Share

6. Hilang

Author: INDRY
last update Last Updated: 2023-07-28 15:37:24

"Bu Adila, apa Ibu melihat Zahira pulang?"

Ucapan Bagas membuat wanita itu terkejut. Rasanya, Zahira sudah tampak lebih tenang dan hubungan ayah-anak itu semakin dekat. Tapi, mengapa tiba-tiba pria itu tak dapat menemukan putrinya?

"Tidak, saya baru selesai meeting,” ucap Adila cepat, “apa terjadi sesuatu dengan Zahira, Pak?"

"Zahira tidak ada di sekolah, Bu. Saya tidak bisa menemukan anak saya," panik Bagas.

Melihat itu, Adila menarik napas dalam. "Tenang ya Pak, mari kita coba cari bersama."

Sejurus kemudian, keduanya bertanya pada beberapa orang tua murid yang masih ada di sekolah.

Namun, mereka mengatakan sama sekali tidak melihat anak yang mereka maksud.

Mereka juga bertanya pada beberapa teman Zahira dan murid yang seumuran lainnya, mungkin saja mereka tahu keberadaan Zahira. Sayangnya, mereka juga tak tahu.

“Astaga!” Bagas mulai frustasi. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Zahira. “Bagaimana sistem keamanan di sekolah ini?”

"Tolong dibenahi ya Bu. Ini sudah sangat fatal menurut saya!" ucap pria itu tanpa sadar–menyinggung Adila.

Wanita itu berusaha menenangkan diri. "Saya mohon maaf, Pak. Terima kasih atas masukannya. Akan segera kami kaji untuk masalah ini."

Setelahnya, Adila meminta bagian internal control mencari video yang mungkin merekam keberadaan terakhir Zahira.

Mereka berdua pun membungkuk di belakang Pak Rahmat, yang bertugas mengawasi cctv. Setelah waktu yang lumayan lama, akhirnya mereka menangkap sosok Zahira di dalam rekaman itu.

Mata mereka menatap fokus pada layar monitor.

Dalam rekaman video itu menunjukkan, setelah kepergian mobil Bagas ada sebuah mobil yang menghampiri Zahira.

Bagas merasa mengenali mobil itu.

"Pak, tolong di playback. Saya mau rekam Videonya," ujar Bagas.

Benar saja dugaannya, wanita yang keluar dari mobil itu adalah Naila. Zahira tampak ketakutan saat melihat Naila. Namun, wanita itu tampaknya memaksa Zahira masuk ke mobilnya dengan bentakan dan ancaman.

“Sial!” makinya. Pria itu segera mengambil ponsel dan menghubungi Naila beberapa kali, tapi tidak terangkat.

Bagas bergegas menuju halaman parkir untuk pergi kerumah Naila.

Sementara itu, Adila segera mengambil tasnya di kantor dan mengejar Bagas untuk ikut bersamanya. Ia merasa memiliki tanggung jawab yang harus diselesaikan atas kelalaiannya.

"Izinkan saya ikut, Pak Bagas."

Mendengar itu, Bagas mengangguk menyetujui.

Di dalam mobil keduanya tidak saling bicara.

Bagas sangat fokus memacu mobilnya, wajahnya tampak tegang dan khawatir.

Naila sudah pernah melukai Zahira. Kali ini, dia sampai berani menculik putrinya.

Entah kejahatan apa lagi yang akan diperbuat?

Setengah hatinya, Bagas menyalahkan dirinya. Seharusnya, dia bisa menyelesaikan hubungan dengan wanita iblis itu tanpa menimbulkan masalah.

TIN!

Beberapa kali, Bagas mengklakson tidak sabar.

Adila bergeming, ia tak ingin membuat Bagas semakin emosi. Dalam hatinya, wanita itu hanya bisa berdoa untuk keselamatan salah satu anak muridnya itu.

Untuk mengantisipasi terjadi hal yang tidak diinginkan, Adila mengirim lokasi live pada Nico.

Dan menjelaskan situasi genting tersebut melalui pesan. Ia berharap Nico dapat membantu dengan sigap jika dibutuhkan nanti.

Brak!

Mobil Bagas berhenti tepat di depan pagar rumah Naila. Ia segera membuka gembok pagar dengan kode yang masih diingatnya.

Beruntung, kata sandi gembok itu belum Naila ubah.

Bagas mengetuk daun pintu rumah Naila dengan kasar.

TOK TOK TOK!

"Naila. Buka pintunya!"

Sudah berkali-kali Bagas mengetuk pintu dan berteriak memanggil Naila, namun wanita itu tidak segera muncul membukakan pintunya.

Bagas mengambil posisi, memiringkan bahunya siap untuk mendobrak.

