Share

Bab Dua. Tugas Paling Absurd

Terlambat! Aku kesiangan! Belum juga genap 24 jam si bos tinggal jadi tetangga apartemen aku sudah ketiban sial.

Tanpa perlu mandi dan hanya memakai pewangi ketek, aku langsung berlari terbirit-birit membuka pintu kamar apartemen. Berbagai doa kupanjatkan, dari mulai doa makan sampai doa masuk WC kurapalkan demi terkabulnya harapanku tak bertemu si bos galak.

Namun, mungkin karena doaku kurang tulus. Baru saja aku membuka pintu sosok yang ingin kuhindari di muka bumi ini malah muncul dengan delikan tajam.

"Tari? Kamu baru berangkat? Kamu tahu jam berapa ini?!" 

Mampus, kan? Mampus! Takdir terkadang emang persis kayak lagu Desi Ratnasari. 'Takdir memang kejam. Tak mengenal perasaan.'

Kenapa timing-nya bisa pas begini, sih?

"I-iya Pak, sa-saya diare," elakku berbohong sambil langsung menutup pintu dari luar. Enggak mungkin dong kalau aku bilang, aku bangun kesiangan karena insomnia gara-gara syok dia jadi tetangga.

Pak Leo melipat tangan di depan dada sambil bersandar ke salah satu dinding.

"Jadi kamu diare?" Dia menarik alis ragu.

"Iya, Pak. Makanya gak bisa cepet-cepet. Kan kalau pengen di jalan berabe," cengirku garing.

"Alasan!" tandasnya dingin. 

Sesuai tebakan, si bos sama sekali tak iba padaku. Tatapan tajamnya teramat menusuk sampai jantung ini ngilu padahal nggak di apa-apain.

"Nggak Pak gak alasan! Pak Leo juga kenapa baru berangkat? Bapak diare juga?"

"Saya ... saya ...."

"Saya apa, Pak?" Aku memajukan wajah sambil menaik-turunkan alis melihat Pak Leo yang tumben banget bak salah tingkah.

"Ya, suka-suka sayalah. Saya punya alasan kenapa saya kesiangan. Tapi, kamu! Alasan kamu terlalu mengada-ngada, sebagai karyawan harusnya kamu lebih rajin. Udah, sekarang kunci pintu apartemen kamu! Nanti ada yang nyuri lagi. Saya pergi!" semprotnya mengalihkan pembahasan. 

Dia sampai menunjuk kunci yang masih tergantung di lubangnya ketika melewati kamarku. 

Aku menarik napas, akhirnya si Dementor pergi juga. Tanpa banyak cingcong lagi, aku langsung mengunci pintu tapi anehnya kuncinya malah nyelap. Nggak mau ngunci.

Macet gitu?

Aku heran, kenapa dunia sangat tak adil padaku? Pintu Pak Leo saja sudah pakai kode akses. Lah, aku? Masih kunci aja. 

Mentang-mentang ini kamar sisa yang awalnya emang diniatkan untuk gudang. Pantas saja harga sewanya lebih murah dibanding kamar lain.

"Kenapa lagi? Kunci kamu rusak?"

Astaga-dragon! Kok, orang ini malah balik lagi, sih?

"I-iya, Pak. Aneh. Perasaan tadi baek-baek aja," laporku gupup.

Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan. Apalagi saat Pak Leo yang emang bentukannya ganteng dari lahir tersebut mengamatiku lekat. Sontak saja aku yang sedang berusaha mengunci pintu makin tremor sampai kuncinya jatuh-jatuh. 

Aku nggak bisa diginiin. Kamera mana kamera? Nyerah!

"Ah, kamu ini! Masa kayak gini aja gak bisa? Minggir!" sergahnya galak. Tapi, tak ayal aku minggir juga.

Dengan gaya sok bisa Pak Leo mulai mengangkat sedikit pintu apartemenku, memutar kunci dengan pelan dan entah apa lagi yang dilakukannya hingga terdengar bunyi 'cetek'.

Terkunci? Kok bisa?

Aku bengong tak percaya. Pak Leo langsung memutar tubuh menghadap ke arahku dengan jumawa, ia melemparkan kunci yang langsung kutangkap.

Hap.

"Makanya kalau mengerjakan sesuatu itu pakai ini, bukan ini!" ledeknya sambil menunjuk kepala lalu dengkul bikin pagiku teramat mengenaskan.

What? Dia nyangka aku mikir pakai dengkul gitu? Enak aja! Pakai mata kaki tahu! Seenaknya aja kalau ngomong.

(***)

Jika meracuni orang itu dihalalkan oleh agama, mungkin aku akan menjadikan Pak Leo sebagai target yang pertama. 

Coba dibayangkan, hanya gara-gara kunci demontrasi saja, tanpa perasaan si bos menghinaku. Sakit hati ini. Mau pindah planet aja kalau begini. Hiks!

