Sesampainya di kamarku, aku langsung melangkah ke lemari dan mengeluarkan beberapa pasang pakaian. Setelah itu, kulangkahkan kakiku memasuki kamar mandi. Kutanggalkan pakaianku yang basah kuyup lalu menyalakan keran bak mandi.
Sambil menunggu airnya penuh, aku mencuci mukaku di wastafel. Kutatap pantulan diriku di cermin. Penampilanku berantakan sekali, terutama rambut hijau gelap yang basah dan acak-acakan ini.
Manik hijau emerald-ku mengarah ke mantra sihir yang berupa seperti tato putih melingkar di leherku. Kusentuh leherku dengan ujung jariku.
"Kalau saja 'kontrak' ini tidak pernah ada, aku tidak akan hidup seperti boneka mereka." Jariku menggaruk leherku hingga muncul bekas merah yang terasa perih.
Aku teringat akan air di bak mandi, untunglah airnya tidak kepenuhan. Kumatikan keran agar airnya tidak meluap ke lantai. Kucelupkan badanku ke air lalu menyandarkan punggungku pada dinding ubin putih. 'Ah, nikmatnya berendam dalam air hangat.'
Beberapa menit berlalu, aku selesai dari mandiku dan mengenakan pakaian yang kering dan nyaman. Kulangkahkan kakiku menuju lemari kecil yang ada di samping ranjangku.
Sebuah benda pipih berwarna hitam berada di atas perabotan berbahan kayu itu. Kuambil ponselku dan mencoba menyalakannya. Alat komunikasi ini tidak mau menyala walau sudah kutekan tombol power berkali-kali.
"Sial, pasti karena kemasukan air." Kuletakkan kembali benda itu di atas lemari yang hanya setinggi lututku.
Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Kurebahkan badanku di atas ranjang lalu memejamkan kedua mataku.
***
Ruangan yang berisikan perabotan antik bernuansa putih-emas. Tampak seorang anak laki-laki berambut hijau gelap dan wanita berambut ungu magenta duduk berhadapan. Secarik kertas terletak di atas meja persegi di depan mereka. Tulisan bertinta hitam tertulis rapi pada permukaan kertas itu.
"Tempelkan jari jempolmu di atas sini." Wanita itu menunjuk bagian kosong di sudut kiri bawah. Anak itu menganggukan kepalanya dan melakukan apa yang diinstruksikan oleh wanita itu.
Warna tulisan itu berubah menjadi putih lalu terlepas dari permukaan kertas, terbang ke arah bocah itu dan melilit lehernya. Dia terjatuh dari kursinya dan meronta-ronta di lantai. Tangan kecilnya menggenggam erat lehernya.
Manik emerald-nya menatap wanita yang hanya menatap anak yang kesakitan itu dari kursinya. Mata biru cerah wanita itu memandang rendah anak malang itu. Bibir merahnya melengkung ke atas membentuk sebuah senyuman.
"Inilah harga atas nyawamu. Kamu harus hidup menaati perintah kami, jangan gunakan kekuatanmu untuk membunuh orang lain tanpa seizin kami, dan jadilah kaki tangan Treis." Dia bangkit dari kursinya, pergi meninggalkan anak yang menderita kesakitan di atas keramik putih yang dingin itu.
***
Terdengar suara ketukan sebanyak 3 kali, suara itu membuatku terbangun dari kenangan buruk itu. Aku terduduk di tepi ranjang sambil mengumpulkan nyawa setelah bangun tidur. 'Tidak biasanya ada orang yang datang ke kamarku. Siapa itu?'
Kuturunkan kakiku dari ranjang lalu berjalan ke arah pintu. Tanganku memutar kunci yang menempel pada lubang di gagang pintu lalu membuka papan kayu hitam ini.
Tampak seorang pria yang wajahnya kukenal berdiri di balik pintu ini. Air mukanya tampak mencemaskan sesuatu. Dia membuka mulutnya berkata, "Trystan, Layla disandera oleh penyusup."
Mataku terbuka lebar mendengar perkataannya. Kukepalkan erat tanganku hingga urat-urat timbul di permukaan kulit. Rahangku mengeras mendengar berita itu. 'Beraninya mereka menyandera Layla!'
"Apa mau mereka?" tanyaku dengan nada rendah.
"Dokumen yang berhubungan dengan kasus 13 tahun yang lalu," jawab Kapten.
Aku terdiam dan berpikir untuk sejenak, 'Kasus 13 tahun yang lalu? Untuk apa mereka mencari-cari dokumen itu?' Seketika ingatan tentang 13 tahun lalu terlintas di kepalaku. 'Masa sih ...?'
Kapten lanjut berkata, "Trystan, saya ingin agar kamu tidak ikut campur dalam masalah ini lagi. Ingat, tugas kamu di sini bukan untuk menginvestigasi.
