“Pak Reynan,” ucapku lirih dan bangkit dari tempat dudukku. Aku menundukkan tubuhku dengan hormat.
“Aku membayarmu bukan untuk melamun,” teriaknya dengan suara yang menggelegar. Terlihat para staf lain menatap kami, karena sekat antara ruang ini dengan staf lainnya adalah dinding kaca. Dan ketika Reynan menoleh, mereka kembali sok sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Ma-maaf, Pak!”“Mana jadwal yang aku minta?” tanya Reynan sambil mengarahkan tangan ke arahku.Mati aku, aku belum menyiapkan apapun, bahkan untuk menyalakan laptop di depanku pun belum. Aku menggigit bibir bawahku, dengan tangan yang terus mengucek ujung kemeja yang kupakai. “Belum siap, Pak!” jawabku ragu. “Belum siap?” Terdengar kembali gebrakan meja, yang membuat para staf kembali menoleh, dan lagi ketika Reynan menatap ke arah mereka, para staf kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Kamu tak pernah berubah. Selalu menganggap keperluan orang lain itu tidak penting,” ucapnya dengan ketus. Ia kembali mengingatkan masa di mana aku masih menjalin hubungan dengannya, masa abu-abu dan berlanjut di bangku kuliah semester empat. Cukup lama memang kita menjalin hubungan.“Jam 8 aku ada klien penting, pastikan semua data yang disajikan tampil sempurna. Setelah itu kita kunjungi cabang baru perusahaan ini.”Aku mengangguk mengerti. Pukul delapan berjalan lebih cepat, untung saja data-data sudah aku cek dan semua sudah tertata rapi, hanya tinggal presentasi saja.Semua berkumpul dalam satu ruang, di mana meja besar melingkar itu menjadi meja bersama kami, sedang aku duduk tak jauh dari Reynan berada, menatap ke laptop yang terhubung langsung ke papan, untuk menampilkan slide demi slide dalam presentasi. Rapat pun berjalan begitu lancar, klien Reynan begitu antusias dan tertarik bekerja sama dengan perusahaan ini, terlihat senyum indah tersungging di bibir Reynan. Senyum tulus, yang baru kujumpai setelah 5 tahun ini. “Syukur semua berjalan lancar ya, Pak!” ucapku saat memasuki lift bersama.Mencoba memecah kebisuan yang terjalin sangat lama.“Jangan sok akrab, kita itu beda kasta” jawabnya ketus sambil memperhatikan jam yang melingkari lengannya. Aku kembali mengingat memori masa lalu. Dimana bapak masih berjaya dengan perusahaannya, apapun yang aku mau, pasti bisa kumiliki. Ditambah dengan parasku yang cantik di atas rata-rata, membuat semua kaum bernama lelaki bertekuk lutut kepadaku. Sifat Aroganku mulai muncul, aku juga lebih memilih-milih teman, semua kugolongkan dengan kasta masing-masing, dimana aku tak mau berhubungan dengan kasta di bawahku, terkecuali Reynan. Ya, aku sendiri tak tahu alasannya, kenapa aku bisa menjalin hubungan lelaki berwajah oriental itu “Ma-maaf, Pak.”Aku menunduk hormat, lalu berjalan mengekori ia menuju parkiran gedung besar ini. “Bapak gak bawa supir?” tanyaku ketika ia membuka pintu mobil depan. “Bukan urusanmu.”Aku mengikuti ia yang masuk mobil. Duduk di jok belakang dengan pandangan lurus mengarah ke jalan. “Viv, aku bukan supirmu,” bentak Reynan dengan pandangan lurus ke depan. Tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.“Ma-maaf, Pak.” Aku keluar mobil, dan masuk jok depan, sejajar dengan Reynan. Mungkin kebiasaanku dari dulu yang menjadi orang kaya bak putri raja, hingga terbiasa duduk di belakang, dan tak ingin sejajar dengan kasta di bawahku.Reynan tampak menginjak gas mobil hingga kendaraan roda empat ini perlahan berjalan. Tak ada percakapan, tak ada musik yang terdengar, hanya bisu dan saling menghadap ke depan dengan pikiran masing-masing. Sedikit kulirik ke arahnya. Lelaki bertubuh kekar dengan tangan kokoh itu memegang kemudi tampak serius menatap jalanan, jas hitam dan jam mahal yang melingkari lengannya seakan menjadi pertanda kalau ia naik ke kasta tertinggi. Berbeda denganku, yang kini di titik terendah. Bahkan untuk sekedar makan sehari-hari pun kami harus berhemat. Semesta tak lagi berpihak , sifat arogan, posesif, tak mau mengalah, kini harus berbanding terbalik dengan sifatku yang