Share

5. Cemburu

Penulis: INDRY
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-28 15:37:19

"Wah, Zahira panggil Bu Guru, Mama? Emang, Bu Guru itu mamamu apa?" celetuk teman yang duduk di bangku sebelah Zahira.

Namun, anak itu tak menunjukkan rasa terganggu. Dengan bangga, ia justru berkata, "Iya. Bu Guru ini calon mamaku."

Adila yang awalnya terkejut, seketika tertawa mendengar perkataan Zahira pada temannya.

Baginya, ucapan anak itu terdengar seperti candaan.

Lagi pula, gadis itu sudah memiliki tunangan sejak satu tahun lalu. Selain kepulangannya ke Indonesia untuk meneruskan yayasan ayahnya, Adila juga berencana menikah dalam waktu dekat. Terlebih, keluarga besar sudah menginginkan mereka untuk mempercepat acara pernikahan karena mereka khawatir jika jarak pertunangan dengan pernikahan terlalu lama–dapat menyebabkan keretakan hubungan. Bahkan, bisa gagal menuju pelaminan.

***

Waktu berlalu cepat.

Suasana pulang sekolah begitu ramai.

Para murid berhamburan keluar dari ruang kelas masing-masing dengan rapi, sedangkan orang tua mereka juga sudah banyak yang datang–menunggu anaknya di luar kelas. Tidak terkecuali Bagas.

Melihat ada Adila yang tengah berjalan melintasi depan kelas Zahira, Bagas menghentikannya.

Ia memanggil Adila ingin mengucapkan terima kasih.

Beberapa pasang mata ibu-ibu memandang ke arahnya.

Arah Bagas tepatnya, karena Bagas merupakan duda keren inceran ibu-ibu untuk cuci mata setiap ke sekolah.

"Wah, Pak Bagas. Lagi deketin Bu Guru ya?"

Terkejut dengan pertanyaan salah satu ibu murid teman Zahira, ia langsung menampik.

"Bukan begitu, Bu. Tadi saya sempat merepotkan Bu Guru. Jadi, saya mau mengucapkan terima kasih."

"Ah kalau saya mah, juga mau banget kok direpotin Pak Bagas," tambah yang lain.

"Ingat, Ibu sudah punya suami dirumah." Para ibu lainnya hampir serempak menjawab seraya tertawa.

Hal itu membuat Adila terkekeh, tidak disangka ternyata di sekolah ada pemandangan yang menghibur.

Zahira yang keluar kelas langsung menuju ayahnya. “Papa!”

Bagas pun tersenyum. Terlebih, ketika anak itu menceritakan betapa bahagianya dirinya saat makan siang tadi yang ditemani oleh Adila.

Baru kali ini, Bagas melihat anaknya sangat semangat menceritakan tentang seorang wanita padanya.

Sekali lagi, Bagas mengucapkan terima kasih pada Adila, yang terus-menerus direpotkan oleh dirinya.

Keduanya hendak berpamitan, Adila menawarkan untuk mengantar mereka hingga sampai tempat parkir.

Sebenarnya Adila tengah berupaya menggali informasi dan memastikan, bahwa Bagas dapat menjamin keselamatan Zahira dari kekerasan apapun bentuknya kedepannya.

"Terima kasih, Bu. Atas perhatiannya. Tapi saya benar-benar bisa jamin, Zahira aman sekarang. Saya juga sudah benar-benar memutuskan hubungan dengan teman wanita saya," ucap Bagas cepat.

Adila mengangguk paham.

Tampaknya, Bagas benar-benar serius dengan perkataannya. Hal itu membuat Adila lebih tenang.

Mereka telah sampai halaman parkir.

Adila mengucapkan selamat jalan pada Zahira dengan kata-kata lembut dan senyuman yang hangat.

Bagas yang melihat sikap Adila seketika terhipnotis, Adila tiba-tiba terlihat sangat cantik di matanya. Senyumnya juga manis dan cantik.

"Hati-hati di jalan ya, Pak Bagas."

Kalimat itu menyadarkannya seketika.

"I–iya Bu. Terima kasih."

Bagas meminta Zahira naik lebih dulu di kursi mobil tengah, dan memakaikan seatbelt untuk Zahira. Setelah selesai, Bagas masuk dan duduk di kursi kemudi. Ia menekan tombol klakson berpamitan.

Adila melambaikan tangan saat mobil mereka mulai melaju. Namun tiba-tiba Adila dikejutkan dengan kedatangan Nico yang memeluknya dari belakang.

Bagas melihat itu dari kaca spion mobilnya.

Entah mengapa, seperti muncul rasa kesal di hatinya, saat melihat pria lain dekat dengan Adila. “Siapa dia?”

***

"Selamat sore, Bu Guru sayang."

Suara seorang pria yang memeluknya dari belakang mengejutkan Adila.

Wanita itu membalikkan badan, menatap tunangannya itu dengan binar mata bahagia penuh cinta dan rindu.

“Nico!”

Pria itu tersenyum.

Sejak kepulangannya lima hari lalu dari Jepang, baru kali ini keduanya bisa bertemu.