Saat masih mengambil kuda-kuda, Naila muncul dan pintu terbuka.

"Sayang," ucap wanita kejam itu menyambut dengan senyum sumringah.

"Mana Zahira? Aku sudah melihat cctv kamu membawa Zahira."

Naila tersenyum. “Benar, aku tadi membawa Zahira. Namun, aku tidak ada niatan buruk,” jelasnya, “Beberapa hari aku merenungi kesalahanku dan ingin meminta maaf. Sayangnya, aku merasa tidak memiliki jalan lain lagi untuk dapat berbicara dengan kamu dan Zahira.”

Bagas diam. Tapi, wajahnya jelas menunjukkan emosi luar biasa.

Menyadari itu, Naila terkejut.

Segera, ia menunjukkan pada Bagas bahwa Zahira sedang tidur di kamarnya.

“Zahira tidur. Tadi, aku memasakkan makanan steak kesukaan Zahira, lalu dia juga sudah merawat dan memandikan Zahira. Kami berdua juga tadi bermain bersama. Mungkin, dia kelelahan.”

Mendengar rentetan kebaikan itu, tidak membuat Adila seketika percaya.

Hanya saja, ia memilih diam karena tidak ingin mencampuri urusan pribadi Bagas.

Sementara itu, melihat Zahira yang sedang lelap, Bagas langsung menggendongnya.

Yang terpenting baginya saat ini adalah keselamatan putrinya. Tanpa mengatakan apapun, Bagas langsung melangkah melewati Naila keluar dari kamar itu diikuti oleh Adila.

"Sayang, kamu mau kan maafin aku?" ucap wanita iblis itu mendadak.

Seketika Bagas menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap Naila.

"Kalau kamu memang tulus meminta maaf, aku akan maafkan. Tapi, untuk kepercayaan yang sudah kamu rusak, aku minta maaf. Aku nggak bisa kasih kamu kesempatan lagi."

Setelah mengatakannya Bagas melanjutkan langkahnya kembali. Naila hanya diam di tempat. Sementara Adila, ia mengekor di belakang Bagas.

Mereka kini sudah berada di dalam mobil.

Tak lupa, pria itu membaringkan Zahira di kursi belakang.

Bagas berniat untuk pulang terlebih dahulu agar putrinya bisa beristirahat dengan nyaman. Setelah itu, ia akan mengantarkan Adila pulang.

Hanya saja, sepanjang jalan pulang, Bagas dan Adila tetap bergeming tidak saling bicara.

Adila terlihat sibuk dengan ponselnya beberapa kali.

Melihat itu, Bagas mulai merasa bersalah. Masalah ini timbul karena salahnya. Akan tetapi, tadi dia sempat menyalahkan Adila dan pihak sekolah.

"Maafkan saya, Bu. Seharusnya, saya tidak menyalahkan pihak sekolah atas masalah pribadi saya," ucap pria itu pada akhirnya.

Adila langsung menatap arah Bagas, tersenyum.

"Tidak apa-apa, Pak Bagas. Yang terpenting saat ini Zahira sudah aman."

Bagas mengangguk lega.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai dirumah Bagas. Ia menggendong tubuh mungil Zahira yang berada di kursi belakang. Namun, tiba-tiba saja Zahira terbangun.

“Papa!” panggil Zahira langsung memeluk papanya.

Mereka kini duduk di sofa ruang tamu, untuk mendengarkan kejadian sebenarnya dari Zahira.

Bagas dan Adila mendengarkan cerita Zahira seksama. Awalnya, Zahira merasa ketakutan karena dipaksa untuk ikut dengan Nalia.

Menurut Zahira, wanita itu mengatakan papanya sedang menunggu kedatangannya di rumah Naila. Setelah mendengar itu Zahira akhirnya menurut. Namun, sesampainya di rumah Naila ternyata papanya tidak ada.

“Terus, tante itu bilang papa barusan mengabarinya kalau mendadak ada urusan, dan meminta Zahira tinggal dirumah Naila sebentar. Papanya akan segera kembali untuk menjemputnya.”

“Kamu tidak dipukul, kan?” tanya Bagas memastikan.

Anak itu menggeleng. “Anehnya, aku dikasih makan dan diurus dengan baik.”

Bagas terdiam. Pria itu meragu–apakah mantan kekasihnya itu benar-benar telah berubah?

Din Din!

Terdengar suara klakson dari luar pagar rumah.

Bagas mengernyitkan dahi heran. Ia tidak merasa memiliki janji dengan tamu malam ini.

Di sisi lain, Adila langsung menyadari orang tak diundang yang berada di luar itu adalah Nico–tunangannya. Beberapa saat lalu, ia meminta Nico untuk menjemputnya sesuai titik lokasi map, yaitu di rumah Bagas. Jadi, duda anak satu itu tidak perlu repot lagi untuk mengantarnya.

