Share

3. Rumah yang Salah

Author: Laradin
last update Last Updated: 2022-11-20 21:10:11

Karena waktu terus berjalan. Syaila tidak mau membuang-buang waktunya hanya untuk menyesali kebodohannya selama ini. Sebab waktu yang sudah terbuang tidak bisa di ulang, tapi Syaila bisa memperbaikinya dimulai dari hari ini.

Untuk sedikit melegakan perasaan sesak nya, Syaila sedikit membuka kaca mobilnya. Menghirup udara dengan dalam. Lalu menghembuskannya perlahan.

Cuaca menjelang siang sangat bagus. Ia baru menyadarinya, kota ini begitu indah jika manusia-manusianya teratur. Memilih jalan sesuai aturannya.

Trotoar dipenuhi pejalan kaki bukan motor, juga bukan mobil yang terparkir sembarangan atau sesederhana, para pengendara bersedia menunggu sedikit lebih lama meski lampu merah sudah berganti menjadi hijau karena ada seorang kakek tua masih berjalan di zebra cross dengan langkah tertatih.

Sebenarnya hidup memang tidak serumit yang orang-orang bicarakan. Cukup menjadi manusia yang tahu aturan dan berjalan di jalan nya masing-masing. Tapi terkadang harapan yang mereka ciptakanlah yang membuat kebanyakan orang keluar dari lintasannya, mencari pembenaran atas kekeliruannya.

Itu juga terjadi kepada Syaila. Gedung megah yang ada di hadapanya kini bukan termasuk salah satu harapannya. Tapi sekarang ia kemari untuk memutuskan harapan yang pernah ia buat sendiri. Melepaskan Azka bersama perempuan lain.

Kantor pengadilan agama. Di sini Syaila berakhir.

Ia tidak tahu apakah jalan yang ia ambil adalah yang terbaik atau bukan, tapi setelah semalaman bergelut dengan pikirannya, ia tidak mau kembali menerima Azka sebagai suaminya. Ia memilih melepaskan Azka.

Keputusannya sudah bulat. Tidak akan ada yang menjamin Azka akan kembali seperti dulu setelah ia memaafkan lelaki itu. Ia sudah cukup lama menjadi orang naif untuk terus menganggap Azka sebagai suami yang nyaris sempurna. Nyatanya Azka tidak jauh berbeda dengan pria yang mudah tergoda dengan perempuan lain.

Dengan begitu berarti Azka sudah memilih jalan lain. Bukan bersamanya lagi.

"Syaila putri Adrienne, apakah anda benar-benar ingin mengugat cerai suami anda?"

Tangan Syaila bergetar. Bahkan ia tidak sanggup untuk menjawabnya. Ia hanya bisa mengangguk dengan air mata yang kembali berderai. Hatinya jelas terasa terkoyak. Ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir dengan seperti ini. 13 tahun pernikahan bukanlah

waktu yang sebentar.

"Jika begitu saya permisi, Pak."

Setelah selesai mengajukan gugatan perceraiannya, Syaila berniat untuk mengunjungi rumah orang tuanya untuk memberi tahu semuanya. Berharap ia memiliki dukungan dari keluarganya di saat terpuruk seperti ini.

Mobil Syaila kembali menyusuri ruas-ruas jalan. Perasaannya tidak setenang tadi. Sebab rasa sesak di dadanya kembali bergemuruh. Napasnya juga terdengar tidak teratur.

Wanita itu juga beberapa kali harus melihat maps karena pikirannya benar-benar kacau sehingga melupakan jalan menuju rumah orang tuanya.

Ia kembali tersadar, selain ia tidak memiliki waktu bersama anaknya. Rupanya pulang ke rumah orang tuanya juga hal yang langka.

Sampai di depan rumah orang tuanya, barulah Syaila sedikit bisa bernapas lega. Rumah yang benar-benar rumah. Tempatnya pulang dan berkeluh kesah.

Ia berjalan menuju rumah besar berwarna putih itu. Diketuklah pintu di hadapannya dengan hati-hati.

"Iya sebentar." Suara dari dalam menyahut diikuti suara derap kaki yang mulai mendekat.

"Lia? Ada apa?" sapa Yunita. Wania lemah lembut yang sudah berhasil membesarkan Syaila.

