Dua bulan telah berlalu, Zeira menjalani hari-harinya seperti biasa. Dulu sewaktu sekolah, ia bekerja dari pukul 1 siang hingga pukul 10 malam. Tetapi selama 2 bulan ini, ia mulai bekerja pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore.
Zeira sebenarnya sudah merasa nyaman bekerja di sana, dan upah yang ia terima sudah cukup lumayan. Namun kondisi ibunya yang semakin memburuk, membuat Zeira harus mencari perkejaan yang lebih bagus dan gajinya lebih tinggi, agar ia bisa membawa ibunya berobat ke rumah sakit.
Pagi ini Zeira sedang bersiap-siap, karena sebentar lagi sahabatnya Susan datang menjemput.
Tin...
Zeira berlari ke luar rumah ketika mendengar suara klakson mobil. Ia yakin kalau itu pasti Susan, dan dugaannya memang benar.
"Hay Ra?" Sapa Susan dari dalam mobil.
"Hay, maaf ya, aku sudah merepotkan kamu." Zeira merasa tidak enak karena meminta Susan menemaninya untuk mengantar lamaran kerja.
"Santai saja, aku tidak merasa direpotkan kok. Lagipula kita sudah lama tidak bertemu, jadi aku sudah sangat sangat dan sangat merindukan kamu," jawab Susan sambil tersenyum manis.
"Oh iya, kamu melamar sebagai apa di sana?" lanjut Susan.
"Sebagai OB," jawab Zeira dengan santai.
Susan sedikit terkejut. "Ha....OB?" ucapnya.
"Iya, emang kenapa Susan?"
"Kamu berhenti bekerja dari pabrik roti, lalu melamar di perusahaan sebagai OB! Kan ini enggak lucu Zeira," protes Susan.
Di pabrik roti Zeira sudah diangkat sebagai kasir, terus kenapa dia berhenti hanya untuk menjadi OB di perusahaan? Itulah yang ada di dalam pikiran Susan saat ini.
"Susan, aku memiliki alasan untuk berhenti dari pabrik roti dan bekerja menjadi OB. Di pabrik roti aku memang sebagai kasir, tapi gajinya hanya 3 juta setiap bulan. Sedangkan menjadi OB aku digaji 5 juta setiap bulan. Itulah alasanku lebih memilih bekerja menjadi OB." Zeira menjelaskan semuanya kepada Susan.
"Iya sih, secara kan perusahaan Angkasa Grup adalah perusahaan besar. Bahkan dia memiliki cabang di beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, dan Prancis," timpal susah.
Sambil berbincang-bincang tanpa terasa mereka sudah tiba di depan sebuah bangunan tinggi berlantai 40. Di sinilah Zeira ingin melamar sebagai OB.
Saat ia tiba di lantai 25, Zeira melihat banyak orang yang sedang mengantar lamaran dan antri untuk interview.
"Maaf Mbak, surat lamarannya diberikan kepada siapa ya?" tanya Zeira kepada seorang wanita.
"Mbak mau melamar sebagai apa?" Wanita itu balik bertanya.
"Sebagai OB mbak," jawab Zeira sambil tersenyum manis.
Wanita itu langsung memperhatikan Zeira dari ujung kaki hingga ujung rambut. *Ini anak benar mau jadi OB?* tanya dalam hatinya.
Wanita itu tidak percaya kalau Zeira melamar sebagai OB. Secara body Zeira tinggi 165 senti meter, kulitnya putih mulus, rambutnya panjang, hidung mancung dan wajahnya cantik.
"Bisa aku lihat berkasnya dulu?" lanjut wanita itu.
"Oh, bisa mbak." Zeira menyerahkan map biru yang ia bawa dari rumah, kepada wanita itu.
Setelah lima menit hening, wanita itu kembali membuka mulut. "Ow..kamu sudah pernah bekerja di pabrik roti ya? Berarti kamu bisa masak?" ucapnya setelah memeriksa surat lamaran Zeira.
"Iya mbak, saya sudah 3 tahun bekerja di sana. Dan Alhamdulillah saya sudah bisa membuat kue, mengolah berbagai macam kopi. Saya juga bisa masak makanan rumahan."
Zeira memang pintar masak, ia mewarisi kepintaran ibu dan ayahnya dalam memasak. Dulu sewaktu ayahnya masih hidup! Mereka memiliki restoran. Tetapi restoran itu tutup 4 tahun yang lalu karena kehabisan modal untuk biaya pengobatan ayahnya.
"Wao, itu sangat bangus. Kalau begitu mbak Zeira mulai besok sudah bisa bekerja."
