Selepas kepergian Dendra, aku masih belum mampu meredakan perasaan yang mendadak kacau. Ingin rasanya kembali ke unitku, membenamkan diri di dalam kamar. Perutku yang belum sempat terisi mendadak protes. Masa bodohlah dengan Dendra, yang penting perutku terisi.
Kopi yang kupesan sudah mulai dingin dan sedikit pahit, tapi rasa pahit dari kopi yang kuminum masih kalah dari rasa pahit yang kurasakan saat ini. Mengingat percakapan dengan Dendra membuat setitik harap yang pernah ada, muncul kembali.
Perdebatan batin mulai hadir. Entah kenapa aku merasa besar kepala ketika Dendra mengatakan bahwa perempuan yang dia cintai hanya aku. Namun, logikaku membantah, jika memang dia mencintaiku, tak mungkin dulu dengan mudahnya dia melepaskanku.
Terngiang-ngiang kembali bagaimana dulu dia dengan wajah dingin mengatakan bahwa hubungan kami tak lagi bisa berlanjut karena orangtuanya tak merestui. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Sekarang dengan seenaknya dia hadir dan
Hampir tengah malam ketika aku bersama beberapa rekan pramugari lainnya tiba di hotel yang terletak tak jauh dari bandara. Hotel yang memang biasa dijadikan tempat peristirahatan para kru.Aku kebagian kamar Deluxe twin bersama Serin —gadis cantik berwajah eksotis khas timur tengah. Kami cukup beruntung, kamar yang kami tempati menyuguhkan pemandangan gunung Merapi yang menjulang angkuh dan terkesan dingin. Malam ini pemandangannya tak begitu terlihat indah, aku yakin besok, ketika matahari mulai muncul lukisan alam akan tersaji mempesona pada bingkai jendela kaca ini."Mau mandi duluan enggak, Mei?" tegur Serin. Aku memalingkan wajah dari pemandangan malam di luar jendela ke arah gadis itu."Duluan aja, Ser. Aku mau ngedinginin badan dulu, masih keringetan," sahutku, melepaskan sepatu dan duduk mengunjurkan kaki di sofa yang terletak di samping jendela."Oh, ok." Serin beranjak ke kamar mandi. Meninggalkanku yang kembali tenggelam dalam la
Berendam membuatku mengantuk, aku segera keluar dari bath-up. Sudah larut juga. Berniat untuk tidur, ketika teringat sehari tadi aku masih belum memeriksa ponselku. Sehari ini aku juga belum mengabari ayah dan bundo.Sambil mengeringkan rambut, kunyalakan ponsel dan menunggu. Seketika beberapa notifikasi pesan chat dan suara muncul di layar saat benda pipih itu telah menyala sepenuhnya. Beberapa pesan suara dari ayah. Laki-laki yang selalu merindukanku, ha-ha.Kubuka satu persatu pesan dari ayah, "Mei, hari ini kenapa tidak ada kabar?" pesan pertama pada jam 17.00. Pada saat itu aku sedang briefing dan ponsel telah kumatikan."Sudah malam begini ponselmu masih belum aktif. Kamu kemana? Ayah khawatir," pesan kedua pada jam 20.00, ketika aku on board. Tentu saja aku masih belum mengaktifkan ponselku."Mei, telpon ayah jam berapapun. Ayah tunggu.
Dua minggu dengan jadwal penuh, mengitari berbagai kota di Nusantara. Jadwal yang padat, membuatku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, sehingga aku mampu mengalihkan pikiran dari segala kerumitan hubunganku dengan Dendra.Dalam dua minggu ini pun aku menjadi lebih dekat dengan Adrian. Hampir setiap hari pria itu mengirimiku pesan dan berlanjut pada percakapan lewat telpon. Dari percakapan itu aku mengenal Adrian sebagai sosok pria yang cukup gila kerja."Kita hampir sama, gila kerja," ujar Adrian ketika aku meledeknya dengan sebutan "Si gila kerja""Kalau aku, kan emang tuntutan perusahaan, Dri. Jadwal terbangku mereka yang nentuin. Aslinya aku lebih senang bermalas-malasan," tampikku tidak mau dikatakan seorang yang gila kerja."Sama saja, kalau orang malas sudah dari dulu minta resign karena tidak sanggup mengikuti ritme kerja yang seperti itu. Hanya orang-orang tertentu yang sanggup
Hari sudah hampir siang ketika aku selesai membereskan unitku. Dua minggu ditinggal, membuat debu dengan betahnya menempati setiap senti di dalam ruangan. Aku bukan tipikal orang yang nyaman meminta jasa cleaning untuk membersihkan tempat pribadiku. Lagipula, unit apartemen ini hanya tipe studio, tidak memakan waktu terlalu lama untuk membersihkannya.Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sebelas, ketika ponselku berdering. Nomor yang tidak terdaftar dalam kontak. Menimbang-nimbang sebentar, panggilan itu akhirnya kuterima, "Halo, selamat siang.""Siang, Mei. Ini aku, Keanu," sahut penelpon bersuara berat di seberang sambungan."Eh, Kean ... Sudah di Jakarta?" sambutku canggung. Rentang waktu sekian tahun membuatku sedikit gugup mendengar suara Keanu yang terdengar agak asing.
