Share

03. Penguntit

Violet pikir fakta yang ia dengar sendiri tentang Nolan akan mengubah perasaannya, atau paling tidak mengurangi persentase yang semula penuh.

Namun, nyatanya tak ada yang berubah dari Violet. Perasaannya pada Nolan tidak berubah, masih sama, masih sangat menyukai pria yang sudah jelas-jelas tak menghargai seorang wanita.

Masih menjalankan misinya dan masih menyimpan harapan untuk bisa menjadi bagian dalam hidup Nolan.

Violet segila itu.

Bagi Violet, Nolan tetap memukau, tetap mendominasi, bahkan tetap mampu membuat kinerja jantungnya berpacu kacau. Violet tidak mengerti mengapa pengaruh Nolan begitu besar. Terkadang, Violet juga berpikir, apa ketika Nolan menikah ia baru akan benar-benar berhenti?

Violet mungkin sudah meletakkan seluruh hatinya pada Nolan, sekalipun Nolan tidak tahu bahwa Violet mencintainya sebesar itu. Hanya Violet yang mampu menyimpan rasa dalam waktu lama dan selama itu pula sibuk untuk berpura-pura.

“Untuk bulan depan, kamu bisa minta catatannya pada Pastel.”

Violet terperanjat. Dia lupa dirinya masih berada di ruangan Nolan. Untungnya Violet mendengar semua yang Nolan perintahkan meski selama beberapa menit Violet sibuk membayangkan beberapa kemungkinan. Perkara Nolan selalu berhasil merenggut kesadarannya.

Violet cepat mengontrol diri untuk kembali fokus pada pekerjaannya. Menjadi sekretaris ternyata membuat Violet tidak punya waktu luang. Jika biasanya ia masih bisa sesekali berdiskusi dengan Grey, kini Violet jelas tidak bisa melakukan itu, tidak bisa sesantai itu dalam bekerja, dia dituntut selalu fokus dan menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.

“Baik, Bos. Setelah ini selesai saya akan langsung minta pada Kak Pastel.” Violet mengatakan itu sembari mengecek data.

“Pastel orangnya santai, ya? Dia melarang bawahannya memanggil dia dengan sebutan ‘ibu’.” Nolan mengalihkan pembicaraan, sengaja memperpanjang interaksi dengan membahas Pastel, manajer personalia. Membiarkan suasana hening lebih dari satu jam ternyata cukup menyiksa. Saat Cella masih bekerja menjadi sekretarisnya, Nolan sering kali mengobrol ringan, banyak juga selingan gurauan yang mereka ciptakan. Sesekali memang perlu, tetapi Nolan tipe orang yang serius, kalau ada kesalahan sedikit saja, Nolan akan membombardirnya tanpa ampun.

“Iya, Bos. Kak Pastel tidak mau terlalu kaku.” Violet setuju. Seketika ia jadi membayangkan ketika Pastel kesal dengannya yang dulu memanggilnya ‘ibu’. Wanita berusia 40 tahun itu selalu mengelak jika dirinya sudah tua, dan sebutan ‘ibu’ bagi Pastel merujuk pada usia, tetapi sebenarnya ‘ibu’ yang dimaksud merupakan bentuk penghormatan sebagai bawahan terhadap atasan.

“Bukan kaku, tapi dia tidak mau mengakui umurnya,” sanggah Nolan. Dua siku tangannya menyangga di atas meja, sementara bola mata Nolan terpusat pada Violet. Lelahnya sedikit berkurang saat memandang Violet. Ada energi baru yang mengalir, daripada segelas kopi ternyata kehadiran Violet lebih berpengaruh.

“Benar, Bos. Kak Pastel lucu.”

“Bukan lucu, tapi tidak tahu diri saja,” koreksi Nolan.

Tawa tipis Violet cukup menjadi pertanda untuk menyudahi obrolan. Violet sadar saat ini Nolan sedang membangun hubungan baik dengannya, tetapi dengan itu ia merasa seperti diberi harapan. Satu sisi Violet memang senang, tetapi satu sisi lainnya ada kekhawatiran. Violet tidak bisa menjelaskan kekhawatiran dalam hal yang mana, ia sendiri pun bingung.

Di detik berikutnya suasana kembali hening. Violet tidak lagi menanggapi Nolan. Dia cukup memproteksi diri untuk tidak terlalu dekat untuk sekarang, ada jarak yang sengaja ia ciptakan untuk mengingatkan posisinya. Selain itu, alasan pelik yang masih Violet pendam menjadi pertimbangannya akhir-akhir ini. Namun, Violet tidak mundur dari rencananya, hanya perlu waktu sampai dirinya siap.

