Setelah Anthony menikah lagi, pria tersebut langsung menghilang bak ditelan bumi, sama sekali tak ada kabar. Namun, 7 tahun kemudian Anthony muncul lagi. Pria itu berdiri di depan gerbang sekolah Evelyn.
Evelyn yang hari itu tampak lesu, dikarenakan dia habis kena tegur wali kelasnya. Kesalahan Evelyn saat itu adalah dia ketahuan menyontek. Evelyn yang dulu terkenal sebagai murid yang rajin dan pandai.
Cuaca hari itu begitu sangat mendung. Gulungan awan hitam mampu mengusir sinar matahari yang menyengat. Ya, hamparan awan hitam terus bergerak menutupi awan putih. Sesaat terdengar suara gemuruh petir yang menandakan hujan akan segera turun.
Gadis berambut blondy dengan manik mata berwarna biru melangkah menuju gerbang sekolah. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Sorot matanya tajam menatap seseorang.
Anthony yang sadar akan kedatangan Evelyn segera memposisikan dirinya berdiri tegap dari sandarannya di mobil. Evelyn memasang muka tidak suka akan kedatangan Anthony di sekolahnya. Evelyn terlihat cuek saat melewati Anthony, dia sama sekali tak menyapa Ayahnya.
"Eve ... Evelyn, are you hear me!" teriak Anthony. Namun, Evelyn tak menghiraukannya. Dia terus melangkah menjauh dari Anthony.
Pria tersebut dengan sigap menyusul Evelyn dan menarik tangannya. Merasa tarikan kasar dari Anthony, Evelyn menepis tangan pria tersebut.
"Lepas!" pekik Evelyn. "Ayah menyakiti tanganku!" lanjutnya.
"Kenapa kau tidak menjawab waktu Ayah panggil?!"
"Memangnya harus!" balas Evelyn ketus.
"Seperti itukah jawabanmu pada Ayahmu ini?!"
"Apakah masih pantas, jika aku panggil Ayah!" Evelyn menatap Anthony tajam. Terlihat aura kebencian dalam sorot mata Evelyn. "Jika Ayah tak bisa menjadi suami yang baik, maka jadilah Ayah yang baik untuk anak-anakmu. Namun, jika tidak bisa melakukan keduanya, maka kau tidak berhak dihormati sebagai seorang pria!" ucapan Evelyn baru saja membuat Anthony meradang. Tak peduli dia berada dimana, Anthony mengangkat tangannya hendak menampar Evelyn yang tak lain adalah anak kandungnya sendiri.
Namun, sebelum itu terjadi. Tampak seorang pemuda mendekati Anthony dan menahan tangannya.
"Apa pantas seorang Ayah melakukan hal seperti ini pada anaknya?" tutur pemuda tersebut. "Anda tak layak disebut sebagai seorang Ayah!" tambahnya.
Manik mata dengan warna abu-abu tersebut menatap tajam pria yang berdiri di depannya. Mereka berdua saling beradu pandang, keadaan menjadi sangat tegang. Namun, secara tiba-tiba ucapan Evelyn mengalihkan atensi keduanya.
"Tak ada gunanya Ayah datang ke sini!"
Evelyn membalikkan badannya, dan melangkah meninggalkan mereka berdua.
"Eve!" teriak Anthony, membuat Evelyn menghentikan langkahnya. "Ayah hanya ingin mengajakmu bertemu dengan Ibu barumu."
"Sudah berapa tahun kau menghilang, sekarang muncul lagi di hadapanku, dan mengajakku bertemu dengan dia. Kenapa baru sekarang!" pekik Evelyn. "Simpan saja keinginanmu itu. Aku tidak butuh dia dan tidak ingin mengenalnya. Yang aku tahu, aku hanya punya satu orang Ibu bernama Amanda!" jelas Evelyn tanpa menoleh sedikit pun, lalu dia kembali berjalan tanpa menghiraukan panggilan Anthony.
__***__
Evelyn menutup matanya, sesaat setelah dia merebahkan tubuhnya di ranjang. Namun, mata itu kembali terbuka. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh Evelyn, tapi dia terus teringat dengan sosok anak laki-laki bermata abu-abu dan berambut blonde. Evelyn memang belum mengenal sosok anak laki-laki tersebut, akan tetapi Evelyn terlihat sangat penasaran. Evelyn bangkit dari tidurnya, sesaat dia terdiam merenung.
