Share

Bab. 2 Hari Pertama

“Bagaimana hasil tes wawancaranya, Kak? Apa diterima?” Alisa yang duduk di sebelah ibu menatapku dengan mata berbinar.

“Iya. Bagaimana, Nduk?” tanya ibu yang ikut bersuara dengan nada pelan.

“Menurut kalian?” Aku mengangkat alis ke atas sambil tersenyum.

“Diterima, Kak?” jawab Alisa sambil memelukku.

“Alhamdulillah.” Ibu menangkupkan tangan di wajahnya. 

“Bosnya gimana, Kak? Beneran galak? Kakak dimaki?” pertanyaan Alisa sontak membuat kening ibu berkerut, pasalnya wanita yang telah melahirkan kami itu tak mendengar percakapan antara aku dan Pak De. Setahu beliau, aku hanya sedang ikut wawancara di perusahaan besar.

“Biasa aja. Lagian siapa yang bisa menolak pesona Vivian Diandra.”

Aku tersenyum simpul, mencoba menutupi kenyataan. Bagaimanapun aku kedepannya, hinaan seberat apapun, aku pasti sanggup. Ada ibu dan Alisa yang begitu membutuhkan.

Tersungging senyum di bibir ibu, hingga akhirnya kita berpelukan bersama, sepeti kartun teletubies. Sayang, semua tak lagi lengkap setelah bapak meninggal. Serangan jantung merenggut nyawanya sesaat setelah mendengar berita tentangku saat itu.

“Kak Viv, kamu nangis?”

Alisa tampak menyadari kesedihan ini, meskipun sekuat tenaga aku telah membendung pertahanan agar air mata tidak luruh. 

“Enggak. Kakak cuman bahagia, nantinya kita bisa makan enak lagi, seperti saat masih ada bapak.”

Ibu tersenyum, begitupun dengan Alisa, kami kembali berpelukan dengan air mata haru. 

**

“Sempurna, Vi. Semangat.” Aku menatap tubuhku dalam cermin usang yang tertempel di almari kamar, wanita dengan rambut rapi mengenakan kemeja putih dan celana coklat itu tengah tersenyum, ada binar dimatanya, untuk menutupi ekspresi kesedihan.

 Cukup aku yang menderita, tidak untuk ibu dan adikku. Itulah prinsip yang kupegang teguh saat ini. Bagaimanapun juga aku ingin memberikan mereka kebahagiaan untuk mereka. Tak peduli seberapa terjal jalan yang kutempuh, selama jalan itu bisa dilalui, akan aku terjang.

“Kak Viv, kamu cantik sekali!” ucap Alisa sesaat setelah menyibak korden yang terpasang di celah pintu. 

Untuk sekedar memperbaiki pintu yang rusak pun tak mampu, hingga gorden berwarna hijau dengan motif bunga menjadi jalan ninja, menjadi sekat antara kamarku dengan ruang lain. 

“Terima kasih, Sa.”

“Kak, yang kemarin itu ...”

Alis terdiam, dan kini menunduk.

“Iya. Kemarin kenapa?”

“Kakak bohong kan? Kakak pasti dihina oleh bos kakak?”

“Kata siapa?”

“Aku melihat sendiri saat kakak diantar Abang ojek pulang, menyeka sudut mata kakak.”

“Itu air mata haru kali, Sa.” Aku masih mencoba menutupi kenyataan. 

“Aku kenal kak Viv, tidak sebentar. Mungkin ibu masih bisa kakak bohongi, tapi tidak dengan Lisa.”

Gadis kecil itu menghambur dipelukanku. Direngkuhnya tubuhku begitu erat. Aku dongakkan wajahnya, ada air di sudut mata indah itu.

“Kenapa kakak gak biarin Alis putus sekolah saja, Alis bisa kerja dan bantu pengobatan ibu.”

“Kamu masih kecil, Sa. Kamu tamatin dulu sekolah menengah atasmu, kan sayang tinggal setahun lagi.”

“Kak Viv terlalu banyak berkorban untuk Lisa, makasih banyak ya!” Alisa kembali memelukku erat hingga akhirnya suara motor pak De terdengar. Bergegas aku pamit dengan adik kecilku, serta kepada, kucium tangan ibu yang menua dengan penuh rasa khidmat, dan kudapati banyak doa yang keluar dari bibirnya. 

Aku naik motor diboncengkan Pak De, menyusuri jalan kota yang padat kendaraan melintas. Kantor yang berada di pusat keramaian, tak mungkin bisa menghindari kemacetan. 

