Share

Bab. 4 Roti Sisa

“Tapi, Pak. Ini si – sisa,” ucapku ragu.

“Bukankah dulu aku selalu makan sisamu? Lalu, kenapa? Kamu tidak mau makan bekasku?”

Dengan ragu akhirnya aku memakannya, setidaknya roti pisang coklat ini sedikit mengenyangkan ku. Ditambah lagi aroma wangi roti yang menguar di indraku, seakan merayuku untuk lekas memakannya. 

“Terima kasih, Pak!” ucapku.

Tak pernah kusangka, aku mengucapkan terima kasih hanya karena roti sisa. Dimana harga diriku dulu?

Reynan menatap ke arahku, lalu tersimpul senyum tipis di bibirnya. 

Ya, aku tahu kali ini dia balas dendam, tapi biarlah, prioritas utamaku adalah kesembuhan ibu dan sekolah Alisa. Bagaimanapun aku harus kuat. 

Reynan membuka mobil dan berlalu seperti biasa, menyisakan aku yang tergopoh belum siap ke luar. Kuambil tas kecil milikku, serta stopmap yang berisi data-data penting yang harus kukerjakan. 

“Selamat sore, Pak!”

“Selamat sore, Pak!” 

Salam terus terdengar ketika Reynan melewati para staf, dan lagi-lagi dengan angkuhnya ia tak membalas. Bahkan sekedar menolehpun tidak. 

“Viv, kerjaanku sudah selesai. Ayo kita pulang.”

Aku bertemu dengan Pak De saat dilantai bawah, sudah berkemas dengan menenteng tas di tangannya.

“Kerjaanku masih banyak, De. Masih banyak laporan yang belum selesai, dan besok harus sudah tersaji untuk Pak Reynan.”

Pak De terdiam.

“De, pulang saja dulu. Nanti Vivi bisa pulang lewat ojol.”

“Kamu gak papa pulang sendiri?”

“Gak papalah, de. Vivian kan sudah gede.”

“Lalu kamu punya uang untuk membayarnya?”

Aku terdiam, kembali mengingat berapa isi dompetku saat ini. 20ribu, dan itu rencananya pun mau kubelikan mie instan untuk malam.

“Ini, nanti untuk bayar ojolnya,” ucap Pak De sambil memberikan uang selembar 100ribuan.

“Tapi, De.”

“Gak usah sungkan. Anggap saja kamu pinjam, kalau punya uang lebih bisa dikembalikan. Pak De ada acara sama anak-anak, jadi maaf tidak bisa menunggumu.”

“Gak apa, De. Bantuan pak De selama ini lebih dari cukup.”

Akhirnya kuterima selembar uang itu, dan berjanji akan mengembalikannya saat gajian nanti. 

Kurasakan getaran dalam saku celanaku, bergegas aku meraihnya, dan mendapati nama bos arogan masuk dalam tampilan depanku.

“Bentar, De. Vivian angkat telfon dulu.”

Pak De mengangguk, lali aku menggeser layar yang kupegang. 

“Hal ...”

“Kemana saja, Viv? Aku butuh laporan data darimu. Jangan ninggalin meja kerja tanpa alasan jelas,” terdengar bentakan dari ponselku, hingga tak sadar aku menjauhkan benda tersebut dari telinga.

“Sudah, sana kembali ke mejamu,” ucap Pak De yang sepertinya memahami. 

Aku langsung berjalan cepat menuju lift, bergegas kembali ke meja kerjaku. 

Aku mengernyitkan dahi ketika mendapati Reynan duduk di atas mejaku dengan wajah masam, diketuknya pensil yang ia pegang ke meja yang diduduki, seirama dengan detikan jam yang berjalan. 

“Kamu terlambat 3menit 48detik. Harusnya dari lantai bawah dan naik kesini itu membutuhkan 5menit, jika naik tangga 10 menit, dan sekarang waktu berjalan hingga 13 menit 48detik.”

Aku mendelik kearahnya, hanya terlambat waktu sekian menit saja menjadi masalah. 

“Aku ini bos, Viv. Bisa tidak  lebih sopan sedikit.”

“Ma-maaf, Pak!” ucapku sambil menunduk hormat.

“Bagus. Jangan ulangi lagi.”

“Tapi, Pak. Boleh tidak saya ijin untuk ...!”

“Tidak boleh. Selesaikan tugasmu baru boleh ijin. Aku menunggu laporannya 10 menit dari sekarang. Kutunggu di ruanganku.”

Lelaki arogan itu berlalu begitu saja.

Kusentuh perutku yang semakin perih. “Sabar ya, Cing. Nanti kalau laporan sudah selesai kuisi lagi perut kalian. Jangan nakal di sana,” ucapku sambil mengelus perut. Berharap parasit di perutku itu mau kuajak berkompromi. 

Sesaat kemudian, laporan telah selesai. Tak terlalu lama memang, karena aplikasi yang dipakai perusahaan cukup membantu, hanya perlu mengecek saja agar data pasiva dan aktiva imbang. 

Kubuka sedikit gorden di sisiku, mentari telah berlalu, hingga bintang kembali menebar cahayanya. 

Sruut...

Terdengar printer yang usai bekerja, sebuah kertas berisi data itu keluar darinya. Bergegas kuambil kertas tersebut dan kusatukn dengan beberapa data yang lain, memasukkan ke dalam map dan berlalu menuju ke ruang Pak bos Aroganku. 

“Telat 12 detik,” ucap Reynan saat kakiku menginjak ruangannya.

Ia berdiri di depan meja dengan mata yang terpaku dengan jam tangan yang melingkar di lengan kekarnya. Apa ia tidak memiliki tugas selain menatap detikan jam yang berjalan.

“Ma-maaf, Pak,” ucapku sambil menunduk.

Sebenarnya jengkel juga berada di posisi ini, tapi bagaimanapun aku harus kuat, ada ibu dan Alisa dirumah dengan penuh harapan.

Reynan tampak mengangguk ketika melihat lembaran laporan yang kuterima, senyum indah mengembang di bibirnya. Keuangan kantor aman, dan pendapatan melejit, itulah sekilas data yang kulihat tadi. 

“Sepatumu kenapa, Viv?” 

Aku terperanjat ketika melihat sepatu yang kukenakan, jempol kaki keluar dari batasnya. Kututup wajahku malu, berada di kasta terendah memang menyebalkan. 

“Ma-maaf, Pak!”

“Kamu sengaja memakai sepatu rusak untuk memalukan perusahaan?”

“Tidak, Pak. Hanya ini sepatu yang kupunya,” jawabku ragu. 

Sungguh ada rasa sakit di hati, saat jujur tentang kekuranganku di depan orang lain. 

Reynan menatap heran, Lalu diambilnya beberapa lembar kertas uang dari dompetnya, dihamburkan begitu saja.

“Ambil itu, ini masih jam 8 malam, mall masih banyak yang buka.”

Mendapati penghinaan seperti ini terasa menyakitkan, harga diriku pergi bersamaan perginya bapak yang meninggalkanku. Bagaimanapun aku harus kuat.

“Baik, Pak!” Aku menunduk hormat, lalu mengambil uang yang berceceran di lantai. 

“Itu tidak gratis. Akan kupotong dari gajimu.”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
ya Allah.. berikan Vivian kesabaran yg sebanyak2nya.. Aamiin...
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
harus punya banyak stok sabar nih
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
lama lama bisa jantungan nih kalo punya bos kyak Reynan...........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status