"Hmm, aku rasa anak laki-laki itu bukan murid di sekolahan ku," ucapnya. Evelyn kembali mengingat seragam sekolah yang dikenakan anak laki-laki tersebut. "Aku harus mencari tahu siapa dia, dan juga aku harus berterima kasih padanya." Evelyn kembali membaringkan tubuhnya.
Malam kian larut, dinginnya angin malam menyelimuti tubuh mungil Evelyn. Diraihnya selimut bulu tebalnya, dan dia menarik sampai sebatas dada. Tak kuasa menahan rasa kantuk, akhirnya Evelyn tertidur lelap.
Jam berganti jam, hingga malam berganti pagi. Evelyn bergerak menggeliat pelan, matanya terbuka perlahan menatap korden di sebelah ranjangnya. Tampak seberkas sinar mentari menyeruak masuk, melewati cela-cela jendela kamar. Manik matanya melirik jam yang ada di atas nakas.
"Sudah jam 6 pagi," lirihnya. Evelyn bangkit dari ranjangnya, bergegas menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri.
Selesai merapikan pakaiannya, Evelyn segera keluar dari kamarnya. Di ruang makan, nenek Pamela sudah menunggunya.
"Selamat pagi, Nek!" sapa Evelyn.
"Selamat pagi, Eve. Duduklah, nenek sudah menyiapkan sarapan untukmu," balas nenek Pamela.
Evelyn menarik kursi dan segera duduk, "Terima kasih, Nek!"
"Eve ...."
"Iya ...." Evelyn menatap nenek Pamela.
"Sebentar lagi kau akan lulus. Nenek berharap, kau harus rajin belajar," Nenek Pamela menatap Evelyn.
Evelyn terdiam, tatapan matanya masih memperhatikan wanita tua di depannya.
"Nenek tahu, kau pasti sangat benci dengan kedua orang tuamu. Nenek pun tidak ingin baik kau ataupun Elying bernasib sama,"
"Aku memahami itu, Nek!" Evelyn bangkit dari kursinya, "baiklah Nek, Eve berangkat dulu!"
Evelyn melangkahkan kakinya menyusuri trotoar jalanan desa. Pagi itu tampak ramai dengan rutinitas seperti hari-hari biasa, banyak anak-anakmu yang berlalu lalang berangkat ke sekolah. Evelyn terus melangkah setapak demi setapak. Namun, ada yang lain dari tatapan Evelyn pagi itu. Dia tampak berjalan sambil melamun, dia tampak tak menghiraukan sekitar, pandangannya tampak kosong hingga Evelyn pun tak sadar jika dirinya telah sampai di perempatan jalan yang sangat ramai dengan berbagai macam kendaraan. Dia masih terus berjalan hingga akhirnya sebuah tangan menariknya ke tepi jalan.
"Hey, hati-hati dan perhatikan langkahmu!" ujarnya. Seketika Evelyn tersadar, dia hampir saja terserempet sebuah mobil, tapi untunglah ada seseorang yang dengan sigap langsung menariknya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya anak laki-laki tersebut. Evelyn menatap pemuda tampan yang ada di sebelahnya. Pemuda yang sama seperti hari kemarin.
"Hey, aku bertanya padamu, apa kau tidak apa-apa?" Anak laki-laki tersebut mengulangi pertanyaannya.
"Ti-tidak. Terima kasih sudah menolongku. Entah apa jadinya jika tadi kau tidak menolongku. Mungkin aku sudah terkapar dijalan bersimbah darah di mana-mana!"
"Emm, jaga ucapanmu juga, pepatah bilang kalau ucapan adalah doa." Anak laki-laki tersebut tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
"Maaf, tapi sekali lagi terima kasih!" ucap Evelyn.
"Tak masalah!" ucapnya, lalu melangkahkan kakinya.
"Heeyyy!!" teriak Evelyn membuat langkah anak laki-laki itu terhenti, lalu dia menoleh ke belakang.
"Kau tidak ingin terlambat masuk sekolah 'kan?" tanyanya pada Evelyn yang terlihat bengong.
"A-apa!" Evelyn melirik jam yang melingkar di tangannya, "ah, kita bisa telat!" teriaknya lagi.