Melihat putrinya seperti tidak baik-baik saja, lantas wanita itu mengajaknya untuk masuk tanpa banyak bicara.

Di ruang televisi rupanya ada Praja. Ayah Syaila yang tengah menonton berita kesukaannya.

Kehadiran Syaila tentu menimbulkan tanda tanya besar di kepala pria berumur setengah abad lebih itu. Sebab putrinya itu tidak akan pulang jika bukan hari-hari istimewa.

"Ada apa, Nak? Tumben pulang?" tanya Praja.

Syaila diam untuk beberapa saat. Pelupuk matanya sudah penuh dengan air matanya—lagi.

"Aku mau ngasih tahu mama sama ayah." Syaila menarik napasnya sejenak. "Sebenernya keputusan ini terpaksa aku ambil. Aku udah pikiran semaleman. Aku mau pisah sama Azka."

Tidak hanya Praja yang terkejut dengan penuturan putrinya itu, Yunita juga sama terkejutnya. Orang tua mana yang tidak sedih jika pernikahan anaknya gagal? Itu yang Praja dan Yunita rasakan sekarang.

Yang mereka ketahui, Syaila hidup rukun dengan keluarga kecilnya. Bahkan seminggu lalu, menantunya itu memberi kabar perkembangan cucunya yang semakin jago dalam bermain game. Lalu sekarang tiba-tiba Syaila datang memberi kabar jika pernikahannya tidak dapat dipertahankan lagi.

"Kenapa kamu mau pisah sama Azka? Azka baik kan selama ini sama kamu? Jangan ngambil keputusan ketika kamu lagi emosi. Atau nanti kamu akan menyesal. Ayah tidak akan menyetujui keputusan kamu," pungkas Praja. Amarahnya masih stabil. Bahkan pria itu masih melanjutkan acara nontonnya. Yang menampilkan berita tentang menantu kebanggannya yang semakin disorot karena kesuksesan nya.

"Aku gak pernah semarah ini kalau Azka cuma buat kesalahan kecil, Yah. Dia selingkuh sama sekretarisnya. Dia khianatin aku. Aku enggak bisa maafin dia gitu saja. Ayah bisa jamin kalau nanti Azka enggak ngelakuin itu lagi?" Air mata Syaila sudah tumpah ruah. Ia lupa, seharunya ia tidak menangisi laki-laki kurang ajar seperti Azka lagi. Air matanya terlalu berharga. Tapi sungguh, respon yang ayahnya berikan membuat hatinya kembali lebam-lebam.

"Dari mana kamu tahu kalau suami kamu selingkuh? Cuma dugaan kamu saja?" Praja kembali menyela.

"Aku liat dengan mata kepala aku sendiri. Aku pergok dia di hotel temen aku!" ucap Syaila.

Di samping Syaila, mamanya mengusap punggung Syaila berharap menenangkan putrinya. Wanita itu tidak turut serta dalam perdebatan antara suaminya dan anaknya. Ia terlalu takut jika Praja semakin marah besar.

"Kenapa kamu enggak maafin Azka saja. Beri dia kesempatan. Dia laki-laki, pasti dia cuma khilaf."

"Khilaf?" Syaila kehilangan kata-katanya. Ia pulang untuk mencari pendukung dikala dirinya sedang terpuruk. Tapi yang ia kira pendukung malah menjadi orang yang paling kontra dengan keputusannya. "Ayah kira dengan Azka melakukan itu tanpa sebuah paksaan bahkan kemauannya sendiri itu namanya khilaf? Iya? Aku enggak habis pikir sama apa yang di pikirin ayah."

"Justru ayah bicara begini karena ayah mikirin masa depan kamu. Perusahaan yang kamu pegang sekarang bisa sesukses ini karena bantuan dari keluarga Azka. Kalau kamu minta cerai sama dia, bisa saja keluarga Azka cabut saham mereka," ucap Praja dengan nada yang menggebu-gebu.

Syaila tersenyum pedih. "Jadi ayah larang aku buat gugat cerai Azka karena takut perusahaan ayah bangkrut? Ayah lebih takut saham keluarga Azka dicabut dari pada aku yang jelas-jelas anak kandung ayah menderita karena harus punya suami yang suka main perempuan seperti Azka?"

"Sabar, Nak. Tenang dulu," lirih Yunita memeluk Syaila dari samping.

