Lelaki itu menutup hidungnya, sambil mengerutkan dahi.
“Viv, baumu!”“Bau apa?”Aku menciumi diriku, meskipun aku memang tidak memakai parfum semahal dulu, tapi aku yakin bau badanku tidaklah begitu menyengat. Meskipun dalam keadaan berkeringat. Aku mendapati bau yang berbeda, dan itu ada di ...Aku menatap tajam ke sepatu yang ku kenakan, membalikkan sedikit kakiku, agar terlihat alasnya. Kotoran ayam menempel di sana. Apakah tadi aku menginjak kotoran itu saat di mobil angkutan? Aku meringis melihat bos arogan itu, mengembangkan senyum yang kupaksakan. “Viv!”Ia mendelik ke arahku dengan tatapan tak suka. Lalu diambilnya gagang telepon di atas meja kerjaku, tak jauh darinya. Menekan nomor hingga sebuah panggilan tersambung. “Ke ruanganku sekarang, tidak lebih dari 5 menit. Atau kau pecat saat ini juga.”Sikap arogan itu tak pernah jauh dari dirinya. Selalu terlihat semena-mena kepada siapapun. Sedangkan Reynan yang ku kenal dulu amatlah berbeda. Ia orang yang tak tegaan, jangankan memarahi, membentak, ngomong kasar. Bilang “ah” saja rasanya tidak. Dia lelaki yang penurut, dan terbiasa mengalah. Kami masih dalam keadaan berdiri, menatap satu sama lain. Tak ada suara yang menyaut, melainkan sibuk dengn pikiran masing-masing. Hingga sebuah ketukan pintu membuat kami menoleh ke sumber suara. “Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”Seorang lelaki bertubuh kurus tengah memegang alat pel dan ember, ia berdiri di ambang pintu, menatap takut kepada lelaki arogan di depanku.“Apa kamu buta, ha? Lihat saja di depanku banyak noda kotoran ayam. Cepat bersihkan!!”“Baik, Pak.”Lelaki itu menunduk dan bergegas mengerjakan pekerjaannya, hendak menghapus bekas tapakan kaki yang berasal dari sepatuku.“Tunggu!” Lelaki bertubuh kurus itu menghadap tuannya dengan wajah heran. “Kamu bersihkan bagian luar sana.”“Tapi, Pak!”“Pergilah! Apa kamu mau aku pecat sekarang juga?”“Ba-baik, Pak!” Lelaki itu mengiyakan sambil menunduk hormat “Alat pel mu tinggal di sini. Kamu bersihkan dengan alat pel yang lain.”Lelaki itu terlihat bingung. Tapi tetap menurut apa yang diperintahkan bosnya, hingga akhirnya ia memilih pergi dengan tanda tanya besar.“Tahu maksudku kan, Viv?”“A-apa, Pak?” tanyaku kaget. Mataku masih terfokus melihat punggung lelaki tadi yang keluar. “Apa seleramu sudah berubah? Mulai melirik lelaki bertubuh kecil tanpa wibawa itu?” Reynan terkekeh, dengan tawa yang sepeti dipaksakan. “Lalu suamimu? Tidakkah kau ingat suamimu? Setelah kau berzina mata dengan lelaki lain?”Lagi, lelaki itu tertawa dengan tawa yang dipaksakan. “Maaf, Pak. Tolong tidak mencampur adukkan hal pribadi dengan hal kantor.”Wajah Reynan memerah. Aku yakin saat ini ia merasa malu, mendapati dirinya diprotes oleh seseorang Vivian yang tak lain adalah bawahannya. “Bersihkan ruangan ini, terlebih lagi noda kotoran yang berasal dari sepatumu. Aku tak mau tahu, 10menit dari sekarang ruangan ini harus sudah bersih dan wangi.”Lelaki itu berlenggang pergi begitu saja, memasuki ruangannya yang lebih luas, dan ber AC dingin itu.