Mungkin Grey akan memarahinya jika Violet mengatakan bahwa sampai sekarang ia belum benar-benar siap harus mendekati Nolan secara terang-terangan. Grey sudah membantu sejauh ini, dan Violet tidak ingin mengecewakannya. Violet masih mempersiapkan diri untuk memantapkan tekadnya.

Jadi, adakah yang lebih aneh dari Violet?

“Setelah ruangan kerja Cella selesai dibereskan, kamu akan langsung menempatinya. Untuk sekarang, kamu satu ruangan dengan saya. Mungkin tiga hari lagi kamu sudah bisa punya ruangan sendiri. Jadi, bersabar sedikit lagi.” Nolan mengatakan itu karena ia menangkap dari gelagat Violet yang kurang nyaman. Tidak hanya sekali Violet menghindari tatapannya. Bahkan, Violet sengaja memutus obrolan lebih dulu, seperti enggan berbicara lama dengannya.

Nolan menunggu reaksi Violet. Ibu jarinya tak henti memainkan bibir bawahnya yang tebal dengan raut wajah yang tampak tidak sabar.

Violet yang awalnya mengira Nolan kembali berbicara basa-basi, selang beberapa detik tersadar bahwa ada maksud lain dari ucapan Nolan.

“Iya, Bos. Tidak masalah.” Jawaban Violet jelas tidak seperti kenyataannya. Pun Nolan mengerti jika Violet tidak berani berkata jujur.

Satu desahan kasar Nolan mengudara.

Dia merasa kalau mereka terlalu kaku. Apa kesan Nolan selama ini seburuk itu?

Nolan tidak sempat menjelaskan karena ponselnya yang berbunyi sudah mengambil atensinya lebih dulu. Dia melirik Violet sebentar sebelum berjalan ke arah kaca besar yang memperlihatkan pemandangan gedung tinggi lain.

“Halo, sayang.”

Kalimat singkat itu kontan membuat Violet sigap. Dia langsung memutuskan fokusnya yang semula pada data yang terpampang di layar komputer untuk memasang daun telinga lebar-lebar. Menguping pembicaraan Nolan diam-diam menurutnya tidak masalah.

“Maaf, saya sibuk belakangan ini. Ada apa?”

Tangan Violet bergerak untuk membuka berkas, tetapi bola matanya memutar arah menuju Nolan yang berdiri di depan kaca besar, membelakanginya.

“Benarkah? Kita bertemu di mana? Hotel?”

Refleks, Violet meremas berkas penting yang ia pegang. Hatinya memanas. Entah mengapa Violet yakin jika yang sedang menghubungi Nolan adalah kekasihnya.

Violet memindahkan arah pandangnya tepat ketika Nolan hendak berbalik. Secepat mungkin Violet berpura-pura fokus dengan pekerjaannya meski telinga Violet masih bekerja dengan baik untuk mendengar apa yang Nolan katakan.

“Kafe Winter Snow? Baiklah. Sekarang juga saya ke sana.”

Tidak banyak yang Nolan ucapkan lewat ponsel. Namun, Violet tentu paham dari apa yang ia dengar. Ini menyangkut kerinduan sepasang kekasih yang memutuskan untuk bertemu.

Pembicaraan singkat itu bahkan diakhiri oleh senyuman ranum yang terbit dari bibir Nolan. Singkat, sesingkat perubahan padanan emosi Violet. Dia penasaran bagaimana sosok perempuan yang mampu menjerat seorang Nolan.

Rasa penasaran Violet yang begitu tinggi mendorongnya untuk melakukan sebuah rencana gila—membuntuti ke mana Nolan bertemu dengan kekasihnya. Ditemani keyakinan, Violet sudah bertekad untuk merealisasikannya.

Nolan kemudian berjalan ke arah meja kerjanya lagi untuk mengambil jas dan tas jinjing. “Saya ada urusan sebentar. Setelah pekerjaan kamu selesai, taruh saja di meja saya. Kalau sempat saya akan mengeceknya nanti. Atau besok pagi baru saya cek,” ucap Nolan sembari menyampirkan jas hitamnya di lengan sebelah kiri.

“Baik, Bos.” Violet sebisa mungkin menahan diri.

Baru setelah Nolan meninggalkan ruangan, Violet mengembuskan napas kasar beberapa kali. Ditutupnya semua berkas, mematikan layar komputer dan memasukkan ponsel miliknya ke dalam tas. Violet harus mengikuti ke mana Nolan pergi. Maka, ia bergegas menyambar kunci mobil agar tidak kehilangan jejak.

