Share

Bab. 3 Peresmian Gedung Baru

“Pak Reynan,” ucapku lirih dan bangkit dari tempat dudukku. Aku menundukkan tubuhku dengan hormat. 

“Aku membayarmu bukan untuk melamun,” teriaknya dengan suara yang menggelegar. Terlihat para staf lain menatap kami, karena sekat antara ruang ini dengan staf lainnya adalah dinding kaca. Dan ketika Reynan menoleh, mereka kembali sok sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

“Ma-maaf, Pak!”

“Mana jadwal yang aku minta?” tanya Reynan sambil mengarahkan tangan ke arahku.

Mati aku, aku belum menyiapkan apapun, bahkan untuk menyalakan laptop di depanku pun belum. 

Aku menggigit bibir bawahku, dengan tangan yang terus mengucek ujung kemeja yang kupakai. 

“Belum siap, Pak!” jawabku ragu. 

“Belum siap?” 

Terdengar kembali gebrakan meja, yang membuat para staf kembali menoleh, dan lagi ketika Reynan menatap ke arah mereka, para staf kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. 

“Kamu tak pernah berubah. Selalu menganggap keperluan orang lain itu tidak penting,” ucapnya dengan ketus. 

Ia kembali mengingatkan masa di mana aku masih menjalin hubungan dengannya, masa abu-abu dan berlanjut di bangku kuliah semester empat. Cukup lama memang kita menjalin hubungan.

“Jam 8 aku ada klien penting, pastikan semua data yang disajikan tampil sempurna. Setelah itu kita kunjungi cabang baru perusahaan ini.”

Aku mengangguk mengerti. 

Pukul delapan berjalan lebih cepat, untung saja data-data sudah aku cek dan semua sudah tertata rapi, hanya tinggal presentasi saja.

Semua berkumpul dalam satu ruang, di mana meja besar melingkar itu menjadi meja bersama kami, sedang aku duduk tak jauh dari Reynan berada, menatap ke laptop yang terhubung langsung ke papan, untuk menampilkan slide demi slide dalam presentasi. 

 Rapat pun berjalan begitu lancar, klien Reynan begitu antusias dan tertarik bekerja sama dengan perusahaan ini, terlihat senyum indah tersungging di bibir Reynan. Senyum tulus, yang baru kujumpai setelah 5 tahun ini. 

“Syukur semua berjalan lancar ya, Pak!” ucapku saat memasuki lift bersama.

Mencoba memecah kebisuan yang terjalin sangat lama.

“Jangan sok akrab, kita itu beda kasta” jawabnya ketus sambil memperhatikan jam yang melingkari lengannya. 

Aku kembali mengingat memori masa lalu. Dimana bapak masih berjaya dengan perusahaannya, apapun yang aku mau, pasti bisa kumiliki. Ditambah dengan parasku yang cantik di atas rata-rata, membuat semua kaum bernama lelaki bertekuk lutut kepadaku. 

Sifat Aroganku mulai muncul, aku juga lebih memilih-milih teman, semua kugolongkan dengan kasta masing-masing, dimana aku tak mau berhubungan dengan kasta di bawahku, terkecuali Reynan. Ya, aku sendiri tak tahu alasannya, kenapa aku bisa menjalin hubungan lelaki berwajah oriental itu 

“Ma-maaf, Pak.”

Aku menunduk hormat, lalu berjalan mengekori ia menuju parkiran gedung besar ini. 

“Bapak gak bawa supir?” tanyaku ketika ia membuka pintu mobil depan. 

“Bukan urusanmu.”

Aku mengikuti ia yang masuk mobil. Duduk di jok belakang dengan pandangan lurus mengarah ke jalan. 

“Viv, aku bukan supirmu,” bentak Reynan dengan pandangan lurus ke depan. Tanpa menoleh ke belakang sedikitpun.

“Ma-maaf, Pak.” 

Aku  keluar mobil, dan masuk jok depan, sejajar dengan Reynan. Mungkin kebiasaanku dari dulu yang menjadi orang kaya bak putri raja, hingga terbiasa duduk di belakang, dan tak ingin sejajar dengan kasta di bawahku.

Reynan tampak menginjak gas mobil hingga kendaraan roda empat ini perlahan berjalan. Tak ada percakapan, tak ada musik yang terdengar, hanya bisu dan saling menghadap ke depan dengan pikiran masing-masing. 

