Beranda / Lainnya / Bound by the Moon / Ikatan yang Tak Terhindarkan

Share

Ikatan yang Tak Terhindarkan

Penulis: Fitrarhmadhani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-27 21:09:30

Keheningan malam kembali menyelimuti hutan. Angin berhembus pelan, menggugurkan dedaunan, seolah ikut merasakan gelombang kecamuk dalam dada Lyra. Ia berdiri membeku, menatap Kaelen yang tak bergerak sejengkal pun. Sosok itu bagai patung hidup—tegas, tak tergoyahkan—namun dari matanya yang tajam, Lyra tahu ia sedang memendam badai.

Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung Lyra yang berdentum kencang di telinganya sendiri. Dunia seolah mengecil, menyisakan ruang antara dirinya dan pria yang menyebutnya sebagai "darah murni terakhir".

> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ucap Kaelen tiba-tiba. Suaranya tenang, namun di balik ketenangannya, ada tekanan yang tak bisa disangkal. "Tapi aku akan memastikan kamu tahu konsekuensinya."

Lyra mengangkat dagunya. Matanya membalas tatapan Kaelen dengan keberanian yang menggurat dalam ketakutan.

> "Konsekuensinya?" Suaranya sinis. "Apa yang lebih buruk daripada dipaksa menjadi bagian dari takdir yang tidak pernah aku pilih?"

Kaelen tidak tersinggung. Ia menarik napas panjang, lalu menatap ke arah langit—seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang.

> "Ini bukan hanya tentang kamu atau aku, Lyra. Dunia para serigala sedang berada di ambang kehancuran. Pemberontakan mulai tumbuh. Pengkhianatan merajalela. Kegelapan bangkit. Dan kamu... kamu adalah poros dari segalanya."

Lyra merasa dadanya semakin berat. Ia ingin menolak, ingin pergi, tapi langkahnya tertahan. Suara Kaelen... meski dingin, membawa kebenaran yang sulit ditepis.

> "Kenapa aku?" tanyanya lirih, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. "Kenapa harus aku yang menjadi kunci semuanya?"

Kaelen menatapnya. Untuk pertama kalinya, tatapan itu bukan hanya perintah, tetapi pengakuan.

> "Karena kamu adalah satu-satunya yang bisa menyeimbangkan kekuatan kami. Darahmu... bukan hanya murni. Tapi juga membawa cahaya dan kegelapan. Kamu bukan hanya pasangan sejati. Kamu adalah penentu."

> "Aku bukan milikmu!" seru Lyra. Air matanya mulai menggenang, bukan karena lemah, tetapi karena kecewa. "Aku bukan alat untuk memenuhi nubuatan!"

Kaelen menunduk. Di wajahnya yang keras, Lyra menangkap kilatan luka yang belum sembuh.

> "Kamu akan mengerti suatu saat nanti," bisiknya.

Suara gemerisik dari balik pepohonan memecah ketegangan. Lyra menoleh, dan di antara bayang-bayang muncul sosok yang tak asing—Jax. Wajahnya pucat diterangi cahaya bulan, namun sorot matanya tetap lembut dan penuh rasa peduli.

> "Jax?" bisik Lyra. "Kenapa kamu di sini?"

Jax melangkah perlahan, tangannya terangkat sebagai isyarat damai.

> "Aku tak bisa membiarkanmu menghadapi semua ini sendirian," katanya. "Ada banyak hal yang belum kamu tahu, Lyra. Tentang dunia ini... tentang aku... tentang siapa kamu sebenarnya."

> "Kamu juga tahu?" suara Lyra mengeras. "Kenapa semua orang menyembunyikan hal-hal penting dariku?"

Jax mendekat, tetapi menjaga jarak dari Kaelen. Tatapannya penuh luka. "Karena kami ingin melindungimu. Tapi sekarang, semuanya sudah berubah. Tidak ada waktu lagi untuk menyelamatkannya.

Malam menyelubungi hutan dalam kesunyian pekat. Ranting-ranting gemetar tertiup angin dingin yang membawa aroma kabut dan tanah basah. Lyra berdiri mematung, napasnya mengepul pelan di udara, tubuhnya tegang seperti busur yang siap patah. Di hadapannya, Kaelen masih berdiri seperti bayangan yang tak bisa disingkirkan.

Hening, seolah waktu sendiri takut beranjak.

> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ujar Kaelen, nadanya datar namun mengandung bara. "Tapi aku akan pastikan kamu tahu apa yang akan kamu hadapi."

Lyra menggenggam jemarinya yang gemetar. Ia menatap Kaelen, mencoba mengabaikan sorot mata pria itu yang seperti bisa menelanjangi seluruh isi hatinya.

> "Konsekuensinya?" tanyanya pelan, hampir mencibir. "Apa yang lebih buruk dari hidup dalam takdir yang tidak pernah aku pilih?"

Kaelen tidak membalas. Ia memalingkan wajah sejenak, menatap langit di atas mereka.

Bulan masih tergantung di sana, putih dan dingin, menyaksikan semua tanpa suara.

> "Ini bukan tentang kamu saja, Lyra. Dunia kita sedang terpecah. Kawanan berkonflik. Pemberontakan bangkit. Para penyihir memilih pihaknya sendiri. Jika kamu menolak, semuanya bisa hancur."

> "Dan kamu ingin aku menyelamatkannya?" Lyra tertawa lirih. "Padahal aku bahkan tidak tahu siapa aku yang sebenarnya?"

Kaelen menoleh kembali. Matanya tak bergeming, tapi ada luka di balik ketegasannya.

> "Kamu adalah darah murni terakhir, satu-satunya yang bisa menjaga keseimbangan antara terang dan gelap."

