Share

Bab. 2 Hari Pertama

last update Last Updated: 2022-07-23 01:06:37

“Bagaimana hasil tes wawancaranya, Kak? Apa diterima?” Alisa yang duduk di sebelah ibu menatapku dengan mata berbinar.

“Iya. Bagaimana, Nduk?” tanya ibu yang ikut bersuara dengan nada pelan.

“Menurut kalian?” Aku mengangkat alis ke atas sambil tersenyum.

“Diterima, Kak?” jawab Alisa sambil memelukku.

“Alhamdulillah.” Ibu menangkupkan tangan di wajahnya. 

“Bosnya gimana, Kak? Beneran galak? Kakak dimaki?” pertanyaan Alisa sontak membuat kening ibu berkerut, pasalnya wanita yang telah melahirkan kami itu tak mendengar percakapan antara aku dan Pak De. Setahu beliau, aku hanya sedang ikut wawancara di perusahaan besar.

“Biasa aja. Lagian siapa yang bisa menolak pesona Vivian Diandra.”

Aku tersenyum simpul, mencoba menutupi kenyataan. Bagaimanapun aku kedepannya, hinaan seberat apapun, aku pasti sanggup. Ada ibu dan Alisa yang begitu membutuhkan.

Tersungging senyum di bibir ibu, hingga akhirnya kita berpelukan bersama, sepeti kartun teletubies. Sayang, semua tak lagi lengkap setelah bapak meninggal. Serangan jantung merenggut nyawanya sesaat setelah mendengar berita tentangku saat itu.

“Kak Viv, kamu nangis?”

Alisa tampak menyadari kesedihan ini, meskipun sekuat tenaga aku telah membendung pertahanan agar air mata tidak luruh. 

“Enggak. Kakak cuman bahagia, nantinya kita bisa makan enak lagi, seperti saat masih ada bapak.”

Ibu tersenyum, begitupun dengan Alisa, kami kembali berpelukan dengan air mata haru. 

**

“Sempurna, Vi. Semangat.” Aku menatap tubuhku dalam cermin usang yang tertempel di almari kamar, wanita dengan rambut rapi mengenakan kemeja putih dan celana coklat itu tengah tersenyum, ada binar dimatanya, untuk menutupi ekspresi kesedihan.

 Cukup aku yang menderita, tidak untuk ibu dan adikku. Itulah prinsip yang kupegang teguh saat ini. Bagaimanapun juga aku ingin memberikan mereka kebahagiaan untuk mereka. Tak peduli seberapa terjal jalan yang kutempuh, selama jalan itu bisa dilalui, akan aku terjang.

“Kak Viv, kamu cantik sekali!” ucap Alisa sesaat setelah menyibak korden yang terpasang di celah pintu. 

Untuk sekedar memperbaiki pintu yang rusak pun tak mampu, hingga gorden berwarna hijau dengan motif bunga menjadi jalan ninja, menjadi sekat antara kamarku dengan ruang lain. 

“Terima kasih, Sa.”

“Kak, yang kemarin itu ...”

Alis terdiam, dan kini menunduk.

“Iya. Kemarin kenapa?”

“Kakak bohong kan? Kakak pasti dihina oleh bos kakak?”

“Kata siapa?”

“Aku melihat sendiri saat kakak diantar Abang ojek pulang, menyeka sudut mata kakak.”

“Itu air mata haru kali, Sa.” Aku masih mencoba menutupi kenyataan. 

“Aku kenal kak Viv, tidak sebentar. Mungkin ibu masih bisa kakak bohongi, tapi tidak dengan Lisa.”

Gadis kecil itu menghambur dipelukanku. Direngkuhnya tubuhku begitu erat. Aku dongakkan wajahnya, ada air di sudut mata indah itu.

“Kenapa kakak gak biarin Alis putus sekolah saja, Alis bisa kerja dan bantu pengobatan ibu.”

“Kamu masih kecil, Sa. Kamu tamatin dulu sekolah menengah atasmu, kan sayang tinggal setahun lagi.”

“Kak Viv terlalu banyak berkorban untuk Lisa, makasih banyak ya!” Alisa kembali memelukku erat hingga akhirnya suara motor pak De terdengar. Bergegas aku pamit dengan adik kecilku, serta kepada, kucium tangan ibu yang menua dengan penuh rasa khidmat, dan kudapati banyak doa yang keluar dari bibirnya. 