Evelyn berlari mendahului anak laki-laki tersebut yang hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Anak laki-laki tersebut kemudian menyusul Evelyn. Evelyn mempercepat langkahnya, akan tetapi dia selalu tertinggal.
"Hey, kenapa kau berjalan begitu cepat!"
"Apa langkah kakiku terlalu lebar?" tanya anak laki-laki itu.
"Tentu saja!" Evelyn terlihat kesal.
"Kita sudah sampai!" ucap anak laki-laki itu.
Evelyn memiringkan kepalanya, "kau sekolah di sini?" tanya Evelyn disambut anggukan kepala dari anak laki-laki itu, "tapi seragam mu itu ...."
"Aku baru saja pindah!" jawabnya. "Ayo masuk. Sebentar lagi bell akan berbunyi."
Anak laki-laki tersebut meraih tangan Evelyn dan menggandengnya masuk ke dalam gerbang sekolah. Evelyn terlihat kaget, dia menatap genggaman tangan anak laki-laki itu. Namun, segera Evelyn melepaskannya.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Tidak apa-apa, tidak enak saja dilihat murid-murid lainnya, apalagi para guru. Sedangkan kita berdua juga belum saling kenal!" tegasnya. Anak laki-laki itu memahaminya, dan kembali memperlihatkan senyum dengan lesung pipi yang menghias pipinya.
Dimple-nya membuat Evelyn terkesima dibuatnya. Lantas, dia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyadarkannya dari dunia keolengannya.
"Kau kenapa?" tanyanya yang merasa aneh dengan apa yang dilihatnya.
"Tidak ada. Ayo masuk!" ajak Evelyn.
Evelyn melangkahkan kakinya terlebih dahulu, meninggalkan anak laki-laki tersebut.
Bell masuk berbunyi nyaring, Evelyn tampak tak menghiraukan anak laki-laki tersebut. Dia langsung berlari masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya.
"Kenapa aku tadi meninggalkannya? Bukankah seharusnya aku membantunya atau memberitahukan ruang kepala sekolah sekolah!" beonya lirih.
"Tapi—ah, sudahlah. Dia bisa bertanya pada murid yang lain. Dia 'kan bukan anak kecil lagi!" imbuhnya.
"Kau kenapa, Eve?" tanya Alice menghampiri Evelyn.
"Eh, apa? Memangnya aku kenapa?" kata Evelyn tidak mengerti apa yang dimaksud Alice.
"Kau tadi bilang apa? Aku merasa mendengarkan kau mengatakan Kepala Sekolah. Apa hari ini Kepala Sekolah akan mengisi kelas kita?" cerca Alice.
"Tidak ... tidak ada yang akan masuk ke kelas kita!" kata Evelyn asal. Selang beberapa menit, seorang murid berteriak.
"Hari ini kosong, tidak ada jadwal apapun!" teriaknya menggelegar ke seluruh ruang kelas.
"Apa? Hari ini tidak ada jadwal pelajaran?" seru salah seorang siswa perempuan. Setempak kelas menjadi ramai karena seluruh murid berteriak karena mendengar bahwa hari itu jadwal kosong.
Alice langsung menoleh menatap Evelyn, dan mengangkat alis kanannya.
"Sejak kapan kau jadi cenayang?"
"Tadi aku hanya asal bicara!"
"Baguslah, setidaknya ucapanmu berbuat manis ha ha ha—" Alice tertawa lepas.
"Kita bebas? Hari ini?" Sabrina yang tiba-tiba berdiri di sebelah Evelyn.
"Astaga! Kau ini mengagetkanku!"
"Dari mana kau ini?"
"Aku? Dari toilet!" Sabrina tertawa, "kalau hari ini kita bebas. Apa ada yang akan mengisi kekosongan kelas kita? Atau mungkin akan kosong dan riuh?"
"Mungkin kepala sekolah!" celetuk Evelyn.
"Eveeeee!!!" teriak Alice dan Sabrina bersamaan.
"Diam semua! Kepala Sekolah sedang berjalan kemari!" seseorang berteriak sambil menekan perkataannya. Semua murid terdiam sesaat ketika seorang wanita yang berperawakan gemuk berjalan melewati kelas. Semua murid seperti menahan napas. Namun, ketika wanita itu hanya berjalan melewati kelas, semuanya langsung bernapas lega.