“Ach, malu-maluin saja.” Aku melepas sepatu kotorku. Tak pernah menyangka ada bekas tapi ayam di sini, mengernyitkan dahi sambil menutup ujung hidungku dengan tangan kiri. Lalu kuambil alat pel dan membersihkan ruangan, tidak lupa menyemprotkan pengharum ruangan agar sisa bau dari tadi itu menghilang. Setelah itu bergegas menuju kamar mandi, membersihkan alas kaki tersebut, hingga terdengar suara ponselku berdering. Aku sejenak menghentikan aktivitasku dan melihat panggilan di ponsel. Lagi-lagi nama bos arogan beserta foto profil dirinya yang terlihat memejamkan itu ada di tampilan depanku. Kuusap tombol hijau lalu meletakkan benda tersebut ke dekat telinga. “Datang ke ruanganku, Viv. Sekarang juga!”“I-iya, pak,” jawabku kesal.“2 menit. Terhitung dari sekarang. Tau sendiri konsekuensinya kalu telat. Aku potong gajimu 5%.”“I-iya, Pak.”Kumatikan telfon, lalu mencuci tanganku. Kebiasaan sekali lelaki itu berbuat semena-mena dan selalu saja, tahta dan kekuasaannya yang selalu dijadikan tamengnya. “Aku pecat sekarang, aku potong gajimu.”Aku menirukan suara Reynan dengan gaya mengejek. “Permisi, saya Vivian, Pak!” ucapku sambil mengetuk pintunya dua kali“Silahkan masuk!”Terdengar jawaban dari dalam, hingg akhirnya aku membuka pintu tersebut, membungkukkan sedikit badan dan melangkah mendekat. “Maaf, Pak. Ada yang bisa Vivian bantu?”“Tentu . Aku tidak mungkin memanggilmu hanya untuk menemaniku makan bukan?”Aku melihat dirinya yang tengah duduk dengan kotak makan di depannya. Nasi yang terlihat masih mengepul, beserta orek teri dan tempe. Aku meneguk salivaku, mendadak ada gerakan dari dalam perut yang tengah protes. Orek teri dan tempe adalah makanan favoritku dulu, meskipun aku terlahir kaya dari kecil saat itu, tidak tahu kenapa aku menyukai makanan sederhana tersebut. Perpaduan antara teri yang asin dengan tempe yang gurih, beserta beberapa sayur yang ditumis, hah, menggugah selera. “Woy, jangan ngelirik dan ngeces melihat makananku.”Lelaki itu dengan posesifnya merengkuh benda di depannya dan menjauhkan dariku, benar-benar kekanakan. Apa ia pikir aku akan merampas makanan tersebut begitu saja?“Maaf, Pak. Lalu bapak memanggilku untuk apa?”Tanyaku, masih dengan tatapan mata ke nasi hangat dan lauk di sebelahnya. Entah kenapa makanan tersebut. Seperti memiliki daya magnet tersendiri untuk aku tidak berpaling darinya.“Bersihkan ruanganku. Saat ini juga!”“Tapi, Pak. Bukankah itu tugas OB? Lagian ruangan bapak sudah bersih dibersihkan mereka.”“Aku tidak suka di sanggah, Viv. Lakukan sekarang juga atau kamu aku ....”“Pecat sekarang juga. Sudah tau, Pak. Bapak mau bicara apa. Vivian kerjakan sekarang.”Aku memutus kalimat Reynan begitu saja, dan dengan terpaksa mengepel ruangan ini dari sudut ke sudut, meskipun tempat ini sudah sengatlah bersih, dan tak tertempel debu sedikitpun, aku tetap melakukannya. Hal yang bagiku amatlah sia-sia. Sepertinya ia memang sengaja, memanfaatkan kekuasaannya untuk balas dendam ke arahku. “Sudah selesai, Pak. Saya permisi.”Aku menunduk di hadapnya, lalu melangkahkan kaki keluar. “Tunggu, Viv!”Aku menoleh ke belakang.“Cuci tangan, dan kembali ke ruanganku.”“Untuk apa, Pak?” “Jangan banyak tanya, kerjakan atau ...”“Kamu akan aku pecat. Sudah tahu lanjutannya, Pak, biar Vivian lanjutkan sendiri. Vivian permisi sebentar.”Aku melangkah ke luar menutup pintu ber AC dingin itu, meninggalkan muka masam Reynan menahan malu, karena ucapannya terus mendapatkan sanggahan dariku. Siapa suruh selalu mengatakan perkataan yang sama. Aku pecat, aku potong gajimu, tidak profesional. Aku mengembalikan alat pel tersebut ke ruangannya, lali mencuci tangan dan kakiku kembali. Bergegas aku kembali ke ruangan bos arogan itu. “Permisi, ini Vivian, Pak!”