"Bu Adila, apa Ibu melihat Zahira pulang?"
Ucapan Bagas membuat wanita itu terkejut. Rasanya, Zahira sudah tampak lebih tenang dan hubungan ayah-anak itu semakin dekat. Tapi, mengapa tiba-tiba pria itu tak dapat menemukan putrinya?"Tidak, saya baru selesai meeting,” ucap Adila cepat, “apa terjadi sesuatu dengan Zahira, Pak?""Zahira tidak ada di sekolah, Bu. Saya tidak bisa menemukan anak saya," panik Bagas.Melihat itu, Adila menarik napas dalam. "Tenang ya Pak, mari kita coba cari bersama."Sejurus kemudian, keduanya bertanya pada beberapa orang tua murid yang masih ada di sekolah.Namun, mereka mengatakan sama sekali tidak melihat anak yang mereka maksud.Mereka juga bertanya pada beberapa teman Zahira dan murid yang seumuran lainnya, mungkin saja mereka tahu keberadaan Zahira. Sayangnya, mereka juga tak tahu.“Astaga!” Bagas mulai frustasi. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Zahira. “Bagaimana sistem keamanan di sekolah ini?”"Tolong dibenahi ya Bu. Ini sudah sangat fatal menurut saya!" ucap pria itu tanpa sadar–menyinggung Adila.Wanita itu berusaha menenangkan diri. "Saya mohon maaf, Pak. Terima kasih atas masukannya. Akan segera kami kaji untuk masalah ini."Setelahnya, Adila meminta bagian internal control mencari video yang mungkin merekam keberadaan terakhir Zahira.Mereka berdua pun membungkuk di belakang Pak Rahmat, yang bertugas mengawasi cctv. Setelah waktu yang lumayan lama, akhirnya mereka menangkap sosok Zahira di dalam rekaman itu.Mata mereka menatap fokus pada layar monitor.Dalam rekaman video itu menunjukkan, setelah kepergian mobil Bagas ada sebuah mobil yang menghampiri Zahira.Bagas merasa mengenali mobil itu."Pak, tolong di playback. Saya mau rekam Videonya," ujar Bagas.Benar saja dugaannya, wanita yang keluar dari mobil itu adalah Naila. Zahira tampak ketakutan saat melihat Naila. Namun, wanita itu tampaknya memaksa Zahira masuk ke mobilnya dengan bentakan dan ancaman.“Sial!” makinya. Pria itu segera mengambil ponsel dan menghubungi Naila beberapa kali, tapi tidak terangkat.Bagas bergegas menuju halaman parkir untuk pergi kerumah Naila.Sementara itu, Adila segera mengambil tasnya di kantor dan mengejar Bagas untuk ikut bersamanya. Ia merasa memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan atas kelalaiannya."Izinkan saya ikut, Pak Bagas."Mendengar itu, Bagas mengangguk menyetujui.Di dalam mobil keduanya tidak saling bicara.Bagas sangat fokus memacu mobilnya, wajahnya tampak tegang dan khawatir.Naila sudah pernah melukai Zahira. Kali ini, dia sampai berani menculik putrinya.Entah kejahatan apa lagi yang akan diperbuat?Setengah hatinya, Bagas menyalahkan dirinya. Seharusnya, dia bisa menyelesaikan hubungan dengan wanita iblis itu tanpa menimbulkan masalah.TIN!Beberapa kali, Bagas mengklakson tidak sabar.Adila bergeming, ia tak ingin membuat Bagas semakin emosi. Dalam hatinya, wanita itu hanya bisa berdoa untuk keselamatan salah satu anak muridnya itu.Untuk mengantisipasi terjadi hal yang tidak diinginkan, Adila mengirim lokasi live pada Nico.Dan menjelaskan situasi genting tersebut melalui pesan. Ia berharap Nico dapat membantu dengan sigap jika dibutuhkan nanti.Brak!Mobil Bagas berhenti tepat di depan pagar rumah Naila. Ia segera membuka gembok pagar dengan kode yang masih diingatnya.Beruntung, kata