Sedikit kulirik ke arahnya. Lelaki bertubuh kekar dengan tangan kokoh itu memegang kemudi tampak serius menatap jalanan, jas hitam dan jam mahal yang melingkari lengannya seakan menjadi pertanda kalau ia naik ke kasta tertinggi. Berbeda denganku, yang kini di titik terendah. Bahkan untuk sekedar makan sehari-hari pun kami harus berhemat. Semesta tak lagi berpihak , sifat arogan, posesif, tak mau mengalah, kini harus berbanding terbalik dengan sifatku yang sekarang. Bahkan harga diri yang selalu ku junjung tinggi di atas segalanya, harus kalah dengan namanya uang.

Lalu bagaimana Reynan bisa mencapai di posisi ini? Setahu aku dia bukanlah orang kaya, dia kasta menengah, yang mendapatkan kehormatan bisa mengenalku. 

Sejam, dua jam, waktu terus berjalan. Namun, selama itu juga kami terus terdiam tanpa ada sepatah katapun terucap dari bibir kami. Kurasakan perut mulai melilit karena tadi tidak sempat sarapan, lebih tepatnya menunda sarapan karena memang keterbatasan uang belanja. 

Tiba-tiba laju mobil berhenti di sebuah gedung besar dengan banyak orang yang saling berkumpul, karpet merah menyambut, Reynan turun dan berjalan begitu saja, sedangkan aku yang belum siap, sedikit tergopoh untuk mengikuti. Berjalan sedemikian rupa, berharap sepatu yang mulai jebol di salah satu sisinya tak semakin parah rusaknya. Tidak etis juga kan ada drama sepatu rusak di acara penting seperti ini. 

Semua menunduk hormat ketika Reynan lewat, lalu jalannya terhenti ketika berada tepat di depan pita merah bersimpul kupu-kupu. Seorang lelaki paruh baya berjabat tangan dan memberikan sebuah gunting yang dihias indah, dan beberapa menit kemudian pita tersebut terputus oleh gunting yang dipegang bos aroganku. 

Tepuk tangan meriah terdengar, begitupun aku yang turut menyumbang suara dengan kedua tanganku. Senyum tersungging di bibir masing-masing tak terkecuali dengan Reynan. Seorang CEO muda yang memiliki beberapa cabang di beberapa kota.

Sebentar saja kita di tempat ini, setelah acara peresmian dan sambutan-sambutan. Kami harus kembali ke kantor, ada banyak list yang menunggu untuk dikerjakan, dan seperti biasanya aku harus mengekori lelaki di depanku. 

Duduk bersama tanpa obrolan sama sekali, membuat cacing di perut semakin kepanasan meminta jatah, tak mungkin juga aku meminta bos Aroganku ini untuk berhenti sejenak dan menungguku makan. 

Tak selang lama, Reynan menoleh ketika mendengar perutku berbunyi. 

Sedikit ia melirik ke arahku, lalu kembali fokus menatap jalan.  “Kamu lapar, Viv?”

“Iya, Pak. Maaf.”

Beberapa saat ia terdiam. Namun, tak ada tanda-tanda ia berhenti untuk mengisi perut. 

“Tasku di jok belakang, ambillah. Ada roti yang bisa kamu makan.”

Aku terpaku. Benarkah? Sedingin apapun Reynan, ia ternyata masih memiliki sosok hangat. 

Bergegas kuraih tas hitam miliknya, merk mahal di sudut benda itu membuatku terus ternganga. Dari mana Reynan bisa berubah secepat ini? 

“Ini, Pak. Tas nya.”

“Buka saja.”

Aku membuka resleting tas, dan terdapat banyak tumpukan berkas di dalamnya, hingga akhirnya mataku tertuju kepada sebuah roti yang bertuliskan salah satu merk terkenal. Mataku berbinar, bahkan sudah kubayangkan bagaimana roti pisang itu terasa lembut di mulutku. 

“Pak, ini kenapa ada bekas gigitan?” Aku menatap roti yang kini kupegang, roti sisa dengan sedikit bekas gigitan. 

“Hanya berkurang sedikit, yang penting bisa mengganjal perutmu.”

“Tapi, Pak. Ini si – sisa,” ucapku ragu.

“Bukankah dulu aku selalu makan sisamu? Lalu, kenapa? Kamu tidak mau makan bekasku?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
sukaaaa.....udah makan aja viv
goodnovel comment avatar
Narea Nanda Geofari
sumpah terharu gw bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status