“Masakan istrimu, Pak?” tanyaku memastikan. Tidak ingin berlarut dengan nostalgia cerita lama. Bukankah Reynan sudah menjadi bos? Tidak mungkin juga kan dia masak sendiri untuk bekalnya?
“Iya. Enak bukan masakan istriku?”Aku mengangguk. “Enak, Pak.” Ada sedikit rasa nyeri di ulu hatiku ketika Reynan menyebut istriku. Rasa yang jauh terpendam di dasar hatiku itu, seakan ingin kembali menampakkan diri ke permukaan.‘Sadar, Viv. Ini sudah bukan di ruang lingkup kekuasaanmu. Roda berputar dan kamu ada di kasta terendah. Tidak mungkin juga kan Reynan masih menaruh hati dengan apa yang sudah kamu lakukan dulu? Tahu sendiri, kalau masakan ini buatan istrinya.’Mendadak makanan ini hambar, tak berasa sedikitpun.“Kenapa tidak dihabiskan?”“Sudah kenyang, Pak.”“Habiskan sekarang juga , atau ...”Reynan tak melanjutkan ucapannya, akupun tak tertarik meneruskan ucapan tersebut. Hanya menatap makanan itu dengan kenangan yang terus bermunculan di pikiran. Kembali kusuapkan makanan tersebut ke mulutku dengan sedikit terpaksa. “Viv, ini sambil goreng ati ampela untukmu.” Reynan menyodorkan sebuah kotak makan berwarna merah muda, warna yang sama dengan warna favoritku. Kami memilih duduk di kursi panjang beratapkan dedaunan yang rindang, pohon besar di sebelahku terlalu cukup untuk menutup terik mentari yang hendak menyengat kulit secara langsung, ditambah angin sepoi yang berhembus membuat suasana makan lebih berselera. “Ini apa? Kenapa kotak makanmu isinya berbeda?”Aku menatap bekal yang dibawa Reynan, nasi beserta orek teri dan tempe. “Oh, ini! Ini orek teri dan tempe, makanan kasta rendah.” Reynan tersenyum tipis. Tanpa nunggu persetujuan,.aku mencomot makanan yang ada di depannya, meraup sedikit nasi yang sudah kuberikan orek teri tersebut, lalu kusuapkan ke mulut, dan rasanya ... Baru kali ini aku merasakan makanan seenak ini, rasa yang tak pernah kudapatkan dari resto termahal sekalipun. Reynan menatapku khawatir, “Gak enak ya?”“Sempurna.”Aku menunjukkan jempol berkutek merah muda itu, lalu menukar posisi kotak makan. Hal yang biasa aku lakukan , berbuat semena-mena dan Reynan terus mengalah demi aku. “Kamu menangis, Viv?”Aku kembali tersadar dengan lamunanku. Bahkan aku tak menyadari pipiku telah basah. Kuhapus air mata dan bergegas bangkit. “Saya permisi dulu, Pak!” ucapku menunduk dan berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan panggilan Reynan yang terus meneriaki namaku. “Fokus Vivian, fokus, itu Cuma masa lalu! Dunia kalian sudah berbeda, dan yang lebih utama ia sudah beristri. Apa kamu mau merusak rumah tangga orang lain?”“Tidak, aku tidak sejahat itu.”Aku terus bermonolog, dengan perasaan yang semakin bercampur aduk. Menatap meja kerja yang dua hari ini menjadi teman hatiku “Viv! Kamu menangis?”Aku menengok ke sumber suara, hingga jantungku terasa lepas dari tempatnya.“Pak De.”Aku berdiri, meraih tangan dan mencium punggung tangan itu. “Kamu menangis, Vivian? Apa yang dilakukan Pak Reynan kepadamu?”“Enggak, De. Vivian hanya terlalu lelah berada di depan laptop terlalu lama,” dustaku. Aku menghapus air yang membendung di pelupuk mata.“Lelah di depan laptop? Lihat saja, laptopmu saja belum menyala,” ucap Pak De sambil menunjuk benda elektronik di depanku.“Owh. Ini? E ... Ini baru saja ku matikan, De. Kan Vivian bilang, mata Vivian berair, jadi Vivian matikan dulu.”Aku meringis, berharap lelaki paruh baya di depanku percaya dengan dustaku. “Pak De bukannya pindah di cabang. Kenapa datang kemari?”“Aku dipanggil Pak Reynan untuk menemuinya.”“Ada apa, De?”Lelaki itu menggeleng. “Entah. Aku permisi dulu ya, Viv.”