“Pecat saja aku sekarang!”“Ta-tapi ... A- apa.. maksudmu?” tanya bos arogan itu sedikit terbata.“Pecat aku sekarang, Pak! Atau .... Atau ...”Atau apa? Aku sendiri bingung harus melanjutkan kalimat tersebut dengan kata apa.“Atau apa, Viv?”“Atau ....” Aku terus menatap lelaki arogan itu, meskipun aku sendiri tak tahu dengan kalimat apa untuk melanjutkannya. Berani menatapnya sama dengan penyetaraan kasta bukan? Aku tak lagi harus menunduk , dan terus diinjak seperti biasanya.“Atau aku akan mengundurkan diri sekarang!”Lelaki itu terkekeh. “Viv, kamu mau mengundurkan diri? Yakin?” Lagi-lagi lelaki itu tertawa meremehkan.“Kamu tidak baca surat tanda tangan kontrak? Bahkan denda yang harus kamu bayar itu, melebihi dari uang yang kamu ambil dari ATM.”Aku kelimpungan, membahas tentang ATM seakan menelanjangiku dengan kejadian malam itu. Kehormatan yang bisa diukur dengan nominal uang. “Kamu....! Lelaki itu mendadak menatapku dengan genit, menyunggingkan senyum menyeringai, dan mend
Aku tak lagi protes, memilih menurut dan kembali berlalu, meskipun hatiku begitu dongkol, merasa dimainkan seperti ini. Baru saja aku duduk dikursiku, sebuah panggilan kembali masuk.“Viv ke ruanganku sekarang!”Belum sempat aku menjawab, panggilan tersebut sudah tersebut. Aku menggertakkan gigi-gigiku, kesal merasa dipermainkan. Namun, lagi-lagi aku tak berdaya dengan perintah bos dinginku. Kembali bangkit dan masuk ke ruangan. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku selembut mungkin. “Keluar dari ruanganku sekarang!”“Tapi, Pak. Saya ...”“Keluar sekarang, Viv. Kamu dengarkan suaraku?” ucap Reyhan dengan nada meninggi. “Iya, iya, aku ke luar.”Dengan separuh hati aku kembali melangkah, dan benar seperti dugaanku, belum juga aku duduk di ruangan, bos Aroganku itu kembali memerintahkan untuk datang ke ruangannya. Aku mengepalkan tanganku erat, jika ini dalam film kartun, kupastikan sekarang wajahku memerah dengan dua tanduk besar di atasnya. Kuhentakkan kaki, kembali menuju rua
“Apa kamu ingin, aku merusak keperawananmu? Betul kan kamu masih virgin?” Aku tersenyum mengejek sambil mendorong tubuhnya. “Kamu pikir aku masih virgin? Apa kamu lupa kalau aku ini sudah bersuami? Bahkan aku wanita panggilan bukan?”Lelaki itu terkekeh. “Suami mana yang kamu maksud? Suami yang sudah kamu gugat cerai di usia pernikahan tiga hari? Suami yang melakukan tindakan kekerasan karena kelainan seks?”Aku tersentak kaget, bagaimana mungkin Reynan bisa mengetahui segalanya? “Aku wanita panggilan, bukankah kamu ingat Haikal? Benar katamu, dia adalah pelanggan setiaku!” Aku terus berdusta.“Pelanggan setia?” lagi-lagi Reynan terkekeh. “Pelanggan yang membuatmu ketakutan jika bersamanya? Bahkan untuk melihatnya saja, tubuhmu bergetar hebat bukan?” Lagi-lagi aku tersentak kaget, bagaimana Reynan bisa mengetahui segalanya. Sedangkan selama ini aku menutupi semua darinya. “Jujurlah, Viv. Kamu masih cinta denganku kan?” Lelaki itu kembali melangkah maju, terus maju, hingga aku ter
“Kak Vivian, ini nama perusahaan kakak kenapa sama dengan perusahaan kak Reynan?” tanya Alisa yang tidak sengaja melihat surat pengunduran diri buatanku. “Apa bos galak yang pak De dan kak Vivian maksud itu kak Reynan?” Aku mengangkat kedua tanganku mengudara, sepeti anak kecil yang melambaikan tangannya hendak di tinggal kerja. “E-enggak.”Alisa terkekeh. “Alisa hanya bercanda kok, Kak. Alisa gak tahu nama perusahaannya Kak Reynan apa.”Alisa meringis sok imut, menyebalkan sekali, aku dibuat jantungan karenanya.Gadis cantik berlesung Pipit itu kembali ke kamarnya, begitupun aku yang kini tidur terlentang menatap langit kamar, kayu-kayu penopang genteng yang mulai lusuh terlihat jelas, kayu tua yang menjadi saksi bisu bagaimana perjuangan bapak dan ibu dulunya. Ini adalah rumah peninggalan orang tua bapak, di sini lah dulu orang tuaku merintis usaha mereka, memulai bisnis dari nol, hingga ibu mulai mengandungku, perusahaan bapak berkembang pesat, bapak dan ibu bisa membeli rumah b