“Silakan masuk.”Aku menunduk hormat, lalu melangkah kaki ke dalam. Kembali ke ruangan yang bagiku teramtlah menyebalkan. “Duduklah!’Aku menurut. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”“Makanlah. Kamu belum sarapan kan?”Lelaki di depanku mendekatkan kotak makan tadi ke dekatku. Nasi putih dengan orek teri dan tempe, yang masih terlihat penuh seperti sebelumnya, hanya berkurang sedikit di salah satu ujung kotak makan tersebut. “Saya masih kenyang, Pak. Sudah sarapan.”“Kalau kenyang, kenapa dari tadi perutmu bunyi, Viv? Makanlah? Bukankah kamu sudah mulai terbiasa makan makanan sisaku,” ucapnya penuh bangga. Padahal baru sekali aku memakan roti bekas miliknya, dan itupun benar-benar terpaksa.“Tidak, Pak. Saya masih kenyang.” Aku masih mencoba mempertahankan harga diriku saat ini, meskipun beberapa kali aku harus menelan salivaku, karena melihat makanan menggiurkan didepanku. “Makan sekarang. Ini perintah.”Dengan posesifnya, ia memerintah semena-mena, hingga akhirnya aku meraih benda tersebut, menyuapkan sedikit demi sedikit makanan tersebut ke mulutku, dan ...Rasa itu, rasa yang sama dengan makanan yang dibuatkan Reynan jaman dulu. Aku masih ingat betul rasanya, dan rasa itu adalah rasa yang begitu rindukan selama 5tahun ini, yang tak pernah kudapati rasa seenak ini dari siapapun.“Masakan istrimu, Pak?” tanyaku memastikan. Tidak ingin berlarut dengan nostalgia cerita lama. Bukankan Reynan sudah menjadi bos? Tidak mungkin juga kan dia msak sendiri untuk bekalnya?“Iya. Enak bukan masakan istriku?”“Masakan istrimu, Pak?” tanyaku memastikan. Tidak ingin berlarut dengan nostalgia cerita lama. Bukankah Reynan sudah menjadi bos? Tidak mungkin juga kan dia masak sendiri untuk bekalnya?“Iya. Enak bukan masakan istriku?”Aku mengangguk. “Enak, Pak.” Ada sedikit rasa nyeri di ulu hatiku ketika Reynan menyebut istriku. Rasa yang jauh terpendam di dasar hatiku itu, seakan ingin kembali menampakkan diri ke permukaan.‘Sadar, Viv. Ini sudah bukan di ruang lingkup kekuasaanmu. Roda berputar dan kamu ada di kasta terendah. Tidak mungkin juga kan Reynan masih menaruh hati dengan apa yang sudah kamu lakukan dulu? Tahu sendiri, kalau masakan ini buatan istrinya.’Mendadak makanan ini hambar, tak berasa sedikitpun.“Kenapa tidak dihabiskan?”“Sudah kenyang, Pak.”“Habiskan sekarang juga , atau ...”Reynan tak melanjutkan ucapannya, akupun tak tertarik meneruskan ucapan tersebut. Hanya menatap makanan itu dengan kenangan yang terus bermunculan di pikiran. Kembali kusuapkan makanan tersebut ke
