Ceritanya mulai panas nih, happy reading.
"Kau tidak dengar? Aku bilang lepaskan pakaianmu, sampah!" bentak Viana murka.
Hart melihat Ali dengan tatapan meminta pertolongan. Jiwanya terguncang hebat, ia benar-benar tidak menyangka jika penghinaan itu akan terjadi padanya.
Ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan Ali, berbeda dengan apa yang tertulis dalam berkas yang pernah ia baca. Budak, kata itu tidak tertulis di sana dan tak pernah juga disinggung oleh Ali sebelumnya.
"Apa arti semua ini?" Pertanyaan itu terus terlintas di benak Hart.
"Hei manusia rendahan! kenapa kau diam saja," geram Viana dengan mata melotot.
Sekali lagi, Hart menatap Ali. Pemuda itu seharusnya bisa melawan, berontak dan pergi. Namun, entah kenapa ia tak bisa bergerak, seakan kakinya dirantai, mulutnya dibungkam. Semua karena tekanan seorang Veronica Erviana yang tiba-tiba, auranya yang benar-benar mencekam. Namun, Hart tidak merasa takut, ia hanya bingung.
Turuti katanya, isyarat itu Ali sampaikan leawat sorot mata, isyarat yang menghapus harapan terakhir Hart.
Dengan tidak berdaya, Hart melepaskan jas hitam basah hingga terlihat seluruh kemeja yang tadinya putih bersih berganti warna yang beragam, noda dari cairan yang dituangkan padanya.
"Tidak mungkin, tidak mungkin kulakukan ini," jerit Hart dalam batinnya.
Hatinya terus menolak, tapi tangannya seakan bergerak sendiri, membuka satu per satu kancing kemejanya.
"Kenapa ... kenapa aku tidak berhenti, kenapa aku tidak bisa menolak?" Hart berusaha menahan gerakannya, lengannya sampai bergetar, bahkan tubuhnya.
"Tubuhku gemetar, apa aku ketakutan? tidak, seharusnya sedikit pun aku tidak takut padanya."
Memang benar tubuhnya gemetaran, tapi itu bukan karena takut pada Viana. Tubuh yang basah tanpa kain yang menutupi akan kedinginan di tengah ruangan penuh pendingin, Hart mengigil.
"Lihatlah, sampah rendahan ini bergetar ketakutan." Viana tertawa puas, diikuti tawa ejekan para tamu.
"Sedikit pun aku tidak merasa takut padamu," batin Hart saat menatap Viana yang berdiri angkuh di hadapannya.
Hart benar-benar dijadikan bahan lelucon seperti badut. Dipermainkan untuk menghibur para tamu keluarga Veronica, juga sebagai penegasan akan kekuasaan mereka yang mampu mengendalikan hidup seseorang.
Di pintu depan, seorang wanita paruh baya baru saja tiba.
"Selamat malam, Nona," sapa para penjaga padanya.
"Ada apa di sana?" Wanita itu melihat kerumunan tamu yang tertawa.
"Nona Viana mempermainkan seorang budak, Nona." Seorang penjaga menjawab dengan wajah tertunduk.
Wanita itu melengkah mendekat, lalu ia dapat melihat pemuda yang berdiri di sana tanpa mengenakan selembar pakaian.
"Sepertinya aku melewatkan acara utamanya," sesal wanita itu dalam hati.
"Jangan menatapku, lihatlah dirimu yang persis seperti gembel," hina Viana yang kesal saat pandangan Hart mengarah padanya.
"Sekarang, lepaskan celanamu!" perintahnya kemudian.
"Tidak! Tidak akan kulakukan hal itu," tolak Hart yang akhirnya berani untuk bicara.
Sejauh ini ia hanya diam sebab saran dari Ali, semuanya ia lakukan agar terhindar dari masalah yang lebih besar lagi. Akan tetapi jika tindakan Viana sudah sejauh itu maka jelas Hart akan menolaknya.
"Apa katamu? Kau pikir kau punya pilihan? Huh!" geram Viana, wanita ini tak pernah suka dengan penolakan.