***

Persis seperti detektif atau mungkin lebih tepat disebut penguntit. Violet berjalan mengendap-endap di belakang Nolan. Tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh. Violet memastikan bahwa Nolan tidak sadar ia sedang mengikutinya.

Violet berdebar, ia tentu takut akan ketahuan. Apa yang ia lakukan jelas berisiko, tetapi Violet masih mengedepankan rasa penasaran.

Saat ini Nolan memasuki area parkir, sementara Violet masih mengikuti di belakang dengan tetap menjaga jarak. Suara sepatu hak tingginya sampai tidak terdengar karena memang Violet melangkah sangat hati-hati. Tiang besar menjadi pilihan Violet selanjutnya untuk bersembunyi, karena tidak mungkin ia langsung mengikuti Nolan menuju mobil.

Dari kejauhan alarm mobil Nolan sudah berbunyi. Mobil hitam metalik itu sangat mengagumkan seperti pemiliknya. Porsche memang tidak main-main, sepadan dengan harganya yang menjulang. Apalagi, mobil mewah itu dinaiki oleh seorang pria tampan seperti Nolan. Violet bertaruh, hanya dengan sekali kedipan mata, Nolan akan mudah menarik wanita mana pun untuk duduk di kursi penumpang.

Usai Nolan memasuki mobilnya, Violet yang bersembunyi di belakang tiang besar sedikit mengintip. Nolan tidak langsung melajukan mobilnya, ia menghubungi seseorang sebentar. Violet bertahan sampai Nolan menutup panggilan dan melajukan mobilnya meninggalkan area itu.

Baru sepeninggal mobil Nolan, Violet berlari menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari mobil Nolan tadi. Buru-buru ia mengikuti mobil Nolan yang sudah pergi lebih dulu, berharap tidak tertinggal jauh.

Namun, untuk mengantisipasi kehilangan jejak, Violet mengambil ponselnya di dalam tas, satu tangannya masih memegang kemudi.

Winter Snow tadi Nolan bilangnya.” Tangan Violet lincah memencet layar ponsel untuk masuk ke dalam aplikasi peta kemudian memasukkan alamat yang ia cari.

“Ini tidak jauh dari sini.” Violet semakin menginjak gas untuk melajukan mobilnya lebih cepat setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas lagi.

Seperti dugaannya, mobil Nolan sudah tidak terlihat. Namun karena Violet sudah mengetahui ke mana tujuannya, ia sedikit lega.

Hanya butuh waktu kurang lebih lima belas menit Violet sampai di kafe yang dimaksud. Mobil Nolan juga sudah terparkir di sana, di antara deretan mobil lain. Violet memilih memarkirkan mobilnya di deretan yang berbeda, agak jauh dari mobil Nolan.

Ini terlalu gila bagi Violet. Baru kali ini Violet sampai melakukan hal sejauh ini demi seorang pria. Nolan lebih istimewa dari hadiah ulang tahun Violet. Tidak, bahkan Nolan jauh lebih istimewa dari apa pun.

Langkah Violet yang sempat ragu kini lebih mantap, tegas dan berkelas. Bokongnya yang dibalut rok ketat menjadi pusat perhatian kaum pria. Violet sadar, tetapi sengaja mengabaikan, membiarkan dirinya menjadi objek menarik.

Bola mata Violet yang berwarna cokelat terang memindai ke seluruh penjuru kafe. Tidak sulit menemukan Nolan dengan seorang wanita. Mereka duduk di sudut kanan, dekat jendela. Namun, sebelum mendekat ke sana, Violet memakai kacamata hitam, mungkin dengan itu bisa menjadi alat penyamaran.

Tadinya Violet menargetkan meja di samping Nolan, tetapi karena risiko ketahuannya lebih besar, akhirnya Violet memilih posisi yang tidak terlalu dekat, tetapi diperkirakan masih bisa mendengar pembicaraan Nolan. Violet berharap long coat yang ia kenakan pun tidak terlihat mencurigakan. Semoga Nolan tidak ingat Violet sempat mengenakannya ketika datang ke perusahaan pagi ini.

Baru saja duduk beberapa detik, salah satu pelayan pria menghampirinya. “Mau pesan apa, Lady?”

Lady? Violet baru tahu jika ada kafe yang memanggil pelanggannya dengan sebutan itu.

Hot matcha, please,” ucapnya lirih.

“Baik, tunggu Lady.”

