Share

Bab 2

“Jadi lo udah mulai kerja hari ini?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Sera yang kini tengah mengaduk cokelat panasnya.

“Wah, berarti lo udah bisa mulai nyicil utang-utang lo sama gue, dong!” Sera berteriak semangat. Dia menyelipkan nada menggoda dibalik ucapannya.

“Ya gitu, deh.” Aku menjawab tak semangat godaan Sera. 

Sera mengernyit. Dia membawa coklat panas yang baru saja dibuatnya kemudian mendekat ke arahku. Kami sekarang sedang berada di depan televisi di apartemen Sera. Aku sengaja langsung ke sini setelah pulang kerja. Aku merasa harus meluruhkan semua bebanku dengan bercerita pada orang lain.

“Lo kenapa, sih? Kok malah kayak gak semangat gitu baru dapet kerja?” tanya Sera keheranan. Pasalnya selama enam bulan menganggur, aku pontang-panting mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku di ibu kota ini. Sera sendiri yang melihat perjuanganku datang interview ke perusahaan-perusahaan, kemudian menggalau ketika dua minggu kemudian tidak ada tindak lanjut proses selanjutnya. Hingga sekarang akhirnya aku mendapatkan pekerjaan. Tetapi, malah aku tidak bersemangat dengan keadaan bahagia ini.

“Awalnya gue emang seneng. Siapa sih, orang yang gak seneng setelah enam bulan nganggur gak dapet-dapet kerja dan akhirnya sekarang bebas dari pengangguran, tapi semua kesenengan itu ilang pas gue ketemu sama bos gue.”

“Emangnya kenapa sama bos lo? Galak?” Sera menebak sambil meneguk cokelat panasnya.

“Gak galak, sih, tapi gue gak suka sama dia.”

Sera memasang wajah keheranan dengan jawabanku. “Aneh banget lo. Masa benci ke orang tanpa alasan. Gak masuk akal banget, lo baru ketemu bos lo sekali, tapi langsung gak suka sama dia padahal dia gak ngapa-ngapain lo.” Benar juga apa yang dikatakan Sera. Kalau dilihat-lihat tidak ada alasan kuat untukku membenci Pak Mahesa. Pertemuan awal kami tidak seburuk itu. Dia terlihat baik, bahkan mau mengajariku, tetapi kenapa aku membencinya? Apa karena dia mantanku lantas aku jadi membenci bosku? Kalau aku mengatakan alasan itu, pasti Sera akan menertawakanku. Benci karena mantan lo jadi bos lo sekarang? Yang ada aku terlihat seperti orang yang iri karena berbeda nasib.

“Gatau, ah. Gue rasanya pengin resign aja.”

Sera melotot mendengar jawabanku. Dia langsung meletakkan cangkir cokelat panasnya kemudian bersiap mengomel panjang lebar. “Lo udah gila, ya! Lo tuh, baru sehari kerja! Udah ngeluh pengin resign! Terus kalo lo resign, lo mau makan apa, hah? Makan kayu sama batu!” Aku sudah menebak reaksi Sera akan seperti apa, jadi aku sudah menyiapkan telingaku untuk mendengarkan ocehan panjang lebarnya.

“Sebenernya ada apa sih, sama bos lo, sampai lo kepikiran resign padahal baru pertama masuk kerja? Lo gak mungkin benci orang tanpa alasan, pasti ada alasan kuat yang bikin lo tiba-tiba benci sama bos lo padahal baru pertama kali ketemu.” Sera mendesakku untuk bercerita yang sebenarnya pada dia. Aku memang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Sera.

“Lo inget gak, sama Mahesa?” Aku memulai percakapan dengan memancing ingatannya di masa-masa kuliah kami dulu.

Wajah Sera terlihat mengingat-ingat. “Mahesa siapa?”

“Ck, itu loh, mantan gue waktu kuliah, yang dulu sering naruh minuman di loker gue.”

Wajah Sera sumringah, sepertinya perempuan itu sudah ingat siapa yang kumaksud. “Ohhhh, Mahesa yang itu. Mantan lo yang pacaran cuma dua minggu itu, kan?”

Aku berdecak mendengar Sera mengungkit hal yang sensitif bagiku. Hanya dua minggu, tapi aku masih mengenali wajahnya sampai sekarang. Sedangkan Mahesa? Boro-boro, deh! Padahal dulu dia yang tergila-gila padaku.

“Ck, gak usah diingetin lagi, bisa gak, sih?”

Sera terbahak melihat muka masamku. “Lucu aja kalo diinget-inget. Kok bisa, sih, lo cuma pacaran dua minggu. Training kerja aja minimal tiga bulan, lah ini cuma dua minggu cuma numpang lewat doang.”

“Berisik, deh! Gak usah dibahas bisa, kan?”

“Oke, oke. Kenapa emangnya sama Mahesa? Lo gak sengaja ketemu dia lagi?”

Aku mengangguk.

Sera terkejut. Tak menyangka tebakannya benar. “Serius? Kapan?”