Adila segera menguraikan pelukan Nico, karena masih di lingkungan sekolah. Rasanya tidak pantas. Apalagi jika ada yang melihat, bisa jadi contoh yang tidak baik untuk para murid.

"Sayang. Kamu kok udah disini aja, nggak ngabarin aku kalau mau jemput?"

Nico masih tersenyum. “Sengaja. Aku ingin memberi kejutan. Apa kamu sudah makan?”

Adila menggeleng.

“Baiklah, kalau begitu, ayo kita segera makan bersama!” ucap Nico cepat.

Kini, Adila pun ikut tersenyum. Ia merasa bahwa Nico sungguh pengertian. Adila memang sedang berusaha keras untuk menjalankan tugas dari ayahnya. Sekadar menonton dan makan di mall, jelas akan membantunya mengusir kejenuhan dengan pekerjaan.

"Tunggu ya, aku ambil tasku dulu."

"Aku tunggu kamu di mobil ya," ucap Nico.

Adila mengangguk. Ia segera kembali ke kantornya untuk mengambil barang-barangnya.

Kecintaan mereka terhadap makanan Jepang, membuat mereka hampir selalu makan di restoran Jepang saat mereka berkencan.

Kali ini mereka memesan beberapa menu sushi. Keduanya sangat menikmati makan sore di kencan pertama mereka setelah setahun tidak bertemu.

"Gimana di kantor?"

"Gimana apanya?" Adila menjawab dengan mulut penuh sushi sehingga pipinya menggembung seperti Nyonya Puff di serial anak 'Spongebob'.

Seketika, ia menyadari maksud pertanyaan Nico. "Oh, di sekolah? Seru, lumayan seru. Papa minta aku buat bikin beberapa kebijakan buat aku ajukan ke Papa nanti," lanjut wanita itu.

Setelah puas menikmati hidangan sushi, keduanya melanjutkan rencana kencannya. Mereka memutuskan untuk menonton film 'Avatar' kesukaan mereka berdua.

Kencan yang benar-benar menyenangkan.

Bagaimana tidak, selain mereka disibukkan dengan pekerjaan dan aktivitas masing-masing. Mereka juga berada di negara yang berbeda.

Adila merasa beruntung. Setidaknya, tunangannya itu setia. “Oh, iya mengenai pernikahan, apakah kamu sudah memikirkannya, Nic?”

“Pernikahan?” Wajah pria itu tampak terkejut. Namun, tak lama ia tersenyum. “Tentu saja.”

Sayangnya, Adila tak menyadari ada sesuatu yang aneh dari tunangannya itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   22. Happy Ending

    Bagas segera berdiri untuk menyambut ayah Adila, memberi salam. Sementara Zahira jemarinya sudah bertautan dan ayah Adila, keduanya terlihat benar-benar seperti cucu dan kakek."Duduk saja," pinta sang ayah. Bagas pun menurut, dan kembali duduk. Dia memanggil pelan Zahira untuk duduk bersamanya. Bagas merasa tidak enak jika putrinya terus menempel, Bagas takut ayah Adila akan merasa tidak nyaman."Sayang, sini duduk sama Papa."Zahira menggeleng cepat. Putri kecilnya itu justru memeluh lengan sang kakek bergelayut manja. "Tidak apa-apa. Kamu duduk disini saja sama Kakek ya," pinta Ayah Adila dengan tatapan lembut pada Zahira."Jadi kamu Bagas, teman baik anakku, Adilla?"Bagas mengangguk tanpa keraguan. "Benar, Pak. Kebetulan anak saya sekolah di yayasan yang Anda miliki, jadi saya secara tidak sengaja mengenal putri Anda, Adila."Ayah Adila terlihat mengangguk setelah mendengar penjelasan Bagas. "Kamu hebat ya, katanya sudah mengurus Zahira sejak dia lahir, karena...maaf ibunya tel

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   21. Kakek

    Ini sangat kebetulan. Saat Bagas ingin berkunjung ke rumah Adila, tuhan memberikan jalan. Justru ayahnya Adila yang langsung mengundangnya untuk datang.Sebagai pria, tentu saja ini sebuah kehormatan baginya. Dan juga bisa jadi ini merupakan pertanda lampu hijau dari ayahnya. 'Mungkinkah ini tandanya aku masih punya peluang?'"Telpon dari siapa, Pa?""Dari bu Adila, Sayang.""Mama?" Zahira mengoreksi nama panggilannya di jam luar sekolah."Oh iya, Mama. Katanya kita diundang main kerumah Mama sama ayahnya.""Ayahnya berarti kakek Zahira dong nanti."'Amin.' Bagas segera mengajak Zahira bersiap. Meskipun ini bukan undangan acara meeting besar, namun rasanya seperti acara penting level internasional. Terasa berlebihan mungkin. Tapi itulah gambaran kegugupan hati Bagas saat ini.Bagas sedang berdiri didepan cermin yang tingginya hampir satu badan. Beberapa kali Bagas mencoba kaos dan kemeja. Namun ia belum menemukan yang cocok untuk dipakai ke rumah Adila.Zahira sudah selesai berdandan