sekarang. Bahkan harga diri yang selalu ku junjung tinggi di atas segalanya, harus kalah dengan namanya uang.Lalu bagaimana Reynan bisa mencapai di posisi ini? Setahu aku dia bukanlah orang kaya, dia kasta menengah, yang mendapatkan kehormatan bisa mengenalku. Sejam, dua jam, waktu terus berjalan. Namun, selama itu juga kami terus terdiam tanpa ada sepatah katapun terucap dari bibir kami. Kurasakan perut mulai melilit karena tadi tidak sempat sarapan, lebih tepatnya menunda sarapan karena memang keterbatasan uang belanja. Tiba-tiba laju mobil berhenti di sebuah gedung besar dengan banyak orang yang saling berkumpul, karpet merah menyambut, Reynan turun dan berjalan begitu saja, sedangkan aku yang belum siap, sedikit tergopoh untuk mengikuti. Berjalan sedemikian rupa, berharap sepatu yang mulai jebol di salah satu sisinya tak semakin parah rusaknya. Tidak etis juga kan ada drama sepatu rusak di acara penting seperti ini. Semua menunduk hormat ketika Reynan lewat, lalu jalannya terhenti ketika berada tepat di depan pita merah bersimpul kupu-kupu. Seorang lelaki paruh baya berjabat tangan dan memberikan sebuah gunting yang dihias indah, dan beberapa menit kemudian pita tersebut terputus oleh gunting yang dipegang bos aroganku. Tepuk tangan meriah terdengar, begitupun aku yang turut menyumbang suara dengan kedua tanganku. Senyum tersungging di bibir masing-masing tak terkecuali dengan Reynan. Seorang CEO muda yang memiliki beberapa cabang di beberapa kota.Sebentar saja kita di tempat ini, setelah acara peresmian dan sambutan-sambutan. Kami harus kembali ke kantor, ada banyak list yang menunggu untuk dikerjakan, dan seperti biasanya aku harus mengekori lelaki di depanku. Duduk bersama tanpa obrolan sama sekali, membuat cacing di perut semakin kepanasan meminta jatah, tak mungkin juga aku meminta bos Aroganku ini untuk berhenti sejenak dan menungguku makan. Tak selang lama, Reynan menoleh ketika mendengar perutku berbunyi. Sedikit ia melirik ke arahku, lalu kembali fokus menatap jalan. “Kamu lapar, Viv?”“Iya, Pak. Maaf.”Beberapa saat ia terdiam. Namun, tak ada tanda-tanda ia berhenti untuk mengisi perut. “Tasku di jok belakang, ambillah. Ada roti yang bisa kamu makan.”Aku terpaku. Benarkah? Sedingin apapun Reynan, ia ternyata masih memiliki sosok hangat. Bergegas kuraih tas hitam miliknya, merk mahal di sudut benda itu membuatku terus ternganga. Dari mana Reynan bisa berubah secepat ini? “Ini, Pak. Tas nya.”“Buka saja.”Aku membuka resleting tas, dan terdapat banyak tumpukan berkas di dalamnya, hingga akhirnya mataku tertuju kepada sebuah roti yang bertuliskan salah satu merk terkenal. Mataku berbinar, bahkan sudah kubayangkan bagaimana roti pisang itu terasa lembut di mulutku. “Pak, ini kenapa ada bekas gigitan?” Aku menatap roti yang kini kupegang, roti sisa dengan sedikit bekas gigitan. “Hanya berkurang sedikit, yang penting bisa mengganjal perutmu.”“Tapi, Pak. Ini si – sisa,” ucapku ragu.“Bukankah dulu aku selalu makan sisamu? Lalu, kenapa? Kamu tidak mau makan bekasku?”“Tapi, Pak. Ini si – sisa,” ucapku ragu.“Bukankah dulu aku selalu makan sisamu? Lalu, kenapa? Kamu tidak mau makan bekasku?”Dengan ragu akhirnya aku memakannya, setidaknya roti pisang coklat ini sedikit mengenyangkan ku. Ditambah lagi aroma wangi roti yang menguar di indraku, seakan merayuku untuk lekas memakannya. “Terima kasih, Pak!” ucapku.Tak pernah kusangka, aku mengucapkan terima kasih hanya karena roti sisa. Dimana harga diriku dulu?Reynan menatap ke arahku, lalu tersimpul senyum tipis di bibirnya. Ya, aku tahu kali ini dia balas dendam, tapi biarlah, prioritas utamaku adalah kesembuhan ibu dan sekolah Alisa. Bagaimanapun aku harus kuat. Reynan membuka mobil dan berlalu seperti biasa, menyisakan aku yang tergopoh belum siap ke luar. Kuambil tas kecil milikku, serta stopmap yang berisi data-data penting yang harus kukerjakan. “Selamat sore, Pak!”“Selamat sore, Pak!” Salam terus terdengar ketika Reynan melewati para staf, dan lagi-lagi dengan angkuhnya ia tak membalas.
