Share

Bab. 5 Baumu?

Kuhitung lembaran uang ratusan itu, tepatnya ada 15 lembar, sangat lebih dari cukup jika aku gunakan membeli sepatu. 

Bergegas kuisi perut terlebih dulu, aku tak ingin sakit hanya karena telat makan, bagaimana nasib ibu dan Alisa? 

**

“Kak, larut sekali pulangnya?”

Alisa yang tengah duduk di kursi tamu itu bergegas bangkit setelah melihatku datang. 

Diterimanya martabak telur dan roti bakar yang sengaja kubelikan. Rasanya sudah lama sekali aku tidak jajan untuk mereka. 

“Ibu mana?”

“Sudah tidur, Kak.”

“Itu makan dulu, mumpung masih anget.”

Aku duduk di kursi sambil meletakkan tas dan kantong kresek yang berisi sepatu baru, menyelonjorkan kaki dan memijitnya perlahan.

“Mbak Vi capek?”

Alisa memasukkan potongan martabak itu ke mulutnya, hingga terlihat pipinya membulat, lalu menghampiriku. 

Ia duduk dibawah dan memegang kakiku, dipijitnya kaki itu dengan senyum yang mengembang.

“Gak usah, Sa. Kamu juga pasti capek ngurus ibu dan rumah. Kamu habisin aja dulu jajannya.”

Aku akui Alisa juga tak kalah capek dari aku. Biaya sekolahnya dibiayai karena prestasi, hingga dia wajib mempertahankan nilainya, hidupnya hanya dihabiskan untuk belajar dan mengurus ibu, tidak lupa urusan rumah dia yang memegang semua, karena aku lebih bnyak menghabiskan waktu di luaran mencari uang. 

“Kak Viv, apa sudah gajian? Masa iya kerja baru sehari sudah gajian?”

Aku tersenyum mendapati adikku yang kritis itu.

“Bukannya bos kakak juga arogan dan galak, gak mungkin juga kan dia seroyal ini? Atau jangan-jangan?”

Gadis kecil itu menutup mulutnya, yang justru membuatku tertawa. 

“Jangan pikiran enggak-enggak. Semiskin apapun kita, kakak gak mungkin jual diri.”

Gadis itu tersenyum. 

**

[ Viv, maaf hari ini kita gak bisa berangkat bareng. Pak De  pindah ke kantor cabang. ]

Mataku membulat sempurna ketika membaca pesan dari Pak De ku. Baru saja kemarin aku berpikir bisa mengirit transport, saat ini harus menambah anggaran bulanan. Kulihat jam di sudut ponselku, waktu sudah pukul 6 pagi. 

Bergegas kupercepat dandanku, tak banyak yang kupakai memang, hanya bedak dan lipstik, tanpa foundation, maskara, dan alat perang lainnya. 

“Kak, sudah mau berangkat? Pak De kan belum datang?” Alisa yang sedang menyiapkan makan untuk ibu menatapku heran. 

“Pak de pindah ke cabang, jadi Kakak harus berangkat awal dan nunggu angkutan.”

Bergegas kuraih tangan ibu yang sedang duduk dan menunggu makanan yang disiapkan Alisa, kukecup punggung tangan yang mulai mengerut itu, dan banyak doa keluar dari wanita yang telah melahirkanku. 

“Kak Viv, Alisa sudah siapkan bekal untuk kakak.”

Gadis kecil itu memberikan kotak makan kepadaku, lalu kubalas dengan senyuman. Diraihnya punggung tanganku dan diciumnya dengan khidmat. 

“Terima kasih.”

Kuusap lembut rambutnya lalu sedikit berlari menuju tepi jalan raya. 

Rumah yang berada di tengah kampung, membuatku harus berjalan sekitar 100m an untuk menjumpai jalan raya, disana lah aku baru menunggu kendaraan yang lewat. 

Dengan nafas yang terengah, aku menjulurkan tangan ketika sebuah angkutan datang. Menaiki kendaraan beroda empat itu, bersamaan para pengguna jasa angkutan yang lainnya. 

Betok, betok, betok

Suara ayam betina itu saling bersaut, menambah sesak di dalamnya. Salah satu dari pengguna jasa ini adalah penjual ayam, aku bahkan harus menutup sedikit hidungku agar bau khas binatang tersebut tak masuk indraku. Dari kecil aku memang kurang suka dengan binatang. 

Ponselku berdering, dan aku bergegas meraih benda tersebut di sakuku. Bos arogan tertulis di layarnya. Kuusap layar tersebut, hingga aku masuk ke dalam panggilanya.

“Selamat Pagi, pak.”

“Hari ini Santoso kupindah di cabang. Jangan telat, Viv. Ingatkan kalau telat gaji kupotong, ditambah lagi hutang yang baru saja kuberikan kemarin.”

Suara arogan dari lelaki itu, beserta tertawa puasnya membuat otakku mendidih. Sepertinya ia memang sengaja meminta Pak De pindah, tidak profesional sekali. 

“Saya pasti ingat dengan hutang saya, Pak Bos yang terhormat. Saya pasti bayar dan tidak mungkin melalaikannya.”

Aku matikan telfon begitu saja, lalu mengatur nafas yang tak karuan. 

“Pak berhenti.”

Roda mobil mulai berhenti perlahan, dan kuberikan ongkos sebelum aku turun. 

Kulihat jam yang melingkari lenganku, pukul 7 kurang 5 menit. 

Bergegas aku berlari dan ... Lift itu penuh, hingga akhirnya aku memilih tangg menjadi alternatif. 

“Lari pagi, Viv?” 

Lelaki bertubuh kekar dengan jas hitam itu tengah berdiri di depan meja menatapku. 

“Iya, Pak. Lumayan kan, gak perlu ikut gym.”

Lelaki itu tersenyum miring, menatap puas dengan wajah kelelahanku. Aku yakin bedak murahan yang kupakai saat inipun telah luntur bersamaan keringat yang terus mengalir.

Aku berjalan menuju mejaku, melewati tubuh Aroganku itu begitu saja. 

“Viv!” Matanya membulat menatapku

“Iya,” jawabku jengah.

Lelaki itu menutup hidungnya, sambil mengerutkan dahi.

“Viv, baumu!”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
bau ayam... wkwkwkwkwwkwk
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
emang bau apa pak..?.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status