Sesaat kelas riuh lagi, mereka tidak sadar ketika ada sepasang mata yang sedang mengawasi mereka dari jendela belakang. Semua murid tampak begitu senang, kecuali Evelyn yang duduk tenang dan diam. Tiba-tiba sebuah deheman mengagetkan seluruh isi kelas. Semua terdiam di posisi mereka masing-masing. Ada yang sedang berdiri, duduk-duduk di atas meja, ada yang mencorat-coret dipapan tulis, dan ada yang sedang bergerombol. Semua terdiam dan menundukkan kepala mereka ketika mengetahui siapa yang berdehem saat itu.
Seorang wanita berdiri tepat di ambang pintu kelas. Semua murid segera berlari ke tempat duduk masing-masing. Wanita itu berjalan masuk ke dalam lalu menatap para murid satu persatu. Lantas dia berdehem sekali lagi dan meletakkan sebuah buku di atas meja. Sorot matanya menatap dua bangku kosong yang ada di pojok kanan belakang.
"Ada yang tahu siapa yang duduk di bangku belakang sana!" ucapnya dengan suara agak meninggi.
"Si-Simon dan Bryan, Bu!" jawab seorang murid yang duduk di depan bangku itu.
"Dimana mereka?!" tanyanya lagi dengan tegas.
"To-toilet, Bu!" balasnya sekali lagi.
Sesaat kedua murid itu kembali dengan wajah kaget ketika melihat seseorang berdiri di antara meja dan kursi guru.
"Dari mana kalian berdua?!"
"Da-dari to-toilet, Bu." Keduanya segera masuk dan hendak kembali ke tempat duduk mereka, tapi ....
"Siapa yang menyuruh kalian untuk masuk dan kembali ke tempat duduk kalian?!" menatap kedua anak laki-laki itu.
"Kembali ke depan!" seru wanita itu, membuat Simon dan Bryan segera maju ke depan. Wanita yang bernama Anne Read ini, tak lain adalah Kepala Sekolah SMA Kingston.
Ny. Anne menatap Simon dan Bryan dengan tajam, hidungnya tampak sangat peka. Wanita itu mencium bau yang berasal dari tubuh kedua anak laki-laki itu.
"Kalian dari mana!?"
"To-toilet!" Bryan dan Simon menjawab bersamaan.
"Apa yang kalian lakukan di dalam toilet?!"
"Ah, Ibu ingin tahu saja!" canda Bryan.
"Ibu sedang tidak bercanda!" Ny. Anne tersenyum dan menatap semuanya.
"Jika sampai hari ini Ibu menemukan rokok dan sejenisnya. Maka dari itu, Ibu akan menghukum kalian semua!"
To be Continue,
Setelah setahun Evelyn bergelut di dunia kumbangan hitam. Biaya hidupnya pun terpenuhi secara financial. Bahkan dia sampai lupa dengan orang-orang terdekatnya dan dia pun selalu beralasan jika ibunya akan berkunjung untuk menemuinya. Saat Evelyn menunggu pelanggannya justru dia malah dikejutkan dengan kedatangan sang ayah. Pria itu berdiri di depan Evelyn dan memanggilnya. Evelyn sempat senang dan lega karena jemputannya sudah datang setelah 30 menit dia menunggu. Namun, kejutan yang dia dapat malam itu. "Ayah!" Evelyn berdiri dan terkejut. Begitu pula dengan Anthony. "Kenapa kau ada di sini?" tanya Anthony. "Aku sedang menunggu seseorang. Ayah sendiri kenapa ada di sini?" Evelyn bertanya balik pada Anthony. "Ayah ke sini untuk menjemput seseorang," jawabnya. Mendengar itu, Evelyn mengerutkan alis dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Pikir
"Kau mau ini, Eve?" Irene mengangkat bungkusan."Kembalikan itu!" teriak Evelyn."Kenapa?" tanya Irene. "Kau mau memberikan ini pada Ronan?" kata Irene memancing. Evelyn menatap kaget pada Irene. Dia mengerutkan kedua alisnya. "Kenapa reaksimu seperti itu? Apa kau terkejut mendengarnya? Apa kau kaget kenapa aku menyebut nama Ronan?" Kau pasti penasaran, kan?"Evelyn segera membayar Mulata tersebut dan tanpa aba-aba Evelyn menarik tangan Irene kasar."Wow ... wow, kenapa kau menarik tanganku dengan kasar?" Irene tertawa.Evelyn menarik Irene dan melepaskan tangan itu di sebuah gang kecil yang sepi. Tanpa ekspresi Evelyn menatap sengit pada Irene."Santai dong, Eve. Kenapa kau menatapku dengan tatapan sengit?""Kau——""Ah, kau ingin tahu dari mana aku mengenal Ronan?" Irene melangkah mendekati Irene dan memasukkan bungkus