"Gak bisa, Ma. Ayah dari dulu selalu kaya gini. Aku enggak akan turutin kemauan ayah lagi. Aku enggak mau nyakitin diri aku sendiri cuma buat kepentingan ayah!"

"Syaila! Kamu jangan kurang ajar." Mata Praja menatap Syaila nyalang. Ia bahkan sekarang sudah berdiri.

"Aku bukannya kurang ajar, Yah. Tapi sikap ayah yang suka seenaknya itu enggak mau aku turutin lagi. Udah cukup! Aku bukan boneka ayah yang bisa ayah mainin sesuka ayah," tutur Adara.

Napas Syaila sudah tersenggal. Ia tidak menyangka ayahnya sendiri pun hanya memikirkan tentang uang alih-alih dirinya.

"Sekarang kamu dengar, pilih cabut gugatan cerai kamu sekarang juga, atau kamu enggak usah pulang lagi ke rumah ini. Ayah gak sudi punya anak pembangkang!"

Bagai tertimpa batu yang sangat besar untuk kedua kalinya. Tubuh Syaila lemas luar biasa. Bagaimana bisa ia harus memilih diantara pilihan yang tidak satu pun ia harapkan.

Ia tidak mau kembali kepada Azka. Tapi ia juga tidak mau dicoret dari keluarganya sendiri.

Lalu pilihan manakah yang harus ia ambil?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bucin berujung Sengsara   145. Selesai

    "Akhirnya sahabat jomblo gue dari lahir nikah juga hahaha." Nadira melengos sembari berdecak sebal. Ucapan itu sudah puluhan kali Syaila lontarkan bahkan ketika ia bercerita dirinya menerima lamaran Ferdi. Wanita yang kini tengah hamil tua itu tidak berhenti meledek Nadira. "Lu diem deh kalo gak mau anak lo nanti mirip gue," ujar Nadira yang langsung direspon gelak tawa Ferdi. "Jangan dong sayang, biar anak kita aja nanti yang mirip mamanya." Benar, memang hanya Ferdi yang dapat menaklukkan ke bar-bar-an mulut Nadira, hanya dengan ucapan sederhana barusan perempuan itu sudah tersipu malu. "Najis banget mukanya merah. Dahlah gue mau makan dulu. Selamat ya, gue doain Ferdi diberi kesabaran punya istri kaya lo." Syaila memeluk sahabatnya itu meski sedikit kesusahan karena perutnya yang besar. "Makasih ya, Sya. Lu jaga kesehatan juga. Jagain keponakan gue awas aja kalo kenapa-napa gue geplak pala lo." Nadira memberi peringatan. Keduanya kemudian terkekeh, Ferdi dan Batara yang

  • Bucin berujung Sengsara   144. Karma tidak akan salah berlabuh

    Suara tangis bayi cantik berpipi gembul berhasil membuat panik sang ibu. Bayi berusia lima bulan itu nampaknya kepanasan terus berada di dalam mobil selama perjalanan yang lumayan jauh. Maka, sang ibu dengan sigap mengambil botol susu di dalam kantong stok asi. Mobil berhenti bersamaan dengan tangis bayi perempuan itu yang juga mereda. Terlelap di gendongan sang ibu dengan nyaman. "Kamu mau ikut masuk?" Terlihat pria jangkung yang sedari tadi mengemudikan mobil melongok ke jok belakang, untuk menjawab pertanyaan sang istri, "Kamu duluan aja, aku cari parkir dulu. Di sini panas kasian Kanaya," tuturnya yang diangguki istrinya. Wanita itu kemudian keluar dari mobil, menatap bagunan yang mungkin lebih cocok disebut neraka dunia bagi sebagian orang. Ia menatap putri kecil di dalam gendongannya sebelum ia melangkah masuk ke dalam bangunan itu. Tatapan sendu seperti seorang ibu yang akan meninggalkan putrinya untuk waktu yang sangat lama. Lantas ia masuk tanpa ragu lagi. Seolah,