"Tar, lu dipanggil ke ruangan si Bos tuh," kata Evi-si bucinnya Song Jong Ki menyenggol lenganku. Si cewek kutilang (kusam tinggi langsing) itu tampaknya baru kembali dari ruangan Pak Leo. 

Aku mengalihkan mata dari layar komputer. "Mau apa katanya?" 

"Enggak tahu, mungkin lu mau dimasukin ke kandang singa," jawab Evi cekikikan. Dia sengaja menggodaku karena hampir semua orang di divisi marketing tahu kalau aku langganan diceramahi. 

Aku berpikir sejenak. Kenapa dia memintaku ke ruangannya? Apa ada yang salah atau ... buset!

"EVIII! Laporan anak-anak medsos mana?" teriakku membahana. Aku baru ingat kalau pagi ini dia meminta laporan marketing khusus digital dan aku penanggung jawabnya. 

Evi yang tahu watak si Bos ikutan panik. "Lah! Gue udah kasih ke elu Tar, lu simpen di mana?" 

"Gue nggak tahu Vi! Tolong gue sebelum digorok!" Tanganku sudah sibuk mengacak-acak file. Terbayang sudah wajah bengis Pak Leo kalau itu sampai hilang. Sementara Evi sibuk menggeledah meja sampai-sampai satu divisi ikutan sibuk bertanya-tanya. 

Kenapa aku bisa lupa? Kenapa juga hari ini aku sial banget? 

"Lu simpen di mana Tari? Simpen di mana?" 

"Gue nggak tahu Vi, gue beneran lupa. Kemarin gue migren boro mikirin itu."

"Coba lu inget-inget! Bukannya kemarin lu bawa-bawa?"

"Iya sih, kemarin kan gue pulang ya terus ...."

"Kalian mencari ini?"

Hancur! Sudah kuduga neraka itu bukan hanya ada di akhirat karena sekarang neraka juga ada di bumi. 

Seakan diguyur air es, aku dan Evi sontak membeku ketika mendapati berkas laporan yang sudah terjilid itu berada di tangan si bos. Entah sejak kapan Pak Leo sudah berdiri di belakang kubikel sambil mengacungkan benda yang kami cari tersebut. 

Kakiku otomatis lemas karena tahu efek yang kudapat setelah ini. 

"Saya ulangi! Kalian mencari ini?!"

"I-iya Pak. Kok, bi-bisa ada di tangan Bapak?" tanyaku dengan wajah yang mungkin sudah kayak orang mau terjun dari puncak gunung Gede. Pucat.

"Bisa. Karena saya nggak ceroboh kayak kamu! Ayo cepat ke ruangan saya!" bentak Pak Leo kencang sampai tubuhku ikut bergetar. Setelah membuat semua orang menahan napas, dia bergegas kembali ke ruangannya.

Tamat! Tamat sudah riwayatku. 

"Vi! Evi!" panggilku masih syok. Bersiap memberi kata-kata terakhir. 

"Yes Tar?"

"Entar kalau gue gak balik ke meja, maafin salah gue ya? Dan tolong bayarin hutang gue ke Mbo Nah!"

"Iye Tar! Entar kalau lu tinggal nama, TV plasma lu buat gue, ya?"

"Sialan lu!"

"Tari! Kamu masih aja ngobrol? CEPAT KE RUANGAN!" Teriakan si Bos dari depan ruangan divisi menghentikan adegan drama konyol aku dan Evi.

"Iya Pak!" Aku langsung ngibrit ke ruangan Pak Leo sebelum dia berubah jadi Monster Protein. 

(***)

Pernah nonton film 'Sweet Home'? Yang pernah nonton pasti tahu kalau di film itu dikatakan kalau salah satu faktornya orang yang terinfeksi jadi monster adalah ketika dia tak bisa mengendalikan amarah dan itu persis si Bos. 

Jadi, enggak heran kalau Pak Leo dijuluki 'Monster Protein' karena kami menilai dia itu kalau mau marah asal jeplak aja. Nggak perduli situasi dan kondisi kayak tadi. 

"Si-siang Pak, boleh saya masuk?"  Aku mengetuk pintu ruangan Pak Leo meski pintunya sudah terbuka. Demi asas kesopanan dan sebagai pemanis kegondokan. 

"Masuk! Duduk!" Pak Leo melirik sekilas sembari menunjuk kursi yang ada di depannya.

Aku mengangguk patuh. Secara kalau aku membangkang, bayangan pemecatan sudah ada di depan mata.

"Pak, maaf atas kejadian laporan ini, saya tidak tahu bagaimana itu bisa terjatuh," ujarku menyesal. Setelah duduk tegang di depan Pak Leo yang tak mengalihkan pandangannya dari berkas. 