Mata Zeira membulat, bibirnya tersenyum lebar. Ia sangat bahagia diterima bekerja di sana. "Benarkah? Terima kasih ya mbak."
Setelah selesai interview, Zeira langsung meraih ponsel dari saku celana. Ia segera menghubungi ibunya dan memberitahu kalau dia diterima. Tentu Maria juga ikut bahagia di seberang sana.
..................Suara nyaring ponsel membangunkan Zeira di pagi hari. Wanita cantik keturunan Belanda dan Sunda itu selalu memasang alarm setiap hari, agar tidak terlambat bangun dan bisa tepat waktu tiba di tempat kerjanya.Sebelum ia berangkat bekerja, Zeira terlebih dahulu menyiapkan makanan untuk ibunya. Sebab Maria sudah tidak sanggup lagi melakukan perkejaan rumah, wanita paruh baya itu hanya bisa berdiri dan berjalan ke kamar mandi.
"Ibu saya pergi dulu ya?" pamit Zeira kepada Maria. Ia mencium punggung tangan ibunya serta keningnya.
Tepat pukul 7, Zeira sudah tiba di perusahaan Angkasa Grup. Ia mengenakan celana jeans panjang berwarna hitam dan kemeja berwarna putih. Sikap ramahnya membuat orang-orang disekitarnya mudah dekat dan senang kepadanya.
"Wah, kopi buatan kamu benar-benar enak. Pak bos pasti menyukainya." Puji Saddam.
"Terima kasih Pak," ucap Zeira dengan hormat.
Tentu dia harus hormat kepada Saddam, sebab pria tampan itu menjabat sebagai manajer. Dia adalah karyawan kepercayaan sang bos besar yaitu pemilik perusahaan Angkasa Grup.
Beberapa orang yang mencoba kopi buatan Zeira, semuanya mengatakan enak. Mereka memuji keahlian wanita cantik itu dalam mengolah kopi. Bahkan tidak banyak diantara mereka memberikan saran, agar Zeira membuka usaha, seperti kafe atau tongkrongan.
Namun apalah daya, ia tidak memiliki uang untuk modal. Jangankan untuk modal! Untuk makan sehari-hari saja susah. Tetapi Zeira bersikap manis dan tersenyum untuk merespon ucapan teman kerjanya. Zeira sama sekali tidak menunjukkan kesusahan atau masalah yang ada dalam hidupnya saat ini.
Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 5 sore, di mana para karyawan satu persatu sudah meninggal kantor, begitu juga dengan Zeira. Wanita cantik itu kembali ke rumah dengan menaiki motor metik peninggalan ayahnya.
Tetapi saat baru masuk dari pintu, Zeira merasa sesuatu yang aneh. Ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi, dan menumpahkan sesuatu yang mendorong dari perut lalu ke luar melalui mulut.
Zeira bolak balik masuk kamar mandi karena muntah. Entah mengapa perutnya terasa kembung dan mual.
"Ra, Zeira," panggil Maria.
"Iya Ibu," sahut Zeira dari dalam kamar mandi.
"Kamu kenapa sayang? Apa kamu sedang sakit ?" tanya Maria, karena dari tadi ia sudah mendengar suara mual-mual.
Zeira ke luar dari kamar mandi, ia menuntun ibunya melangkah ke ruang tamu.
"Aku enggak apa-apa Bu," ucapnya untuk menenangkan Maria.
"Tapi dari tadi ibu mendengar kamu mual-mual sayang!"
"Mungkin aku masuk angin Bu, nanti minum tolak angin pasti sembuh," jawab Zeira.
"Kalau begitu pergilah ke Apotik membelinya." Perintah Maria dan langsung dituruti oleh Zeira.
Zeira meraih kunci motor dari atas meja, lalu pergi menuju Apotik. Tetapi saat diperjalanan, Zeira tiba-tiba mengigat kalau selama dua bulan ini ia tidak datang bulan.
"Ya Tuhan, mungkinkah hanya sekali melakukan langsung hamil?" Zeira bertanya dalam hati.
"Ah....tidak mungkin. Aku tidak mungkin hamil," ucapnya lagi.