  • Bucin berujung Sengsara   143. Berita Gembira

    Setelah siang itu Batara bercerita tentang keinginannya yang aneh-aneh, satu jam setelahnya Batara mengajak Syaila makan pecel lele di pinggir jalan. Namun sialnya sore itu hujan deras dan mereka berdua berakhir basah kuyup saat mencari makanan itu, niatnya mereka ingin menghabiskan waktu bersama. Syaila berakhir sakit dan itu yang membuat Batara sekarang sangat merasa bersalah. "Maaf ya gara-gara kamu nemenin aku cari pecel lele kamu jadi sakit kaya gini." Batara benar-benar merasa bersalah. Sampai tidak mau menatap istrinya. "Aku cuma masuk angin sayang. Minum obat juga bakal sembuh." Syaila mengusak rambut Batara. "Kamu muntah-muntah tadi. Kita ke rumah sakit aja ya sekarang? Aku takut kamu kenapa-napa." "Aku gak apa-apa," sanggah Syaila. Ia akui perutnya sekarang memang terasa dikocok. Ia juga tidak nafsu makan sama sekali. Lidahnya terasa pahit dan makanan apapun yang berusaha ia masukkan ke dalam mulutnya selalu mendapat kan penolakan. Ia berkahir muntahan-muntah. Tubuhny

  • Bucin berujung Sengsara   142. Tiba-tiba Kangen

    Tiga bulan sudah berlalu Syaila dan Batara mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti kata orang-orang pernikahan tidak ada yang mulus tanpa dibumbui pertengkaran. Syaila sering mengomel seperti istri-istri pada umumnya mana kala Batara lupa menaruh handuk di atas ranjang. Atau perdebatan yang mungkin nampak sepele jika dipikirkan. Tapi beruntung nya Batara adalah orang yang sabar dan lapang mengakui kesalahanannya. Selama tiga bulan hidup dalam atap yang sama Syaila menemukan banyak kejutan dari Batara. Batara yang ternyata begitu manja melebihi anak-anak. Dia bahkan tidak malu menangis jika dirinya tidak sengaja membentak Syaila. Meski begitu, Batara adalah sosok ayah sambung yang baik untuk Geino dan menantu yang berbakti untuk mamanya. Syaila tidak henti-hentinya bersyukur telah dipertemukan dengan pria seperti Batara. "Sayang Geino katanya dikasih tugas buat hewan dari tanah liat. Besok dikumpulnya." Syaila menoleh ke sumber suara, serum wajah yang hendak ia oleskan di wa

  • Bucin berujung Sengsara   141. Hadeuhhh

    "Tumben kamu jam segini udah bisa diajak jalan? Kerjaan kamu udah selesai?" "Udah, aku mau quality time sama suami aku yang ganteng ini." Satu bulan sudah berlalu. Mereka hidup bahagia sebagai sepasang suami istri. Siang disibukkan dengan pekerjaan, dan jika sudah di rumah keduanya sebisa mungkin tidak membawa atau mengerjakan pekerjaan kantor di rumah. Itu sudah menjadi kesepakatan mereka. Sore ini Batara mendapat kabar jika istrinya bisa pulang lebih cepat dan mengajaknya untuk jalan-jalan. Hitung-hitung mengenang masa pendekatan mereka dulu. Batara sih setiap hari memang sibuk, tapi ia lebih santai dari Syaila. Pria itu bisa dengan mudah mengatur jadwalnya berbeda dengan Syaila. Keduanya sudah sampai di sebuah mall ternama di ibu kota. Bergandengan tangan, melihat-lihat store pakaian branded, memilah restoran yang keduanya inginkan. "Mau beli baju?" tawar Batara. Syaila menggeleng. "Baju aku masih banyak yang belum dipake." Baik, Syaila memang berbeda dari kebanyakan perem

  • Bucin berujung Sengsara   140. Pasutri Baru

    Waktu berjalan lebih cepat jika kita berada di antara orang-orang yang kita sayangi. Begitu pun sebaliknya. Tapi Syaila tidak pernah menyangka akan secepat ini. Entah ada kata apalagi yang bisa ia ucapkan selain bahagia. Ratusan orang yang datang ke acara resepsi pernikahan nampak ikut bahagia. Pun dengan mamanya dan Geino yang tersenyum mana kala ia dan Batara akhirnya sah menjadi sepasang suami istri. Dekorasi megah yang ternyata sudah Batara siapkan begitu memesona ditambah undangan tamu yang tidak ada henti-hentinya. "Udah aku bilang jangan banyak-banyak ngundang tamu. Ini tangan aku udah mau putus rasanya," bisik Syaila di tengah sibuknya menyambut para tamu yang datang. "Aku cuma undang temen-temen kantor. Itu kolega keluarga-keluargaku. Mana bisa aku batalin." Batara meringis. Keduanya menghela napas panjang. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain terus tersenyum dan menyambut tamu dengan senyum hangat. Meski rasanya pasangan pengantin baru itu sudah ingin cepat-cepat