> "Aku bukan milikmu," bisik Lyra. "Dan aku tidak akan menjadi alat bagi dunia yang bahkan tidak pernah memberiku tempat."

Hening kembali menyelimuti.

Tiba-tiba, suara langkah kaki memecah kesunyian dari arah belakang. Lyra menoleh cepat, tubuhnya refleks bersiap. Tapi wajahnya melembut saat sosok yang muncul dari kegelapan adalah seseorang yang ia kenal seumur hidupnya.

> "Jax..."

Suara itu seperti napas yang tertahan terlalu lama. Jax muncul dengan langkah hati-hati, namun matanya menyala oleh tekad dan kekhawatiran.

> "Kamu baik-baik saja?" tanyanya. "Aku dengar kamu bertemu dia."

Tatapannya menembus Kaelen yang berdiri membeku.

> "Aku baik," jawab Lyra, meski ia sendiri tak yakin dengan kata itu. "Atau mungkin... tidak."

Jax menatap Kaelen dengan sinis.

> "Jadi ini caramu memperkenalkan takdir padanya? Dengan ancaman?"

Kaelen hanya diam. Tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan—antara peringatan, perlindungan, dan kesepian.

> "Dia tidak mengerti," kata Kaelen pelan. "Belum."

> "Jangan paksakan pemahaman," Jax membalas cepat. "Dia bukan bagian dari permainanmu."

> "Permainan?" Kaelen melangkah maju. "Kalau ini permainan, maka seluruh dunia adalah papan catur. Dan Lyra adalah satu-satunya ratu yang belum tahu bahwa ia sedang dikejar dari segala sisi."

Lyra menutup mata sejenak. Kepalanya pening oleh beban yang terlalu tiba-tiba. Kaelen. Jax. Bulan. Darah. Takdir. Kata-kata itu berputar seperti pusaran yang menariknya masuk.

> “Aku hanya ingin hidup biasa. Tapi hidup biasa tidak untukku, ya?”

Jax menggenggam tangannya.

> "Kamu tetap bisa memilih, Lyra. Aku tahu itu sulit. Tapi kamu tidak sendiri."

Kaelen menatap tangan mereka berdua, lalu menoleh pergi tanpa berkata apa-apa. Namun sebelum menghilang ke kegelapan, ia berkata tanpa menoleh:

> "Waktu tidak akan menunggumu. Dunia ini tak memberi ruang bagi yang ragu."

Dan ia menghilang di balik pohon-pohon besar, seperti bayangan yang ditelan malam.

Lyra terdiam. Napasnya tersengal, dadanya sesak oleh terlalu banyak emosi yang belum sempat disusun. Ia menatap Jax, yang masih memegang tangannya.

> "Apa yang sebenarnya terjadi, Jax?" bisiknya. "Kenapa aku?"

Jax menunduk, matanya sendu.

> "Karena kamu lebih dari yang kamu kira. Dan karena dunia ini butuhmu, bahkan sebelum kamu tahu caranya menyelamatkan dirimu sendiri."

Malam itu, Lyra tahu—ia berada di ambang sesuatu yang besar. Lebih besar dari dendam, cinta, dan masa lalunya. Dan meski ia belum siap untuk menerima semuanya, ia tahu satu hal:

Ia tidak akan bisa lari lagi.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bound by the Moon   Pilihan yang Terbuka

    Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.> “Masuk,” ucap Lyra pelan.Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir s

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Dalam Cengkeraman Takdir

    Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.> “Kau belum tidur?”Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.Lyra tidak menjawab.> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”Lyra men

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Api dalam diri

    Pagi tiba tanpa salam. Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya. > “Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?” > “Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?” Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax. > “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut. Lyra hanya menggeleng. Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan. > “Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.” > “Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.” Jax menatap danau, lalu berka

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Mata yang Mengintai

    Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya."Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa.""Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"Lyra membala

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-09

Bab terbaru

  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

  • Bound by the Moon   Mata yang Mengintai

    Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya."Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa.""Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"Lyra membala

  • Bound by the Moon   Api dalam diri

    Pagi tiba tanpa salam. Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya. > “Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?” > “Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?” Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax. > “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut. Lyra hanya menggeleng. Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan. > “Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.” > “Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.” Jax menatap danau, lalu berka

  • Bound by the Moon   Dalam Cengkeraman Takdir

    Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.> “Kau belum tidur?”Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.Lyra tidak menjawab.> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”Lyra men

  • Bound by the Moon   Pilihan yang Terbuka

    Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.> “Masuk,” ucap Lyra pelan.Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir s

  • Bound by the Moon   Ikatan yang Tak Terhindarkan

    Keheningan malam kembali menyelimuti hutan. Angin berhembus pelan, menggugurkan dedaunan, seolah ikut merasakan gelombang kecamuk dalam dada Lyra. Ia berdiri membeku, menatap Kaelen yang tak bergerak sejengkal pun. Sosok itu bagai patung hidup—tegas, tak tergoyahkan—namun dari matanya yang tajam, Lyra tahu ia sedang memendam badai.Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung Lyra yang berdentum kencang di telinganya sendiri. Dunia seolah mengecil, menyisakan ruang antara dirinya dan pria yang menyebutnya sebagai "darah murni terakhir".> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ucap Kaelen tiba-tiba. Suaranya tenang, namun di balik ketenangannya, ada tekanan yang tak bisa disangkal. "Tapi aku akan memastikan kamu tahu konsekuensinya."Lyra mengangkat dagunya. Matanya membalas tatapan Kaelen dengan keberanian yang menggurat dalam ketakutan.> "Konsekuensinya?" Suaranya sinis. "Apa yang lebih buruk daripada dipaksa menjadi bagian dari takdir yang tidak pernah aku pil

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status