Share

Gundah

Awalnya Syaila cukup dewasa menyikapi sikap suaminya yang kerap kali terpergok sedang makan atau jalan-jalan dengan beberapa kariyawan di kantor, bahkan terakhir kali ia melihat Azka dinner bersama sekretaris barunya. Syaila tahu merasa tertarik kepada lawan jenis adalah hal yang lumrah, terlebih Azka sudah menjadi suaminya selama 13 tahun.

Perempuan berusia 30 tahun itu tidak akan terlalu mempersalahkan bagaimana laki-laki yang ia cintai lebih suka di luar dibanding bersama dirinya dan anaknya di rumah.

Karena menurut Syaila, rasa bosan dalam suatu hubungan itu hal biasa. Itu adalah fase yang setiap pasangan akan merasakannya.

Tapi Syaila tidak menyadari, langit pun bisa berubah warna tanpa meminta persetujuan siapapun. Apalagi Azka yang notabene nya seorang manusia memiliki sifat tidak pernah puas.

Mendapati suaminya tengah bermalam di sebuah hotel. Tidak lain dan tidak bukan dengan sekeretaris barunya. Ucapan-ucapan Nadira yang kerap kali ia sanggah malah ia saksikan sendiri kebenarannya. Itu sungguh sudah melampaui batas.

Dengan perasaan yang panas luar biasa. Amarah yang meluap-luap. Juga kepalanya yang seolah sudah mendidih. Syaila menghampiri suami dan Sekretaris sialan itu. Mereka yang tengah bergelut dengan gairah yang masing-masih salurkan nampak terkejut dengan kehadiran Syaila.

Syaila tidak meraung, menangisi suaminya yang telah berkhianat kepadanya. Hanya saja, hatinya sekarang seolah kebas. Seharusnya dari dulu ia tidak terlalu percaya dengan pria berengsek seperti Azka. Seharusnya, Syaila tidak meremehkan nasihat sahabatnya.

Perempuan yang mengenakan blazer putih juga celana bahan berwarna senada itu hanya bisa mematung. Menyaksikan dua manusia tidak tahu diri itu tengah gelagapan menutupi tubuh mereka yang sudah tanggal.

Lucu sekali mereka ini, seharusnya tidak perlu malu. Bukankah memang mereka tidak memiliki rasa malu sehingga melakukan hal seperti ini?

Syaila tertawa sengak. Lalu ia menutup pintunya lebih dulu, kemudian kembali. Ia tidak terlihat marah sedikit pun. Meski tidak demikian dengan perasaannya. Wajahnya seolah menggambarkan bahwa perbuatan suaminya itu sudah Syaila ketahui sebelumnya.

"Kenapa? Ah ... Seharusnya aku buka pintunya saja, ya? Biar semua orang dengar dan liat bagaimana kelakuan anak dari seorang pengusaha terhormat Prabakesa bisa bermain dengan gadis bodoh ini disebuah hotel? Oh, kayaknya reporter juga akan diuntungkan dengan berita ini." Syaila menatap remeh Azka dan selingkuhan nya itu secara bergantian sembari melipat tangannya di atas dada.

"Syaila ini tidak seperti apa yang kamu lihat, sayang," ucap Azka. Berdiri tegak di samping Syaila.

Syaila terkekeh. "Tenanglah sayangku. Aku akan pura-pura bodoh setelah melihat suamiku sendiri tengah menaruh benihnya dengan wanita lain." Ia mengusap tengkuk Azka yang bercucuran keringat. Padahal AC di dalam cukup dingin, apalagi bagi Azka yang hanya mengenakan celana pendek yang baru saja ia pakai.

Tentu ekspresi takut yang Azka perlihatkan membuat Syaila gencar untuk mengancam pria itu.

Pandangan Syaila beralih pada perempuan berumur lebih muda dengannya. Maya namanya, sekretaris baru Azka.

Ditatap remeh oleh Syaila, Maya menunduk. Tangannya mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya yang tidak tertutup sehelai kain pun.

"Ma-ya," eja Syaila. Melangkah lebih dekat dengan perempuan itu. "Lulusan terbaik di universitas negeri Brazamusti. Anak dari jaksa Damar Rahwana. Hahaha papa kamu orang terpandang, sementara anaknya hanya menjadi simpanan suami orang? kalau orang tua kamu tahu kelakuan anaknya gimana ya, kira-kira?"

"Syaila cukup." Azka merelai. Ia takut Syaila bertindak lebih jauh.

Mata Syeila menajam. Ia menatap suaminya dengan nyalang. "Diam berengsek! aku tidak peduli kau sudah bermalam dengan berapapun gadis yang kamu suka. Yang harus kamu ingat, aku tidak akan diam!"

"Iya, iya. Tapi kamu tenang dulu. Kita bicarain ini secara kekeluargaan, ya?"

Syaila memalingkan wajahnya. Tersenyum muak. "Secara kekeluargaan kamu bilang? Kamu sadar enggak si kelakuan kamu ini secara tidak langsung sudah menghancurkan keluarga kamu sendiri Azka. Aku, Genio, dan orang tua kamu!"

