Share

Bab 3

Baik apanya? Masih dalam batas wajar dilihat dari Hongkong? Yang dikatakan oleh Reno semuanya bullshit! Aku malah akan sujud syukur jika yang menjadi bosku sekarang bukan Pak Mahesa. Nasib beruntung memiliki bos seperti Pak Mahesa hanya kebohongan belaka.

Bagaimana tidak? Selama seminggu bekerja di bawah tangannya, aku dihajar habis-habisan! Lembur setiap hari, revisi tiada henti, deadline yang diluar nalar. Ah, rasanya hampir gila menghadapi bosku yang satu itu. Jangan lupa sarkasme yang selalu dilemparkan kepadaku ketika mengantar hasil revisi pekerjaan. Aku ingat sekali setiap gerakan tubuhnya ketika membaca hasil revisianku. Tangannya akan mengetuk-ngetuk pada meja sambil menggoyang-goyangkan kursi putarnya seirama dengan ketukan tangannya. Kakinya akan diangkat ke atas. Kemudian matanya menatap tajam ke arah kertas. Setelah selesai membaca, dia akan mendongak. Sambil tersenyum sinis mulutnya yang serasa garam dicabein akan berkata, “Cuma segini kompetensi yang kamu punya?”. Yang bisa kulakukan hanya menelan ludah sambil menahan sumpah serapah yang ingin tersangkut di tenggorokan.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Hebat! Sepertinya aku harus mendapatkan predikat karyawan teladan bulan ini. Dedikasi yang sungguh luar biasa dari karyawan yang baru masuk satu minggu. Aku menatap jendela yang saat ini kacanya dipenuhi rintik-rintik air akibat hujan. Menghela napas panjang. Aku merenungi nasibku yang masih betah menjadi budak korporat. Di saat orang-orang sedang menikmati dinginnya kasur dan pelukan hangat bantal guling, aku malah sibuk terjebak bersama bosku di kantor. Sungguh menyesakkan!

Aku memutuskan untuk membuat kopi di pantry. Perpaduan antara hujan dan malam yang semakin larut, membuatku terbawa kantuk. Aku sengaja membuat kopi hitam tanpa gula agar kafein yang kuminum dapat bekerja dengan baik. Setelahnya, aku membawa cangkir berisi kopi ke meja kerjaku. Baru saja melangkah keluar dari pantry, kakiku seketika berhenti saat melihat bos keluar dari ruang kerjanya lengkap dengan tas yang digendongnya. Lah? Dia mau kemana?

Seperti aku yang terheran-heran melihatnya menggendong tasnya, bos juga menatapku sama herannya. Dengan langkah perlahan dia mendekatiku kemudian bertanya, “Loh? Kok, kamu masih ada di sini? Gak pulang?”

HELLO PERMISAAAAAA? Jadi siapa yang tadi menyuruhku untuk lembur? Makhluk gaib?

“Kan, Bapak tadi yang nyuruh saya selesein revisian hari ini,” ucapku sewot.

Pak Mahesa memandang jam di pergelangan tangannya, kemudian berkata dengan nada tanpa dosa. “Saya kira kamu sudah pulang dari jam sembilan tadi.”

Aku menahan kesal yang sudah sampai ubun-ubun. Apa dia tidak ingat, satu jam yang lalu aku memohon-mohon padanya agar revisi hari ini dikerjakan besok pagi saja? Bahkan aku masih ingat matanya yang melotot ketika aku merengek minta pulang. Sekarang dia dengan entengnya bilang begitu seolah lupa ingatan?

“Ya sudah, kamu pulang bareng saya saja. Saya tunggu kamu di lobi kantor.”

Aku buru-buru menolak ajakannya. “Gak perlu, Pak. Makasih.” Diakhiri dengan nada ketus untuk melampiaskan kekesalanku. Bodo amat soal kesantunan sebagai pegawai baru. Seminggu bekerja di sini sering membuat tensi darahku naik seketika. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan Pak Bos.

Aku menghentakkan kaki menuju pantry untuk meletakkan kopiku yang bahkan belum habis setengahnya. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung membereskan meja kerjaku dan pergi meninggalkan kantor.

Sesampainya di lobi, seperti yang dikatakan oleh Pak Mahesa tadi, dia benar-benar menungguku. Rasa kesal yang masih bercokol dihati sedikit berkurang melihat Pak Bos yang ternyata masih memiliki rasa kemanusiaan. Namun, hal tersebut tidak semata-mata membuatku mau pulang bersama dengannya. Aku memilih untuk berpura-pura tidak melihat dia dan melewati pria itu sambil bermain ponsel. Aku tau kalau aksiku itu akan sia-sia, karena selanjutnya Pak Bos justru mengikutiku sampai keluar dari kantor.

“Kamu mau kemana?”

Masih ditanya kemana. Ya pulanglah!

Aku pura-pura tidak mendengar pertanyaannya dan terus melangkah sambil memainkan ponsel.

“Anggun. Saya bicara sama kamu.”

Barulah ketika tubuhku dipaksa untuk menghadapnya, mau tidak mau aku harus meladeninya.

