Share

Rumah yang Salah

Karena waktu terus berjalan. Syaila tidak mau membuang-buang waktunya hanya untuk menyesali kebodohannya selama ini. Sebab waktu yang sudah terbuang tidak bisa di ulang, tapi Syaila bisa memperbaikinya dimulai dari hari ini.

Untuk sedikit melegakan perasaan sesak nya, Syaila sedikit membuka kaca mobilnya. Menghirup udara dengan dalam. Lalu menghembuskannya perlahan.

Cuaca menjelang siang sangat bagus. Ia baru menyadarinya, kota ini begitu indah jika manusia-manusianya teratur. Memilih jalan sesuai aturannya.

Trotoar dipenuhi pejalan kaki bukan motor, juga bukan mobil yang terparkir sembarangan atau sesederhana, para pengendara bersedia menunggu sedikit lebih lama meski lampu merah sudah berganti menjadi hijau karena ada seorang kakek tua masih berjalan di zebra cross dengan langkah tertatih.

Sebenarnya hidup memang tidak serumit yang orang-orang bicarakan. Cukup menjadi manusia yang tahu aturan dan berjalan di jalan nya masing-masing. Tapi terkadang harapan yang mereka ciptakanlah yang membuat kebanyakan orang keluar dari lintasannya, mencari pembenaran atas kekeliruannya.

Itu juga terjadi kepada Syaila. Gedung megah yang ada di hadapanya kini bukan termasuk salah satu harapannya. Tapi sekarang ia kemari untuk memutuskan harapan yang pernah ia buat sendiri. Melepaskan Azka bersama perempuan lain.

Kantor pengadilan agama. Di sini Syaila berakhir.

Ia tidak tahu apakah jalan yang ia ambil adalah yang terbaik atau bukan, tapi setelah semalaman bergelut dengan pikirannya, ia tidak mau kembali menerima Azka sebagai suaminya. Ia memilih melepaskan Azka.

Keputusannya sudah bulat. Tidak akan ada yang menjamin Azka akan kembali seperti dulu setelah ia memaafkan lelaki itu. Ia sudah cukup lama menjadi orang naif untuk terus menganggap Azka sebagai suami yang nyaris sempurna. Nyatanya Azka tidak jauh berbeda dengan pria yang mudah tergoda dengan perempuan lain.

Dengan begitu berarti Azka sudah memilih jalan lain. Bukan bersamanya lagi.

"Syaila putri Adrienne, apakah anda benar-benar ingin mengugat cerai suami anda?"

Tangan Syaila bergetar. Bahkan ia tidak sanggup untuk menjawabnya. Ia hanya bisa mengangguk dengan air mata yang kembali berderai. Hatinya jelas terasa terkoyak. Ia tidak pernah membayangkan pernikahannya akan berakhir dengan seperti ini. 13 tahun pernikahan bukanlah

waktu yang sebentar.

"Jika begitu saya permisi, Pak."

Setelah selesai mengajukan gugatan perceraiannya, Syaila berniat untuk mengunjungi rumah orang tuanya untuk memberi tahu semuanya. Berharap ia memiliki dukungan dari keluarganya di saat terpuruk seperti ini.

Mobil Syaila kembali menyusuri ruas-ruas jalan. Perasaannya tidak setenang tadi. Sebab rasa sesak di dadanya kembali bergemuruh. Napasnya juga terdengar tidak teratur.

Wanita itu juga beberapa kali harus melihat maps karena pikirannya benar-benar kacau sehingga melupakan jalan menuju rumah orang tuanya.

Ia kembali tersadar, selain ia tidak memiliki waktu bersama anaknya. Rupanya pulang ke rumah orang tuanya juga hal yang langka.

Sampai di depan rumah orang tuanya, barulah Syaila sedikit bisa bernapas lega. Rumah yang benar-benar rumah. Tempatnya pulang dan berkeluh kesah.

Ia berjalan menuju rumah besar berwarna putih itu. Diketuklah pintu di hadapannya dengan hati-hati.

"Iya sebentar." Suara dari dalam menyahut diikuti suara derap kaki yang mulai mendekat.

"Lia? Ada apa?" sapa Yunita. Wania lemah lembut yang sudah berhasil membesarkan Syaila.

Melihat putrinya seperti tidak baik-baik saja, lantas wanita itu mengajaknya untuk masuk tanpa banyak bicara.

Di ruang televisi rupanya ada Praja. Ayah Syaila yang tengah menonton berita kesukaannya.

Kehadiran Syaila tentu menimbulkan tanda tanya besar di kepala pria berumur setengah abad lebih itu. Sebab putrinya itu tidak akan pulang jika bukan hari-hari istimewa.

"Ada apa, Nak? Tumben pulang?" tanya Praja.

Syaila diam untuk beberapa saat. Pelupuk matanya sudah penuh dengan air matanya—lagi.