sandi gembok itu belum Naila ubah.Bagas mengetuk daun pintu rumah Naila dengan kasar.TOK TOK TOK!"Naila. Buka pintunya!"Sudah berkali-kali Bagas mengetuk pintu dan berteriak memanggil Naila, namun wanita itu tidak segera muncul membukakan pintunya.Bagas mengambil posisi, memiringkan bahunya siap untuk mendobrak.Saat masih mengambil kuda-kuda, Naila muncul dan pintu terbuka."Sayang," ucap wanita kejam itu menyambut dengan senyum sumringah."Mana Zahira? Aku sudah melihat cctv kamu membawa Zahira."Naila tersenyum. “Benar, aku tadi membawa Zahira. Namun, aku tidak ada niatan buruk,” jelasnya, “Beberapa hari aku merenungi kesalahanku dan ingin meminta maaf. Sayangnya, aku merasa tidak memiliki jalan lain lagi untuk dapat berbicara dengan kamu dan Zahira.”Bagas diam. Tapi, wajahnya jelas menunjukkan emosi luar biasa.Menyadari itu, Naila terkejut.Segera, ia menunjukkan pada Bagas bahwa Zahira sedang tidur di kamarnya.“Zahira tidur. Tadi, aku memasakkan makanan steak kesukaan Zahira, lalu dia juga sudah merawat dan memandikan Zahira. Kami berdua juga tadi bermain bersama. Mungkin, dia kelelahan.”Mendengar rentetan kebaikan itu, tidak membuat Adila seketika percaya.Hanya saja, ia memilih diam karena tidak ingin mencampuri urusan pribadi Bagas.Sementara itu, melihat Zahira yang sedang lelap, Bagas langsung menggendongnya. Yang terpenting baginya saat ini adalah keselamatan putrinya. Tanpa mengatakan apapun, Bagas langsung melangkah melewati Naila keluar dari kamar itu diikuti oleh Adila."Sayang, kamu mau kan maafin aku?" ucap wanita iblis itu mendadak.Seketika Bagas menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap Naila."Kalau kamu memang tulus meminta maaf, aku akan maafkan. Tapi, untuk kepercayaan yang sudah kamu rusak, aku minta maaf. Aku nggak bisa kasih kamu kesempatan lagi."Setelah mengatakannya Bagas melanjutkan langkahnya kembali. Naila hanya diam di tempat. Sementara Adila, ia mengekor di belakang Bagas.Mereka kini sudah berada di dalam mobil.Tak lupa, pria itu membaringkan Zahira di kursi belakang.Bagas berniat untuk pulang terlebih dahulu agar putrinya bisa beristirahat dengan nyaman. Setelah itu, ia akan mengantarkan Adila pulang.Hanya saja, sepanjang jalan pulang, Bagas dan Adila tetap bergeming tidak saling bicara.Adila terlihat sibuk dengan ponselnya beberapa kali.Melihat itu, Bagas mulai merasa bersalah. Masalah ini timbul karena salahnya. Akan tetapi, tadi dia sempat menyalahkan Adila dan pihak sekolah."Maafkan saya, Bu. Seharusnya, saya tidak menyalahkan pihak sekolah atas masalah pribadi saya," ucap pria itu pada akhirnya.Adila langsung menatap arah Bagas, tersenyum."Tidak apa-apa, Pak Bagas. Yang terpenting saat ini Zahira sudah aman."Bagas mengangguk lega.Setelah satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai dirumah Bagas. Ia menggendong tubuh mungil Zahira yang berada di kursi belakang. Namun, tiba-tiba saja Zahira terbangun.“Papa!” panggil Zahira langsung memeluk papanya.Mereka kini duduk di sofa ruang tamu, untuk mendengarkan kejadian sebenarnya dari Zahira.Bagas dan Adila mendengarkan cerita Zahira seksama. Awalnya, Zahira merasa ketakutan karena dipaksa untuk ikut dengan Nalia.Menurut Zahira, wanita itu mengatakan papanya sedang menunggu kedatangannya di rumah Naila. Setelah mendengar itu Zahira akhirnya menurut. Namun, sesampainya di rumah Naila ternyata papanya tidak ada.