Aku naik motor diboncengkan Pak De, menyusuri jalan kota yang padat kendaraan melintas. Kantor yang berada di pusat keramaian, tak mungkin bisa menghindari kemacetan. 

“Semangat ya, Viv!” Pak De yang berumur 20 tahun diatasku itu memberikan semangat, ia masuk ke dalam ruangannya yang berada di lantai bawah, sedangkan aku masih harus naik ke lantai 3 untuk mendapati meja tempatku kerja. Berada tepat di ruangan Reynan. Maksudku Pak Renan, dan aku harus membiasakan memanggil itu. 

Kutekan tombol lift agar membuka, jarum jam yang melingkari lenganku seakan tak memberiku waktu lebih lama untuk menunggu. 

Grekk ...

Pintu terbuka, dan kuayunkan langkah untuk masuk. Aku sedikit tersentak ketika terdengar suara langkah dikuti bahuku yang tersenggol, hingga aku sedikit kehilangan keseimbangan hingga hampir terjatuh. Lelaki itu tampak tak peduli, dan masuk lift begitu saja, dan aku hanya mengekori dan ikut masuk ke dalamnya.

Tak ada percakapan, maupun sapaan. Sama seperti orang asinh yang saling tak mengenal satu sama lain, kedekatan selama 2tahun sebagai sepasang kekasih tak berarti sama sekali. 

Pintu terbuka, dan kudapati beberapa staf yang hendak masuk ke lift menundukkan tubuhnya hormat ketika melihat Reynan hendak lewat. Sedangkan lelaki di sebelahku, tampak tak peduli sama sekali, jangankan menjawab atau senyum, menengok ke arah mereka pun enggak. Ia terus berjalan lurus seakan tak pernah ada orang di sekitarnya. 

Aku terus mengekori, karena ruangan kita melewati koridor yang sama. Di sepanjang perjalanan kulihat staf saling tunduk hormat ketika Reynan lewat dan lagi-lagi lelaki di depanku, seperti tak melihat itu semua. 

“Kamu terlambat 15 menit. Harusnya gajimu dipotong 10%.”

Aku ternganga, kulihat jam yang melingkari lenganku. Aku hadir tepat waktu, hanya berlebih sekitar 30 detik, dan Reynan menganggapku terlambat 15menit. Lalu apa yang aku dengar tadi? Gajiku dipotong? 10%?

Mulutku menganga, dengan pikiran yang terus terusik.

“Tapi, Pak. Ini masih jam ....”

“Kamu sekertaris ku, merangkap jadi asistenku. Jadi kamu harus berangkat 15menit lebih awal dariku. Kamu paham?”

“Tapi, Pak!”

“Paham atau saya pecat sekarang juga?”

“Paham, Pak!”

“Bagus. Siapkan jadwal ku hari ini, ingat ada peresmian kantor cabang baru yang harus aku kunjungi.”

“Baik, Pak.”

Lelaki super arogan itu melengkah hendak masuk ke ruangannya. Hingga sepersekian detik menoleh ke belakang. “Kamu juga harus menunduk hormat ketika aku lewat, tak ada perkecualian.”

“Baik, Pak.”

Lelaki itu kembali menoleh, hingga punggung kekar terbalut jas itu tak lagi terlihat. 

Aku duduk di kursi tempatku kerja, menarik nafas panjang yang tadi sempat tertahan

 Tak pernah ku bayangkan menjadi assten dari Reyhan, dan terus dijadikan kacung olehnya. 

Memori jaman sekolah kembali terlintas begitu saja.

“Viv, ini bakso pangsit yang kamu minta, tanpa daun bawang, tanpa sambal dan saos, kuahnya diberi sedikit lebih banyak. Persis seperti pintamu.” Reynan berjalan mendekat, membawa sebuah mangkok berisi bakso yang kupesan, seulas senyum mengembang indah di bibirnya.

Aku melirik ke arah bakso yang diletakkan di atas meja di depanku. Senyum kecut dan membuang pandangan. “Aku dah gak pengen, terlalu lama. Gak lapar.” Kumanyunkan bibirku khas wanita ngambek.

“Viv, kan memang antri belinya. Lihat saja kantin penuh, Sayang.”

Aku menatap jejeran para siswa itu mengantri hanya untuk mendapatkan bakso pangsit Mang Herman, bakso buatannya memang terkenal lebih enak dari para penjual kantin lainnya. 

