Share

Bab. 6 Kotoran Ayam

Lelaki itu menutup hidungnya, sambil mengerutkan dahi.

“Viv, baumu!”

“Bau apa?”

Aku menciumi diriku, meskipun aku memang tidak memakai parfum semahal dulu, tapi aku yakin bau badanku tidaklah begitu menyengat. Meskipun dalam keadaan berkeringat. 

Aku mendapati bau yang berbeda, dan itu ada di ...

Aku menatap tajam ke sepatu yang ku kenakan, membalikkan sedikit kakiku, agar terlihat alasnya. Kotoran ayam menempel di sana. Apakah tadi aku menginjak kotoran itu saat di mobil angkutan? 

Aku meringis melihat bos arogan itu, mengembangkan senyum yang kupaksakan. 

“Viv!”

Ia mendelik ke arahku dengan tatapan tak suka. Lalu diambilnya gagang telepon di atas meja kerjaku, tak jauh darinya. Menekan nomor hingga sebuah panggilan tersambung. 

“Ke ruanganku sekarang, tidak lebih dari 5 menit. Atau kau pecat saat ini juga.”

Sikap arogan itu tak pernah jauh dari dirinya. Selalu terlihat semena-mena kepada siapapun. Sedangkan Reynan yang ku kenal dulu amatlah berbeda. Ia orang yang tak tegaan, jangankan memarahi, membentak, ngomong kasar. Bilang “ah” saja rasanya tidak. Dia lelaki yang penurut, dan terbiasa mengalah. 

Kami masih dalam keadaan berdiri, menatap satu sama lain. Tak ada suara yang menyaut, melainkan sibuk dengn pikiran masing-masing. Hingga sebuah ketukan pintu membuat kami menoleh ke sumber suara. 

“Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”

Seorang lelaki bertubuh kurus tengah memegang alat pel dan ember, ia berdiri di ambang pintu, menatap takut kepada lelaki arogan di depanku.

“Apa kamu buta, ha? Lihat saja di depanku banyak noda kotoran ayam. Cepat bersihkan!!”

“Baik, Pak.”

Lelaki itu menunduk dan bergegas mengerjakan pekerjaannya, hendak menghapus bekas tapakan kaki yang berasal dari sepatuku.

“Tunggu!” 

Lelaki bertubuh kurus itu menghadap tuannya dengan wajah heran. 

“Kamu bersihkan bagian luar sana.”

“Tapi, Pak!”

“Pergilah! Apa kamu mau aku pecat sekarang juga?”

“Ba-baik, Pak!” Lelaki itu mengiyakan sambil menunduk hormat 

“Alat pel mu tinggal di sini. Kamu bersihkan dengan alat pel yang lain.”

Lelaki itu terlihat bingung. Tapi tetap menurut apa yang diperintahkan bosnya, hingga akhirnya ia memilih pergi dengan tanda tanya besar.

“Tahu maksudku kan, Viv?”

“A-apa, Pak?” tanyaku kaget. Mataku masih terfokus melihat punggung lelaki tadi yang keluar. 

“Apa seleramu sudah berubah? Mulai melirik lelaki bertubuh kecil tanpa wibawa itu?” 

Reynan terkekeh, dengan tawa yang sepeti dipaksakan. 

“Lalu suamimu? Tidakkah kau ingat suamimu? Setelah kau berzina mata dengan lelaki lain?”

Lagi, lelaki itu tertawa dengan tawa yang dipaksakan. 

“Maaf, Pak. Tolong tidak mencampur adukkan hal pribadi dengan hal kantor.”

Wajah Reynan memerah. Aku yakin saat ini ia merasa malu, mendapati dirinya diprotes oleh seseorang Vivian yang tak lain adalah bawahannya. 

“Bersihkan ruangan ini, terlebih lagi noda kotoran yang berasal dari sepatumu. Aku tak mau tahu, 10menit dari sekarang ruangan ini harus sudah bersih dan wangi.”

Lelaki itu berlenggang pergi begitu saja, memasuki ruangannya yang lebih luas, dan ber AC dingin itu.

“Ach, malu-maluin saja.” Aku melepas sepatu kotorku. Tak pernah menyangka ada bekas tapi ayam di sini, mengernyitkan dahi sambil menutup ujung hidungku dengan tangan kiri. Lalu kuambil alat pel dan membersihkan ruangan, tidak lupa menyemprotkan pengharum ruangan agar sisa bau dari tadi itu menghilang. 

Setelah itu bergegas menuju kamar mandi, membersihkan alas kaki tersebut, hingga terdengar suara ponselku berdering. Aku sejenak menghentikan aktivitasku dan melihat panggilan di ponsel. Lagi-lagi nama bos arogan beserta foto profil dirinya yang terlihat memejamkan itu ada di tampilan depanku. Kuusap tombol hijau lalu meletakkan benda tersebut ke dekat telinga. 

“Datang ke ruanganku, Viv. Sekarang juga!”

“I-iya, pak,” jawabku kesal.

“2 menit. Terhitung dari sekarang. Tau sendiri konsekuensinya kalu telat. Aku potong gajimu 5%.”

“I-iya, Pak.”

Kumatikan telfon, lalu mencuci tanganku. Kebiasaan sekali lelaki itu berbuat semena-mena dan selalu saja, tahta dan kekuasaannya yang selalu dijadikan tamengnya. 

“Aku pecat sekarang, aku potong gajimu.”

Aku menirukan suara Reynan dengan gaya mengejek. 