Sebenarnya, tugas melaporkan ini bukan tugasku karena ini tugas manajer marketing, dialah yang harus melaporkannya pada Pak Leo selaku penanggung jawab semua. Tapi, dikarenakan aku dimasukan ke tim khusus pengembangan digital, mau nggak mau aku yang bertanggung jawab. 

Pak Leo berdehem sambil menyandarkan bahu ke kursi. Menambah suasana horor.

"Kamu tahu saya temukan ini di mana? Di tong sampah! Gimana kamu bisa seceroboh ini, sih?"

"Maaf Pak saya beneran gak tahu kenapa ada di sana?"

"Ah, sudahlah! Nih Baca! Ini yang kamu katakan laporan?!" Dia melemparkan laporan itu ke atas meja. Wajah senga-nya seperti mengajak berantem. Andai dia mau tersenyum sedikit saja pasti cewek mana pun akan jatuh cinta. Sangat disayangkan dia bad attitude. 

"Emang laporan saya ada yang salah ya, Pak?"

"Masih nanya lagi? Kamu itu ya, udah jatuhin benda berharga sekarang masih nanya salahnya di mana? Tari, kamu benar-benar nggak takut saya hukum, ya?"

"Saya takut Pak."

"Terus kenapa terus mengulang? Kamu tahu gak saya juga cape liat kamu dihukum terus!"

"Ya ... udah makanya jangan emosian, cepet tua baru tahu rasa," lirihku sangat pelan sambil menggerakan kepala ke samping. Mengumpat aesthetic. 

"Apa kata kamu? Kalau mau nyumpahin itu langsung jangan sembunyi!" 

Astaganaga! Cape sumpah cape. 

"Iya Pak maaf. Jadi gimana Pak? Apa perlu saya ulang lagi?" tanyaku pasrah.

Demi negara api yang gagal menyerang bumi, kayaknya aku sampai kapan pun tak akan menang melawan si Bos galak. 

"Enggak usah! Biar saya yang urus! Sekarang kamu saya hukum!" 

"Hukuman again Pak?" 

Aku menelan salivaku seret. Lagi-lagi aku harus menerima efek dari kecerobohan dan kesalahanku. 

Kapan ini berakhir? Ya Tuhan aku tobat! Ingin rasanya aku berteriak histeris tapi tentu saja itu enggak etis. 

"Iya, hukuman. Coba kamu bayangkan! Jika laporan sepenting ini jatuh ke tangan rival kita, bagaimana buruknya itu? Semua strategi kita akan ketahuan. Kamu tahu itu, kan?" 

Aku cengo. Untuk kali ini aku sepakat dengan Pak Leo. Ini kesalahanku yang terbesar dan aku pantas menerimanya. 

"Ba-baik Pak. Kalau begitu apa hukumannya, Pak? Demi memperbaiki kesalahan saya ikhlas dihukum apa saja," ucapku menyerah. 

Aku tidak mau berlama-lama berdebat karena lama-lama muka Pak Bos bikin bakteri Escerichia Coli dalam perutku main drumband. 

"Kamu serius mau lakuin apa saja?"

"iya Pak."

"Oke. Bersihkan toilet pribadi saya. Akhir-akhir ini saya gak suka sama bau karbolnya," perintahya tidak berakhlak.

Cuman perkara karbol saja, aku harus mengerjakan tugas receh begitu. Oh No!

"Toilet Pak? Serius?"

"Ya. Kenapa? Kata kamu gak masalah apa aja. Ya, kan?"

"Baik Pak. Kalau begitu saya kerjakan sekarang ya, Pak? Permisi!" pamitku sambil bangkit menuju pintu keluar untuk menerima hukuman. Tapi, belum ada tiga langkah aku keluar dari ruangannya tiba-tiba dia memanggil lagi.

"Tari!" 

"Iya Pak? Apa lagi?" tanyaku dirundung kesal. Terpaksa aku harus memutar tubuh dan melihat si Bos yang sedang berdiri angkuh di ambang pintu ruangannya. 

Pak Leo memamerkan senyum miringnya. "Jangan lupa mandi setelah bersihin toilet!"

"Ma-maksudnya, Pak?" 

"Saya tahu kamu belum mandi dari apartemen. Jadi, sebelum orang tahu kalau kamu jorok mandilah! Nih handuknya! Saya gak mau karyawan saya gak wangi!"

Bruk! Setelah melemparkan handuk ke mukaku. Si Bos langsung menutup pintu lalu meninggalkan aku yang mematung terkejut. 

Apa? Dia tahu aku belum mandi? ASTAGA. Malunya ... sampai tulang rusuk.

Muka mana muka? 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Iya Iyes
aduh tarik soal ngt drmu
goodnovel comment avatar
Ila Al - Khalifi
wkwkwwk... ...
goodnovel comment avatar
AnugrahRasha
hahahaha............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status