Seharian bersama Keanu menghabiskan waktu berdua, membuatku merasa seperti pada kencan pertama. Merasakan debaran layaknya gadis yang baru jatuh cinta. Aku hampir lupa bagaimana rasanya bahagia bersama orang yang aku suka.Kehadiran Keanu seolah memprogram ulang semua tatanan ruang dalam hatiku. Seketika melupakan rasanya sakit patah hati yang sekian tahun kusimpan. Secepat itu dia mengambil alih kendali rasa. Sehingga rasa sakit yang dulu ditorehkan Dendra hilang begitu saja."Nonton, yuk!" ajak Keanu ketika melewati salah satu mall."Yuk! Sudah lama juga aku tidak ke bioskop. Aku lebih senang menghabiskan waktu di kamar kalau lagi libur. Kalau enggak pulang kampung," sahutku menyetujui usulan Keanu.
Seolah masih tersihir oleh pesona maskulinnya, pikiranku masih saja didominasi oleh bayangan Keanu. Gelak tawanya dan caranya memandangku. Aku masih asyik dengan lamunan, ketika suara dering ponsel mengagetkanku. Foto Keanu yang kuambil di saat kencan tadi, memenuhi layar benda pipih itu.Aku membalas senyum Keanu yang muncul di layar. Sambil menertawakan kekonyolan diri sendiri, tombol untuk terima panggilan kugeser."Hai! Sudah nyampe di hotel?" sapaku."Baru saja. Sudah bersiap mau tidur?" Suara beratnya seolah membelai lembut gendang telingaku. Menimbulkan rasa grogi, walaupun sosoknya tak ada dihadapanku."Belum, kenapa?"
Cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela gorden jatuh tepat di mataku. Setengah mengernyit, kugapai ponsel yang terletak pada meja kecil di samping tempat tidur. Aku melompat bangun, ketika melihat di layar tertera beberapa panggilan tak terjawab dan pesan chat dari Keanu."Mei, aku tunggu di loby." pesannya.Ah! Bisa-bisanya aku tertidur seperti orang mati."Kean ... Kamu masih di loby?" semburku ketika Keanu menerima panggilanku."Masih, kamu kemana?" tanyanya dengan nada khawatir, "Aku baru saja mau menghubungi keamanan gedung karena sudah dua jam aku menunggu," lanjutnya."Aah ... maaf Kean,
"Kita jadi besok ke Padang, kan Mei?" tanya Keanu ketika melihatku keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang kurasa sudah paripurna. Baju terusan berwarna olive, dengan sapuan make up tipis untuk memberikan kesan segar pada kulit wajahku yang selalu terkesan pucat. Seperti biasa, rambut kubiarkan tergerai tanpa aksesoris. Keanu menatapku tak berkedip. Senyum simpul melengkung sempurna di bibirnya. Membuat hati yang tadi sempat kesal padanya, luluh seketika. "Kenapa? Aneh, ya?" tanyaku melihat reaksinya. "You look so adorable, Hon," gumamnya dengan senyum lembut. "Tuh, kan! Mulai lagi gombalnya," rutukku menghenyakkan diri di sofa, tak jauh dari Keanu duduk. "No ... I meant it. Kenapa kamu selalu anggap semua pujian yang diberikan padamu itu gombal? You deserve it," ucapnya dengan wajah serius. "Really?" "Yup. Apa yang membuatmu terlalu skeptis setiap kali aku melontarka