Share

Keinginan Meita

Meita duduk di tepi ranjang sambil menangis tanpa suara. Wanita 27 tahun itu menunduk sedih menatap lantai, menyembunyikan air matanya dari sang suami. Meski memunggungi David, namun lelaki itu tahu jelas istrinya sedang menangis. Pembicaraan mereka yang sejak tadi masih saja berputar tiada henti.

David mengulurkan tangan kanannya, berusaha menyentuh bahu istrinya dengan hati-hati seolah dia adalah sebuah vas yang rapuh.

“Sayang ... Kamu pasti akan baik-baik saja. Lihatlah sendiri nanti, waktu akan menyembuhkan segala lukamu,” ucap David lembut.

Meita tidak merasa terhibur sama sekali. Wanita itu justru mendengus sebal mendengarnya.

“Aku ingin mengembalikan waktu kalau bisa. Aku ingin kembali ke masa-masa zebelum hamil dan menunda kehamilan itu,” balas Meita dengan nada pahit.

“Artinya kamu tidak ingin Keanu lahir?”

“Ya!” jawab Meita jelas.

David menelan ludah dengan susah payah. Lelaki itu tahu bagaimana dirinya tidak akan bisa memenangkan perdebatan ini. Jika Meita sedang sakit hati, maka dia bisa saja mengatakan segala hal yang terlintas di kepalanya tanpa pikir panjang lagi.

Tetap saja, David mengira Meita hanya terbawa emosi sesaat saja. Dia tak mungkin tidak mencintai Keanu, putra kandungnya sendiri. Ibu mana yang tega tak mengakui bayinya hanya karena rasa sakit semata?

“Aku membencimu, Keanu,” gumam Meita seolah tanpa sadar.

Tatapan wanita itu tertuju pada sang bayi yang sedang tertidur dengan pulas di atas ranjang. David melirik Meita dengan kening berkerut dalam, berharap dirinya telah salah dengar.

“Mei—“

Oek ... Oek ...

Ucapan David disela oleh tangis Keanu yang kembali pecah. Meita mendengus sebal mendengar berisiknya tangis sang bayi. Sementara David dengan sigap mengangkat tubuh anaknya dan menggendong Keanu dengan hangat.

Tak seperti sebelumnya, kali ini David tak berhasil menidurkan Keanu dengan menimang-nimangnya. Hingga lengan David terasa kaku, bayi itu tetap saja menggeliat-geliat marah dan terus menangis. Sekarang malah mulutnya terbuka lebar dan kepalanya menoleh kesana-kemari, seakan sedang mencari ASI.

“Mei, sepertinya Keanu lapar,” ujarnya pada Meita.

Meita menatap lelaki itu dengan pandangan tajam. Dadanya terasa panas karena rasa sakit, masih saja David menyuruhnya menyusui Keanu. Dia bangkit berdiri dengan enggan dan mendekati David. Diambilnya Keanu dari tangan lelaki itu, kemudian dia berjalan kembali ke ranjang dengan langkah-langkah lebar karena kesal.

“Awas, Mei!” tegur David seraya memegangi tubuh Meita yang terpeleset.

“Aw, sakit.”

David menatap Meita yang mengeluh kesakitan, berusaha mencari tahu kenapa.

“Kamu baik-baik saja?”

“Menurutmu?” sindir Meita dengan tajam.

Dia berdiri dengan posisi canggung dan tidak enak, sementara juga merasakan rasa perih yang berasal dari jalan lahirnya. Meita mengernyit menahan sakit sambil tetap menggendong Keanu yang sekarang menjerit-jerit tidak sabaran.

“Mana yang sakit, Mei?” tanya David.

“Semuanya sakit,” jawab Meita.

“Yang benar? Yang paling sakit yang mana?”

“Jahitanku,” Meita menjawab serius.

Dia tidak berbohong mengenai rasa sakitnya. Memang sekujur tubuhnya teasa sakit semua, terutama di bagian organ vital, sebab dia melahirkan Keanu secara normal dengan berat bayi empat kilogram. Wajar saja jika kemudian Meita mendapatkan banyak jahitan.

“Jangan-jangan jahitanku robek,” ucap Meita cemas.

Raut wajah David berubah pucat. Dia menemani sang istri sewaktu Meita melahirkan putra mereka. Dia tahu bagaimana Meita menangis mendapatkan banyak jahitan waktu itu. David sendiri tak bisa berhenti gemetar membayangkan bagaimana rasa sakitnya dijahit.