Setelah pelayan pria pergi, Violet yang duduk terhalang satu meja di belakang dari Nolan mulai memusatkan telinganya untuk mendengar obrolan Nolan dengan kekasihnya. Wanita seksi yang saat ini menggenggam tangan Nolan itu terasa familier bagi Violet. Rasanya Violet pernah bertemu atau pernah melihatnya sebelum ini.

Violet ingin mengamati lebih lama lagi, tetapi terjeda dengan kehadiran pelayan pria yang sudah membawakan pesanannya. Waw, cepat sekali datangnya.

“Selamat menikmati, Lady. Tapi, mohon maaf, ada yang menitipkan ini untuk Lady.” Sang pelayan menyerahkan kertas kecil. “Dari pria tampan di sana,” tunjuknya ke arah pria yang duduk tidak jauh dari Violet. Violet kontan mengikuti arah jari telunjuk pelayan. Memang benar tampan, tetapi Violet tidak menyukai tipe pria yang mendekati wanita dengan cara klasik seperti ini.

Violet memilih mengabaikannya. Dia juga tidak tertarik membaca isi kertas, malah kembali mengamati Nolan dan kekasihnya.

“Aku merasa lebih bahagia dengan hubungan kita yang seperti ini.” Kalimat itu terucap dengan nada lembut. Tatapan yang wanita itu berikan pada Nolan juga teduh.

Namun, reaksi yang Nolan berikan justru berupa dengusan. “Tidak jelas seperti ini yang kamu maksud? Runa, apa kamu tidak mau melihat saya setiap hari?”

“Bukan—“ Wanita yang bernama Aruna lantas mengelus pipi Nolan. “Bukan begitu, Nolan. Aku hanya ingin bebas, itu saja. Lagi pula, kita masih bisa bertemu kapan pun kau mau.”

Nolan menghela napas. “Kamu memang keras kepala, sayang.”

“Hm, kau tahu bagaimana aku, Nolan.” Satu senyuman manis Aruna suguhkan untuk Nolan. Mereka saling menatap intens.

Setelah itu, apa yang terjadi selanjutnya bukan suatu hal yang ingin Violet lihat. Dia tahu itu akan menyakitinya, tetapi bodohnya Violet justru bertahan di sana, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Nolan dan Aruna saling bercumbu.

Hal lumrah yang dilakukan oleh sepasang kekasih, tetapi tidak etis dilakukan di tempat umum. Namun, daripada menyorot tentang etika, Violet lebih mementingkan kondisi hatinya. Adapun yang membuat hatinya sesakit itu ada di depan sana.

Apalagi, satu kalimat yang meluncur dari bibir Nolan sudah cukup membuatnya sakit bertubi-tubi, seperti dadanya terus ditikam berkali-kali.

“Saya mencintai kamu, Aruna.”

Detik itu, Violet memegang dadanya. Violet tidak bisa menyalahkan Nolan. Semuanya jelas—antara ia dan Nolan tidak ada hubungan khusus—hanya sebatas atasan dan bawahan. Namun, rasanya masih saja sakit, sekalipun Violet mencoba menyadarkan dirinya.

Violet tidak tahu apakah yang ia lakukan sudah benar atau malah salah besar. Dia berusaha untuk mengejar Nolan, tidak lagi berdiam dengan terus memendam perasaan meski tidak yakin juga sebesar apa kadar perasaannya. Hal itu yang selama ini membuatnya ragu. Namun, Violet yang pada dasarnya tidak bisa tegas mengambil keputusan harus berkomitmen dengan Grey untuk mendapatkan Nolan.

Bukankah Violet terlalu jahat jika mengambil Nolan dari wanita yang mencintainya?

“Nolan, cukup. Kau mau mempermalukan aku di tempat umum?” Aruna menjauh saat salah satu tangan Nolan menyentuh bagian tubuhnya.

Nolan hanya tertawa singkat seperti tidak merasa bersalah. “Kamu yang mengajak saya ke sini. Sejak kapan selera kamu jadi kafe begini? Biasanya juga di hotel, kalau tidak di apartemen.”

“Sejak memilih bebas dari Nolan.” Aruna menanggapinya dengan gurauan.

Sementara Violet yang sudah kacau pada akhirnya tak bisa menahan diri lebih lama. Air matanya sudah luruh, menetes melewati kacamata hitam yang menggantung di hidungnya. Namun, sebelum beranjak dari duduknya, Violet mendengar namanya disebut di antara pembicaraan Nolan dan Aruna, alhasil Violet menunda kepergiannya.