"Cukup 2 'tikus' itu saja yang telah mengetahui tentang keberadaanmu di sini, jangan sampai para 'anjing' itu mengendus tentang hal ini," tambahnya, aku menganggukan kepala mengerti.
Kapten membalikkan badannya dan pergi meninggalkanku. Kutatap punggungnya yang semakin menjauh hingga tak terlihat lagi. 'Maaf, Kapten, sepertinya aku tidak akan mengindahkan laranganmu. Aku tidak mungkin tinggal diam saja jika ini menyangkut Layla, orang yang paling berharga bagiku.'
Setelah kurasa Kapten sudah jauh, aku berjalan menyusuri lorong untuk keluar dari asrama. Saat hendak berbelok ke kanan, aku merasakan sesuatu yang mengancam. Kuhentikan langkahku dan memperhatikan sekelilingku.
Sunyi dan sepi. Tidak terlihat ada orang lain di tempat ini. Padahal aku yakin jika aku merasakan 'Arte' milik orang lain di sekitar sini, tetapi karena begitu lemah, aku jadi tidak tahu darimana tepatnya itu berasal.
"Aku tahu kamu ada di situ, tunjukkanlah dirimu," gertakku. Hening, tidak ada jawaban yang kuterima. 'Ha, kamu ingin bermain petak umpet denganku? Oke, akan kuladeni permainanmu.'
Bayangan di bawah kakiku meluas meliputi seluruh lantai di tempat ini. Permukaan datar yang berwarna putih berubah menjadi hitam. Kukonsentrasikan kekuatanku untuk melacak keberadaannya. 'Ketemu.'
Kakiku beranjak dari tempatku berdiri dan bergerak ke sebelah kanan. Kuhantam dinding abu-abu muda dengan tinju kananku.
Sosok yang bersembunyi itu menghindari seranganku dan menampakkan dirinya. Orang itu adalah wanita berambut cokelat yang waktu itu kutemui di ruang referensi.
"Akhirnya kamu menampakkan dirimu juga." Aku mengusap buku-buku jariku yang sakit setelah memukul dinding. Dia terkesiap mengetahui aku dapat menemukan persembunyiannya.
Dia mencoba kabur dariku, tetapi kutahan pergelangan tangannya. "Dimana Layla?"
"Ba-bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?" Dia bertanya balik kepadaku yang membuatku berdecak kesal.
"Itu tidak penting. Sekarang jawab pertanyaanku. Dimana. Layla?" Aku mengulangi pertanyaanku dengan penuh penekanan.
"A-aku menguncinya di ruang G, dia kuborgol di teralis jendela. Jadi, seharusnya dia masih ada di sana," jawabnya memberitahuku dimana dia menyandera Layla.
Cengkraman tanganku semakin kuat setelah mendengarnya mengatakan jika dia memborgol Layla. Terdengar suara tulangnya yang retak dan diikuti oleh suara pekikan kesakitannya. Kulepaskan genggaman tanganku darinya, dia langsung terduduk di lantai.
"Berikan kuncinya." Aku mengulurkan tanganku kepadanya. Wanita itu menyerahkan 2 buah kunci ke telapak tanganku. Kusimpan kedua kunci itu di dalam saku celanaku lalu menjentikkan jariku.
Bayangan di lantai mencuat dan melilit tubuhnya. Dia menghilang dari pandanganku ketika bayangan itu lenyap. Aku menggunakan 'Arte'-ku untuk memindahkannya ke dalam sel tahanan bawah tanah yang gelap.
Kuhilangkan bayangan yang menutup seluruh lantai. Permukaan yang tadinya berwarna hitam kini kembali menjadi putih. Tanpa menunggu lama, aku segera beranjak menuju tempat Layla dikunci.
Tibalah aku di depan ruang G. Napasku tersengal-sengal karena berlari menuruni 2 lantai sekaligus tanpa berhenti. Kumasukkan salah satu kunci itu ke dalam lubang di gagang pintu lalu menggenggam kenop pintu dan mendorongnya.
Aku disambut oleh sosok wanita berambut perak yang terduduk di lantai dan bersandar pada dinding. Kedua tangannya terangkat ke atas dengan borgol yang mengikatnya di teralis jendela. Aku melangkah ke arahnya dan memeriksa keadaannya.
Dia tidak sadarkan diri, tetapi untunglah sepertinya tidak ada luka apapun padanya. Kemudian mataku mengarah ke pergelangan tangannya. Kedua alisku berkerut setelah melihat ada bekas merah yang tampak pada kulit putihnya akibat benda metal itu.
Kubuka borgol itu dengan kunci yang berukuran lebih kecil lalu kuturunkan kedua tangannya ke atas perutnya kemudian menggendong Layla yang terkulai lemah dengan kedua tanganku.
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.