Share

Born Again
Born Again
Penulis: White Little Orchid

Sakitnya Menjadi Ibu

“Aku benci hidupku!”

Meita menggumam kesal melihat suaminya tidur lelap di sisi lain ranjang. Di tengah-tengah kasur antara mereka berdua, seorang makhluk mungil sedang menangis keras meminta disusui. Meita menggeram lelah menatap bayi itu, bayi berusia dua minggu yang baru saja dia lahirkan ke dunia ini.

Keanu namanya, bayi yang tidak dia harapkan untuk hadir secepat ini ke dalam kehidupan rumah tangganya. Dia baru satu tahun menjadi istri dari David, lelaki yang dia cintai.

Sayangnya kehidupan rumah tangga tidaklah seindah seperti adegan dalam sinetron yang dia tonton. Beragam masalah mulai berdatangan dan mengusik ketenangan Meita. Dia merasa sudah tidak sanggup lagi memikul beban rumah tangga dan menjadi istri David lebih lama lagi. Dia memutuskan untuk bercerai saja dari lelaki itu, ketika kemudian dia mendapati bahwa dirinya hamil.

“Sial, tubuhku mau ambruk rasanya,” gumam Meita sembari menyodorkan kedua tangan untuk merengkuh Keanu.

Bayi itu selalu saja rewel dan tidak bisa tidur di malam hari. Sehingga Meita harus terjaga untuk menyusuinya sepanjang malam. Setiap kali diletakkan di atas kasur, Keanu pasti menangis menjerit-jerit meminta digendong.

Meita pun kelelahan. Direngkuhnya Keanu dan dia beri ASI dengan mata yang setengah terpejam. Bayi itu terdiam, tidur lelap dalam pangkuan Meita. Sementara sang ibu harus menahan kantuk dan rasa sakitnya seorang diri.

“Kita jual saja anak ini,” ujarnya kepada David kemarin sore.

Lelaki yang sedang menimang anaknya itu menoleh dengan tatapan terkejut.

“Apa yang kau katakan itu, Mei, kau kira ini main-main?!” David menukas dengan tajam.

Hati Meita terluka. Dia sama sekali tidak sedang bermain-main. Dia serius. Dia ingin menyerahkan saja bayinya kepada seseorang. Dia tidak peduli kepada siapapun itu. Yang penting bayi itu tak akan lagi mengusik hidupnya dan David. Terlebih lagi, bayi itu pasti akan bisa hidup dengan lebih baik jika tidak diasuh oleh dirinya yang ceroboh dan tidak pandai itu.

Jika saja David setuju, maka Meita akan benar-benar mencari seseorang yang mau membeli bayinya. Ralat, merawat bayinya dengan sepenuh hati. Bagaimana lagi dia akan sanggup merawat bayinya dalam kondisi ekonomi yang serba mepet begini? Belum lagi banyak hal yang dia lakukan selalu terlihat salah di mata ibu mertuanya.

“Mas, aku capek. Gantian dong, kamu yang ayun-ayun Keanu sampai dia tidur,” pinta Meita kepada sang suami.

David hanya membalas dengan sebuah gumaman tak jelas. Lelaki itu masih tidur dengan nyaman di posisinya. Meita terus memicingkan mata menatapnya, menunggunya terbangun.

Tapi sampai bermenit-menit kemudian, David tak juga kunjung bangun. Meita semakin kesal, karena bahunya sudah letih menggendong Keanu.

Bayi itu menangis karena tak lagi disusui. Meita merasa buah dadanya perih, saking seringnya disedot oleh si bayi. Alhasil, Meita harus bangun dan menimang tubuh Keanu agar dia tertidur. Malam ini dia semakin rewel saja karena pilek yang menyerang, membuat Meita semakin frustasi dibuatnya.

“Mas!” panggil Meita keras, tak peduli akan mengejutkan Keanu yang terus menangis. “Kamu dengar aku tidak?”

“Hmmm?” David menggeliat bangun, sambil membuka sebelah matanya dengan mengantuk.

“Gendong anakmu nih, aku capek,” kata Meita memerintah.

“Aku ngantuk, Mei,” balas David enggan.

“Aku juga ngantuk. Kau pikir cuma kau saja yang butuh tidur?” kataMeita tersulut.

“Hmm, iya, iya.” David bangun dengan malas dan menerima Keanu dalam gendongannya.