“Terus, tante itu bilang papa barusan mengabarinya kalau mendadak ada urusan, dan meminta Zahira tinggal dirumah Naila sebentar. Papanya akan segera kembali untuk menjemputnya.”“Kamu tidak dipukul, kan?” tanya Bagas memastikan.Anak itu menggeleng. “Anehnya, aku dikasih makan dan diurus dengan baik.”Bagas terdiam. Pria itu meragu–apakah mantan kekasihnya itu benar-benar telah berubah?Din Din!Terdengar suara klakson dari luar pagar rumah.Bagas mengernyitkan dahi heran. Ia tidak merasa memiliki janji dengan tamu malam ini.Di sisi lain, Adila langsung menyadari orang tak diundang yang berada di luar itu adalah Nico–tunangannya. Beberapa saat lalu, ia meminta Nico untuk menjemputnya sesuai titik lokasi map, yaitu di rumah Bagas. Jadi, duda anak satu itu tidak perlu repot lagi untuk mengantarnya."Maaf, Pak Bagas. Orang yang menjemput saya sudah datang," pamit Adila undur diri.Meski terkejut, Bagas dan Zahira pun ikut keluar untuk mengantarkan Adila ke depan pagar. Hanya saja, pria itu menyembunyikan rasa cemburu mendengar ucapan Adila selanjutnya."Perkenalkan, dia Nico tunangan saya."Dipandanginya wajah Adila tampak berseri saat memperkenalkan tunangannya.Bagas segera mengulurkan tangannya pada Nico untuk berkenalan dan disambut baik oleh pria itu.“Saya turut prihatin atas kejadian hari ini,” ucap Nico menunjukkan simpati, “tadi, Adila juga meminta saya untuk memantau keberadaan kalian untuk menghindari hal tak diinginkan.”Bagas pun mengangguk. “Terima kasih atas bantuannya.”Hanya saja, ucapan Zahira mengalihkan atensi ketiga orang dewasa itu. "Papa, tunangan itu apa?""Tunangan itu, calon suami. Ini pasti Zahira ya, anak manis yang diceritakan Bu Adila?" tanya Nico lembut pada Zahira.Zahira mengangguk. Hanya saja, wajahnya tampak sedih. "Iya Om, aku Zahira. Kalau Om mau menikah sama Bu Adila, berarti Bu Adila nggak bisa jadi mama aku dong, Om?"Tiga orang dewasa itu sontak terkejut serentak mendengar pertanyaan polos seorang bocah.Bagas langsung membekap mulut Zahira karena merasa tidak enak pada Nico dan Adila. “Maaf.”Sementara itu, Nico mengangkat kedua alisnya bingung memberi jawaban. Adila juga hanya bisa tersenyum canggung, khawatir Nico salah paham dengan pertanyaan gadis kecil itu.Entah mengapa, biasanya Adila merasa tidak keberatan anak itu terus menerus memanggilnya mama. Adila selalu menganggap itu hanya candaan seorang bocah. Namun kali ini, Adila merasa terganggu karena hal itu ternyata cukup serius untuk menjadi salah paham."Pak Bagas. Kami langsung pamit, ya.""Iya, Bu. Silahkan."Adila buru-buru menarik lengan Nico menuju mobilnya. Nico yang masih bingung hanya diam menurut. Keduanya kini sudah berada di mobil yang melesat menuju rumah Adila."Sayang, makasih ya udah jemput aku."Adila mencoba membuka percakapan agar tidak teringat dengan pertanyaan Zahira. Nico hanya mengangguk, tidak mengeluarkan suara