Sudah jelas dan sudah dipastikan jika Christine akan malu bertemu dengan Nicholas. Ya, Christine memang belum mengungkapkan perasaannya, akan tetapi Nicholas sudah lebih dulu menjelaskannya bahkan kata-kata itu tajam dan menusuk ke hati Christine.Sempat kesal, tapi Christine mulai sadar bahwa apa yang dia lakukan memang salah. Christine teringat akan kata-kata Nicholas.Flashback on,"Aku membawamu kemarin karena aku ingin membuka matamu, bahwa apa yang kau lakukan salah. Kau menjadikan dirimu sendiri sebagai bahan taruhan? Kenapa aku menyetujuinya?" Nicholas berdecak heran dengan apa yang dia tahu.Christine sendiri juga terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar dari Nicholas. Christine bingung dari mana Nicholas bisa mengetahui akan hal itu.Christine hanya diam membisu, dia menunduk dan tidak mampu menatap Nicholas. Malu, kesal, dan marah. Mungkin itu yang cocok dan sedang dirasakan oleh Christine."Coba kau pikir
Melihat tatapan Nicky yang begitu dalam dari kejauhan, Christine mengira jika Nicky mulai menyukainya. Christine terbawa oleh perasaan sendiri dan membuatnya semakin percaya diri jika dia bisa menaklukkan hati Nicholas.Diam-diam Christine selalu mencuri-curi pandang saat dia sedang menikmati makan siangnya. Hal itu terus berlanjut hingga tiga hari.Nicky juga kadang menatap Christine dari tempat duduknya. Tatapannya tetap dingin, datar, dan tanpa ekspresi. Akan tetapi tidak merubah visual ketampanan wajahnya. Semakin Nicky terlihat cuek, wajah tampannya semakin bersinar."Apa kau menyukainya?" Deren menepuk bahu Nicky. Pemuda itu menoleh dan tersenyum miring. "Gadis itu bernama Christine. Dia jurusan bahasa setahuku dan dia adalah idola di kampus ini. Sama sepertimu." Deren tertawa.Nicky menghela napas panjang dan mengambil brokoli dengan menggunakan garpu."Kalau kau ingin mengenalnya lebih dekat. Aku bisa membantumu. Lagi pula sudah banyak gadi
Nicholas melangkahkan kakinya di koridor kampus. Tiba-tiba seorang gadis cantik berlari dan menghampiri Nicky. Dia memberikan sebuah kado dan langsung pergi begitu saja.Pesona Nicky semakin hari tidak perlu diragukan lagi. Dia benar-benar menjadi idola di kampusnya. Nicky menerima kado itu dan membukanya. Di dalam bungkusan kado itu ada coklat dan secarik kertas bertuliskan 'I like you. Will be my boyfriend?'.Nicky kembali menutup bungkusan kado itu dan melangkah ke kerumunan anak laki-laki yang sedang duduk di kursi. Nicky pun ikut bergabung dan memberikan bungkusan itu kepada mereka."Ada yang mau coklat?" ucap Nicky.Sontak semuanya menjawab dengan jawaban yang sama dan mereka memakai coklat itu sampai habis."Wah, ada yang mengutarakan isi hatinya lagi padamu?" tanya Angger dengan membaca tulisan di kertas tersebut."Siapa?" ucap yang lain dengan rasa penasaran. Nicky
