Seperti biasa, jam 7 pagi Zeira sudah tiba di kantor. Wanita cantik itu sedang berkutat mengerjakan pekerjaannya, dan tidak lupa sambil bersenandung rindu. Tok....tok....tok..... Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Zeira memutar tubuh ke arah pintu. "Iya mbak, ada yang bisa saya bantu?" Ucap Zeira dengan tersenyum ramah. Namun wanita itu bukannya menjawab, justru ia memperhatikan Zeira seperti orang yang sedang bingung. "Ada yang bisa saya bantu Mbak?" Zeira mengulang ucapannya. "Kamu" wanita itu menunjuk Zeira dengan satu jari tangannya. "Bukannya mbak yang menitipkan amplop ini kepadaku waktu itu?" lanjutnya sambil menunjukkan amplop besar berwarna cokelat. Zeira memperhatikan amplop itu, seketika ia mengenal dan mengingatnya, kalau amplop itu adalah amplop yang ia temukan waktu kejadian di hotel 2 tahun yang lalu. "Iya, saya mengingatnya." Jawab Zeira. Namun ia bingung kenapa wanita itu mencarinya dan membawa amplop itu kembali. "Nah.... tenyata benar. Aku pikir aku
Pagi ini Zeira lebih awal tiba di kantor, sebelum ia menyerahkan surat pengunduran diri, Zeira terlebih dahulu membuatkan sesuatu untuk para karyawan terutama untuk Anjas. Sebenarnya Zeira gugup dan tidak sanggup untuk bertemu dengan pria yang sudah menghamilinya itu. Tetapi Zeira menguatkan diri, karena harus memberikan surat pengunduran dirinya secara langsung kepada Anjas. Zeira tidak mau saat berhenti bekerja dari sana meninggalkan kesan yang tidak baik. Ting-nong....ting-nong.... Zeira meraih ponsel dari dalam tas. "Susan," ucapnya setelah melihat nama yang muncul di layar ponselnya, sambil mengusap tombol berwarna hijau. *Iya San* *Ra, kamu lagi sibuk gak?* Suara dari seberang sana. *Enggak, kenapa San?* Zeira mulai khawatir, sebab Susan tidak pernah menghubunginya di jam kerja, apalagi masih pagi seperti ini. *Kamu bisa turun sebentar gak? Soalnya aku lagi di lobby nih* *Di lobby? Tunggu sebentar ya San* Zeira memutuskan sambungan teleponnya. Ia bergegas menemui Saddam
Karena bujukan dari Anjas, akhirnya Azka menuruti ucap Zeira. Balita satu tahun itu menjulurkan kedua tangan agar Zeira menggendongnya. "Saya permisi dulu Pak," ucap Zeira dengan hormat. "Hm..." Jawab singkat Anjas dengan wajah dingin. "Papa." Panggil Azka saat akan ke luar dari pintu. Anjas memutar kepala ke arah pintu, ia tersenyum manis sambil melambaikan tangan. "Dada, sampai bertemu di lain waktu." ucapnya. Mendengar ucapan Anjas, seketika air mata Zeira menetes. Hatinya begitu sedih karena akan membawa Azka pergi dari Jakarta. Begitu juga dengan Anjas, entah mengapa ia merasa sedih mengigat Zeira akan membawa Azka pindah ke kampung. Ada rasa tidak rela dalam hatinya, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Azka adalah anak Zeira. Sepanjang perjalanan dari kantor menuju rumah, air mata Zeira tidak berhenti menetes. Rasa sedih menyelimuti hati dan perasaannya. Padahal selama satu tahun ini Zeira tidak pernah sesedih ini, tetapi setelah mengetahui kalau Anjas adalah aya
Satu tahun telah berlalu, Anjas menjalani hari-hari dengan berbagai masalah. Pria tampan itu selalu berdebat dengan adik tiri dan ibu tirinya tentang warisan. Bahkan selama satu tahun ini, Anjas jarang pulang ke kediaman Wijaya. Ia lebih memilih tinggal di apartemen atau menginap di hotel. "Asep." Panggil Anjas kepada sopir pribadi. "Iya Tuan." Jawab Asep dengan hormat sambil menyetir mobil. "Kita ke hotel." Perintah Anjas. "Baik Tuan." Asep memutar stir mobil menuju hotel langganan Anjas. Dalam perjalanan Anjas sudah memesan kamar untuk mereka. Ia memesan kamar VIP untuk 3 hari. Anjas rencananya tidak kembali ke kediaman Wijaya selama tiga hari ini, karena ayahnya ada di sana. "Selamat sore Pak." Sapa para resepsionis hotel. Setiap Anjas menginap di sana, para resepsionis berusaha bersikap ramah, bahkan mereka berlomba-lomba untuk melayaninya selama pria tampan itu menginap di hotel itu. "Hm...." Balas singkat Anjas. Pria tampan itu meraih kunci dari resepsionis, melangkah