“Tadi pagi di kantor.”

Diam sebentar.

Satu.

Dua.

Tiga.

WHATTTT?”

Aku otomatis tutup telinga begitu mendengar teriakan Sera yang menggelegar memenuhi apartemennya. Untung saja di apartemen ini kehidupan orang-orang cenderung individualis dan bodo amatan, jadi tidak akan ada yang peduli sekalipun kita mau teriak-teriak.

Wait, wait. Kayaknya lo perlu cerita kronologinya dari awal, deh. Gue belum bisa mencerna semua ini.”

“Jadi, Mahesa itu bos baru gue di kantor. Perlu gue tekenin sekali lagi Mahesa mantan gue yang gue campakkin dulu itu, sekarang jadi bos di kantor gue. Lo pernah ngebayangin gak sih, se-shock apa gue waktu pertama ketemu dia.”

“Gila, gila. Ini gila banget, sih! Kok bisa sekebetulan itu? Sumpah, semesta jahat banget sama lo, Nggun.”

“Iya, kan! Gue yang baru pertama masuk kerja setelah enam bulan nganggur, nih, langsung dikasih kejutan istimewa sama Tuhan. Supprise-nya sampe bikin gue jantungan lagi.”

“Terus, terus respon dia gimana waktu pertama kali ngeliat lo?“

Aku mengedikkan bahu. “Gak gimana-gimana.”

WHAT? Yang bener aja! Masa dia gak respon apa-apa waktu ngeliat lo. Minimal kaget, kek.”

Aku merebahkan kepala ke sofa yang berada di belakang kami. Rasanya masih saja dongkol kalau harus mengingat hal itu lagi. “Gak tau deh, gue juga masih heran kenapa dia gak ngenalin muka gue. Secara ini gue loh, Ser. Anggun Prasesti. Dulu siapa, sih, anak fakultas yang gak kenal sama gue. Lo dulu inget, kan, gimana dia tergila-gila sama gue. Sampe-sampe dia sering nitip surat ke anak kelas buat gue. Kok bisa, sih, sekarang dia gak ngenalin wajah gue. Harusnya kan, orang yang dicampakkin lebih inget wajah orang yang nyampakkin dia. Ini kenapa jadi kebalik.”

“Atau jangan-jangan dia amnesia kali. Bisa aja, kan, memori masa lalunya kehapus.”

“Ah, masa, sih. Emang ada yang kayak gitu?”

Sera mengangkat bahu. “Gue gak tau juga, sih. Cuma nebak doang.”

“Hemm, bisa jadi. Bisa jadi. Tapi, kok gue masih gak rela ya, Ser, kalo dia gak inget muka gue. Kek, kesel aja gitu ingetnya.”

“Gue ngerti kok, apa yang lo rasain. Isoke. Positif thinking aja mungkin dia amnesia, atau kalau mau yang logic mungkin aja dia pengin jaga hubungan profesional kalian. Kan, gak enak kalo kalian ada di situasi di mana lo kerja bareng mantan lo. Itu gak enak banget, sumpah!”

Aku membenarkan apa yang dikatakan oleh Sera. Pasti akan canggung kalau saat itu Mahesa menyapaku dan mengungkit kembali hubungan kami dulu. Akan lebih sulit bagi kami bekerja secara profesional jika berada dalam situasi itu.

“Jadi itu alasan yang bikin lo benci sama bos lo dan pengin resign? Karena Mahesa mantan lo itu gak ngenalin muka lo dan ego lo merasa tersentil?”

“Salah gak, sih, kalau gue ngerasa gitu?”

“Gak salah sebenernya, tapi lo juga jangan cuma ngandelin perasaan doang. Lo kerja itu pake akal logika, jangan perasaan mulu yang di kedepanin. Sekarang, nih, ya, kalo lo mau resign emangnya lo mau dapat duit dari mana lagi? Belum lagi tunggakan sewa apartemen lo yang belum lo bayar sampe sekarang. Utang-utang lo sama gue, tagihan kartu kredit. Itu semua harus lo pikirin sebelum ngambil keputusan. Jangan gegabah.”

“Lo kok bisa-bisanya masih ingetin utang-utang gue ke elo. Gue lagi galau ini, bisa-bisanya lo mikirin diri sendiri.”

“Ya biar lo mikir, bego! Lo tuh, orangnya implusif, suka tiba-tiba bikin keputusan, tapi gak mikirin akibatnya apa. Sekalian tuh, gue cekokin fakta biar lo keselek.”

Aku memang kesal dengan omongan Sera, tapi kalau tidak ada dia, tidak ada yang mengingatkanku lagi soal hal-hal beginian. Aku selalu meminta saran Sera jika ada sesuatu yang mengganjal. Dan kebanyakan aku lebih sering mengikuti omongan Sera dibanding kata hatiku sendiri.

“Setidaknya lo kalo mau resign lunasin dulu utang-utang gue. Itu yang paling utaman.”

“Dasar Sera kampret!”

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status