“Semangat ya, Viv!” Pak De yang berumur 20 tahun diatasku itu memberikan semangat, ia masuk ke dalam ruangannya yang berada di lantai bawah, sedangkan aku masih harus naik ke lantai 3 untuk mendapati meja tempatku kerja. Berada tepat di ruangan Reynan. Maksudku Pak Renan, dan aku harus membiasakan memanggil itu. 

Kutekan tombol lift agar membuka, jarum jam yang melingkari lenganku seakan tak memberiku waktu lebih lama untuk menunggu. 

Grekk ...

Pintu terbuka, dan kuayunkan langkah untuk masuk. Aku sedikit tersentak ketika terdengar suara langkah dikuti bahuku yang tersenggol, hingga aku sedikit kehilangan keseimbangan hingga hampir terjatuh. Lelaki itu tampak tak peduli, dan masuk lift begitu saja, dan aku hanya mengekori dan ikut masuk ke dalamnya.

Tak ada percakapan, maupun sapaan. Sama seperti orang asinh yang saling tak mengenal satu sama lain, kedekatan selama 2tahun sebagai sepasang kekasih tak berarti sama sekali. 

Pintu terbuka, dan kudapati beberapa staf yang hendak masuk ke lift menundukkan tubuhnya hormat ketika melihat Reynan hendak lewat. Sedangkan lelaki di sebelahku, tampak tak peduli sama sekali, jangankan menjawab atau senyum, menengok ke arah mereka pun enggak. Ia terus berjalan lurus seakan tak pernah ada orang di sekitarnya. 

Aku terus mengekori, karena ruangan kita melewati koridor yang sama. Di sepanjang perjalanan kulihat staf saling tunduk hormat ketika Reynan lewat dan lagi-lagi lelaki di depanku, seperti tak melihat itu semua. 

“Kamu terlambat 15 menit. Harusnya gajimu dipotong 10%.”

Aku ternganga, kulihat jam yang melingkari lenganku. Aku hadir tepat waktu, hanya berlebih sekitar 30 detik, dan Reynan menganggapku terlambat 15menit. Lalu apa yang aku dengar tadi? Gajiku dipotong? 10%?

Mulutku menganga, dengan pikiran yang terus terusik.

“Tapi, Pak. Ini masih jam ....”

“Kamu sekertaris ku, merangkap jadi asistenku. Jadi kamu harus berangkat 15menit lebih awal dariku. Kamu paham?”

“Tapi, Pak!”

“Paham atau saya pecat sekarang juga?”

“Paham, Pak!”

“Bagus. Siapkan jadwal ku hari ini, ingat ada peresmian kantor cabang baru yang harus aku kunjungi.”

“Baik, Pak.”

Lelaki super arogan itu melengkah hendak masuk ke ruangannya. Hingga sepersekian detik menoleh ke belakang. “Kamu juga harus menunduk hormat ketika aku lewat, tak ada perkecualian.”

“Baik, Pak.”

Lelaki itu kembali menoleh, hingga punggung kekar terbalut jas itu tak lagi terlihat. 

Aku duduk di kursi tempatku kerja, menarik nafas panjang yang tadi sempat tertahan

 Tak pernah ku bayangkan menjadi assten dari Reyhan, dan terus dijadikan kacung olehnya. 

Memori jaman sekolah kembali terlintas begitu saja.

“Viv, ini bakso pangsit yang kamu minta, tanpa daun bawang, tanpa sambal dan saos, kuahnya diberi sedikit lebih banyak. Persis seperti pintamu.” Reynan berjalan mendekat, membawa sebuah mangkok berisi bakso yang kupesan, seulas senyum mengembang indah di bibirnya.

Aku melirik ke arah bakso yang diletakkan di atas meja di depanku. Senyum kecut dan membuang pandangan. “Aku dah gak pengen, terlalu lama. Gak lapar.” Kumanyunkan bibirku khas wanita ngambek.

“Viv, kan memang antri belinya. Lihat saja kantin penuh, Sayang.”

Aku menatap jejeran para siswa itu mengantri hanya untuk mendapatkan bakso pangsit Mang Herman, bakso buatannya memang terkenal lebih enak dari para penjual kantin lainnya. 

“Gak peduli. Aku pengennya tadi, sekarang sudah gak pengen.” 

Aku bangkit, dan meninggalkan Reynan yang terus menatapku. 

“Kerja itu fokus. Jangan melamun.”

Aku terkejut ketika terdengar gebrakan di atas meja di depanku. Seorang lelaki tengah berdiri menatapku dengan murka, wajah dan telinga memerah penuh amarah. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
kyaknya Reynan mw balas dendan deh.. bersikap semaunya kyak Vi dulu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status