“Permisi, saya Vivian, Pak!” ucapku sambil mengetuk pintunya dua kali

“Silahkan masuk!”

Terdengar jawaban dari dalam, hingg akhirnya aku membuka pintu tersebut, membungkukkan sedikit badan dan melangkah mendekat. 

“Maaf, Pak. Ada yang bisa Vivian bantu?”

“Tentu . Aku tidak mungkin memanggilmu hanya untuk menemaniku makan bukan?”

Aku melihat dirinya yang tengah duduk dengan kotak makan di depannya. Nasi yang terlihat masih mengepul, beserta orek teri dan tempe. Aku meneguk salivaku, mendadak ada gerakan dari dalam perut yang tengah protes. Orek teri dan tempe adalah makanan favoritku dulu, meskipun aku terlahir kaya dari kecil saat itu, tidak tahu kenapa aku menyukai makanan sederhana tersebut. Perpaduan antara teri yang asin dengan tempe yang gurih, beserta beberapa sayur yang ditumis, hah, menggugah selera. 

“Woy, jangan ngelirik dan ngeces melihat makananku.”

Lelaki itu dengan posesifnya merengkuh benda di depannya dan menjauhkan dariku, benar-benar kekanakan.

 Apa ia pikir aku akan merampas makanan tersebut begitu saja?

“Maaf, Pak. Lalu bapak memanggilku untuk apa?”

Tanyaku, masih dengan tatapan mata ke nasi hangat dan lauk di sebelahnya. Entah kenapa makanan tersebut. Seperti memiliki daya magnet tersendiri untuk aku tidak berpaling darinya.

“Bersihkan ruanganku. Saat ini juga!”

“Tapi, Pak. Bukankah itu tugas OB? Lagian ruangan bapak sudah bersih dibersihkan mereka.”

“Aku tidak suka di sanggah, Viv. Lakukan sekarang juga atau kamu aku ....”

“Pecat sekarang juga.  Sudah tau, Pak. Bapak mau bicara apa. Vivian kerjakan sekarang.”

Aku memutus kalimat Reynan begitu saja, dan dengan terpaksa mengepel ruangan ini dari sudut ke sudut, meskipun tempat ini sudah sengatlah bersih, dan tak tertempel debu sedikitpun, aku tetap melakukannya. Hal yang bagiku amatlah sia-sia. Sepertinya ia memang sengaja, memanfaatkan kekuasaannya untuk balas dendam ke arahku. 

“Sudah selesai, Pak. Saya permisi.”

Aku menunduk di hadapnya, lalu melangkahkan kaki keluar. 

“Tunggu, Viv!”

Aku menoleh ke belakang.

“Cuci tangan, dan kembali ke ruanganku.”

“Untuk apa, Pak?” 

“Jangan banyak tanya, kerjakan atau ...”

“Kamu akan aku pecat. Sudah tahu lanjutannya, Pak, biar Vivian lanjutkan sendiri. Vivian permisi sebentar.”

Aku melangkah ke luar menutup pintu ber AC dingin itu, meninggalkan muka masam Reynan menahan malu, karena ucapannya terus mendapatkan sanggahan dariku. Siapa suruh selalu mengatakan perkataan yang sama. Aku pecat, aku potong gajimu, tidak profesional. 

Aku mengembalikan alat pel tersebut ke ruangannya, lali mencuci tangan dan kakiku kembali. Bergegas aku kembali ke ruangan bos arogan itu. 

“Permisi, ini Vivian, Pak!”

“Silakan masuk.”

Aku menunduk hormat, lalu melangkah kaki ke dalam. Kembali ke ruangan yang bagiku teramtlah menyebalkan. 

“Duduklah!’

Aku menurut. 

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

“Makanlah. Kamu belum sarapan kan?”

Lelaki di depanku mendekatkan kotak makan tadi ke dekatku. Nasi putih dengan orek teri dan tempe, yang masih terlihat penuh seperti  sebelumnya, hanya berkurang sedikit di salah satu ujung kotak makan tersebut. 

“Saya masih kenyang, Pak. Sudah sarapan.”

“Kalau kenyang, kenapa dari tadi perutmu bunyi, Viv? Makanlah? Bukankah kamu sudah mulai terbiasa makan makanan sisaku,” ucapnya penuh bangga. Padahal baru sekali aku memakan roti bekas miliknya, dan itupun benar-benar terpaksa.

“Tidak, Pak. Saya masih kenyang.” Aku masih mencoba mempertahankan harga diriku saat ini, meskipun beberapa kali aku harus menelan salivaku, karena melihat makanan menggiurkan didepanku. 

“Makan sekarang. Ini perintah.”

Dengan posesifnya, ia memerintah semena-mena, hingga akhirnya aku meraih benda tersebut, menyuapkan sedikit demi sedikit makanan tersebut ke mulutku, dan ...

Rasa itu, rasa yang sama dengan makanan yang dibuatkan Reynan jaman dulu. 

Aku masih ingat betul rasanya, dan rasa itu adalah rasa yang begitu rindukan selama 5tahun ini, yang tak pernah kudapati rasa seenak ini dari siapapun.

“Masakan istrimu, Pak?” tanyaku memastikan. Tidak ingin berlarut dengan nostalgia cerita lama. Bukankan Reynan sudah menjadi bos? Tidak mungkin juga kan dia msak sendiri untuk bekalnya?

“Iya. Enak bukan masakan istriku?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
bohoonngg ya boss
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
kebangetan banget y si Reynan itu. apa apa mesti ngancem pecat sama potong gaji..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status