Share

Hari Minggu

Hari telah berganti ditandai dengan terbitnya matahari yang ditemani dengan kicauan burung nan indah. Pagi ini adalah hari libur, baik untuk siswa, mahasiswa, maupun pekerja kantoran. 

Pada hari libur, tak ada kegiatan bersama yang dilakukan oleh keluarga ini, karena semua anggota keluarga ini sibuk dengan urusan mereka. Waktu bersama di hari libur hanyalah saat makan bersama. Selain dari waktu itu, keluarga ini tak akan berkumpul bersama. 

Waktu kumpul bersama keluarga dimulai saat sarapan bersama. Walaupun mereka adalah keluarga yang sedang berkumpul bersama, namun rasanya seperti orang asing yang sedang berkumpul bersama. Tak ada percakapan atau suara apa pun yang keluar dari mulut mereka, selain bunyi yang keluar dari gelas dan piring mereka.

“Haaa...” Asisten rumah tangga keluarga ini menarik panjang nafasnya saat melihat pemandangan itu dari dapur. 

“Sampai kapan ya mereka semua diam-diaman kayak gini? Benar-benar kayak orang yang gak saling kenal. Paling enggak nanya kabar anak-anaknya kek, atau tanyain tentang sekolah mereka. Pasti tuh meja makan bakalan ribut. Ini semuanya pada diam, eh... orang tuanya juga gak mulai ngomong,” gerutu Ami dari kejauhan.

“Yandi, kamu ingat omongan mama baik-baik. Kamu bakalan tahu kalau kamu gak lakuin yang mama minta,” ujar Yena membuka pembicaraan saat semuanya telah selesai dengan sarapan mereka.

“Bodoh amat,” jawab Yandi santai tanpa melihat mamanya.

Ledakan amarah langsung saja dimulai. Yena yang kesal dengan jawaban dari putranya langsung melemparkan gelas padanya. Beruntungnya Yandi berhasil mengelak. 

Prok... prok... prok...

Yandi langsung memberikan tepuk tangan yang meriah sambil tersenyum pada wanita berambut panjang pirang itu. “Wow... tadi hampir loh. Mama hebat banget. Untung aja aku juga jago,” ujar Yandi terus bertepuk tangan.

“Kamu memang anak gak tahu diri!” ucap wanita berambut pirang itu menunjukkan jarinya pada putra keduanya itu.

“Ma, udah. Jangan marah lagi. Biar aku aja yang gantiin kak Yandi, ma. Aku bakalan lakuin apa pun yang mama minta, kok” ucap Yeri dengan mata yang berair. Remaja itu sangat ketakutan hingga tubuhnya bergetar, saat melihat Yena memarahi kakaknya.

“Bagus, kamu punya inisiatif. Tapi kamu gak bisa ngelakuin apa yang harus kakak kamu lakuin!” Sesaat perkataan wanita itu membuat putra bungsunya merasa senang. Namun, secepat kilat, ia langsung melukai hati putranya sendiri.

“Ma, aku pasti bisa kok. Aku bakalan berusaha biar bisa ngelakuin hal itu,” Yeri bersikeras untuk menggantikan Yandi, karena ia merasa bisa melakukan apa yang diinginkan mamanya, asalkan ia berusaha.

“Yeri, kamu gak ngerti omongan mama? Mama kan udah bilang kalau kamu gak bisa, ya gak bisa! Sampai kapan pun kamu gak bakalan bisa nyamain kakak kamu! Jadi kamu itu harus berguna untuk hal lain!” Rasanya hati Yeri seperti teriris mendengar ucapan dari mulut mamanya. Hatinya yang terasa begitu sakit, membuatnya tak mampu bertahan lebih lama di ruangan itu. Yeri segera berlari meninggalkan meja makan karena sakit yang tak dapat ditahannya lagi.

“Kalau mama ngerasa gak ada yang bisa nyamain aku. Mama cari aja anak baru sana. Siapa tahu dia bisa nyamain aku, atau bisa lebih dari aku,” ujar Yandi dan segera meninggalkan meja makan.

“Yandi! Jaga ucapan kamu! Kamu bisa gak ngomong yang sopan sama orang tua kamu?” ucap Yena meneriaki anaknya yang terus berlalu dari pandangannya.

