayangkan bagaimana kondisi Keanu sekarang. Sudah berapa lama dia tidur? Apa David sedang menidurkan Keanu sekarang? Tumben suasananya sepi sekali, padahal biasanya tangis Keanu bisa membangunkan dia dari tidurnya yang lelap.

Meita mengerjap-ngerjap menatap langit-langit kamar. Lalu pandangannya menyapu seluruh isi ruangan itu, yang semuanya serba putih dan berbau obat. Selama sedetik dia bertanya-tanya ada di mana dirinya dan apa yang terjadi. Tapi kemudian dia ingat kecelakaan itu.

Sekilas bayangan mobil merah yang melaju kencang menuju dirinya, kemudian menabrak tubuhnya dengan keras hingga tak menyisakan apapun selain rasa sakit hingga ia tenggelam dalam kegelapan.

Kejadian mengerikan itu membuat Meita merasa shock. Dia pikir dirinya pasti mati karena kecelakaan itu. Tapi lihat, dirinya sekarang terbaring lemah di ruangan rumah sakit tanpa seorang pun yang menemani. Meita merasa lega karena setidaknya dia masih hidup. Meskipun dia mulai heran di mana keberadaan David dan putra mereka, Keanu.

Terdengar suara pintu terbuka. Pandangan Meita seketika terarah ke sana, bersinggungan dengan tatapan kaget seorang dokter.

“Anda sudah sadar?” ucap dokter itu.

Meita ingin menjawab, tapi dia merasa kerongkongannya kering. Bahkan untuk menelan ludah saja rasanya sulit. Akhirnya dia hanya menganggukkan kepalanya sedikit dan merasakan rasa sakit itu datang kembali.

Dokter perempuan berjas putih itu tersenyum lembut.

“Syukurlah. Saya pikir masa koma Anda masih akan lebih lama. Tapi sekarang Anda sudah sadar, lebih cepat dari dugaan saya.”

Pintu terbuka lagi dan kini yang masuk adalah seorang perawat. Seragamnya terlihat berbeda dengan seragam yang dikenakan dokter itu. Mereka berbincang sesaat, kemudian mulai memeriksa kondisi Meita dengan seksama.

Pintu kembali terbuka dan kini yang masuk adalah orang-orang asing. Meita mengernyit, tak mengenali siapa mereka. Seorang pria berbadan tinggi kekar berkacamata merangkul seorang wanita kurus yang berwajah cantik meski usianya jelas tidak lagi muda. Keduanya masuk dan disambut oleh dokter beserta perawat. Mereka bertukar sapa sejenak lalu kedua orang asing itu mendekati ranjang Meita. Ekspresi mereka kaku dan tegang.

“Bagaimana kondisinya, Dok?” fanya si pria menatap Meita, tapi nada bicaranya ditujukan kepada si dokter.

“Ini keajaiban, Pak!” ucap si dokter. “Kondisi tubuhnya meningkat drastis. Kemarin bahkan saya tidak berani untuk mengatakan apakah dia masih akan dapat bertahan hidup. Tapi sekarang, pemeriksaan menunjukkan bahwa kondisi tubuhnya jauh lebih baik. Nyaris normal malah.”

Pria itu mengangguk dengan kaku. Tatapannya tajam dan terkunci pada sosok Meita. Untuk sesaat Meita berpikir dia mungkin petugas PLN yang ingin menagih tagihan listriknya yang menunggak. Kalau melihat ekspresi wajahnya itu.

Sementara si perempuan, Meita kira adalah istrinya. Dia juga bertampang hampir sama. Hanya saja, sorot mata wanita itu lembut tetapi tegas. Dia memancarkan aura seorang ibu yang memiliki ketegasan dalam bersikap dan kelembutan. Meita agak menyukai perempuan ini, entah siapapun dia.

“Saya rasa dia sudah cukup beristirahat bukan, Dok? Apakah dia sudah boleh dibawa pulang?”