“Ma?”Adila seketika mengurai pelukan anak gadis itu. Tak lama, Bagas juga muncul di hadapan Adila. Pria itu hanya mengulas senyum untuk menyapanya.Dalam hatinya, Adila merasa cemas jika Nico datang dan melihatnya sedang bersama Bagas juga anaknya. Bisa-bisa Nico salah paham seperti semalam."Bu Adila, sedang menunggu jemputan?" tanya Bagas."Iya, Pak Bagas.""Papa, kita aja yang antar Mama pulang."Mendengar Zahira memanggilnya dengan sebutan Mama lagi, Adila hanya tersenyum canggung. Ia ingin menegur, tapi Adila paham memberi pengertian pada anak seusia Zahira tidaklah mudah.Bagas yang menangkap kecanggungan Adila, sontak berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan putrinya untuk memberi nasehat."Zahira, sayang. Bu Adila itu Bu Guru kamu. Jadi manggilnya harus Bu Guru ya. Jangan Mama."Suara lembut dan sikap kebapakan Bagas membuat Adila tersentuh. Rasa canggung dan kesal lenyap begitu saja. Adila bahkan merasa dirinya berlebihan.Sementara itu, Zahira memanyunkan bibir mungilnya k
"Nico sudah dewasa. Bisa kok bersihin sendiri,” ucap Adila ketus.Mendengar itu, Vivian langsung menarik tangannya yang menempel di kemeja Nico dan pamit undur diri mempersilahkan mereka melanjutkan acara makan siang.Adila membuang pandangan dari Nico membuang nafas kasar. Ia meletakkan garpunya dan meminta Nico agar pulang saja menyudahi makan siangnya. Nico menuruti, ia tahu Adila tengah kesal padanya karena kejadian barusan.Tunangannya itu memang pria yang sangat baik dan ramah pada semua orang. Tidak peduli pria atau wanita. Tidak jarang membuat wanita salah paham atas sifatnya, yang mengira Nico suka pada mereka."Sayang, kamu marah?" tanya Nico.Adila bergeming. Ia semakin kesal pada tunangannya itu.Sudah jelas dirinya merasa kesal, bagaimana bisa di masih bertanya. Seharusnya dia sudah tahu dan langsung membujuk nya."Aku yang cuma ngobrol sama Bagas papanya Zahira aja kamu nggak suka. Lalu kejadian tadi, menurutmu aku gimana?" tanya Adila balik."Iya, maaf. Aku nggak akan
"Emang aku nggak boleh ya, cek ponsel kamu?""Bu-bukan gitu Sayang. Tapi 'kan nggak biasanya aja gitu."Adila tidak menanggapi lagi. Ia merapatkan kedua matanya ingin berpura-pura tidur. Nico mengemudi dengan segan. Ia was-was menunggu rentetan pertanyaan dari Adila mengenai pesan dari Vivian. Namun anehnya, justru sikap Adila tidak sesuai perkiraan Nico. Wanita disampingnya itu tidak bertanya apapun. Ia masih berpura-pura menutup mata. Hal itu membuat Nico semakin salah tingkah."Sayang, kita mampir ke apotik ya." bujuk Nico lirih.Terpaksa Adila menanggapi, "Untuk apa?""Untuk kamu dong, Sayang. Kamu 'kan lagi nggak enak badan.""Nggak usah. Aku cuma meriang biasa kok, besok juga sembuh.""Jangan gitu dong. Aku 'kan khawatir sama kamu."Muak sekali rasanya, Adila mendengar kalimat sok perhatian dari Nico. Tapi memang Nico adalah sosok pria yang perhatian selama ini. Apa mungkin karena isi pesan Vivian, Adila merasa sikap Nico padanya jadi memuakkan?"Nggak usah. Aku mau langsung pu
Ting Tung!Suara bel rumah membuyarkan keduanya. Bagas bergegas ke depan untuk memeriksa. Betapa terkejutnya saat ia melihat kedua orang tuanya datang secara tiba-tiba dari luar kota."Loh, Mama sama Papa kok nggak ngabarin dulu kalau mau datang?" Bagas memberi salam pada mamanya kemudian memeluk dan menciumnya."Kita tuh khawatir sama kamu, makanya kita langsung kesini. Gimana keadaan kamu?"Bagas mengernyitkan dahi bingung. Ia baru sadar, Adila juga tiba-tiba datang ke rumahnya, kali ini kedua orang tuanya juga datang dan mengetahui dia sedang sakit. "Zahira, yang telpon Mama ya?"Mamanya mengangguk. "Aku udah baikan. Udah nggak panas lagi, habis di kompres." Bagas meraih tas yang dibawa papanya untuk membantu."Udah nggak usah, Papa bisa bawanya," tepis sang papa.Kemudian mereka bertiga masuk ke dalam rumah. Bagas mempersilahkan kedua orang tuanya duduk di sofa terlebih dahulu beristirahat."Mana Zahira?" tanya sang mama seraya meraih tas yang berisi lauk pauk yang dibawa suaminy