Sejak tadi, Yani hanya menahan dirinya saat melihat mamanya mulai memarahi Yandi. Namun, kini tak dapat menahan dirinya lagi. “Bisa diam gak, sih? Ini meja makan! Kalau mama mau ribut, ribut di tempat lain. Aku gak suka ngelihat orang ribut di depan makanan!”

“Kamu bilang apa? Kamu pikir kamu siapa? Kamu berani ngomong kayak gitu sama mama kamu sendiri!” Ucapan putri sulung keluarga itu semakin membuat Yena memanas.

“Iya, aku berani. Tadi mama marahin Yandi, karena mama bilang dia gak tahu sopan santun. Terus, apa mama ngerasa perbuatan mama ini ada sopan santunnya? Emangnya teriak-teriak di depan makanan itu bagus?” ujar Yani membalikkan perkataan mamanya.

“Dengar ya, ma. Aku tuh gak pernah belajar sopan santun dari kalian, sekalipun kalian orang tuaku. Gak ada yang bisa aku pelajari dari kalian tahu, gak? Jadi, kalian itu gak pantas ngunggkit-ngungkit masalah sopan santun di depan anak-anak kalian.” Yani yang merasa gerah dengan situasi saat itu bergegas menuju kamarnya setelah menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.

“Tuh, lihat kelakuan anak kamu. Gak ada sopan santunnya sama orang tua. Makin berani aja mereka,” ucap Yena menatap tajam suaminya yang terfokus pada sebuah ponsel di genggamannya.

“Kenapa kamu nyalahin aku? Dia itu juga anak kamu! Dan yang harusnya ajarin sopan santun ke dia, ya kamu. Kamu kan mamanya dia!” balas Yudi kasar.

“Loh? Kok aku? Aku kan sibuk! Gak ada waktu buat ngurusin mereka! Kenapa gak kamu yang ngurusin?” balas Yena.

“Bukan kamu aja yang sibuk, aku juga sibuk! Salahin bibi, dong. Kenapa dia gak ngurusin anak-anak, padahal udah dibayar mahal-mahal juga!” ujar Yudi kesal segera berjalan keluar dan melajukan sebuah mobil SUV berwarna hitam.

“Bibi...” teriak Yena penuh amarah.

Ami segera berlari menemui nyonyanya begitu namanya dipanggil. “Iya nyonya, ada apa?”

“Kamu tanya ada apa?!” Amarah Yena langsung meledak saat pertanyaan itu keluar dari mulut asisten rumah tangganya.

“Ma... maaf nyonya. Saya benar-benar minta maaf,” ucap Ami terbata-bata. Wanita itu hanya menunduk begitu ia menghadap Yena. Tak ada keberanian dalam dirinya sedikit pun untuk mengangkat kepalanya.

“Sebenarnya kamu digaji buat apa, sih? Kok kamu gak bisa urusin anak-anak? Kerjaan kamu gak benar banget, sih!” ujar wanita berambut pirang itu, melampiaskan semua amarahnya pada Ami.

“Masa urusin tiga anak aja kamu gak becus?! saya kasih kamu gaji besar loh? Kamu harusnya kerja yang benar!”

“Maaf nyonya. Saya benar-benar minta maaf.” wanita bertubuh ramping itu langsung meneteskan air matanya. Ia juga merasa bahwa dirinya patut disalahkan.

“Bibi gak perlu minta maaf dan bibi juga gak perlu ngerasa bersalah. Lagian bibi tuh bukan pengasuh anak, jadi itu bukan tanggung jawab bibi.” Yandi yang sedari tadi menonton pertengkaran kedua orang tuanya tak tahan saat melihat Yena terus-menerus menyalahkan Ami.

“Lagian bi Ami tuh masih baru di sini. Bi Ami tuh belum tahu sifat kita tuh kayak gimana. Harusnya mama nyalahin diri mama sendiri dong, karena mama yang gak becus jadi orang tua!” ucap Yandi lalu menarik wanita berambut pendek itu ikut bersamanya menuju taman belakang rumah.

“Ah... dasar anak gak tahu diri! Bisa-bisanya dia belain pembantu! Teriak Yena kesal. Ia pun bergegas meninggalkan rumah dengan mengendarai mobil SUV berwarna merah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status