=============Saat masuk ke dalam Apotik, Zeira berniat hanya membeli tolak angin. Namun hati kecilnya berkata lain, ingin rasanya membeli alat tes kehamilan untuk memastikan apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Akhirnya dengan wajah malu, Zeira membeli tiga tes kehamilan lalu kembali ke rumah. Tangannya gemetar saat mencelupkan benda kecil berbentuk panjang itu, ke dalam urin yang ia tampung dalam mangkuk kecil. "Tolong aku ya Tuhan, semoga hasilnya negatif," ucap Zeira sambil memejamkan mata. Perlahan ia membuka mata dan melihat ada dua garis merah di sana. Seketika jantungnya berdegup kencang, seluruh tubuhnya gemetar. Zeira tidak tahu harus berbuat apa, ia bingung harus meminta pertanggungjawaban kepada siapa. Sebab ia tidak mengenal pria yang tidur bersamanya dua bulan yang lalu. Pikirannya yang kacau, membuat wanita cantik itu berteriak histeris. "Tidak.....tidak...." Mendengar teriakkan Zeira, Maria berusaha bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah menuju kamar putrinya dengan la
Zeira berhenti tepat di depan pintu ruangan CEO. Ia ragu mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, jantungnya serasa dak dik duk di dalam sana. Ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan lembut melalui mulut, untuk menetralkan perasaannya. Setelah lima menit, akhirnya Zeira memberanikan diri untuk mengetuk pintu. "Masuk." Terdengar suara bariton dari dalam sana. Zeira membuka pintu. "Permisi Pak, saya ingin mengantar makanan," ucap Zeira dengan lembut, sambil menundukkan kepala. "Hm...." jawab singkat Anjas, tanpa melihat lawan bicaranya. Matanya fokus ke layar monitor laptop, dan jari tangannya berselancar di keyboard. "Saya taruh di atas meja ya Pak?" ucap Zeira. "Hm...." Lagi-lagi Anjas menjawab dengan singkat. Zeira melangkah menuju sofa, ia menaruh nampan di atas meja lalu memutar tubuh dan kembali melangkah menuju pintu. "Saya permisi dulu Pak," pamit Zeira. "Hm...." Anjas membalas dengan jawaban yang sama. "Ya Tuhan, apa tidak ada jawaban lain selain Hm.." ger
Zeira refleks memutar tubuh, matanya membulat sambil menelan saliva dengan kasar melihat Anjas berdiri di bibir pintu. "Ti...ti....tidak bicara apa-apa Pak?" Ucapnya dengan gugup. *Mati lah aku* lanjutnya di dalam hati. "Jangan biasakan bicara sendiri, hanya orang tidak waras yang melakukan itu." Anjas meletakkan sekop sampah berisi serpihan kaca yang Zeira tinggalkan tadi. Setelah itu Anjas langsung pergi meninggalkan Zeira dan kembali ke ruangannya. Zeira menghela napas lega. "Syukur dia tidak mendengarnya. Kalau tidak! Habis lah aku," ucapnya sambil mengelus dada.....................Waktu telah menunjukkan pukul 5, Zeira kini sedang bersiap-siap untuk pulang. Ia melangkah ke luar dari ruangan sambil tangannya sibuk mengetik layar ponsel untuk membalas pesan dari sahabatnya Susan. Wanita cantik itu benar-benar tidak memperhatikan jalannya, sehingga ia salah pintu. Seharusnya Zeira memasuki lift khusus karyawan yang terletak di sebelah kanan. Tetapi saat ini ia memasuki lift se
"Jika kamu tidak mau menikah dengan Bella ataupun wanita lain! Itu artinya kamu tidak memiliki kesempatan untuk mendapat warisan Wijaya. Aku hanya memberikan warisan kepadamu jika kamu sudah memiliki keturunan. Jadi, pikirkan baik-baik." Gunawan meninggalkan pintu ruang kerja Anjas. "Menikah, menikah, dan menikah. Itu dan itu yang selalu dibahas." Geram Anjas. Entah apa yang membuat pria tampan itu tidak mau menikah dan memiliki rumah tangga. Padahal dia lelaki perkasa, bahkan hampir setiap malam ia membayar wanita untuk menemaninya tidur. Anjas meraih ponsel dari atas meja, lalu menghubungi seseorang. "Iya bro." Suara dari balik ponselnya. "Lu di mana? on the way ke tempat biasa ya, aku lagi pusing nih," ucap Anjas. "Ok bro." Setelah memutuskan sambungan telepon, Anjas bergegas meninggalkan kediaman Wijaya menuju tempat hiburan malam. Di sana ia bersenang-senang bersama sahabatnya Marsel dan beberapa wanita penghibur. Anjas selalu ke tempat ini setiap kali ia berdebat dengan
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, semua karyawan sudah meninggalkan kantor. Hanya beberapa orang yang tinggal di sana, salahsatunya Zeira, Anjas, Saddam dan beberapa karyawan lainnya. "Zeira." Seseorang memanggil dari pintu. Zeira memutar tubuh menghadap pintu. "Iya Pak," ucapnya setelah melihat Saddam berdiri di sana. "Malam ini ada klien yang akan datang ke kantor ini, dan orang itu adalah klien spesial Pak Anjas. Jadi tolong siapkan makanan dan minuman untuk mereka." "Baik Pak." Sahut Zeira dengan sopan. Zeira berkutat di dapur kesayangannya, ia menyiapkan beberapa menu makan malam untuk para tamu dan bosnya. Selama 2 jam berada di dekat kompor, akhirnya Zeira menyiapkan 3 menu makanan dan 1 macam kue. Zeira baru saja menjatuhkan bokong di atas kursi untuk menghilangkan lelah, tetapi tiba-tiba seorang karyawan datang ke sana dan memintanya untuk mengantar makanan ke ruangan Anjas. "Baik mbak, aku akan mengantarnya," ucap Zeira sambil bergegas menyusun makanan ke atas nampan.
