"Sudah hampir jam sepuluh. Kok Pak Hans belum muncul juga?" Aura tidak memperhatikan pintu masuk, tapi malah fokus ke arah etalase, yang berisi donat aneka toping.
"Kalau kamu mau donat, beli saja," ucap Cakra yang mengeluarkan uang berwarna merah sebanyak satu lembar.
"Ini dibelikan semua? Donat semua atau dicampur brownies? Boleh pilih kue yang lain?" tanya Aura dengan antusias berlebih.
Sesaat setelah Cakra mengangguk, gadis itu langsung melesat menuju kue yang diincarnya.
"Maafkan, saya agak terlambat. Tadi motor sempat mogok kehabisan bensin. Rupanya ada salah satu karyawan yang lupa mengisi, setelah keliling antar paket."
Cakra mempersilakan Hansel duduk di seberangnya. Matanya menyipit, ketika melihat benang takdir pri
"Eh, i… iy… iya, saya mau beli brownies kukus dan bolu pisang lagi."Cakra menyadari kedua orang yang ada di hadapannya sama-sama gugup. Ini merupakan perkembangan yang menarik. Untuk hari ini, dia hanya harus lebih jeli lagi dalam mengamati."Kalau begitu, mari saya bantu." Dila melenggang, mendahului Hansel untuk mengambil nampan. Sedangkan pria yang lebih tinggi 20 cm dari Dila, mulai mengekor dengan kebingungan."Perkembangan pesat tuh, Den. Sayangnya aku ketinggalan kejadiannya. Gimana tadi ceritanya?" Aura buru-buru duduk, kemudian mencondongkan tubuh mendekat.Aroma melati segar terhidu Cakra, membuatnya menelan ludah. Apalagi saat memperhatikan bibir Aura, yang baru saja dibasahi. Ini membuat gairah pria itu terpancing.
Cakra menggiring Hansel dan Aura menuju warung mie ayam, yang berada tak jauh dari toko roti Dila. Setelah memesan tiga porsi, Cakra pun mulai angkat bicara."Bisa dipastikan itu prosopagnosia.""Maksud Aden? Prosopagnosia itu apa sih? Sejenis roti?" tanya Aura yang menelengkan kepala ke arah Cakra.Cakra pun memandang Hansel yang menggeleng. Ternyata mereka berdua tidak ada yang mengetahui tentang istilah ini."Prosopagnosia itu suatu kelainan. Jadi, pengidapnya mengalami kesulitan mengenali wajah orang lain. Bahkan ada yang tidak bisa mengingat wajahnya sendiri," terang Cakra, yang tidak mendapatkan respon dari pendengar. Mungkin mereka masih mencerna penjelasan ini."Terus, bagaimana caranya Dila mengenali orang lain?" tan
Tanpa curiga, Aura mencondongkan tubuh dan semakin dekat. "Apa itu, Den?""Suara," jawab Cakra dengan singkat. Namun, sampai beberapa detik selanjutnya, Aura baru bereaksi."Suara? Bagaimana bisa? Bukannya Pak Hansel tidak pernah berbicara dengan Dila sebelumnya?" Aura memundurkan tubuhnya hingga bersandar di sofa. Pandangannya menerawang ke atas, lalu bersedekap."Suara? Jelas-jelas bukan itu penyebabnya. Pasti ada yang lain. Ayolah, Den. Jangan bermain teka-teki lagi. Aden tahu sendiri kalau otakku nggak nyampai," rengek Aura yang membuat Cakra terpana.Gadis itu terlihat sepolos anak kecil, yang perlu diberi permen untuk menenangkannya. Namun, bila sudah seumur Aura, apa yang harus dilakukannya? Apakah sebuah ciuman bisa membuat gadis itu kegirangan?