Entah karena nyaman atau memang Keanu sudah mengantuk, bayi itu langsung diam seketika berpindah ke David. Tak perlu waktu lama bagi David untuk menidurkan kembali bayi itu. Meita yang memperhatikan itu merasa panas. Dia kesal melihat betapa mudahnya David membuat Keanu terlelap. Bahkan ketika diletakkan kembali ke kasurnya, Keanu tidak lagi menggeliat bangun. Dia benar-benar sudah pulas, meski hanya diayun-ayun beberapa menit saja oleh ayahnya.

David nyengir lebar melihat tatapan cemburu di mata istrinya.

“Bagaimana bisa kau melakukan itu?” bisik Meita penuh kebencian.

“Dengan cinta dan kesabaran, Sayang,” balas David juga berbisik. Mereka takut akan membangunkan Keanu lagi.

“Cih, kesabaran apanya!” desis Meita marah. “Aku menggendong dan menyusui dia berjam-jam dan dia terus saja menangis. Tapi kau baru mengayun-ayun dia beberapa menit saja dia sudah tertidur.”

“Itulah bedanya. Aku mengayun dia dengan sepenuh hati. Sedangkan kau menyusui dia berjam-jam dengan wajah kesal dan cemberut begitu, wajar kalau anakmu menangis. Dia pasti takut melihat ibunya,” gurau David seraya tertawa pelan.

Meita tidak ikut tertawa. Dia merasa itu tidak lucu sama sekali. Dia kesal setengah mati karenanya. David yang telah menyebabkan semua bencana ini, masih bisa tertawa lebar melihat penderitaan Meita. Tidak cukupkah semua ini? Haruskah David tertawa dan memperlihatkan dirinya yang baik-baik saja di hadapan Meita?

“Kalau saja waktu itu kita pakai pengaman, semua ini tidak akan terjadi,” gumam Meita.

David berhenti tertawa. Dia menatap wajah istrinya dengan serius. “Kenapa kau mengungkit lagi hal ini? Bukankah sudah kukatakan padamu, bahwa anak ini adalah anugerah yang patut kita syukuri?”

Meita berdecih sebal.

“Kau saja yang bersyukur. Aku tidak,” katanya.

“Astaghfirullah, Mei ....”

“Dengar ya, Vid, aku sudah lelah. Aku muak dengan semua ini. Semua rasa sakit pasca melahirkan, beban mental serta keletihan ini membuatku muak. Aku tidak bersyukur untuk ini. Kalau kamu merasa senang karena kamu tidak ikut merasakan sakitnya. Andai saja kamu tahu ....”

David terperangah menatap istrinya. “Aku minta maaf untuk itu, sebab aku tidak tahu bagaimana rasanya. Tapi aku juga tidak menginginkan kamu merasakan sakit, Mei. Itu bukan keinginanku. Memang sudah takdirnya sebagai perempuan untuk melahirkan keturunan, karena kalian kuat untuk melaluinya.”

“Aku tidak cukup kuat untuk ini. Aku tidak sanggup, Vid. Aku lelah –“

Meita berusaha untuk menahan suaranya agar tidak bergetar. Namun, sebulir air mata telah lolos menitik di wajahnya.

David mendekat dan berusaha merangkul bahu istrinya. Meita menampik lengan kokoh pria itu, seraya beringsut menjauh.

“Aku tidak menginginkan anak ini, bahkan sejak awal. Kamu tahu itu.”

Ucapan Meita bagaikan sebuah silet yang mengiris hati David. Pria itu berbicara dengan suara yang lembut, berusaha memberikan penghiburan bagi lara yang dirasakan istrinya.

“Banyak pasangan di luar sana yang mendambakan bayi, Mei. Kita seharusnya bersyukur karena telah diberi kepercayaan sebesar ini,” ucap David mengingatkan.

Hati Meita sudah terlalu kaku untuk mendengar nasihat semacam ini.

“Aku tak peduli. Kalau bisa, akan kuberikan anakku kepada mereka. Asalkan aku tidak perlu merasa sakit lagi,” balas Meita.

Dia tidak peduli sudah menunjukkan sisi dirinya yang egois. David sendiri sudah lama tahu bagaimana perangai istrinya itu. Dalam berbagai masalah, selalu saja Meita ingin menang sendiri.

“Sabar, Sayang ... Aku tahu kamu merasa sakit. Tapi, tidak perlu berkata seperti itu. Anak kita adalah anak kita. Kitalah yang akan merawatnya, sebab kita berdua orang tuanya. Jangan bicara seolah kamu ingin membuang putramu sendiri.”

Meita mendengus kasar. Dia tidak menolak kata-kata itu, meski terdengar begitu jahat. Membuang putraku sendiri, gumam Meita dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status