“Eh, Bapak. Belum pulang, Pak?” tanyaku basa-basi.

Pak Mahesa memutar bola matanya mendengar basa-basiku yang memang terdengar basi. “Belum. Saya kan, tadi bilang, kita pulang bersama.”

“Memangnya saya mengiyakan?” Aduh! Kenapa sih, aku sulit sekali mengontrol sarkasme yang sudah mendarah daging. Bodo amatlah. Sudah terlanjur juga.

“Memangnya kamu mau pulang pakai apa?”

“Saya bisa pesan taksi.”

Seperti biasa, Pak Mahesa memperlihatkan ekspresi meremehkannya yang membuatku makin kesak. Aku tidak menyangka kalau Mahesa yang kukenal dulu bisa semenyebalkan ini sekarang.

“Kamu yakin mau pesen taksi jam segini?”

Aku menjawab lugas. “Yakin, kok.”

Walaupun sebenarnya di dalam hati aku juga kurang yakin bisa mendapatkan taksi di jam segini.

“Saya gak menjamin kalau kamu bisa dapat taksi jam segini. Apalagi sekarang hujan. Probabilitas kamu untuk dapat taksi itu kecil banget.”

Aku menggigit bibir, bingung dengan keadaannya. Antara ingin mempertahankan gengsi atau meluruhkan harga diri. Apa jadinya kalau aku menerima tumpangannya? Sementara tadi, aku dengan tegas menolaknya mentah-mentah.

“Saya pulang naik taksi aja, Pak. Makasih atas tawarannya.” Seperti kebanyakan sifat wanita yang lebih suka memakan gengsi daripada menggunakan akal sehatnya, begitulah aku dengan gengsi selangit yang lebih memilih menderita daripada harus menurunkan gengsi. Sepertinya menara Burj Khalifa kalah dengan gengsiku. Padahal aku sudah membayangkan bagaimana aku akan meraung-raung di pinggir jalan karena tidak kunjung mendapatkan taksi, selanjutnya mau tidak mau, aku mungkin akan menginap di kantor dan membuang jauh-jauh keinginanku untuk bergelung di kasur. Aku sudah membayangkan kemungkinan terburuknya dan menepis jauh-jauh tawaran yang sangat menggiurkan demi sebuah gengsi. Hebat! Sepertinya gengsi seorang wanita bisa menjadi salah satu keajaiban dunia kedelapan yang tidak bisa ditaklukan.

Pak Mahesa berdecak mendengar jawabanku. “Kamu ini keras kepala sekali, ya. Coba sekali-kali dengerin apa kata saya.” Setelahnya tanpa aba-aba dia malah menarik paksa tanganku menuju basemen kantor dan menyuruhku untuk masuk mobilnya.

“Pak. Saya kan, sudah bilang tidak mau!” Hebat! Bahkan di situasi paling menguntungkan, aku masih saja mempertahankan gengsiku! Aku melepaskan cekalan tangan Pak Mahesa dari pergelangan tanganku. Bak seorang ratu drama, aku melipat tangan di depan dada, memasang wajah kesal pada dewa penyelamatku malam ini.

“Kamu yakin gak mau pulang bareng saya?” tanya Pak Mahesa mulai jengah dengan sikapku.

“Yakin! Dari awal saya sudah bilang sama Bapak, kalau saya mau naik taksi.”

Pak Mahesa menghela napas panjang kemudian berkata, “Oke, kalau itu mau kamu.” Selanjutnya malah gantian aku yang ketar-ketir karena bosku sepertinya sudah menyerah untuk membujukku. Pria itu mulai masuk ke dalam mobil.

Aku sendiri mulai ketakutan. Membayangkan kalau aku harus menyusuri lorong basemen sendirian untuk kembali ke area kantor.

Tak lama kemudian, Pak Mahesa membuka kaca mobilnya, kemudian bertanya sekali lagi padaku. “Ini terakhir kalinya ya, saya tanya ke kamu. Kamu yakin gak mau pulang bareng saya?”

Aku hendak mengangguk lagi, tetapi Pak Mahesa kembali melanjutkan ucapannya. “Saya denger kalo di basemen ini sering muncul penampakan gitu. Saya cuma mau ngingetin kamu aja buat hati-hati. Nanti kalo semisal kamu papasan sama orang, pastiin dulu, kakinya menapak ke tanah atau tidak.”

“BAPAKKKKK! Jangan nakut-nakutin saya!”

“Saya gak nakut-nakutin. Cuma ngingetin doang. Kamu hati-hati, ya.”

Aku mulai merinding. Tanpa ba-bi-bu aku langsung berlari ke arah mobil Pak Mahesa dan masuk ke dalamnya. Aku tau kalau Pak Mahesa cuma mau mengerjaiku. Aku bisa melihat bibirnya yang sedikit tertarik ke atas ketika aku masih berteriak ketakutan karena mendengar suara aneh yang kuketahui berasal dari pojokan basemen.

Meskipun begitu, aku tidak kesal dengan kelakuan bosku. Setidaknya malam ini aku bisa dapat tumpangan dan pulang dengan selamat.

Bye-bye gengsi! Lu kalah sama setan!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status