“A-Apa yang harus aku lakukan?”

“Gendong dia!” sahut Meita ketus. “Kau tahu aku kesakitan dan masih mau menyuruhku menyusui dia?”

David menurut. Dia menggendong kembali Keanu meski anak itu terus rewel. Meita berbaring di ranjang dan berpura-pura tidak mendengar jerit tangis Keanu.

David menghela napas panjang. Dia terpaksa harus membuatkan Keanu susu formula sambil mengayun-ayun tubuh mungil itu agar diam.

“Mei, maukah kau menyusui Keanu?”

Pertanyaan itu membuat Meita membuka matanya. “Dadaku sakit, Vid.”

“Aku tahu, aku tidak memintamu memberinya ASI. Aku hanya ingin kau duduk dan memberikan susu formula ini kepadanya.”

Meita menatap suaminya heran. “Kenapa begitu?”

“Karena dia tidak mau menyusu. Kupikir, mungkin dia ingin dipangku oleh ibunya.”

Meita diam sejenak. Kemudian dia mengulurkan tangan setelah melihat wajah lelah David. Dia memberikan susu formula itu kepada Keanu.

Mulanya bayi itu masih tetap tidak mau menyusu, namun perlahan-lahan dia menyedot isi botol karena kehausan.

“Nah kan, apa kubilang. Kamu hanya perlu bersabar sedikit,” ucap David memandang putranya yang diam dalam pangkuan Meita.

“Sayangnya aku tak punya kesabaran itu, Vid. Aku tak cukup baik untuk menjadi seorang ibu.”

David diam tak menjawab.

Sementara Keanu mulai terpejam dalam pangkuan ibunya. Tangan-tangan mungil Keanu bergerak-gerak menyentuh tangan Meita. Jemari mungilnya menggenggam erat telunjuk Meita seakan enggan melepasnya. Meita menatap sepasang mata bulat yang terpejam itu, nampak mungil dan menggemaskan. Terutama bibir itu, yang mirip sekali dengan bibir David.

Betapa imutnya makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini, batin Meita menyadari. Andai saja Meita bisa mencintainya dengan lebih baik ....

“Kapan kau akan melunasi hutang ke ibumu? Dia sudah menanyakannya tadi pagi.”

David tersentak sadar. Dia menoleh menatap Meita dengan muram.

“Oh ya? Nanti aku carikan. Untuk sekarang masih belum ada.”

“Hmm, jadi bagaimana kita akan merawat bayi ini jika tak ada uang?”

“Nanti aku cari tahu. Kau tenang saja. Tak usah memikirkan hal ini.”

Bagaimana bisa Meita tidak memikirkan hal itu?

“Vid, pertimbangkanlah usulku itu. Kita bisa menjual eh maksudku memberikan anak ini kepada seseorang yang menginginkannya. Jadi, kita tak perlu memikirkan tambahan beban dalam rumah ini.”

David mendelik menatap istrinya. Keningnya berkerut dalam kemarahan.

“Apa kau sudah gila, Mei? Ini anakmu, darah dagingmu sendiri. Tega sekali kau berniat menjualnya!”

“Tapi aku sudah tak tahan lagi. Aku sudah lelah. Aku ingin kembali ke masa gadisku dulu. Aku ingin pergi jauh dan meninggalkan kalian semua!”

“Astaga, Meita ... Tidak kukira kau punya pikiran seperti ini. Aku memakluki sikapmu karena kau baru saja melahirkan. Kau mungkin mengalami baby blues dan belum terbiasa dengan keadaan ini. Tapi, sampai hatikah kau ingin pergi meninggalkan kami?”

Meita terdiam. Dia memalingkan wajahnya dari David.

“Lihatlah di pangkuanmu itu, Mei. Lihat Keanu yang mungil dan polos itu. Tegakah kau melihat dia harus menjalani kehidupan ini tanpamu?”

“Tapi aku—“

“Dengarkan aku, Meita. Jika ada yang salah di sini, maka akulah yang bersalah. Kau bisa mengumpati aku sepuas hatimu, tapi jangan membenci Keanu. Dia tidak berdosa.”

Memdengarkan ucapan David membuat Meita mempertanyakan kewarasannya sendiri. Apakah dirinya memang sudah gila?

“Aku tetap ingin membalikkan waktu andai aku bisa,” gumamnya lirih.

David menghela napas panjang dan berat. “Terserah kau sajalah!”

Siapa sangka doanya itu akan terkabul lebih cepat dari yang dia duga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status