“Gak peduli. Aku pengennya tadi, sekarang sudah gak pengen.” 

Aku bangkit, dan meninggalkan Reynan yang terus menatapku. 

“Kerja itu fokus. Jangan melamun.”

Aku terkejut ketika terdengar gebrakan di atas meja di depanku. Seorang lelaki tengah berdiri menatapku dengan murka, wajah dan telinga memerah penuh amarah. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
kyaknya Reynan mw balas dendan deh.. bersikap semaunya kyak Vi dulu.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bos Arogan itu Mantan Pacarku   Bab.127 Tamat

    “Iya.” Lelaki itu mengangguk.“Tapi … Bagaimana bisa? Me-re-ka?” tanyaku yang masih tak percaya.“Tutup mulutnya, Viv. Kalau ada lalat masuk,” ucapnya yang membuatku menahan malu. “Bisa tidak, ngomongnya dihalusin dikit!”“Sayang, jangan bengong. Sini duduk sini, kita makan!”“Rey, kita bukan pasangan kekasih. Jangan panggil aku sayang.”“Kalau begitu, maukan kamu jadi kekasihku, Viv?” lelaki itu mendekat dan kini berjongkok di depanku. Sebuah kotak bludru berbuntuk hati itu dibuka hingga menampakkan sebuah cincin dengan kilauan indah di tengannya. Ingin rasanya kujawab iya, tapi saat ini gengsiku masih melebihi segalanya.“Viv, jawablah! Apa kamu mau jadi istriku? Ibu dari anak-anakku?”Aku masih terdiam. Antar hati dan ego kita tengah saling menyerang.“Iya, Viv. Kapan lagi kamu nunggu momen ini?” ucap hatiku.“Janganlah, Viv. Gengsian dikit napa. Meskipun janda, kamu punya harga diri bukan? Bisa jadi kan Reynan hanya iseng kepadamu,” ucap logikaku.“Rey, itu, makanannya sudah data

  • Bos Arogan itu Mantan Pacarku   bab.126 Hubungan Agasthi

    “Ayo masuk, Viv. Ada apa, ha?” tanya reynan sambil memandang aneh ke arahku. Ya, dari tadi aku terus berusaha melepas pegangan tangannya, juga memutar bola mata menatap sekitar.Suasana resto yang di desain khusus dan indah ini, seakan menjadi saksi antara keromantisan reynan dan agasthi. Sedangkan aku disini? Hanya sebatas obat nyamuk.‘Bodoh kamu, viv, kenapa kamu mau-maunya diajak reynan kesini. Sekarang kamu mati kutukan?’ batinku merutuki diri sendiri.“Vivian, ayo kita masuk, Sayang. Apa perlu aku membopong tubuhmu yang kurus itu,” ucapnya lagi dengan gemas. Apalagi ketika ia memberikan embel-embel sayang di belakang namaku, membuatku jengah. Bisa-bisanya ia mau ketemuan dengan perempuan, tapi tetap sok sayang-sayangan kepadaku.Aku memiringkan bibirku, menampakkan ekspresi tak suka. Dan justru itu membuat reynan terkekeh dan menghadirkan senyum di wajah tampannya.“Gendong atau jalan sendiri?” tanyanya lagi.“jalan,” ucapku dengan nada datar.Ya, aku masuk kedalam resto yang te

  • Bos Arogan itu Mantan Pacarku   bab.125 melakukan hal tak jelas

    Sore ini Lesta sudah boleh pulang, reynan pun sudah pulang ke rumahnya. Aku berdiri di balkon kamar terus menatap ke arah halaman, berharap lelaki itu kembali datang untuk menghampiriku.‘Viv, kenapa kamu kegatelan sepeti ini?’ batinku.‘Bukan kegatelan, tapi hanya meluruskan omongan reynan,’ balas batinku kembali.Aku masuk ke kamar, merebahkan diri, lalu kembali bangkit dan ke balkon, melakukan aktifitas yang tak jelas. Hari telah berganti malam, cahaya sang mentari mulai menghilang, diganti rembulan dan bintang yang berkelip di langit dengan indahnya. Suasana hatiku semakin memburuk, tatkala mengingat malam ini reynan ada acara bertemu dengan Agasthi.Kuraih layar pipih di sakuku, tak ada pesan selain dari operator yang mengabarkan kuota mulai menipis.‘Rey, apakah karena kamu akan bertemu dengan agasthi, hingga melupakan aku seperti ini? Bukankah kamu berjanji ketika sampai ke rumah, akan memberiku kabar?’Aku kembali masuk ke dalam kamar, duduk di bibir ranjang. Entah, untuk keb