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   20. Undangan

    "Gimana hubunganmu sama Vivian? Apa kamu yakin meninggalkan dia?" "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Sayang?"Adila tersenyum tipis. Ia hanya ingin mendengar jawaban dari Nico secara langsung. "Aku sama Vivian benar-benar sudah nggak ada apa-apa sayang."Adila masih sibuk mengunyah, menikmati martabak telur kesukaannya. "Terus terang, nggak tahu apa aku masih mencintaimu, Nic. Aku udah capek nangis. Aku mau berdamai sama keadaan."Adila bergeming sekejap. Menghela nafas. "Aku pasrah kalau kamu memilih dia, belum terlambat untuk memilih, Nic.""Aku sudah memilih, Dil. Aku milih kamu."Adila mengangguk. "Tapi dengan satu syarat," pinta Adila cepat."Apa itu?""Aku mau mundurin acara pernikahan, sampai aku benar-benar siap dan yakin."Nico melebarkan matanya. Ia tak menyangka, Adila akan mundur sejauh itu. "Apa keputusanmu sudah bulat?"Adila mengangguk. Nico tidak bisa memaksa. Dialah yang menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja ia bisa menjaga kepercayaan Adila, pasti tidak ak

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   19. Persaingan

    "Apa aku membuat kesalahan, sampai harus menjauhi Adila?"Nico bergeming sekejap. "Aku hanya ingin melindungi ikatan pertunangan kami. Dan aku tidak ingin, perjalanan menuju pernikahan kami mendapatkan rintangan apapun."Bagas berusaha mencerna kalimat Nico dengan kepala dingin. Bibir Bagas menyungging senyum. "Apa kamu takut kalah denganku?"Nico terkesiap. Ia tak menduga Bagas akan meng-ulti nya dengan kalimat demikian. Ya, memang Nico sudah mulai ketakutan, mungkin Bagas memang seorang duda anak satu. Namun untuk pesona dan karirnya, bisa dibilang, Nico kalah beberapa tingkatan di bawahnya.Terlebih lagi setelah kesalahan fatal yang Nico lakukan. Membayangkannya saja Nico sudah tak sanggup. Bagaimana jika Adila tiba-tiba memintanya untuk berhenti mengejar dan mencintainya. Tidak, dia benar-benar tak akan sanggup mendengarkan kalimat itu dari Adila."Huh. Kamu terlalu percaya diri, Bagas. Apa kamu sangat yakin bisa mengalahkanku?" Meskipun tampak tidak gentar, sejujurnya Nico tengah

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   18. Permintaan Maaf

    Pagi menyingsing. Suara alarm yang belum sempat dimatikan terus berulang di ponsel Adila. Wanita itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk memulai aktivitasnya.Beberapa kali ia mengoleskan concealer tipis-tipis untuk menyamarkan mata sembabnya. Sisa menangis semalam.Usai puas dengan hasil riasan wajahnya, Adila bergegas keluar menuju garasi. Namun ia sangat terkejut, saat melihat Nico sudah menunggunya di halaman rumahnya. Adila mengernyitkan dahi, terpaksa ia berjalan menghampiri."Kamu ngapain, pagi-pagi udah kesini?"Pria itu sangat bersemangat kala melihat Adila menghampirinya."Sayang, aku antar berangkat kerja ya." Bujuk Nico memohon."Nggak usah repot-repot, aku bisa kok bawa mobil sendiri.""Tapi aku pengen mengantar kamu, Sayang."Adila membuang nafasnya dalam. "Tapi aku nggak pengen diantar, Nico." jawabnya tegas.Adila meninggalkan pria itu menuju mobilnya. Namun Nico meraih tangannya menahan Adila. Terpaksa wanita itu berhenti sekejap."Tolong kasih aku kesempatan untuk

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   17. Takut Kehilangan

    Deg!Dunia Nico seolah runtuh, saat mendengar kekasihnya begitu ikhlas merelakan dia untuk memilih."Maafkan aku sayang, aku mengakuinya. Aku memang bodoh," sesalnya merutuki diri sendiri di hadapan Adila.Kelopak mata wanita itu mulai membasah. Sakit sekali mendengar pengakuan Nico, meskipun itulah yang ia ingin dengar. Hubungan yang selama ini ia kira sangat sempurna, ternyata penuh dengan kubangan sebagai ujian.Adila mengangguk pelan, memberi waktu pria itu untuk menjelaskan."Sayang, aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi. Tolong maafin aku sayang, please!" Nico menggenggam kedua tangan Adila memohon."Aku nggak tahu, Mas. Aku masih bisa atau tidak untuk melanjutkan." lirihnya membalas."Kamu nggak boleh bilang begitu sayang. Kita akan tetap menikah sesuai rencana kita. Kamu tau 'kan, aku sangat cinta sama kamu. Dan kamu juga sangat cinta sama aku."Tampak raut Nico yang ter gugup, takut Adila memutuskan hubungan dengannya. Andai kedua orang tua mereka tahu tentan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status