  • Bucin berujung Sengsara   139. Cerita kepada bulan yang malu-malu

    Ibu kota malam ini terasa lebih tenang. Cahaya lampu yang terpantul sinar rembulan membiaskan cahaya warna-warni memanjakan mata. Entah, sudah berapa lama Syaila tidak datang ke tempat ini. Semasa kuliah semester awal ia sering datang kemari. Hanya menyaksikan gemelapnya ibu kota atau hanya sekedar menikmati segelas kopi panas. Dulu ia manusia paling naif perihal hubungan timbal-balik antar manusia. Percaya bahwa kebaikan akan dibalas kebaikan, pun sebaliknya. Tapi Tuhan sepertinya ingin menunjukan hal lain kepadanya, bahwa jangan berharap selain pada-NYA. Tidak butuh bertemu ribuan orang untuk ia membuktikannya. Orang yang ia amat percaya akhirnya mengkhianati kepercayaannya dengan hal yang bahkan tidak pernah ia duga-duga. Pengorbanan yang selama ini ia lakukan terasa sia-sia hanya karena kekurangan yang mungkin dia harapkan ada pada Syaila. Namun beruntung sejak ia akhirnya memutuskan untuk mengambil cuti kuliah karena hamil hingga ia berpisah dengan Azka ia tidak lagi kemari, j

  • Bucin berujung Sengsara   138. Menyambutmu kembali

    Seperti halnya hujan, kita tidak bisa mencegah air yang turun itu untuk tidak membuat kita kedinginan. Kita tidak bisa bernegosiasi agar hujan jangan dulu turun sebelum payung kita siap. Begitu pula yang terjadi dengan Syaila dan Batara. Hampir pukul satu malam keduanya sibuk mengasihani dirinya sendiri. Memandang isi gedung yang seharusnya menjadi saksi bisu kisah cinta mereka bersatu. Kini, dekorasi yang sudah dirangkai sedemikian rupa harus terpaksa dilucuti sebab pasangan lain akan menggunakan gedung ini. Seharusnya pagi tadi adalah acara pernikahan keduanya, dan malam ini seharusnya mereka sudah menjadi pasangan suami istri. Tapi sekali lagi, manusia hanya bisa berencana. "Kamu udah ngantuk belum? Udah malem, kita pulang aja ya?" Tidak bisa dibohongi, jelas Batara juga merasa sedih atas gagalnya pernikahan mereka. Tapi mau dikata apa? Semuanya telah terjadi. Syaila menghela napas panjang. "Rasanya kalau aku bilang ini tidak adil, aku akan dicap sebagai manusia yang gak bersy

  • Bucin berujung Sengsara   137. Boleh ikut menjaga kalian?

    Persidangan pertama dibuka dengan hakim yang menanyakan alasan mengapa Azka tiba-tiba menggugat hak asuh anak padahal sebelumnya mereka sudah sepakat bahwa hak asuh anak diberikan kepada Syaila. Pengacara Azka menjelaskan alasannya. Seperti yang Azka sebelumnya bilang, perihal Syaila yang memiliki kekasih yang trampemental. Ia juga bilang bahwa ia memiliki buktinya. Sebab itu Azka khawatir jika anaknya yang diasuh Syaila akan mendapatkan dampaknya juga. Tidak hanya pihak Azka yang dimintai penjelasan. Syaila juga diberi kesempatan untuk menyanggah. Sama seperti Azka, Syaila menyerahkan semuanya kepada kuasa hukumnya. Kuasa hukum Syaila menceritakan semuanya. Dan perihal apa yang dikatakan Azka hanya sebuah kesalahpahaman. Juga Syaila yang sudah tidak menjalin hubungan lagi dengan Batara. Sidang berjalan lancar. Azka nampak tidak memiliki argumen lagi setelah kuasa hukum Syaila membeberkan semuanya. Dan tanpa sepengetahuan semua orang yang ada dipersidangan, pria yang memakai

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status