“Silahkan, De.”Pak De masuk ke dalam, sedangkan aku kembali duduk di meja dan membuka laptop, melohat agenda penting untuk beberap hari ke depan. “De, sudah ke luar? Cepet sekali. Reynan bicara apa?”Tanyaku ketika melihat Pak De keluar dengan ekspresi aneh, dia mengernyitkan dahi sambil menggelengkan kepala ketika keluar dari rumah tersebut. “Pak Reynan, jangan panggil seperti, Viv. Kalau ada yang denger bahaya.”“Iya. Maksudnya Pak Reynan. Beliau bicara apa? Kenapa sebentar sekali?”“Jangan gibahin saya di sini,” ucap lelaki berjas mahal yang kini ke luar dari ruangannya. Wajahnya terlihat penuh murka. ‘Waduh, mati aku!’ Kami yang tengah berdiri menunduk hormat kepada pak kepala. Sedangkan pak De terlihat meminta maaf sebelum permisi. Menyisakan kami berdua, yang entah ia menatapku setajam apa. Saat ini yang kulakukan hanya menunduk, menatap sepatunya, berharap ia segera pergi dari sini. “Viv, buatkan saya kopi hitam.”“Tapi, Pak. Itu bukan ....”“Itu tugas kamu, karena kamu bawahan saya. Ingat itu!”Terdengar langkah kaki yang menjauh, sepertinya ja kembali berjalan ke ruangannya.“Dasar, bos arogan, hobinya marah-marah dan menyiksa bawahannya,” ucapku bermonolog dengan diri sendiri. “Viv ..!”“Iya, Pak.”‘Waduh mati aku. Apa tadi ia mendengarnya?’“Buatkan kopi pahit, aku tidak suka kopi manis.”“Baik, Pak.”Aku meninggalkan ruangan, berjalan perlahan memasuki dapur ruangan ini. “Ibu Vivian.”Seorang lelaki bertubuh kurus itu menunduk hormat kepadaku. Jika dulu aku biasa saj dihormati seperti ini, kali ini ada rasa yang berbeda. Sungkan, karena kita sama-sama pesuruh di perusahaan orang. “Sudah jangan menunduk hormat sepeti itu.”“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” ucap wanita di sebelahnya. Sama-sama memakai seragam yang sama.“Tidak usah. Saya hanya perlu membuatkan kopi untuk Pak.” Kukembangkan senyum di bibirku. “Kopinya dimana?” “Ini.”Dengan sigap ia mengambilkan kopi dan gula dari rak. Sedangkan yang satunya mengambilkan tremos air.“Aku butuh panci untuk mendidihkan air. Kalau dari tremos seperti ini bisa membuat Pak Reynan kembung perutnya.”Merek mlongo. “iyakah, Bu?”Aku mengangguk. Kuraih gelas di depanku, memasukkan sedikit kopi dan gula.“Bu, itu kopinya terlalu sedikit. Nanti rasa gulanya yang dominan. Pak Reynan tidak suka kalau terlalu manis.”“Biarlah. Hidupnya terlalu pahit, jadi sekali-kali dibuatin yang manis.” Aku tertawa kecil sambil menuang air mendidih ke gelas yang sudah kuracik kopinya.“Ibu hebat banget, masih bisa tersenyum menghadapi pak Reynan. Biasanya pada gak kuat dan menangis.”Aku hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi yang kubuat, memberikan alas cawan dan pamit untuk berlalu. Dengan langkah pasti aku mendekati ruangan Reynan, menata hati untuk menerima kemarahannya kembali.“Kopinya, Pak,” ucapku sambil mendekatkan cangkir beralaskan cawan ke dekatnya. “hm,”Jangankan terima kasih, menoleh saja tidak. Fokusnya masih di laptop di depannya. Aku membalik tubuhku dan hendak berlalu, belum saja kaki ini melangkah terdengar sebuah cangkir dibanting dengan keras. Bahkan cipratan air kopi itu mengenai kaki dan sepatuku. Hingga lahirnya kau kembali berbalik di posisi semula.“Tidak becus. Bukankah aku memintamu membuatkan kopi pahit? Apa kamu tidak mencicipinya dulu sebelum kamu sajikan kepadaku?”Wajah penuh amarah itu menatapku sinis. Aku bahkan tak menyangka reaksi Reynan bisa sejauh ini.“Ma-maaf, Pak. Lambung bapak bermasalah, tidak boleh terlalu banyak menikmati kopi.”“Apa pedulimu dengan hidupku, Viv? Sejak kapan kamu memiliki rasa empati?”“Apa pedulimu dengan hidupku, Viv? Sejak kapan kamu memiliki rasa empati?”Aku terdiam, begitupun Reynan. Tak ada suara yang terdengar. Sibuk dengan pikiran masing-masing. “Maaf, Pak. Saya permisi dulu, mau ambil alat pel.”Aku menunduk hormat dan melangkah pergi. *“Bu Vivian kenapa kembali?” Salah satu OB itu menyapaku.“Mau ambil alat pel.”“Cangkirnya terjatuh, Bu?”“Iya. Dibanting sama pak Reynan.”