"Ekhem." Bagas mendeham, mengkode sang ibu untuk tidak melanjutkan pertanyaan. "Ma, itu 'kan hal pribadi.""Ssst. Kamu diam aja."Adila terkekeh melihat perdebatan keduanya. "Sudah, Tante," jawab Adila cepat.Bagas menunduk, ada rasa kecewa dalam hati. Padahal dia jelas sudah tahu akan hal itu. Sang mama melirik wajah putranya, ia bisa menerka isi hati Bagas dengan tepat. Sang mama kembali menatap Adila. Tak ingin lebih jauh menggali, sang mama hanya memberikan sebuah pesan rahasia pada putranya."Tapi, Tante pernah dengar pepatah, sebelum janur kuning melengkung, siapapun masih boleh berusaha. Betul 'kan Pa?" "Iya, Ma." Sang papa menjawab gugup."Tolong jangan hiraukan perkataan mamaku ya. Dia memang suka sekali bercanda."Adila terkekeh, ia merasa tidak tersinggung atau apapun. Justru Adila merasakan kehangatan yang dia impikan di masa depan. Mereka kembali asik berbincang membahas segala hal kesana kemari.Waktu sudah mendekati maghrib. Adila berpamitan pulang. Ia harus mempersiap
"Memangnya kenapa kalau dimajukan? Toh, kita pasti akan menikah 'kan?"Tapi 'kan, nggak semudah itu Nic. Semuanya harus direncanakan matang-matang.""Kalau masalah itu kamu tenang aja. Aku yang akan urus semuanya."Nico beranjak meninggalkan ruangan Adila. Pria itu menghentikan langkahnya sekejap. Berbalik menatap Adila."Mulai sekarang, kemanapun kamu pergi harus izin aku!"Adila mengerutkan keningnya. Nico benar-benar berlebihan. Seharusnya Adila merasa senang jika pria yang dicintainya ingin segera menikahinya. Namun, saat ini yang wanita itu rasakan justru hatinya terasa berat. Seperti tidak yakin untuk menikah."Maaf ya Nic. Aku jadi bimbang gini sama kamu," lirihnya.Tatapan Adila tertuju pada sebuah kotak bekal di mejanya. Kotak bekal yang menjadi salah satu pemicu amarah Nico. Ia menghela nafas. Membuka kotak makanan itu. Bibirnya memulas senyum kala menikmati nasi dan rendang olahan neneknya Zahira.****Adila mengendarai mobil Lexusnya memasuki halaman rumah. Ia melihat mo
"Kalau aku jadi kamu, aku pasti melabrak mereka lah, pakai nanya lagi." kesal Manda. "Ya, terus kamu maunya gimana? Mau nangkap basah dia, atau masih mau dipikirkan dulu?"Adila mengambil nafas panjang. Ia bangkit dari kursinya mengajak Amanda pulang. Amanda terpaksa mengikuti kemauan sahabatnya. Mungkin ia butuh berpikir jernih, sebelum mengambil tindakan. Mengingat hubungan mereka bukan hanya setahun dua tahun. Dan juga sudah merencanakan pernikahan.Sepanjang perjalanan, Adila bergeming. Terkadang butiran air matanya jatuh tak terkendali. Ia menopang dagunya satu tangan, dan membuang pandangan menatap keluar jendela mobil."Dil. Udah sampe nih. Aku nggak ikut masuk ya, besok banyak janji di klinik.""Iya. Makasih ya." Setelah Manda melaju pulang. Adila berjalan gontai memasuki rumah. Malam itu Adila tak dapat memejamkan mata. Kepalanya masih terbayang jelas bagaimana mereka saling memberikan ciuman di depan teman-teman Nico dengan wajah yang bahagia. Kekecewaan pun ia rasakan ter