Meita terbangun pukul empat pagi. Kedua matajya terbuka nyalang walau sebenarnya dia masih lelah. Secara otomatis, tangannya meraih ke sisinya, tempat biasanya si bayi tertidur pulas. Lalu dia bangun dan mencari-cari panik ketika tidak menemukan David maupun Keanu di tempat tidur. Lalu dia ingat. Oh benar, dia bukan sedang di rumah kontrakan dua petak yang disewa bersama David. Dia bahkan bukan Meita lagi. Dia adalah Rhea. Gadis tujuh belas tahun yang kaya raya. Meita tersenyum miris. Bukankah ini yang dia inginkan selama ini? Me-reset hidupnya, mulai dari awal lagi? Dia sudah mendapatkannya. Entah dengan cara bagaimana dia bisa bertukar tubuh dengan Rhea. Dia bisa merasakan kembali muda lagi, menjadi gadis tujuh belas tahun yang bebas. Tubuh muda yang tak sakit-sakitan, wajah cantik dan plus bonus kaya raya! Tapi entah mengapa ada sudut hatinya yang terasa hampa. Mungkin karena dia belum terbiasa dengan kesunyian ini. Dia merasa ada sesuatu yang hilang. Tangisan bayi dan ...
Kembali ke kamar, Meita merasakan kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Ada sesuatu yang salah. Dia merasa sesuatu seolah sedang memperhatikan dirinya. Seolah dia sedang bersama seseorang meski kenyataannya dia sendirian. AC kamar itu membuatnya menggigil, walau tadinya tidak. Tapi dia tidak mematikan atau menaikkan suhunya. Dia hanya duduk di meja belajar. Menatap ponsel. Dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia membuka laci-laci meja, berharap menemukan sesuatu. Dia membongkar buku-buku di rak, menurunkannya satu per satu. Tak ada apapun. Mengembalikannya lagi ke tempat semula. Membuka-tutup laci-laci, lagi. Hanya ada buku-buku catatan, pulpen, kotak pensil, aksesoris, gantungan kunci dan macam-macam benda perintilan yang tidak penting. Ayolah, Rhe. Pasti ada sesuatu. Semacam ... buku diary? Apa Rhea tipe anak yang tidak suka menulis diary? Meita dulu selalu menulis di buku diary tentang perasaannya. Buku yang kemudian berakhir di tong sampah. Meita mulai membuka-buka buku-buk
Kamar itu dipenuhi aroma surga. Itulah yang dipikirkan Meita. Hidungnya membaui kuat-kuat. Aroma parfum yang enak, tidak memualkan. Entah mengapa memberikan perasaan nyaman. Dia coba berbaring di tempat tidur, yang terasa seperti tumpukan selimut tebal. Empuk, seperti di atas awan. Tanpa sadar dia tersenyum. Apakah ini semua anugerah untuknya? Setelah semua kesulitan yang dia hadapi selama ini? Mungkin Tuhan akhirnya merasa kasihan, sehingga memberinya kesempatan kedua ini. Apapun itu, untuk saat ini dia akan menikmatinya saja. Oh, betapa enaknya hidupmu, Rhea! Kau pasti gadis paling beruntung di muka bumi ini. Bagaimana rasanya hidup dalam kenyamanan ini setiap hari? Trims, sudah membagi sedikit hidupmu denganku, batin Meita. Tuk! Tuk! Senyumnya terhenti. Saat itu dia yakin telah mendengar sesuatu. Sebuah suara samar. Dia menajamkan telinga. Tuk. Tuk. Tuk. Dia bangkit berdiri, agak kesusahan. Berjalan ke arah sumber suara sambil terus mendengarkan. Suara itu hilang-timbu
"Kamu mau dibantu ganti baju?" Pertanyaan itu menyentak Meita dari lamunan. Dia baru sadar bahwa mereka sedang mengamati dirinya. Meski bingung, dia menggeleng. Tangannya mengambil pakaian dari tangan Wina dan segera masuk ke dalam kamar mandi dengan memakai kruk. Kamar mandi itu cukup luas. Dengan keramik putih mengkilat. Kesannya mewah. Bahkan ada sebuah cermin besar panjang yang memantulkan bayangan seorang gadis kurus pucat dengan rambut riap-riapan yang sedang membelalak padanya! "Aaaargh!" Meita terlompat mundur dan menabrak pintu. "Rhea, kau baik-baik saja?" Suara Wina dari balik pintu terdengar cemas. "Ada apa disana?" Untuk sesaat jantungnya berlompatan. Dia terus menatap bayangan di cermin itu, yang jelas-jelas bukan dirinya. Siapa itu? Perlahan dia mengangkat tangannya, menatapnya gemetar. kedua tangan itu bukan tangannya. Dia menyentuh wajah, terasa halus dan berbeda. Hidungnya mancung dan mungil, rambutnya hitam lebat lurus sepinggang. Terasa halus walaupun ac
“Dokter, apa dia mengalami amnesia?” Hendra Askara bertanya dengan nada heran. Pria paruh baya itu menatap dokter meminta penjelasan. Sikap Rhea sungguh di luar dugaan. Hendra bisa memahami jika putrinya akan berontak dan marah-marah jika dia tidak mau menuruti perintah papanya. Dia bahkan mengira Rhea akan berusaha kabur darinya. Tapi, kenapa dia justru bersikap seolah tak mengenalinya? Apakah ini salah satu tipu daya sebagai usaha untuk lolos dari masalah ini? Ataukah ini akibat kecelakaan yang meninggalkan cedera di kepala anaknya? “Saya rasa tidak, Pak.” Dokter yang berdiri tak jauh dari Rhea menjawab. “Lalu kenapa dia tidak dapat mengenali kami?” Dokter Rima, yang baru saja merasa yakin bahwa pasiennya cukup baik untuk dibawa pulang mendadak merasa heran. “Berdasarkan pemeriksaan CT, kami dapat menyimpulkan bahwa tidak ada trauma dalam. Dia hanya mengalami benturan kecil saja, berkat Airbag yang berfungsi dengan baik. Jadi kecil kemungkinan Rhea bisa mengalami amnesia,
Meita membuka kedua matanya dengan berat. Kepalanya terasa pusing dan sakit sekali. Dia merasa seperti sudah dipukuli dengan palu godam. “Argh ....” Meita mengerang pelan seraya memegang kepalanya. Di area sekitar pelipis terbalut perban sampai memutar mengitari seluruh kepalanya. Dia terus meraba-raba, sampai merasakan sebuah cairan merembes keluar mengenai jari-jarinya. Meita mengernyit, berharap cairan itu bukanlah darah. Ditatapnya jari-jarinya yang berlumur sesuatu berwarna kemerahan. Dia berpikir mungkin itu adalah betadine. Tapi, ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh. Dia mencoba memikirkan apa yang berbeda. Sejak kapan jariku menjadi lentik dan terawat? pikir Meita heran. Dia membolak-balik jemari tangannya dan mengamati. Jari-jarinya sungguh indah, mirip jari tangan para model yang mulus dan tak bercela. Seingatnya dia memiliki jari tangan yang pendek dan bulat, bukan tipe yang panjang dan lentik seperti ini. Lagipula, sejak kapan dia mengenakan cat kuku berwarna m