Happy reading, guyss.
"Kau berani bicara dan bahkan menolak perintahku. Lakukan kataku! Jika tidak ...."
"Kenapa jika tidak?" sela seseorang memotong ucapan Viana.
"Nona Riana," sapa Ali memberi hormat pada wanita yang datang dari arah belakan Viana.
"Kakak?" Viana tampak terkejut saat wanita itu melintas di hadapannya, mengabaikan tegurannya dan berlalu begitu saja.
Veronica Meriana, dia adalah kakak dari Viana. Wanita dewasa ini memiliki kecantikan yang berbeda, ia terlihat menarik bukan karena kosmetik tebal yang menempel di wajah, atau perawatan mahal dari klinik kecantikan seperti yang dilakukan Viana.
Bahkan wajahnya hampir tidak dihiasi satu pun riasan, tapi kecantikan Viana akan luntur jika ia berdiri di samping kakaknya ini. Riana mampu mencuri perhatian setiap orang di sekitarnya sehingga semua pandangan akan tertuju padanya. Karena itulah terkadang Viana merasa sangat membencinya.
Kecantikan Riana seakan mengalir dari dalam lalu memancarkan seberkas cahaya pada wajahnya, auranya lembut tapi juga tegas, sangat berbeda dengan Viana.Riana melewati Viana-adiknya begitu saja, ia langsung menghampiri Hart, "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
Seorang pengawal yang ikut bersama Riana langsung memasangkan jas pada pundak Hart.
"Terima kasih, Nona ...."
"Riana, aku Riana," sambung Riana dengan senyuman ramah miliknya.
Akhirnya seseorang menyelamatkan Hart, seseorang yang mampu menghentikan tindakan kurang ajar yang tidak sepantasnya dilakukan oleh wanita terpandang seperti Viana.
"Mohon maaf atas kekacauan yang ditimbulkan adik saya, silakan kembali menikmati pestanya," ungkap Riana pada seluruh tamu yang sebenarnya ikut andil dalam permainan Viana.
"Aku pertama kali melihatmu," kata Riana pada Hart setelah para tamu berhenti memandangi mereka.
"Saya Rainer Hart, Nona," jawab Hart.
"Dia milik Liana, Nona," imbuh Ali.
Riana menatap Ali sekilas lalu berbalik menatap adiknya-Viana.
"Viana, merendahkan orang lain tidak akan menaikkan derajatmu." Viana hanya diam dengan muka geram dan tak mampu menyangkal ucapan Riana.
"Ali, dapatkan pakaian untuk pemuda ini lalu minta Liana menemuiku bersamanya," pesan Riana.
"Di mana ibu?" Riana mengamati sekitar yang tidak melihat Veronica Elisa-ibunya.
"Nyonya Elisa sepertinya ada di atas, Nona. Beliau langsung pergi setelah membuka pesta," jelas Ali sebelum pergi bersama Hart.
"Aku akan menemui ibu, berhenti membuat kekacauan," pesan Riana sebelum beranjak.
"Cih, berhenti menceramahiku." Viana melipat tangannya dan memalingkan pandangannya.
Riana lalu melangkah pergi, menuju lantai dua untuk menemui ibunya.
Setelah mendapatkan pakaian untuk Hart, Ali langsung mengajaknya mencari Liana.
"Kau baik-baik saja, kan?" tanya Ali memastikan keadaan Hart, memulai perbincangan sambil berjalan.
"Ya, setidaknya aku sudah terbebas dari cengkeraman kucing betina itu," ungkap Hart sedikit bersyukur.
"Tidak Hart, ini baru awalnya saja," batin Ali, ia tidak ingin menyampaikan hal itu langsung pada Hart.
"Tapi, wanita yang menyelamatkanku itu sangat berbeda, aku yakin kalau dia pasti orang sangat baik," decak Hart kagum.
"Benar sekali, hanya dia yang menentang perbudakan yang dilakukan keluarga ini." Mendengar ucapan Ali, Hart seketika berhenti.