“Benar kan, Bu. Dia pasti marah-marah. Ibu yang sabar ya?” Wanita separuh baya itu terdengar begitu empati sekali kepadaku. “Iya.” Aku menyunggingkan senyum dan berlalu setelah mendapati apa yang aku butuhkan. **“Permisi, Pak!” Aku menunduk hormat ketika memasuki ruangan. Berjalan perlahan dan mendekati lantai kotor yang terkena bekas tumpahan kopi. “Mau apa kamu?”“Membersihkan tempat ini, Pak!”Aku mengambil pecahan cangkir yang berserakan di segala penjuru. “Keluar dari sini! Aku tak butuh bantuanmu.”“Tapi, Pak!”“Keluar dari sini atau ....”“Permisi, Pak. Saya hendak member
Ponsel berwarna merah muda yang tergeletak di meja kerja itu bergetar, sebuah pesan dari bos arogan masuk di dalamnya. [ Buatkan minuman, Viv ][ Baik, Pak. Akan saya hubungi petugas yang berangkutan. ][ Kamu yang antar ke sini. ][ Tapi, Pak. Bukankah saya harus menghindar dari pandangan bapak Rayhan yang terhormat. ][ Ini lain cerita. Tamu ku yang meminta ]Deg. Lagi-lagi jantungku berdegup lebih kencang. Semua hal yang bersangkutan dengan Haikal rasanya membuat tubuhku gemetar ketakutan.Ingin rasanya memberontak, tapi posisiku bukanlah di tempat yang tepat. Beginilah rasanya berada di kasta bawah? Seakan tak memiliki pilihan satupun untuk memilih, hanya sendiko dawuh, menerima nasib. Aku berjalan perlahan membawa nampan yang berisi teh hangat, dan air putih. Kutaruh gelas tersebut satu persatu ke atas meja. Berusaha sebisa mungkin menyembunyikan rasa takut dan tubuh gemetarku.“Vivian! Setelah sekian lama akhirnya kita bertemu kembali,” ucap Haikal yang terus menatapku, bahka
‘Kenapa kamu tiba-tiba hadir seperti ini, Viv? Seburuk-buruknya kamu di masa lalu kenapa tidak pernah bisa membuatku membencimu?’Aku menatap laptop yang selalu menemani hariku, membuka folder di dalamnya. Sebuah kenangan dengan Vivian terekam indah di sana. Vivian yang cuek, Vivian yang selalu marah-marah, dan Vivian yang suka seenaknya sendiri, dan tentunya Vivian yang manja. Tapi entahlah, kenapa aku tak bisa membuang sedikitpun memori tentangnya, meskipun ia terus menghujamku dengan kesedihan, dan penderitaan. “Rey, aku mau es krim.”“Tapi di sini gak ada penjual es krim, Viv! Aku ke swalayan sebentar ya.”“Enggak mau. Aku gak mau ditinggal.”“Ya sudah, kamu ikut saja.”“Aku mager. Aku malas jalan.”Hah, aku membuang nafas kasar, mencoba mencari ide untuk Vivianku yang terlampau manja. Duduk di bangku kuliah di semester satu sudah tak layak dibilang anak-anakkan? Tapi nyatanya Vivian terus bersikap layaknya anak SD, dan aku terus berusaha menurutinya. Di setiap senyum yang mengem
“Kenapa membeli sepatu saja kamu tak mampu? Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Viv? Kenapa kamu rendahkan dirimu seperti ini? Dimana harga diri kamu yang selalu kamu tinggikan itu? Dimana? Ha?”Lelaki itu memegang kedua pundakku, menggerakkan tubuhku dan menatapku dengan mata yang basah. “Apa yang terjadi padamu? Apa yang kamu sembunyikan dariku?” “Kamu tidak menjual dirimu untuk uang bukan?”Plakk ...Sebuah tamparan keras melayang begitu saja di pipi berwarna sawo matang itu. Aku memang rendah, tapi tak serendah yang ia pikir. Cukup sudah harga diri yang terus ia injak-injak. Lelaki itu memegang pipinya, bahkan bekas jari menempel merah memberikan tanda dari kesombongannya. Bos Arogan itu terkekeh. “Jangan muna kamu, Viv. Sebutkan hargamu untuk semalam. Aku akan membayar sepuluh kali lipat dari harga yang diberikan Haikal padamu.”‘Haikal? Apa maksudnya? Apa ia berbicara yang tidak-tidak pada Reynan? Tidak saat itu, maupun masa sekarang, Haikal terus membuat ulah.’Aku memici