Leher Aura terjulur untuk mengintip isi piring Cakra. "Itu sudah mau selesai. Aden pinter deh makannya.""Kalau aku melarangmu pergi? Apa kamu akan tetap keluar dengan Oppa?" Cakra memaksakan keberuntungannya."Kalau gitu, aku ambil waktu istirahat. Pergi dulu ya, Den," pamit Aura yang melambaikan tangan, bak putri kecantikan.Hal ini membuat Cakra geram. Semakin lama Aura menjadi semakin cerdas, kalau bersama dengan Oppa.Dia pun beranjak hendak mengikuti diam-diam, tapi gawainya berdering. "Halo, selamat malam, Pak Hans," sapa Cakra dengan ramah. Padahal, saat ini dia sedang dilanda kepanikan level tinggi."Selamat malam, Pak Cakra. Saya dengar dari Hansel, kalau Anda merekomendasikan sebuah pesta. Saya sangat menghargai us
"Konyol,""Nggak, jangan konyol dong, Kang. Tokoh wanitanya harus elegan," protes Lilis yang meraih laptop Prabu, kemudian mengganti deskripsi tokoh."Lis, kamu tuh cocok banget kalau nulis tokoh wanita yang koplak.""Kakang kok gitu? Ini sebenarnya mau bilang kalau aku koplak, kan? Hayo ngaku!" Lilis melemparkan pandangan ke arah tembok tinggi di samping kanan. Sengaja memperhatikan cicak-cicak yang asik bercanda, agar tidak perlu melihat mata Prabu, karena akan membuatnya luluh.Suara helaan napas Prabu yang kasar terdengar. "Bukan gitu, Lis. Kamu itu beneran cocok nulis tokoh wanita yang koplak.""Tapi aku tuh waras, Kang. Nggak mau nulis yang koplak-koplak gitu!"Di teng
"Den, Aden tahu nggak?" Aura menoleh ke samping, untuk meminta bantuan."Tentu saja aku tahu, tapi kita lihat reaksi Poppy dan Dila. Siapa yang bisa mengenali pasangannya." Cakra sengaja tidak langsung menjawab. Padahal sebenarnya, dia bisa mengetahui perbedaan mereka, hanya dengan melihat benang takdir yang terikat di jari kelingking."Pak, Bu Poppy dan Bu Dila sudah datang." Salah satu pegawai mereka yang bernama Indro, mengabarkan hal itu.Kedua Hans mengambil sebuket bunga yang sama persis, lalu mereka menuju ke depan, untuk menyambut pasangan masing-masing. Aura dan Cakra mengikuti di belakang."Kira-kira kedua wanita itu bakal salah pilih nggak ya?" bisik Aura sambil melingkarkan tangan ke lengan Cakra."Aku tidak yakin
"Nenek!" panggil Aura dengan lebih keras.Gadis itu menghambur ke pelukan sang nenek. Rasa iba menyusup ke relung hati Cakra, hingga pria itu tergerak untuk mendekat, kemudian menepuk bahu Aura dengan lembut."Bercandanya nggak lucu, Nek," protes Aura yang sudah mengurai pelukan.Nenek Aura terbahak-bahak, kemudian matanya tertuju pada Cakra. "Kenapa pacarnya dicuekin. Nggak mau dikenalkan ke Nenek?""Dia ini majikannya Aura, bukan pacar," ralat Aura dengan cepat.Meskipun demikian, Cakra bisa melihat pipi gadis itu bersemu merah. Apakah memang mudah merona atau gimana?"Perkenalkan, saya Cakra. Atasan Aura," ucap Cakra sambil mengulurkan tangan.
“Silakan duduk, Pak Cakra,” ucap pria yang mendahului masuk ke dalam ruang kerja Cakra.“Seharusnya saya yang mempersilakan Anda untuk duduk. Silakan duduk, Pak…?“Iswanto, nama saya Iswanto. Saya dengar Anda adalah makcomblang jitu. Jadi, saya mendaftar di biro jodoh yang Anda kelola. Kemarin asisten Anda menjadwalkan pertemuan di sore hari, tapi karena saya ada acara. Jadi, saya memberanikan diri datang ke sini.” Pria itu duduk di sofa yang menghadap ke arah pintu kaca.“Perkenalkan, saya Cakra dan ini asisten saya yang bernama Aura.” Tangan kanan Cakra direntangkan untuk memperkenalkan gadis yang berdiri di samping sofa, yang didudukinya.Setelah memberi salam, gadis itu mengambilkan tablet untuk Cakra. “Ini file