"Ali!" panggil Hart yang ditinggal beberapa langkah oleh Ali.
Ali berhenti, menoleh dan melihat Hart yang berdiri tertunduk di belakangnya.
"Apa maksud mereka mengatakan kalau aku ini adalah seorang budak?" Hart mengangkat kepalanya, memandang tajam ke arah Ali. Tatapan yang teramat tajam hingga Ali yang tak sanggup menerimanya spontan memalingkan pandangannya.
Tatapan itu menuntut sebuah jawaban, jawaban tentang sesuatu yang tidak pernah dijelaskan padanya. Jawaban yang akan menentukan keputusan Hart selanjutnya.
"Bu-bukannya kau yang kalah? Kukira aku menang karena kamu pergi di tengah-tengah taruhan," terang Ryu. "Aku tidak kabur!" tampik Momo berteriak. "La-lalu kenapa kau mencuci piringmu?" "Ka-karena kamu berisik banget pas aku lagi sibuk. Jangan salah paham, aku cuma tidak mau kalau kau mengusik pekerjaanku," jelas Momo beralasan. Saat itu Momo memang merasa sudah kalah. Ia sadar betul kalau mulutnya sudah mengeluarkan desahan lirih. Namun, karena Ryu mengungkitnya, harga dirinya tidak terima kalau lelaki itu merasa sudah menang. "Lagi pula, kau tegang, kan?" tukas Momo lirih. Ryu tersentak, tapi berusaha tetap bersikap normal, meski bintik keringat mulai bermunculan di wajahnya. "Ja-jangan bercanda. Aku tidak tegang, kok. Ya, aku tidak tegang," kata Ryu meyakinkan. "Serius?" Momo menatap tajam seolah tak percaya. "Tentu saja! Memangnya kau lihat? Huh? Kau lihat?" Ryu akhirnya bisa mendapatkan lagi ket
"Kau mau grepe-grepe, kan? Dasar orang jahat," lirih Momo tampak lelah. "Kalau kau menang, aku akan lakukan semua pekerjaan rumah. Kalau aku menang, lakukan bagianmu," kata Ryu mengingatkan tujuan taruhan mereka. "Woi! Kau dengar?" tanya Ryu sebab tak mendapat tanggapan. "Aku capek, mau tidur. Lakukan saja, kalau punyamu sudah 'naik', bangunkan aku," lirih Momo tanpa membuka mata, berniat tidur sambil duduk. "Cih! Dia meremehkanku. Waktu itu semuanya selesai sebelum aku menyentuhmu, tapi itu tidak akan terjadi lagi. Jangan main-main denganku, aku menang kali ini meski harus bertaruh nyawa," tekad Ryu dalam hati. Ryu menaikkan lutut kiri pada sofa tepat di samping tubuh Momo, lengan kirinya bertumpu pada punggung sofa di mana Momo bersandar. Telunjuk kanan Ryu bergerak perlahan ke arah tonjolan kecil pada pusat dada kiri Momo. Gadis itu jelas tak memakai kutang, hal itu bukan lagi kejutan bagi Ryu. Kali ini ia mampu bertahan dari j
"Apa lagi kalau bukan perempuan. Ryu pasti sudah dapat pacar baru, sepertinya lebih buruk dari mantannya." "Masa, sih? Tapi aku tidak sangka kalau Ryu itu tipe lelaki yang ganti kepribadian setiap kali ganti pacar. Dulu dia selalu tepat waktu, aku rasa kita harus berterima kasih pada mantannya." Diam-diam Ryu mendengar dan menyimak pembicaraan dua wanita yang terdengar sedikit prihatin padanya. Berbaliklah ia dan menyela. "Em ... aku pastikan tidak akan terjadi lagi, soal keterlambatan itu," kata Ryu tersenyum. "Wah! Maafkan aku!" Perempuan yang membicarakannya tersentak kaget. "Harusnya aku yang minta maaf. Kalian repot gara-gara aku selalu terlambat," balas Ryu. "Ya- ya sudah. Kami mau makan siang dulu. Permisi." Kedua wanita muda itu buru-buru pergi. "Jangan dimasukkan ke hati. Yah, seharusnya kau memperhatikan kondisimu, kau terlihat kelelahan. Aku paham kau ingin membantu temanmu, tapi kamu tidak bisa melakukannya k