Krekk...Terdengar suara pintu yang terbuka.“Permisi.”Kami menoleh ke sumber suara, dan mendapati OB yang kini canggung menatap kami. Sesaat aku menjauhkan diri dari Reynan yang tengah berdiri dan hanya berjarak beberapa centi dariku.“Ma-maaf, Pak. Saya hanya membawa kopi yang bapak pesan," ucap lelaki setengah baya dengan terbata. “Kenapa tidak ketuk pintu dulu? Ha?” Mata Reynan melotot menatap ob tersebut.“Maaf, Pak. Kopinya panas sekali, jadi harus dipegang pakai 2 tangan, tidak bisa ketuk pintu."“Kenapa gak bawa nampan?”“A-aku..., Maaf, Pak. Saya OB baru.”“Becus tidak sih bekerja, kalau tidak becus, aku -!”“Pecat sekarang juga,” ucapku lirih, menyambung ucapan Reynan. "Selalu kebiasaan bersikap arogan dan semena-mena," imbuhku lagi.Reynan menatap ke arahku, sedangkan aku memandangnya malas, kembali dihadapkan situasi seperti ini. “Letakkan kopinya di sini, Pak!”ucapku santun sambil menunjuk meja di depanku. Sedangkan lelaki yang membawa segelas kopi itu mendekat, mel
Reynan menatap ke arahku, hingga beberapa saat kemudian kembali menatap lelaki di depannya. “Tentu.”‘Apa maksud Reynan? Kenapa mau menukarkan dengan asisten Haikal? Apakah ini masih adegan balas dendamnya? Aku pikir ia sudah benar-benar berubah.’“Rey,” ucapku lirih masih tak percaya dengan yang Reynan ucap. Reynan menampakkan telapak tangan ke arahku, memberi kode untuk diam saja.Sedangkan Haikal kini menatapku dengan senyum puas. “Pak Reynan memang pintar sekali dalam berbisnis, mana surat yang harus saya tanda tangani? Dan aku akan ikut kerja sama dengan bapak, memberikan modal besar untuk perusahaan ini, dan akan langsung membawa Vivian dari sini sekarang juga.”Aku menggeleng, masih tak percaya dengan apa yang Reynan ucap. Benarkah? Kenapa ia tega sekali? Ketika Haikal hendak maju ke arahku, Reynan mengangkat tangannya, menghorisontalkan tangan tersebut, menutup akses Haikal untuk lewat. “Maaf pak Haikal, saya belum selesai berbicara. Maksud saya, tentu, tentu saya akan me
"jadilah istriku, Viv!"Aku tersenyum tipis. “Maaf.”“Kenapa? Kamu sudah tak mencintaiku?” “Aku tak tertarik.”“Kenapa, Viv? Dulu kamu meninggalkanku karena aku miskin bukan? Sekarang aku sudah kaya, aku sudah berkucukupan. Aku bisa mengajak kamu pergi jalan-jalan keliling dunia sesukamu. Aku akan selalu ada untukmu. Bukankah itu yang dari dulu kamu impikan?”Tanpa menjawab, aku berbalik arah hendak meninggalkan Rey yang tengah menatapku sayu. Bagaimana mungkin aku bisa bersama lelaki lain, jika sekarang Haikal terus membayangiku dengan ratusan ancaman. Bahkan ibu dan Alisa menjadi bagian dari ancaman tersebut. “Viv, aku butuh jawaban.”Lelaki itu menggenggam tanganku ketika aku hendak berlalu. “Aku sudah tak mencintaimu, Rey.” Perlahan pegangan tangan itu terlepas, hingga aku kembali melanjutkan langkah keluar, dadaku kian sesak berbohong kepada diriku sendiri. **Aku menatap ponsel yang kuletakkan di meja kerjaku, 32 panggilan tak terjawab, dari Alisa. Untuk apa ia menelfonku s
Seorang lelaki berjas hitam tengah berjalan membelakangi, hanya tampak punggung kekar yang terus berjalan, melangkah ke tangga besar yang meliuk indah. Aku berjalan mengendap, mengambil vas kecil yang digunakan hiasan meja, hingga secepat kilat aku melayangkan benda tersebut. “Kak Vivian, apa yang kamu lakukan?” Aku menatap sumber suara, dan mendapati Alisa yang menatapku dengan panik. “Ampun, Viv!” Lelaki di depanku, yang sebelumnya menjadi target ini menoleh, hingga menggeser tubuhnya sedikit menjauh dan sedikit membungkuk. Wajah penuh lebam menatapku penuh ketakutan. “Rey,” ucapku lirih, sambil mengurungkan niatku. Vas bunga yang hampir melayang ini sesegera mungkin di raihnya. Sedangkan aku berdiri mematung, belum mampu mencerna semuanya. Jika ini Reynan, berarti ini rumah Reynan? Lalu Alisa dan ibu? “Sa, ibu di mana?” Aku berlari ke arah Alisa, dengan muka panik. “Ibu lagi di kamar, Kak. Istirahat.”“Kamu? Kenapa ada di sini? Ini rumah?"Aku menatap ke arah Rey dan kembal