Kuhitung lembaran uang ratusan itu, tepatnya ada 15 lembar, sangat lebih dari cukup jika aku gunakan membeli sepatu. Bergegas kuisi perut terlebih dulu, aku tak ingin sakit hanya karena telat makan, bagaimana nasib ibu dan Alisa? **“Kak, larut sekali pulangnya?”Alisa yang tengah duduk di kursi tamu itu bergegas bangkit setelah melihatku datang. Diterimanya martabak telur dan roti bakar yang sengaja kubelikan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak jajan untuk mereka. “Ibu mana?”“Sudah tidur, Kak.”“Itu makan dulu, mumpung masih anget.”Aku duduk di kursi sambil meletakkan tas dan kantong kresek yang berisi sepatu baru, menyelonjorkan kaki dan memijitnya perlahan.“Mbak Vi capek?”Alisa memasukkan potongan martabak itu ke mulutnya, hingga terlihat pipinya membulat, lalu menghampiriku. Ia duduk dibawah dan memegang kakiku, dipijitnya kaki itu dengan senyum yang mengembang.“Gak usah, Sa. Kamu juga pasti capek ngurus ibu dan rumah. Kamu habisin aja dulu jajannya.”Aku akui Alisa jug
Lelaki itu menutup hidungnya, sambil mengerutkan dahi.“Viv, baumu!”“Bau apa?”Aku menciumi diriku, meskipun aku memang tidak memakai parfum semahal dulu, tapi aku yakin bau badanku tidaklah begitu menyengat. Meskipun dalam keadaan berkeringat. Aku mendapati bau yang berbeda, dan itu ada di ...Aku menatap tajam ke sepatu yang ku kenakan, membalikkan sedikit kakiku, agar terlihat alasnya. Kotoran ayam menempel di sana. Apakah tadi aku menginjak kotoran itu saat di mobil angkutan? Aku meringis melihat bos arogan itu, mengembangkan senyum yang kupaksakan. “Viv!”Ia mendelik ke arahku dengan tatapan tak suka. Lalu diambilnya gagang telepon di atas meja kerjaku, tak jauh darinya. Menekan nomor hingga sebuah panggilan tersambung. “Ke ruanganku sekarang, tidak lebih dari 5 menit. Atau kau pecat saat ini juga.”Sikap arogan itu tak pernah jauh dari dirinya. Selalu terlihat semena-mena kepada siapapun. Sedangkan Reynan yang ku kenal dulu amatlah berbeda. Ia orang yang tak tegaan, jangank
“Masakan istrimu, Pak?” tanyaku memastikan. Tidak ingin berlarut dengan nostalgia cerita lama. Bukankah Reynan sudah menjadi bos? Tidak mungkin juga kan dia masak sendiri untuk bekalnya?“Iya. Enak bukan masakan istriku?”Aku mengangguk. “Enak, Pak.” Ada sedikit rasa nyeri di ulu hatiku ketika Reynan menyebut istriku. Rasa yang jauh terpendam di dasar hatiku itu, seakan ingin kembali menampakkan diri ke permukaan.‘Sadar, Viv. Ini sudah bukan di ruang lingkup kekuasaanmu. Roda berputar dan kamu ada di kasta terendah. Tidak mungkin juga kan Reynan masih menaruh hati dengan apa yang sudah kamu lakukan dulu? Tahu sendiri, kalau masakan ini buatan istrinya.’Mendadak makanan ini hambar, tak berasa sedikitpun.“Kenapa tidak dihabiskan?”“Sudah kenyang, Pak.”“Habiskan sekarang juga , atau ...”Reynan tak melanjutkan ucapannya, akupun tak tertarik meneruskan ucapan tersebut. Hanya menatap makanan itu dengan kenangan yang terus bermunculan di pikiran. Kembali kusuapkan makanan tersebut ke
“Apa pedulimu dengan hidupku, Viv? Sejak kapan kamu memiliki rasa empati?”Aku terdiam, begitupun Reynan. Tak ada suara yang terdengar. Sibuk dengan pikiran masing-masing. “Maaf, Pak. Saya permisi dulu, mau ambil alat pel.”Aku menunduk hormat dan melangkah pergi. *“Bu Vivian kenapa kembali?” Salah satu OB itu menyapaku.“Mau ambil alat pel.”“Cangkirnya terjatuh, Bu?”“Iya. Dibanting sama pak Reynan.”“Benar kan, Bu. Dia pasti marah-marah. Ibu yang sabar ya?” Wanita separuh baya itu terdengar begitu empati sekali kepadaku. “Iya.” Aku menyunggingkan senyum dan berlalu setelah mendapati apa yang aku butuhkan. **“Permisi, Pak!” Aku menunduk hormat ketika memasuki ruangan. Berjalan perlahan dan mendekati lantai kotor yang terkena bekas tumpahan kopi. “Mau apa kamu?”“Membersihkan tempat ini, Pak!”Aku mengambil pecahan cangkir yang berserakan di segala penjuru. “Keluar dari sini! Aku tak butuh bantuanmu.”“Tapi, Pak!”“Keluar dari sini atau ....”“Permisi, Pak. Saya hendak member