Apa-apaan ini?' Ryu tertunduk diam menahan kesal sebelum mulai bicara, "Apa kau pernah dengar tentang 'hormon gila pria'?" lirihnya bertanya. "Pernah. Itu saat mereka mendapat rangsangan tertentu, bukan?" "Kadang saat lelaki kelelahan, dia bisa tegang dengan sendirinya. Itulah yang terjadi padaku saat di kereta, itu bukan seperti kau yang membuatku tegang atau semacamnya. Dan aku bukan penjahat kelamin, kau pasti menyadari semua itu, kan?" jelas Ryu menegaskan. "Sebaliknya, orang yang terangsang itu justru kau. Kau cuma ingin memutar balikkan fakta dan menuduhku jadi tersangka. Tapi tinggal dengan orang itu ... bahkan memintaku memijatmu. Aku tak tahu mana penjahat kelamin atau yang mesum di sini! Faktanya, mungkin kau sengaja mengintipku di kamar mandi kemarin!" lanjut Ryu menuduh. Momo hanya diam saja menyimak, menahan suara tak mengatakan apa pun. Namun, bagi Ryu, hal itu justru lebih menakutkan dibanding gadis itu membalas tuduhannya
"Apa? Kok, tidak bisa?" Saat Ryu akan menjelaskan alasannya, seseorang mendorong lelaki itu dari belakang hingga ia harus menempelkan tubuhnya ke dada Momo. Paha Ryu bahkan menyusup di antara paha Momo dan menyentuh selangkangannya. Namun, Momo seolah tak peduli dan mencoba memohon lagi. "Tolonglah. Tolong biarkan aku menyewa kamarmu," pinta Momo menatap Ryu dengan wajah sedih penuh harap. Tatapan itu berdampak kuat pada mental Ryu. "Ini, kan ...? Mirip di film-film ... yang ada yang sales sedang jualan," batin Ryu. Imajinasi nakalnya mulai berkeliaran, membayangkan Momo menyerahkan tubuhnya demi mendapatkan sebuah kamar. "Sial ...! Anuku bangun. Apa dia menyadarinya. Apa dia serius, tinggal serumah dengan seorang lelaki yang bisa saja hilang kendali?" batin Ryu bertanya-tanya. Meskipun kemarin Momo terlihat sangat percaya diri, kali ini dia tampak begitu lemah. Ryu kasihan melihatnya, merasa ingin menolong, tapi membantu
"Hei, apa kau serius bilang kalau aku yang terangsang?" Nada bicara Momo terdengar berat. "Eh? Ti- tidak." Ryu coba mengelak, menarik kembali ucapannya. "Kau yakin tidak akan tegang meski kau menyentuhku?" Momo bertanya lagi. "Be- benar." Ryu menjawab singkat, mulai menyesali perkataan sebelumnya. "Baiklah. Ayo kita taruhan! Sentuh aku sepuasmu," tantang Momo. "Apa? A- apa kau bilang? Taruhan?" tanya Ryu gugup. "Aku kesal, kau ngoceh terus dari tadi dengan alasan konyol." "Bukan. Tadi itu bukan alasan." "Cukup! Ayo kita jadikan kesempatan ini untuk menyelesaikan segalanya. Aturannya mudah saja. Selama sepuluh menit, kau boleh menyentuh bagian mana saja di tubuhku. Kalau aku mulai mendesah, kau yang menang. Tapi kalau kau tegang sebelum aku mendesah, aku yang menang," tutur Momo menjelaskan. Mereka bukan pasangan kekasih, bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Semua berawal di hari sebelumnya, kehidupan R