Sudah 3 kali Anjas menghubungi nomor ponsel Zeira, namun tidak satupun yang terhubung. Tetapi setelah pukul 11 malam, tiba-tiba ponselnya berdering. Ting-nong.....ting-nong.... Pria tampan itu dengan sigap meraih ponsel dari atas meja. "Zeira," ucapnya dengan lembut. *Kamu di mana?* Anjas langsung bicara pada intinya. Tentu lawan bicaranya di seberang sana bingung, sebab nomor yang menghubunginya adalah nomor baru. Walaupun Zeira merasa familiar dengan suatu itu! Tetapi ia tetap saja bertanya. *Ini siapa?* Sahut dari seberang sana. *Kamu pasti mengenal suaraku Zeira. Kamu tidak perlu berpura-pura tidak tahu* *Maaf Pak, tapi aku benar-benar tidak tahu siapa anda* tegas Zeira. *Yang pastinya aku bukan penjahat, maling, mafia atau pembunuh bayaran. Aku hanya ingin bertemu dengan kamu, ada hal penting yang harus kita bicarakan* *Aku tidak akan pernah bertemu dengan anda, sebab aku tidak mengenal anda* tolak Zeira dan langsung memutuskan sambungan teleponnya. Bahkan Zeira langsu
"Putramu?" Sahut Anjas dengan tersenyum sinis. "Dia bukan putramu Zeira, tetapi putraku." Lanjutnya. "Dia adalah putraku, aku mohon jangan bawa Azka." Bantah Zeira sambil memohon agar Anjas tidak membawa Azka. "Azka mau kan, ikut papah ke Jakarta? nanti papah belikan mainan yang banyak buat Azka, terus papah buat kamar Azka gambar Spiderman." Bujuk Anjas. "Bukan Spiderman papah, tapi tayo." Protes Azka dengan gaya bicara khas anak-anak. "Oh iya, Toya." Timpal Anjas sambil tersenyum bahagia. "Kita pergi ya?" Tanya Anjas dengan nada membujuk kepada Azka. Tentu anak yang tidak tahu apa-apa itu mengangguk, karena bahagia akan dibelikan mainan kesukaannya. Dia berpikir kalau Jakarta itu adalah pasar di mana tempat membeli mainan, setelah itu mereka kembali ke rumah. Zeira berlari mengikuti Anjas yang sedang melangkah menuju pintu sambil menggendong Azka. "Tolong jangan bawa anakku, aku tidak sanggup berpisah darinya." Tangis Zeira sambil berlutut memohon di hadapan Anjas. "Anakmu?
"Tuan muda Azka adalah putra kandung tuan Anjas, Tuan." Ucap Asep ragu-ragu. "Apa maksud kamu Asep?" Tanya Gunawan, ia masih belum mengerti maksud ucapan Asep. "Begini Tuan." Asep menceritakan tentang pertemuan Anjas dan Zeira tiga tahun yang lalu. "Bagaimana mungkin?" Tantang Riana. Ia tidak percaya kalau anak itu adalah darah daging Anjas. "Hanya satu kali bisa membuat Zeira hamil? Sungguh tidak masuk akal." Lanjutnya. Tentu Riana tidak terima kalau Azka adalah anak kandung Anjas. Karena, jika Azka benar-benar anak kandung Anjas! Gunawan akan segera menyerahkan warisan Wijaya kepada Anjas. Sebab itu sudah tertulis dalam surat perjanjian, yang dibuat oleh kakek Anjas sebelum meninggal dunia. "Apapun bisa terjadi jika Tuhan menghendaki." Sahut Anjas. "Papa juga belum bisa percaya dengan semua ini. Bagaimana mungkin wanita itu tidak meminta pertanggungjawaban, sementara selama ini dia bekerja sebagai OB di perusahaan Wijaya?" Gerutu Gunawan. Hal yang wajar jika ia berpikiran sep
Maria kembali ke Bandung dengan rasa putus asa. Jangankan untuk membawa Azka kembali bersamanya, melihat wajah Azka saja, tidak. Namun Zeira berusaha menghibur dan memberikan semangat pada ibunya. "Zeira, apa Azka sudah melupakan kita?" Tanya Maria. Saat ini mereka sedang duduk di ruang tamu. Sebab tadi pagi, Zeira sudah diizinkan dokter untuk pulang ke rumah. "Tidak ibu, Azka tidak akan pernah melupakan aku dan ibu. Aku percaya kalau putraku selalu memanggil dan mencari aku saat dia bangun tidur." Zeira yakin dengan perasaannya, bahwa Azka mengigat dan mencarinya. "Semoga saja sayang, ibu juga berharap seperti itu." Timpal Maria. Keduanya berpelukan sambil menumpahkan air mata. Sungguh Zeira tidak tahu harus berbuat apa untuk mendapatkan kembali putranya. Keluarga Wijaya bukanlah keluarga sembarangan, mereka memiliki banyak kekuasaan sehingga sulit untuk menantang mereka. Walaupun Zeira membuat laporan ke kantor polisi! Semua itu akan sia-sia dan hanya membuang-buang tenaga. An