Ponsel berwarna merah muda yang tergeletak di meja kerja itu bergetar, sebuah pesan dari bos arogan masuk di dalamnya. [ Buatkan minuman, Viv ][ Baik, Pak. Akan saya hubungi petugas yang berangkutan. ][ Kamu yang antar ke sini. ][ Tapi, Pak. Bukankah saya harus menghindar dari pandangan bapak Rayhan yang terhormat. ][ Ini lain cerita. Tamu ku yang meminta ]Deg. Lagi-lagi jantungku berdegup lebih kencang. Semua hal yang bersangkutan dengan Haikal rasanya membuat tubuhku gemetar ketakutan.Ingin rasanya memberontak, tapi posisiku bukanlah di tempat yang tepat. Beginilah rasanya berada di kasta bawah? Seakan tak memiliki pilihan satupun untuk memilih, hanya sendiko dawuh, menerima nasib. Aku berjalan perlahan membawa nampan yang berisi teh hangat, dan air putih. Kutaruh gelas tersebut satu persatu ke atas meja. Berusaha sebisa mungkin menyembunyikan rasa takut dan tubuh gemetarku.“Vivian! Setelah sekian lama akhirnya kita bertemu kembali,” ucap Haikal yang terus menatapku, bahka
‘Kenapa kamu tiba-tiba hadir seperti ini, Viv? Seburuk-buruknya kamu di masa lalu kenapa tidak pernah bisa membuatku membencimu?’Aku menatap laptop yang selalu menemani hariku, membuka folder di dalamnya. Sebuah kenangan dengan Vivian terekam indah di sana. Vivian yang cuek, Vivian yang selalu marah-marah, dan Vivian yang suka seenaknya sendiri, dan tentunya Vivian yang manja. Tapi entahlah, kenapa aku tak bisa membuang sedikitpun memori tentangnya, meskipun ia terus menghujamku dengan kesedihan, dan penderitaan. “Rey, aku mau es krim.”“Tapi di sini gak ada penjual es krim, Viv! Aku ke swalayan sebentar ya.”“Enggak mau. Aku gak mau ditinggal.”“Ya sudah, kamu ikut saja.”“Aku mager. Aku malas jalan.”Hah, aku membuang nafas kasar, mencoba mencari ide untuk Vivianku yang terlampau manja. Duduk di bangku kuliah di semester satu sudah tak layak dibilang anak-anakkan? Tapi nyatanya Vivian terus bersikap layaknya anak SD, dan aku terus berusaha menurutinya. Di setiap senyum yang mengem
“Kenapa membeli sepatu saja kamu tak mampu? Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Viv? Kenapa kamu rendahkan dirimu seperti ini? Dimana harga diri kamu yang selalu kamu tinggikan itu? Dimana? Ha?”Lelaki itu memegang kedua pundakku, menggerakkan tubuhku dan menatapku dengan mata yang basah. “Apa yang terjadi padamu? Apa yang kamu sembunyikan dariku?” “Kamu tidak menjual dirimu untuk uang bukan?”Plakk ...Sebuah tamparan keras melayang begitu saja di pipi berwarna sawo matang itu. Aku memang rendah, tapi tak serendah yang ia pikir. Cukup sudah harga diri yang terus ia injak-injak. Lelaki itu memegang pipinya, bahkan bekas jari menempel merah memberikan tanda dari kesombongannya. Bos Arogan itu terkekeh. “Jangan muna kamu, Viv. Sebutkan hargamu untuk semalam. Aku akan membayar sepuluh kali lipat dari harga yang diberikan Haikal padamu.”‘Haikal? Apa maksudnya? Apa ia berbicara yang tidak-tidak pada Reynan? Tidak saat itu, maupun masa sekarang, Haikal terus membuat ulah.’Aku memici