Aku duduk bersandar ranjang kasur ini, terisak sendiri. Meratapi nasib yang semakin tak berpihak kepadaku. Aku melepas kehormatan hanya demi uang. Sungguh, aku tak pernah berpikir sejauh ini. Memegang kepala yang terasa semakin berat, sedangkan otak kembali memutar kejadian semalam. Benarkah? Aku menjambak-jambak rambutku sendiri frustasi. Hingga sesaat kemudian deringku terdengar, nama Alisa ada di dalamnya. Aku menghapus air mata, mengatur nafas yang yang tadinya tersengal. Menata diri setenang mungkin. “Kak Vivian !”“Iya, Sa.”“Makasih ya, Kak. Karena transferan kakak semalam, nyawa ibu tertolong. Keadaan ibu semakin membaik. Kak Viv gak jenguk ibu ke sini? Beliau nanyain kakak terus.”Aku kembali mengingat kejadian saat di ATM. Saat itu aku belum sempat mentransfer uang, karena masih ragu untuk melakukan ini semua. Lalu ... Siapa yang mentransfer uang untuk ibu? Aku bangkit dan mengambil tas yang tergeletak di sofa depan tv, mengambil dompet dan memastikan... ATM masih di t
Pagi-pagi buta aku sudah mempersiapkan diri untuk berangkat, aku baru mengingat ada laporan yang belum ku selesaikan, padahal hari ini ada rapat intern, yang mengharuskan adanya laporan keuangan lengkap. Mendadak perasaan bahagia hari ini, entah karena apa? Yang pasti aku tak ingin terlambat hari ini. Mungkin karena kesehatan ibu yang tengah membaik, atau karena aku sudah libur hari kemarin. Atau mungkin... Karena nasi goreng yang kumakan kemarin? Nasi goreng dengan rasa yang masih terkenang sampai hari ini. “Kakak tumben jam segini sudah siap? Alisa saja belum mandi,” sapa adik kecilku, yang tengah berdiri dengan handuk di punggungnya.“Kakak kan rajin bekerja. Jadi tidak ingin terlambat.”“Iya, iya, rajin,” ucap Alisa meremehkan.“Gak percaya?”“Kan Lisa bilang iya rajin. Atau jangan-jangan ... Kak Viv lagi naksir temen kerja ya? Hayo ngaku?”“hust apaan si?” Aku berlalu setelah menyemprotkan parfum ke tubuhku. “Kak Viv kayak penjual minyak wangi aja, sudah wangi masih di semprot
POV. ReynanAku tersenyum sendiri kala menunggu Vivian datang, aku harus pakai baju inikah? Ah, kurang cocok. Atau yang ini? Aku menghabiskan waktu seharian untuk mencoba semua pakaian di lemariku. Namun, aku kembali tersenyum kecil ketika mendapati sebuah boxer dan kaos putih ketat, kayaknya ini lebih meyakinkan Vivian kalau aku akan menidurinya. “Telat 5 menit 29 detik.” Kenapa mendadak aku gugup sekali seperti ini? Apa aku sanggup untuk tak menyentuh Vivian? Sedangkan yang aku tahu, aku begitu rindu kepadanya. Sepahit apapun perlakuan ia saat dulu, nyatanya belum mampu membuatku menghilangkan rasaku.Lalu tentang Haikal? Benarkah? Dari gaya tubuh wanita cantik ini, dia sepeti perempuan baik-baik, meskipun aku tahu dia berusaha menutupi kenyataan itu. Dia terlihat canggung sekali, bahkan untuk minum saja dahinya beruntusan dengan keringatnya. Aku yakin suhu ruang ini lebih dari cukup untuk mendinginkan tubuh. Aku tertawa kecil dalam hati, semoga yang aku pikirkan ini benar adany
POV. Reynan“Kak Reynan !”Aku menengok ke sumber suara, hingga gadis kecil yang dulu kupanggil Anabel itu menjadi fokusku. Rambut yang bergelombang, berbeda jauh dengan kakaknya, hingga nama itu terlintas begitu saja. Wajahnya tidak seburuk boneka jahat itu, namun jahilnya? Jangan ditanya . Dia anak periang, dan amat sangat super jail, dan selalu saja aku jadi korban dari kejailan gadis kecil itu. “Kak Reynan beneran kan? Atau Lisa salah lihat?”Gadis kecil itu mengucek matanya, dan sontak membuat kau terkekeh melihatnya. “Anabel?”“What? Anabel itu kutukan, Kak. Dan kutukan itu sudah pergi, jadilah Alisa yang kembali ke wujud asli, princess Barbie.”Wanita itu berceloteh manja, dengan mengangkat sedikit rok nya dan memutar. Aku kembali terkekeh melihat aksinya. “Kak Reynan!” Gadis itu mencubit lenganku, persis di sebelah jam tangan pemberian kakaknya. “Ini jam dari kak Vivian kan, Kak?” Gadis itu mengangkat tanganku, menatap jam yang kini melingkar indah di lenganku. Gadis yan