"Aku mau ngasih tahu mama sama ayah." Syaila menarik napasnya sejenak. "Sebenernya keputusan ini terpaksa aku ambil. Aku udah pikiran semaleman. Aku mau pisah sama Azka."

Tidak hanya Praja yang terkejut dengan penuturan putrinya itu, Yunita juga sama terkejutnya. Orang tua mana yang tidak sedih jika pernikahan anaknya gagal? Itu yang Praja dan Yunita rasakan sekarang.

Yang mereka ketahui, Syaila hidup rukun dengan keluarga kecilnya. Bahkan seminggu lalu, menantunya itu memberi kabar perkembangan cucunya yang semakin jago dalam bermain game. Lalu sekarang tiba-tiba Syaila datang memberi kabar jika pernikahannya tidak dapat dipertahankan lagi.

"Kenapa kamu mau pisah sama Azka? Azka baik kan selama ini sama kamu? Jangan ngambil keputusan ketika kamu lagi emosi. Atau nanti kamu akan menyesal. Ayah tidak akan menyetujui keputusan kamu," pungkas Praja. Amarahnya masih stabil. Bahkan pria itu masih melanjutkan acara nontonnya. Yang menampilkan berita tentang menantu kebanggannya yang semakin disorot karena kesuksesan nya.

"Aku gak pernah semarah ini kalau Azka cuma buat kesalahan kecil, Yah. Dia selingkuh sama sekretarisnya. Dia khianatin aku. Aku enggak bisa maafin dia gitu saja. Ayah bisa jamin kalau nanti Azka enggak ngelakuin itu lagi?" Air mata Syaila sudah tumpah ruah. Ia lupa, seharunya ia tidak menangisi laki-laki kurang ajar seperti Azka lagi. Air matanya terlalu berharga. Tapi sungguh, respon yang ayahnya berikan membuat hatinya kembali lebam-lebam.

"Dari mana kamu tahu kalau suami kamu selingkuh? Cuma dugaan kamu saja?" Praja kembali menyela.

"Aku liat dengan mata kepala aku sendiri. Aku pergok dia di hotel temen aku!" ucap Syaila.

Di samping Syaila, mamanya mengusap punggung Syaila berharap menenangkan putrinya. Wanita itu tidak turut serta dalam perdebatan antara suaminya dan anaknya. Ia terlalu takut jika Praja semakin marah besar.

"Kenapa kamu enggak maafin Azka saja. Beri dia kesempatan. Dia laki-laki, pasti dia cuma khilaf."

"Khilaf?" Syaila kehilangan kata-katanya. Ia pulang untuk mencari pendukung dikala dirinya sedang terpuruk. Tapi yang ia kira pendukung malah menjadi orang yang paling kontra dengan keputusannya. "Ayah kira dengan Azka melakukan itu tanpa sebuah paksaan bahkan kemauannya sendiri itu namanya khilaf? Iya? Aku enggak habis pikir sama apa yang di pikirin ayah."

"Justru ayah bicara begini karena ayah mikirin masa depan kamu. Perusahaan yang kamu pegang sekarang bisa sesukses ini karena bantuan dari keluarga Azka. Kalau kamu minta cerai sama dia, bisa saja keluarga Azka cabut saham mereka," ucap Praja dengan nada yang menggebu-gebu.

Syaila tersenyum pedih. "Jadi ayah larang aku buat gugat cerai Azka karena takut perusahaan ayah bangkrut? Ayah lebih takut saham keluarga Azka dicabut dari pada aku yang jelas-jelas anak kandung ayah menderita karena harus punya suami yang suka main perempuan seperti Azka?"

"Sabar, Nak. Tenang dulu," lirih Yunita memeluk Syaila dari samping.

"Gak bisa, Ma. Ayah dari dulu selalu kaya gini. Aku enggak akan turutin kemauan ayah lagi. Aku enggak mau nyakitin diri aku sendiri cuma buat kepentingan ayah!"

"Syaila! Kamu jangan kurang ajar." Mata Praja menatap Syaila nyalang. Ia bahkan sekarang sudah berdiri.

"Aku bukannya kurang ajar, Yah. Tapi sikap ayah yang suka seenaknya itu enggak mau aku turutin lagi. Udah cukup! Aku bukan boneka ayah yang bisa ayah mainin sesuka ayah," tutur Adara.

Napas Syaila sudah tersenggal. Ia tidak menyangka ayahnya sendiri pun hanya memikirkan tentang uang alih-alih dirinya.

"Sekarang kamu dengar, pilih cabut gugatan cerai kamu sekarang juga, atau kamu enggak usah pulang lagi ke rumah ini. Ayah gak sudi punya anak pembangkang!"

Bagai tertimpa batu yang sangat besar untuk kedua kalinya. Tubuh Syaila lemas luar biasa. Bagaimana bisa ia harus memilih diantara pilihan yang tidak satu pun ia harapkan.

Ia tidak mau kembali kepada Azka. Tapi ia juga tidak mau dicoret dari keluarganya sendiri.

Lalu pilihan manakah yang harus ia ambil?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status