Sampai di apartmen, aku tak langsung naik ke lantai unitku, berniat berbelanja beberapa makanan ringan dan bahan baku makanan di minimarket 24 jam yang terdapat di lantai basement gedung. Belanja dengan cepat, agar aku bisa segera kembali ke unitku. Seharusnya sebentar lagi Keanu sudah sampai di negara transit, dan mungkin akan menelponku.
Keluar dari minimarket, kuperiksa ponsel yang sedari tadi disimpan di dalam tas. Tiba-tiba saja seseorang menubrukku, membuat ponsel yang baru saja kukeluarkan, terpelanting dan tergilas oleh troli yang didorong seseorang yang keluar dari minimarket.
Krak! Terdengar bunyi suara pecah dari benda pipih itu.
"Ah!" Pekikan berbarengan keluar dari mulutku dan orang yang menggilas ponselku.
&nbs
Harusnya ini adalah waktu dimana aku sudah berada di tempat tidurku yang nyaman. Mengobati kesedihan karena perpisahan dengan Keanu. Entah kesalahan apa yang membuatku pantas menerima hukuman seperti ini. Telepon genggamku hancur, dituding sebagai pelakor, di tampar oleh istri mantan. Lalu sekarang aku harus mencari toko selular yang masih buka di tengah malam, untuk mendapatkan pengganti telepon genggamku yang rusak.Bisa dikatakan ini adalah hari terburukku dalam sepuluh tahun terakhir ini. Kesialan seolah bertubi-tubi kuterima.Kembali terbayang tatapan yang penuh amarah seakan ingin membunuh, dari sorot mata Nisya–istri Dendra, membuatku bergidik. Terkadang memang cinta yang tak berbalas membuat orang bisa melakukan apa saja diluar batas kewajaran.
"So, where have you been?" (Jadi kemana saja kamu?) Kuulangi pertanyaanku, setelah tangis mereda. Tumpukan rindu dan emosi yang kupendam selama beberapa minggu ini seolah disapu oleh suara beratnya. Membersihkan rasa sakit yang kutahan."I'm sorry Mei. I did something stupid ... karena kepikiran kenapa nomormu tidak aktif, aku sampai lupa meninggalkan handphone-ku dimana. Aku baru sadar ketika di pesawat pada saat hendak mematikanya, handphone-ku sudah tidak ada di kantong." Aku menyimak keterangan pria itu. Mengisi ruang rindu yang telah kosong dengan suaranya."Ternyata kita melakukan kebodohan yang sama setelah berpisah, ya?" aku terkekeh mendengar penjelasannya. Aku pikir perpisahan di bandara adalah kali terakhirku melihat senyumnya. Ternyata Tuhan masih mengizinkanku mendengar suar
Pagi hari aku bisa bangun dengan perasaan tenang. Pikiran yang mengganjal telah hilang. Ada beban yang terasa telah terangkat, begitu ringan. Suara Keanu masih saja terngiang-ngiang bagai nyanyian merdu yang terus saja diputar ulang."Sudah enakan, ya?" tanya Disti yang baru saja keluar kamar mandi ketika mendengarku bersenandung kecil saat berhias."Sudah. Semalam aku bisa tidur nyenyak," sahutku menoleh padanya."Kamu hari ini enggak balik ke Surabaya lagi, ya?" Disti ikut duduk di depan cermin besar tempatku tengah mempersiapkan diri. Mengambil pengering rambut yang ada di laci, dan menyalakannya."Enggak, kamu masih balik ya?" tanyaku setengah berteriak untuk mengimbangi kebisingan suara
Segala kepenatan hilang setelah mandi, membuat mood menjadi lebih baik. Perut pun minta jatah untuk diisi. Mashed potato dan scramble egg kupilih untuk menu malam ini, mungkin nanti ditambah sedikit nasi, biar kenyangnya lebih afdol. Kukeluarkan beberapa bahan baku yang ada di kulkas, bersiap untuk mengolahnya.Setengah jam persiapan, berkutat dengan alat masak dan bahan mentah, hidangan makan malam selesai. Baru saja hendak menyantapnya, ponselku berdering. Nomor yang tak kukenal tertera di layarnya yang mungil dan berwarna abu-abu."Halo.""Eh, Mei ... are you okay?" Ternyata Adrian yang menelpon. Nomornya memang belum aku simpan di ponsel baru ku."Hai,