Pria itu meraih tangan Syaila. Namun segera wanita itu tepis.

"Aku minta maaf. Aku memang salah." Azka menunduk dalam.

"Kamu memang salah. Terus kenapa kamu lakuin ini? Kenapa kamu khianatin pernikahan kita yang selama ini kita jaga?" teriak Syaila tepat di depan wajah sang suami.

"Iya maafin aku, Sya. Kita berbaikin semuanya. Aku janji enggak akan lakuin ini lagi. Aku janji enggak akan berbuat bodoh lagi," balas Azka.

Syaila menghela napas panjang. Ia melirik sekilas Maya yang diam-diam menyimak perdebatan antara dirinya dan Azka. Ingin sekali rasanya Syaila mencakar wajar gadis itu sampai wajahnya berdarah-darah. Tapi sayang, Azka pasti tidak akan membiarkan hal itu.

"Aku enggak tahu sudah sejauh apa hubungan kamu sama perempuan enggak punya harga diri itu, dan aku enggak bisa percaya buat kedua kalinya sama orang yang udah aku kasih kepercayaan penuh sebelumnya."

"Sya ..... " lirih Azka memohon.

"Denger," potong Syaila lagi. "Ini sudah menjadi pilihan kamu buat khianatin pernikahan kita. Itu berarti kamu sudah rela aku pergi dari kehidupan kamu. Aku enggak akan pernah sudi bersaing sama perempuan kaya dia. Dia mungkin bangga sudah dapetin kamu. Tapi Tuhan enggak akan pernah keliru buat hukum hambanya yang sudah mengambil hak orang lain."

"Syaila!" bentak Azka.

"Apa? Mau bela dia kamu? Harusnya dari dulu memang aku enggak milih kamu. Seharusnya aku dengerin apa kata Nadira. "

"Aku udah bilang aku khilaf! Kenapa kamu enggak mau maafin aku? Malah melebar kemana-mana. Dari dulu aku enggak pernah suka sama temen kamu yang suka ngehasut pikiran kamu," ucap Azka.

Syaila tersenyum heran. "Jangan bawa-bawa Nadira. Kalau aku enggak nurut sama dia buat nyusulin kamu ke sini, mungkin aku enggak akan tahu kalau orang yang sangat aku cintai selama ini malah memilih perempuan lain. Aku mungkin masih jadi orang bodoh yang bisa kamu bohongin."

"Sya! Kesalahan aku baru ini saja tapi kamu bersikap berlebihan." Azka kembali bersuara.

"Iya! Tapi ini fatal Azka! Kamu paham enggak, sih?" bentak Syaila lagi. Sampai wajahnya memerah saking marahnya perempuan itu.

"Aku paham. Makanya aku minta maaf, kasih aku kesempatan kedua, ya?" pinta Azka.

Syaila tidak menjawab. Sebab air matanya sudah menggunduk di pelupuk matanya. Ia tidak mau Azka apalagi Maya melihat nya menangis. Ia paling benci jika ada orang yang menganggap nya lemah. Maka daripada air matanya tumpah dihadapan mereka berdua, Syaila memilih keluar dari kamar hotel itu. Ia menghiraukan Azka yang beberapa kali memanggil namanya.

Syaila berlari dengan perasaan sesak yang sudah ia simpan sejak tadi. Tenggorokan nya terasa tercekat saat kembali menyadari bahwa suaminya itu tidak sebaik yang ia kira.

Sesaat setalah sampai di mobilnya, ia menyandarkan kepalanya di stir. Menangis sejadi-jadinya di sana.

Mungkin ini yang Nadira selama ini berusaha sampaikan padanya. Pernikahan bukan tentang hanya memberi kepercayaan. Tapi juga lihat siapa yang akan menerima dan menjaga kepercayaan itu. Syaila tidak pernah sedikit pun menaruh curiga kepada Azka. Laki-laki itu memang sedikit arogan, tapi jika sudah bersamanya Azka akan menjelma sebagai suami yang perhatian dan hangat.

Entah Syaila yang terlalu mudah untuk dibodohi, atau memang Azka yang sudah lama berubah. Mereka jarang bertemu, tidak seperti pasangan-pasangan pada umumnya. Sebab Syaila dan Azka mengurusi dua perusahaan dari keluarganya masing-masing.

Mereka sama-sama anak tunggal. Maka untuk hanya sekedar menanyakan kabar saja sepertinya tidak ada waktu. Keduanya bertemu hanya jika malam atau hari libur.

Malam semakin larut, tangisan Syaila berangsur mereda. Ia mengangkat wajahnya yang sembab.

"Kasih aku kesempatan lagi?"

Pertanyaan itu masih Syaila pikirkan. Apakah dengan ia memaafkan Azka semuanya akan kembali seperti semula? Syaila terlalu takut untuk menghadapi semuanya sendiri. Ia juga takut nantinya Geino—putranya akan membenci dirinya karena perpisahan ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status