"Maaf, Pak Bagas. Orang yang menjemput saya sudah datang," pamit Adila undur diri.

Meski terkejut, Bagas dan Zahira pun ikut keluar untuk mengantarkan Adila ke depan pagar. Hanya saja, pria itu menyembunyikan rasa cemburu mendengar ucapan Adila selanjutnya.

"Perkenalkan, dia Nico tunangan saya."

Dipandanginya wajah Adila tampak berseri saat memperkenalkan tunangannya.

Bagas segera mengulurkan tangannya pada Nico untuk berkenalan dan disambut baik oleh pria itu.

“Saya turut prihatin atas kejadian hari ini,” ucap Nico menunjukkan simpati, “tadi, Adila juga meminta saya untuk memantau keberadaan kalian untuk menghindari hal tak diinginkan.”

Bagas pun mengangguk. “Terima kasih atas bantuannya.”

Hanya saja, ucapan Zahira mengalihkan atensi ketiga orang dewasa itu. "Papa, tunangan itu apa?"

"Tunangan itu, calon suami. Ini pasti Zahira ya, anak manis yang diceritakan Bu Adila?" tanya Nico lembut pada Zahira.

Zahira mengangguk. Hanya saja, wajahnya tampak sedih. "Iya Om, aku Zahira. Kalau Om mau menikah sama Bu Adila, berarti Bu Adila nggak bisa jadi mama aku dong, Om?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   22. Happy Ending

    Bagas segera berdiri untuk menyambut ayah Adila, memberi salam. Sementara Zahira jemarinya sudah bertautan dan ayah Adila, keduanya terlihat benar-benar seperti cucu dan kakek."Duduk saja," pinta sang ayah. Bagas pun menurut, dan kembali duduk. Dia memanggil pelan Zahira untuk duduk bersamanya. Bagas merasa tidak enak jika putrinya terus menempel, Bagas takut ayah Adila akan merasa tidak nyaman."Sayang, sini duduk sama Papa."Zahira menggeleng cepat. Putri kecilnya itu justru memeluh lengan sang kakek bergelayut manja. "Tidak apa-apa. Kamu duduk disini saja sama Kakek ya," pinta Ayah Adila dengan tatapan lembut pada Zahira."Jadi kamu Bagas, teman baik anakku, Adilla?"Bagas mengangguk tanpa keraguan. "Benar, Pak. Kebetulan anak saya sekolah di yayasan yang Anda miliki, jadi saya secara tidak sengaja mengenal putri Anda, Adila."Ayah Adila terlihat mengangguk setelah mendengar penjelasan Bagas. "Kamu hebat ya, katanya sudah mengurus Zahira sejak dia lahir, karena...maaf ibunya tel

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   21. Kakek

    Ini sangat kebetulan. Saat Bagas ingin berkunjung ke rumah Adila, tuhan memberikan jalan. Justru ayahnya Adila yang langsung mengundangnya untuk datang.Sebagai pria, tentu saja ini sebuah kehormatan baginya. Dan juga bisa jadi ini merupakan pertanda lampu hijau dari ayahnya. 'Mungkinkah ini tandanya aku masih punya peluang?'"Telpon dari siapa, Pa?""Dari bu Adila, Sayang.""Mama?" Zahira mengoreksi nama panggilannya di jam luar sekolah."Oh iya, Mama. Katanya kita diundang main kerumah Mama sama ayahnya.""Ayahnya berarti kakek Zahira dong nanti."'Amin.' Bagas segera mengajak Zahira bersiap. Meskipun ini bukan undangan acara meeting besar, namun rasanya seperti acara penting level internasional. Terasa berlebihan mungkin. Tapi itulah gambaran kegugupan hati Bagas saat ini.Bagas sedang berdiri didepan cermin yang tingginya hampir satu badan. Beberapa kali Bagas mencoba kaos dan kemeja. Namun ia belum menemukan yang cocok untuk dipakai ke rumah Adila.Zahira sudah selesai berdandan