Maria menundukkan kepala, ia membulatkan niat untuk mengatakan yang sebenarnya kepada Zeira. "Tadi ada tetangga yang datang kemari. Mereka bertanya tentang tes kehamilan yang kamu beli waktu itu di Apotek," ucapnya. Mata Zeira membulat, otaknya berpikir mengigat dengan siapa ia bertemu waktu itu. "Perasaan tidak ada yang melihatku waktu itu, tapi kenapa mereka bisa tahu Bu?" "Ibu tidak tahu dari mana mereka mengetahuinya." Jawab Maria. "Terus apa lagi yang mereka katakan, Bu?" "Jika memang kamu terbukti hamil di luar nikah, kita disuruh pergi dari sini." Jawab jujur Maria. Zeira menggenggam kedua tangan Maria. "Maafkan aku Ibu," ucapnya sambil berurai air mata. "Tidak apa-apa sayang. Ini bukan kesalahanmu, tetapi ini adalah takdir dari yang kuas." Maria mengelus ujung rambut Zeira dengan penuh kasih sayang. "Sekarang istirahatlah, ini sudah larut malam," lanjut Maria meminta putri kesayangannya untuk masuk kamar.....................Cuaca mendung menyambut Zeira di pagi ha
Walaupun Zeira sudah memohon, namun Anjas tetap pada keputusannya untuk memecat Zeira dari sana. Zeira ke luar dari ruangan Anjas sambil berurai air mata. "Zeira kamu kenapa?" Tanya Saddam yang baru ke luar dari ruangannya. Ia menghampiri Zeira lalu mengajaknya duduk di sofa. "Kamu kenapa menagis?" Saddam kembali bertanya karena Zeira belum menjawabnya dari tadi. "Pak Anjas memecat aku, Pak." "Ha...." Saddam terkejut, "Kenapa?" Lanjutnya bertanya. "Karena kesalahan kemarin. Tapi wajar jika Pak Anjas memecat aku dari sini, soalnya aku sudah membuat meeting Pak Anjas dengan kliennya berantakan." Zeira menyalahkan dirinya atas kejadian tadi malam. "Enggak, kamu enggak membuat berantakan kok. Aku tahu kalau kamu juga tidak menginginkan hal itu terjadi." Bantah Saddam. Ia tahu kalau Zeira tidak berpura-pura atau sengaja. Lagipula mana ada orang yang menginginkan dirinya pingsan. "Kamu tunggu di sini dulu, biar aku coba bicara pada Pak Anjas." Saddam bangkit dari sofa, tetapi Zeir
Empat bulan telah berlalu, di mana saat ini usia kandungan Zeira sudah memasuki tujuh bulan. Bahkan akhir-akhir ini dia sering berangkat subuh saat pergi bekerja dan pulang malam. Itu semua ia lakukan agar para tetangga tidak melihat kalau perutnya sudah semakin membesar. Begitu juga dengan malam ini, Zeira sengaja pulang malam. Tetapi seratus meter dari rumahnya! Ia sudah melihat kerumunan warga di sana. Zeira memarkirkan motor sembarang lalu berlari melewati keramaian, ia langsung memeluk ibunya yang berdiri di bibir pintu. "Ibu, Ibu ada apa ini?" Tanya Zeira sambil memeluk ibunya. "Sekarang kalian harus pergi dari sini." Sahut salah satu warga. "Iya kalian harus pergi malam ini juga." Sahut yang satu lagi. "Usir, usir, usir mereka," ucap para warga. "Kenapa Bu, kenapa kami diusir dari sini?" Tanya Zeira sambil meneteskan air mata. Sebenarnya ia sudah tahu kenapa para warna meminta mereka pergi dari sana. Tentunya karena ia hamil di luar nikah. "Kamu tidak perlu berpura-pura