Enam bulan telah berlalu. Semua berjalan seperti bagaimana mestinya dan Evelyn pun sudah mendekati jenjang terakhir. Bahkan dia sendiri lupa akan Nicholas karena tempat Nicky sudah diisi oleh Ronan.Eve pun memilih untuk tinggal seorang diri dengan menyewa sebuah kamar dengan ukuran kecil. Alasan Eve untuk keluar dari rumah adalah fokus dalam hasil akhir, tapi sebenarnya bukanlah itu.Ada alasan lain yang tidak bisa Evelyn katakan pada siapapun. Keras kepala Evelyn untuk kali ini tidak bisa ditentang oleh Nenek, Ibu, dan juga Kakaknya. Pernah Ibunya menentang Evelyn hingga menampar pipi gadis itu dan membuat Evelyn kabur dari rumah selama satu minggu.Satu minggu itu pula Ibu dan Kakaknya mencari Evelyn kemana-mana. Pada akhirnya Evelyn kembali ke rumah karena bujukan dari Ronan dan ternyata selama kabur itupun Evelyn tinggal di rumah Ronan. Setelah kejadian itu Evelyn memutuskan hidup sendiri.Tak hanya itu saja, h
Ternyata Irene justru lebih dulu mengutarakan maksudnya pada Ella dan Beatric. Entah sebenarnya mereka bertiga ada ikatan batin atau tidak, tapi yang jelas semua bisa kebetulan sama.Ella dan Beatric yang bingung bagaimana cara menyampaikan maksudnya pada Irene soal kemauan si bos besar itu, tapi justru Irene sendiri yang langsung mengutarakan isi hatinya tanpa basa-basi yang tidak jelas. Itulah yang membuat Ella dan Beatric mendadak terserang batuk-batuk."Apa kau yakin soal itu, Irene?" Ella belum mau bicara jujur. Dia takut salah dalam berucap. Beatric pun sudah memberi kode dengan menyenggol lengannya dan lucunya lagi. Beatruc berbicara dengan Ella menggunakan aplikasi percakapan, padahal mereka berdua duduk berdampingan sangat dekat. Hal itu mereka lakukan untuk menghindari jika sampai Irene salah menangkap pembicaraan mereka dan akhirnya marah.Oleh sebab itu mereka mengobrol lewat aplikasi chatting di ponsel mereka. Benar-benar sangat aneh dan Irene pun t
Masa depanku telah hancur. Aku harus bagaimana? Apa aku harus bicara jujur pada nenek? Ah ... tidak-tidak. Aku tidak boleh bicara pada nenek, tapi aku pun tidak bisa bicara dengan ibu dan kakak. Mereka pasti akan marah besar atau bisa jadi jika nenek mendengar ini---Evelyn benar-benar dalam posisi bingung. Dia tidak bisa berpikir jernih. Evelyn menyandarkan tubuhnya di dinding dan perlahan tubuhnya melorot ke bawah dan jatuh ke lantai. Dalam hatinya dia benar-benar bingung bercampur takut. Evelyn tidak bisa memendamnya sendiri. Dia ingin mengeluarkan keluh kesahnya, tapi dengan siapa? Nicholas sudah pindah. Sedangkan Alice dan Sabrina sudah menjauh darinya. Ronan? Apalagi dengan pemuda itu, dengan Ronan justru Evelyn tidak bisa berbuat apa-apa. Dialah yang memulai semuanya, tapi entah kenapa Eve juga nyaman jika sedang bersama dengan Ronan. Amanda dan Elying tidak pernah memperhatikan Evelyn, Pamela sendiri sudah tua. Ap
"Darah?" Irene melempar celananya ke dalam ember. "Kalau begini bagaimana bisa aku menggertak Ronan?" Irene mengacak-acak rambutnya sendiri. Tubuhnya menyandar pada dinding kamar mandi dan menengadahkan kepalanya. Irene justru merasa frustrasi. Di mana-mana jika melakukan hubungan terlarang dan tidak hamil justru dia akan senang, tapi tidak dengan Irene. Melihat kenyataan bahwa dirinya telah datang bulan membuat Irene marah besar. "Ini semua gara-gara Evelyn. Aku harus membuat perhitungan denganmu, Eve!" Irene terlihat sangat geram. Irene terdiam sesaat, terlintas sesuatu di dalam benaknya. Mungkin itu yang terbaik. Apa salahnya untuk mencobanya, tapi mereka kemarin——Irene membalikkan badannya, dia tampak terkejut saat sang ibu masuk ke dalam kamar mandi. "Kau tidak mendengar, ya?" tanyanya. "Apa? Mendengar apa?" kata Irene. "Hukumanmu itu b