  • Bos Arogan itu Mantan Pacarku   bab.124 Cemburu

    “I-ini ....”Lelaki itu tampak sungkan, ketika aku membaca jejeran huruf di dalamnya. “Agasthi?” tanyaku kaget. Entah kenapa aku merasa cemburu, ketika ada nama wanita lain di dalam ponsel reynan. “I-iya, Viv.”Lelaki itu terdiam, memilih menaruh ponsel kesayangannya ke sofa. “Diangkat saja, Rey, takutnya penting.”“Bukan apa-apa, Viv, dia hanya ....”Belum juga reynan melanjutkan perkataannya, aku sudah menggeser tombol hijau itu ke atas, hingga panggilan agasthi dan rey tersambung. Ini memang bukan perlakuan yang bijak, bahkan tidk beratitude, tapi tak tahu kenapa, rasa penasaranku semakin memuncak. Apalagi aku tahu kalau agasthi adalah wanita mantan calon istri reynan, dan bahkan ia sangat mencintai lelaki yang kini duduk di dekatku. Tidak lupa kutekan tombol speaker, supaya pembicaraan ini terdengar bersama, hingga tak ada dusta antara reynan kepadaku. “Rey, jadi kan kita ketemuannya?” tanya Agasthi dengan suara khas manjanya. Ketemuan? Apa maksudnya? Lelaki itu berjanji ak

  • Bos Arogan itu Mantan Pacarku   bab.123 obatnya bukan itu

    “Rey, aku bertanya serius. Kamu datang kapan? Kenapa gak bangunin aku?”Lagi-lagi ia hanya menjawabnya dengan senyuman, membuatku kesal. Kucubit lengannya, hingga ia mengaduh kesakitan. “Viv, i-itu ... Bisa pelan dikit?”Aku tak menggubrisnya, masih kesal dengan apa yang ia perbuat, juga dengan mimpi yang baru saja kudapat. Meskipun sebenarnya, aku bersyukur karena semua hanya mimpi. Reynan datang kesini, masih dengan ia yang semula, tanpa predikat seorang Nara pidana. “Viv, beneran sakit,” ucapnya sambil meringis. Aku menatap tangan yang baru saja Kucubit, darah segar mengalir. Aku baru menyadari jika Medan keisenganku adalah bekas luka Rey. “Rey, maaf,” ucapku penuh rasa bersalah. “Tak apa.”“Tapi sampai berdarah ni tanganmu.” Aku masih menatap darah segar yang kini mengalir melewati jarinya. “Ya sudah, bantu obati, Viv.”“Aku Carikan perban dan obat merah dulu.”Baru saja aku bangkit, tangan ini diraih oleh Reynan. “Obatnya bukan itu, tapi ...”Lelaki itu berdiri mendekatk

  • Bos Arogan itu Mantan Pacarku   bab. 122 Menjadi Tahanan

    Malam ini kuhabiskan di kamar rumah sakit, menemani Lesta yang keadaannya mulai membaik. Ia terus bercerita dengan mimpi dan cita-citanya, hingga tetesan air mata membasahi pipi gadis cantik itu tatkala menceritakan tentang kakaknya. “Kak Viv disini, Les. Aku akan selalu ada untukmu,” ucapku sambil memeluk lembut tubuh ringkihnya. Aku bahkan tak menyadari baru beberapa hari saja tubuh kecil Lesta semakin mengurus.Wanita cantik itu tersenyum, lalu membalas pelukanku. Hingga jam minum obat tiba, dan ia mulai terlelap ke dalam mimpinya. Kulihat jam dinding di ruang kamar ini, waktu telah menunjukkan pukul 22.00 wib, Alisa pun telah tidur di atas sofa tanpa selimut yang menutup tubuhnya. Aku meraih tas kecilku yang berada di atas meja, mengeluarkan benda pintar yang dibelikan haikal untukku. Kosong. Tak ada notif pesan maupun panggilan sama sekali. “Ya Tuhan, jaga Reynan. Semoga ia baik-baik saja,” ucapku yang kini kembali duduk di sofa sebelah Lisa tertidur. Akupun ikut menyanda

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status