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   20. Undangan

    "Gimana hubunganmu sama Vivian? Apa kamu yakin meninggalkan dia?" "Kenapa kamu tiba-tiba ngomong begitu, Sayang?"Adila tersenyum tipis. Ia hanya ingin mendengar jawaban dari Nico secara langsung. "Aku sama Vivian benar-benar sudah nggak ada apa-apa sayang."Adila masih sibuk mengunyah, menikmati martabak telur kesukaannya. "Terus terang, nggak tahu apa aku masih mencintaimu, Nic. Aku udah capek nangis. Aku mau berdamai sama keadaan."Adila bergeming sekejap. Menghela nafas. "Aku pasrah kalau kamu memilih dia, belum terlambat untuk memilih, Nic.""Aku sudah memilih, Dil. Aku milih kamu."Adila mengangguk. "Tapi dengan satu syarat," pinta Adila cepat."Apa itu?""Aku mau mundurin acara pernikahan, sampai aku benar-benar siap dan yakin."Nico melebarkan matanya. Ia tak menyangka, Adila akan mundur sejauh itu. "Apa keputusanmu sudah bulat?"Adila mengangguk. Nico tidak bisa memaksa. Dialah yang menyebabkan hal ini terjadi. Andai saja ia bisa menjaga kepercayaan Adila, pasti tidak ak

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   19. Persaingan

    "Apa aku membuat kesalahan, sampai harus menjauhi Adila?"Nico bergeming sekejap. "Aku hanya ingin melindungi ikatan pertunangan kami. Dan aku tidak ingin, perjalanan menuju pernikahan kami mendapatkan rintangan apapun."Bagas berusaha mencerna kalimat Nico dengan kepala dingin. Bibir Bagas menyungging senyum. "Apa kamu takut kalah denganku?"Nico terkesiap. Ia tak menduga Bagas akan meng-ulti nya dengan kalimat demikian. Ya, memang Nico sudah mulai ketakutan, mungkin Bagas memang seorang duda anak satu. Namun untuk pesona dan karirnya, bisa dibilang, Nico kalah beberapa tingkatan di bawahnya.Terlebih lagi setelah kesalahan fatal yang Nico lakukan. Membayangkannya saja Nico sudah tak sanggup. Bagaimana jika Adila tiba-tiba memintanya untuk berhenti mengejar dan mencintainya. Tidak, dia benar-benar tak akan sanggup mendengarkan kalimat itu dari Adila."Huh. Kamu terlalu percaya diri, Bagas. Apa kamu sangat yakin bisa mengalahkanku?" Meskipun tampak tidak gentar, sejujurnya Nico tengah

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   18. Permintaan Maaf

    Pagi menyingsing. Suara alarm yang belum sempat dimatikan terus berulang di ponsel Adila. Wanita itu tengah sibuk mempersiapkan diri untuk memulai aktivitasnya.Beberapa kali ia mengoleskan concealer tipis-tipis untuk menyamarkan mata sembabnya. Sisa menangis semalam.Usai puas dengan hasil riasan wajahnya, Adila bergegas keluar menuju garasi. Namun ia sangat terkejut, saat melihat Nico sudah menunggunya di halaman rumahnya. Adila mengernyitkan dahi, terpaksa ia berjalan menghampiri."Kamu ngapain, pagi-pagi udah kesini?"Pria itu sangat bersemangat kala melihat Adila menghampirinya."Sayang, aku antar berangkat kerja ya." Bujuk Nico memohon."Nggak usah repot-repot, aku bisa kok bawa mobil sendiri.""Tapi aku pengen mengantar kamu, Sayang."Adila membuang nafasnya dalam. "Tapi aku nggak pengen diantar, Nico." jawabnya tegas.Adila meninggalkan pria itu menuju mobilnya. Namun Nico meraih tangannya menahan Adila. Terpaksa wanita itu berhenti sekejap."Tolong kasih aku kesempatan untuk

  • Bu Guru, Jadi Mamaku, Please!   17. Takut Kehilangan

    Deg!Dunia Nico seolah runtuh, saat mendengar kekasihnya begitu ikhlas merelakan dia untuk memilih."Maafkan aku sayang, aku mengakuinya. Aku memang bodoh," sesalnya merutuki diri sendiri di hadapan Adila.Kelopak mata wanita itu mulai membasah. Sakit sekali mendengar pengakuan Nico, meskipun itulah yang ia ingin dengar. Hubungan yang selama ini ia kira sangat sempurna, ternyata penuh dengan kubangan sebagai ujian.Adila mengangguk pelan, memberi waktu pria itu untuk menjelaskan."Sayang, aku janji, aku nggak akan mengulangi kesalahanku lagi. Tolong maafin aku sayang, please!" Nico menggenggam kedua tangan Adila memohon."Aku nggak tahu, Mas. Aku masih bisa atau tidak untuk melanjutkan." lirihnya membalas."Kamu nggak boleh bilang begitu sayang. Kita akan tetap menikah sesuai rencana kita. Kamu tau 'kan, aku sangat cinta sama kamu. Dan kamu juga sangat cinta sama aku."Tampak raut Nico yang ter gugup, takut Adila memutuskan hubungan dengannya. Andai kedua orang tua mereka tahu tentan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status