“Apa pedulimu dengan hidupku, Viv? Sejak kapan kamu memiliki rasa empati?”Aku terdiam, begitupun Reynan. Tak ada suara yang terdengar. Sibuk dengan pikiran masing-masing. “Maaf, Pak. Saya permisi dulu, mau ambil alat pel.”Aku menunduk hormat dan melangkah pergi. *“Bu Vivian kenapa kembali?” Salah satu OB itu menyapaku.“Mau ambil alat pel.”“Cangkirnya terjatuh, Bu?”“Iya. Dibanting sama pak Reynan.”“Benar kan, Bu. Dia pasti marah-marah. Ibu yang sabar ya?” Wanita separuh baya itu terdengar begitu empati sekali kepadaku. “Iya.” Aku menyunggingkan senyum dan berlalu setelah mendapati apa yang aku butuhkan. **“Permisi, Pak!” Aku menunduk hormat ketika memasuki ruangan. Berjalan perlahan dan mendekati lantai kotor yang terkena bekas tumpahan kopi. “Mau apa kamu?”“Membersihkan tempat ini, Pak!”Aku mengambil pecahan cangkir yang berserakan di segala penjuru. “Keluar dari sini! Aku tak butuh bantuanmu.”“Tapi, Pak!”“Keluar dari sini atau ....”“Permisi, Pak. Saya hendak member
Ponsel berwarna merah muda yang tergeletak di meja kerja itu bergetar, sebuah pesan dari bos arogan masuk di dalamnya. [ Buatkan minuman, Viv ][ Baik, Pak. Akan saya hubungi petugas yang berangkutan. ][ Kamu yang antar ke sini. ][ Tapi, Pak. Bukankah saya harus menghindar dari pandangan bapak Rayhan yang terhormat. ][ Ini lain cerita. Tamu ku yang meminta ]Deg. Lagi-lagi jantungku berdegup lebih kencang. Semua hal yang bersangkutan dengan Haikal rasanya membuat tubuhku gemetar ketakutan.Ingin rasanya memberontak, tapi posisiku bukanlah di tempat yang tepat. Beginilah rasanya berada di kasta bawah? Seakan tak memiliki pilihan satupun untuk memilih, hanya sendiko dawuh, menerima nasib. Aku berjalan perlahan membawa nampan yang berisi teh hangat, dan air putih. Kutaruh gelas tersebut satu persatu ke atas meja. Berusaha sebisa mungkin menyembunyikan rasa takut dan tubuh gemetarku.“Vivian! Setelah sekian lama akhirnya kita bertemu kembali,” ucap Haikal yang terus menatapku, bahka
‘Kenapa kamu tiba-tiba hadir seperti ini, Viv? Seburuk-buruknya kamu di masa lalu kenapa tidak pernah bisa membuatku membencimu?’Aku menatap laptop yang selalu menemani hariku, membuka folder di dalamnya. Sebuah kenangan dengan Vivian terekam indah di sana. Vivian yang cuek, Vivian yang selalu marah-marah, dan Vivian yang suka seenaknya sendiri, dan tentunya Vivian yang manja. Tapi entahlah, kenapa aku tak bisa membuang sedikitpun memori tentangnya, meskipun ia terus menghujamku dengan kesedihan, dan penderitaan. “Rey, aku mau es krim.”“Tapi di sini gak ada penjual es krim, Viv! Aku ke swalayan sebentar ya.”“Enggak mau. Aku gak mau ditinggal.”“Ya sudah, kamu ikut saja.”“Aku mager. Aku malas jalan.”Hah, aku membuang nafas kasar, mencoba mencari ide untuk Vivianku yang terlampau manja. Duduk di bangku kuliah di semester satu sudah tak layak dibilang anak-anakkan? Tapi nyatanya Vivian terus bersikap layaknya anak SD, dan aku terus berusaha menurutinya. Di setiap senyum yang mengem
“Kenapa membeli sepatu saja kamu tak mampu? Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Viv? Kenapa kamu rendahkan dirimu seperti ini? Dimana harga diri kamu yang selalu kamu tinggikan itu? Dimana? Ha?”Lelaki itu memegang kedua pundakku, menggerakkan tubuhku dan menatapku dengan mata yang basah. “Apa yang terjadi padamu? Apa yang kamu sembunyikan dariku?” “Kamu tidak menjual dirimu untuk uang bukan?”Plakk ...Sebuah tamparan keras melayang begitu saja di pipi berwarna sawo matang itu. Aku memang rendah, tapi tak serendah yang ia pikir. Cukup sudah harga diri yang terus ia injak-injak. Lelaki itu memegang pipinya, bahkan bekas jari menempel merah memberikan tanda dari kesombongannya. Bos Arogan itu terkekeh. “Jangan muna kamu, Viv. Sebutkan hargamu untuk semalam. Aku akan membayar sepuluh kali lipat dari harga yang diberikan Haikal padamu.”‘Haikal? Apa maksudnya? Apa ia berbicara yang tidak-tidak pada Reynan? Tidak saat itu, maupun masa sekarang, Haikal terus membuat ulah.’Aku memici