Beberapa saat setelah meninggalkan gedung apartemen, Adrian sudah mulai menguasai keadaan, tak lagi tampak canggung seperti pada saat awal bertemu. Candaan ringan khasnya mulai lagi terdengar diiringi derai tawa renyah bagai musik yang menggetarkan hati. Andai saja aku tak ingat Keanu, mungkin saja aku terpikat oleh pesonanya yang penuh kharisma.Lampu lalu lintas yang menyala merah membuat mobil harus berhenti. Seorang pengamen kecil dengan alat musik dari tutup minuman ringan yang dipaku pada sepotong kayu kecil, menghampiri kami. Aku memperhatikan gadis kecil itu bernyanyi dengan penuh penghayatan, wajahnya legam terbakar matahari."Permisi, Om," ucapnya sambil mengetuk kaca mobil di bagian sisi Adrian, ketika lagu yang ia nyanyikan telah selesai ia lantunkan.
Lebih dari setengah hari sudah aku menghabiskan waktu bersama Adrian. Rasa lelah dan timbunan emosi selama beberapa minggu terakhir, kembali mencair. Sudah terlalu lama aku mengurung dan membatasi diri dengan dunia di luar pekerjaan. Bahkan untuk hubungan pertemanan sekalipun, aku seolah enggan. Peluang kali ini seolah menyegarkan rasa suntuk yang mulai menumpuk.Untuk pertama kali, dalam satu bulan terakhir ini, aku merasa terlahir kembali. Membuka hati untuk hubunganku dengan Keanu, dan menerima Adrian sebagai sahabat. Kendati rasa was-was akan hubungan dengan Keanu masih saja mengganjal. Namun, kehadiran Adrian mampu melenyapkan rasa itu.Jakarta telah diselimuti malam, ketika aku dan Adrian meninggalkan mall tempat kami menghabiskan waktu seharian sesudah makan siang. Lampu-lampu seakan berlomba mengenyahkan g
Aku reflek menarik tangan yang di cengkeram Nisya. Kali ini penampilannya telah kembali seperti pada saat awal kami bertemu dulu. Anggun, dibalut gamis berwarna zamrud dengan kerudung berwarna zaitun menutup kepala. Riasan make up natural makin mempercantik wajah ayunya. Berbeda 180 derajat dengan terakhir kali kulihat saat dia menyerangku."Maaf!" Dia melepaskan cengkeramannya. "Aku ke sini untuk minta maaf," imbuhnya.Seolah tak percaya dengan apa yang kudengar, kutelisik gelagatnya. Dia tidak berbohong, ada sesal yang kutangkap di matanya."Sebentar, aku tadi ke bawah mau bertemu seseorang." Mataku kembali menyapu area luar lobi yang terlihat jelas dari dalam."Itu orang suruhank
Bayangan raut wajah Nisya yang berurai air mata masih saja tak mau enyah dari pikiranku. Dia tidak hanya sedang memperjuangkan cinta untuk dirinya, tapi juga untuk anak-anaknya. Dia tengah mempertahankan biduk yang saat ini hpir karam. Wajar jika tempo hari dia mengamuk seperti singa yang hendak menerkam dan mencabik-cabikku. Keutuhan keluarganya tengah di ujung tanduk.Kembali terngiang percakapan dengan Dendra ketika berada di kafe pada saat sarapan pagi beberapa waktu lalu, betapa dengan santainya dia mengatakan bahwa dia tak mencintai istrinya lagi. Seolah perasaan wanita yang ia nikahi satu dekade silam hanya sebuah mainan yang bisa ia buang begitu saja ketika sudah bosan.Kali ini perasaan benci yang lebih mendominasi kurasakan terhadap Dendra, menusuk hingga ke tulang. Entah apa masih bisa dia disebut laki-lak