“Jika kondisinya sudah membaik, maka tak ada alasan untuk tetap menahannya di sini,” sahut dokter selagi memeriksa tekanan darah Meita.

Mereka terus berbincang, sementara Meita terus berpikir, siapa mereka ini? Apa dia mengenal mereka?

Meita mencoba menggali ingatannya. Mungkin mereka adalah kenalan lamanya, teman dari temannya atau mungkin kenalan suaminya. Tapi dia sama sekali tak bisa menemukan apapun. Dia tak ingat pernah melihat wajah mereka seumur hidupnya. Anehnya mereka justru datang dan menjenguk dirinya di rumah sakit, ketika suaminya David justru menghilang entah ke mana.

“Jadi, bagaimana? Apakah kau sudah cukup puas sekarang? Kalau belum, kau boleh menembak aku sekarang. Biar sekalian saja,” ucap pria itu.

“Mas,” sahut si perempuan menyenggol pelan lengannya memberi peringatan.

Si pria menatapnya dengan letih, lalu kembali menatap mata Meita. Dia sama sekali tak tahu apa yang pria itu bicarakan. Dia bahkan tak mengenalinya.

“Saya akan membawanya pulang sekarang juga, Dok,” ucap si pria kepada dokter.

“Anda yakin?”

Pria itu mengangguk mantap.

“Baiklah kalau begitu. Saya lihat kondisinya juga sudah baik. Hanya luka di kepalanya saja yang memerlukan waktu untuk penyembuhan. Selain itu, semuanya oke.”

“Bagus kalau begitu. Saya sudah tak sabar lagi ingin berbicara dengan Rhea.”

Tatapan pria itu sungguh menusuk. Meita merasakan ada kemarahan yang besar sekali di sana. Dia tak mengerti, mengapa. Ucapannya menyiratkan ada masalah yang cukup serius. Lagipula, kenapa dia ingin membawa Meita pulang? Apakah David yang menyuruhnya?

Dokter itu mengangguk setuju. “Saya akan mempersiapkan dia. Suster, tolong kemas barang-barangnya.”

Perawat itu bergerak dengan cekatan. Meita melirik perawat itu dan menelan ludahnya lagi. Rasa dahaga membakar kerongkongannya. Dia sungguh ingin minum air di botol dekat perawat itu.

Alhasil, Meita mengangkat tangannya dan menunjuk botol itu. Dia bersyukur ketika perawat itu mengerti dan membantu dirinya untuk minum. Meita duduk di tempat tidur dan merasakan kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan.

“Terima kasih,” ucap Meita setelah menandaskan isi botol.

Entah karena pengaruh air itu atau karena sudah terlalu lama tidur, Meita mendengar perbedaan dalam suaranya. Suara itu seperti bukan suaranya.

“Kita pulang sekarang, Rhea, turun dan berdirilah!” kata si pria.

Meita menatapnya dengan heran. Sekarang dia yakin sekali bahwa dia sama sekali tak mengenal siapa pria ini dan istrinya.

“Rhea, apa kau mendengarku?!” bentaknya.

Meita membuka mulut untuk membalas.

“Maaf, tapi Anda siapa?” ujarnya bertanya.

Pria itu nampak marah menatap dirinya.

“Apa-apaan kau ini, Rhe? Jangan main-main denganku. Ayo, kita pulang sekarang juga! Ada yang harus kau dan aku bicarakan lagi.”

Meita mengerutkan dahinya semakin dalam.

“Tapi, saya tidak mengenal Anda berdua. Apakah anda bisa memberitahu saya siapa anda?”

“Rhea, berhentilah berpura-pura. Kalau kau pikir kau bisa lolos dengan ini, maka kau salah besar!”

“Tapi saya sungguh tak mengerti. Mengapa anda memanggil saya dengan nama itu? Siapa Rhea?”

Ekspresi si pria nampak terkejut. Dia membelalakkan mata lebar menatap Meita dan istrinya bergantian. Bahkan dokter juga ikut mengamati kondisi Meita. Sedangkan Meita sendiri malah kebingungan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status