Aku duduk bersandar ranjang kasur ini, terisak sendiri. Meratapi nasib yang semakin tak berpihak kepadaku. Aku melepas kehormatan hanya demi uang. Sungguh, aku tak pernah berpikir sejauh ini. Memegang kepala yang terasa semakin berat, sedangkan otak kembali memutar kejadian semalam. Benarkah? Aku menjambak-jambak rambutku sendiri frustasi. Hingga sesaat kemudian deringku terdengar, nama Alisa ada di dalamnya. Aku menghapus air mata, mengatur nafas yang yang tadinya tersengal. Menata diri setenang mungkin. “Kak Vivian !”“Iya, Sa.”“Makasih ya, Kak. Karena transferan kakak semalam, nyawa ibu tertolong. Keadaan ibu semakin membaik. Kak Viv gak jenguk ibu ke sini? Beliau nanyain kakak terus.”Aku kembali mengingat kejadian saat di ATM. Saat itu aku belum sempat mentransfer uang, karena masih ragu untuk melakukan ini semua. Lalu ... Siapa yang mentransfer uang untuk ibu? Aku bangkit dan mengambil tas yang tergeletak di sofa depan tv, mengambil dompet dan memastikan... ATM masih di t
Pagi-pagi buta aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat, aku baru mengingat ada laporan yang belum ku selesaikan, padahal hari ini ada rapat intern, yang mengharuskan adanya laporan keuangan lengkap. Mendadak perasaan bahagia hari ini, entah karena apa? Yang pasti aku tak ingin terlambat hari ini. Mungkin karena kesehatan ibu yang tengah membaik, atau karena aku sudah libur hari kemarin. Atau mungkin... Karena nasi goreng yang kumakan kemarin? Nasi goreng dengan rasa yang masih terkenang sampai hari ini. “Kakak tumben jam segini sudah siap? Alisa saja belum mandi,” sapa adik kecilku, yang tengah berdiri dengan handuk di punggungnya.“Kakak kan rajin bekerja. Jadi tidak ingin terlambat.”“Iya, iya, rajin,” ucap Alisa meremehkan.“Gak percaya?”“Kan Lisa bilang iya rajin. Atau jangan-jangan ... Kak Viv lagi naksir temen kerja ya? Hayo ngaku?”“hust apaan si?” Aku berlalu setelah menyemprotkan parfum ke tubuhku. “Kak Viv kayak penjual minyak wangi aja, sudah wangi masih di semprot
POV. ReynanAku tersenyum sendiri kala menunggu Vivian datang, aku harus pakai baju inikah? Ah, kurang cocok. Atau yang ini? Aku menghabiskan waktu seharian untuk mencoba semua pakaian di lemariku. Namun, aku kembali tersenyum kecil ketika mendapati sebuah boxer dan kaos putih ketat, kayaknya ini lebih meyakinkan Vivian kalau aku akan menidurinya. “Telat 5 menit 29 detik.” Kenapa mendadak aku gugup sekali seperti ini? Apa aku sanggup untuk tak menyentuh Vivian? Sedangkan yang aku tahu, aku begitu rindu kepadanya. Sepahit apapun perlakuan ia saat dulu, nyatanya belum mampu membuatku menghilangkan rasaku.Lalu tentang Haikal? Benarkah? Dari gaya tubuh wanita cantik ini, dia sepeti perempuan baik-baik, meskipun aku tahu dia berusaha menutupi kenyataan itu. Dia terlihat canggung sekali, bahkan untuk minum saja dahinya beruntusan dengan keringatnya. Aku yakin suhu ruang ini lebih dari cukup untuk mendinginkan tubuh. Aku tertawa kecil dalam hati, semoga yang aku pikirkan ini benar adany