“Kau bilang, sekretarismu sekarang bernama Violet. Ceritakan padaku bagaimana dia.” Aruna terdengar menuntut. Sejatinya, Aruna dan Nolan itu sama. Sama-sama posesif, sama-sama ingin menjadi dominan, dan sama-sama tidak mau diatur. Karena kesamaan itulah yang justru membuat mereka tak bisa bersatu. Tidak ada yang mau mengalah di antara keduanya.

“Dia masih belajar menggantikan Cella. Dia belum bisa beradaptasi dengan pekerjaan barunya,” jelas Nolan.

“Kau masih mempertahankannya? Come on, Nolan. Kau tidak biasanya begini. Sekali karyawanmu melakukan kesalahan, kau pasti sudah memecatnya. Apalagi sekretarismu. Kau hanya memilih yang sempurna.”

Violet mendengarnya. Dia mendadak ikut menerka-nerka mengapa Nolan masih mempertahankannya sebagai sekretaris. Violet mengingat-ingat lagi, ia juga baru sadar selama ini Nolan belum pernah memarahinya, seperti para karyawan sering katakan bahwa Nolan tak ragu untuk memaki. Violet hanya sekadar mendapat peringatan tegas.

Namun, Violet yakin alasan Nolan karena belum ada pengganti Cella. Statusnya memang hanya sementara, pengganti dalam batas waktu tertentu sampai mungkin perusahaan sudah menemukan sekretaris baru yang lebih kompeten.

“Saya rasa dia cepat belajar. Menemukan pengganti Cella itu susah, sayang.”

Aruna tahu jika itu hanya alasan yang dibuat-buat. Ada sesuatu lain, alasan sebenarnya yang membuat Nolan mempertahankan Violet. Aruna akan mencari tahu itu sendiri.

“Aku jadi penasaran bagaimana Violet itu.”

Nolan seketika menegang. Dia kenal betul bagaimana perangai Aruna. Bisa saja Aruna akan mengusik Violet jika merasa Violet berbahaya. Berbahaya dalam artian berpeluang mengambil hati Nolan.

Tidak. Nolan tidak bisa membiarkan Aruna berulah lagi.

“Dia hanya karyawan biasa, sayang. Sekretaris sementara sampai perusahaan mendapatkan sekretaris baru. Yang pasti, dia tidak lebih seksi dari kamu.”

“Jangan membual. Kau sengaja melindunginya, ‘kan?” sindir Aruna.

“Tidak, sayang.”

Pertanyaan Violet sudah terjawab dan itu membuatnya tidak punya alasan untuk menunda lagi niatnya untuk pergi. Perlahan, Violet melangkah untuk meninggalkan Nolan dan kekasihnya.

Meskipun hatinya masih berdenyut ngilu, entah mengapa Violet belum sepenuhnya ingin menyerah. Ada sesuatu hal yang menarik Violet lagi ketika hendak mundur. Ada keyakinan bahwa sebenarnya Nolan sudah tertarik dengannya. Terbukti dengan Nolan yang secara tidak langsung ingin menghindarkan Aruna darinya.

Violet sedikit menarik senyumnya.

Kesimpulan yang ia dapat setelah mendengar apa yang Nolan dan Aruna bicarakan adalah mereka memiliki celah. Celah itulah yang mungkin saja bisa membuat Violet perlahan masuk. Violet tidak asal menebak, ia bisa menilai seperti apa Aruna. Dan dari hasil pengamatannya, Aruna itu wanita bebas, lebih bebas dibanding dengannya, sedangkan Nolan adalah pria yang cenderung mengatur pasangannya. Jadi, Nolan dan Aruna tidak akan bertahan lama menurut perspektif Violet.

Dengan begitu, Violet lagi-lagi tetap akan menjalankan misinya.

“Sombong sekali. Pesanku tidak dibaca?” Sosok pria yang memberinya kertas kecil tadi ternyata mengikutinya sampai keluar dari kafe.

“Maaf, aku sudah punya kekasih.” Violet semakin mempercepat langkahnya.

“Mana? Kau saja sendirian.”

Menghadapi pria sinting ternyata sangat melelahkan. Violet mengembuskan napas kasar. Dia membalik badan. “Dengar, kekasihku itu namanya Nolan. Orangnya tampan dan posesif. Dia akan membunuhmu kalau sampai tahu kau mendekati kekasihnya.”

“Siapa Nolan yang kamu maksud? Saya?”

Violet terbelalak ketika pria lain datang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Marrygoldie
Waduh Pak Nolan kenapa nih?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status