Viana tak ingin mendengar penolakan dari manusia dengan derajat yang lebih rendah darinya. Semua yang ia perintahkan harus dilakukan, setiap yang ia inginkan harus terwujud.
Wanita itu semakin geram sebab manusia yang ia anggap seperti sampah berani menolak perintahnya.
"Kau berani bicara dan bahkan menolak perintahku. Lakukan kataku! Jika tidak ...."
"Kenapa jika tidak?" sela seseorang memotong ucapan Viana.
Happy reading, guyss. "Kau berani bicara dan bahkan menolak perintahku. Lakukan kataku! Jika tidak ...." "Kenapa jika tidak?" sela seseorang memotong ucapan Viana. "Nona Riana," sapa Ali memberi hormat pada wanita yang datang dari arah belakan Viana. "Kakak?" Viana tampak terkejut saat wanita itu melintas di hadapannya, mengabaikan tegurannya dan berlalu begitu saja. Veronica Meriana, dia adalah kakak dari Viana. Wanita dewasa ini memiliki kecantikan yang berbeda, ia terlihat menarik bukan karena kosmetik tebal yang menempel di wajah, atau perawatan mahal dari klinik kecantikan seperti yang dilakukan Viana. Bahkan wajahnya hampir tidak dihiasi satu pun riasan, tapi kecantikan Viana akan luntur jika ia berdiri di samping kakaknya ini. Riana mampu mencuri perhatian setiap orang di sekitarnya sehingga semua pandangan akan tertuju padanya. Karena itulah terkadang Viana merasa sangat membencinya. Kecantikan Riana
Happy reading, guyss .... Tatapan itu menuntut sebuah jawaban, jawaban tentang sesuatu yang tidak pernah dijelaskan padanya. Jawaban yang akan menentukan keputusan Hart selanjutnya. "Ali, kenapa kau diam?" tanya Hart mendesak. "Hart, aku sungguh minta maaf tentang itu." "Maaf? jadi maksudmu ...." "Ya, itu benar bahwa sekarang kau adalah budak Liana. Akan tetapi budak Liana memiliki arti yang berbeda dengan budak Viana." Ali berusaha membuat pemuda itu mengerti, tapi ucapannya sulit dipahami Hart. "Budak tetaplah budak. Jika saja kau mengatakannya lebih awal padaku, maka aku bisa pergi hari itu juga dan aku tidak perlu menerima penghinaan Viana malam ini." Hart memutar badannya membelakangi Ali, ia berniat meninggalkan pria itu dan segera keluar dari rumah keluarga Veronica. "Hart, tunggu!" tegas Ali mencegahnya dan berlari kecil ke arah Hart. "Maaf Ali, tapi aku tak sudi menjadi budak wanita itu, aku punya hak untuk memutuskan sebab aku tidak terikat dengan perjanjian apa pun."
Happy rading. "Liana, aku ingin mengatakan satu hal lagi." Wajah Riana terlihat lebih serius, apa yang ingin ia katakan mungkin merupakan sesuatu yang amat penting. Liana yang masih tertunduk malu, kini mulai mengangkat kepalanya untuk menyimak baik-baik apa yang akan dikatakan Riana-tantenya. "Tadi aku membicarakan tentang permintaanmu untuk tinggal di rumah lama itu dengan Oma kamu," ungkap Riana sembari melambai memanggil pelayan. "Soal itu? Ya, beliau melarangku tinggal di sana," keluh Liana. "Hart, kau mau minum apa?" tanya Riana pada pemuda yang telah menarik perhatiannya. "Beri dia secangkir kopi, dia tidak akan menolak," sela Liana menjawab pertanyaan untuk Hart. "Jadi kau sudah tahu minuman kesukaannya." Riana tersenyum merayu. "Tante," rintih Liana dengan wajah cemberut manja. "Hahaha, wajahmu memerah," goda Hart meledek, meskipun tanpa menatap ke arah Liana. "Ini karena aku terlal
Ketiganya dikagetkan oleh suara hantaman di belakang mereka, suaranya seperti handuk basah yang dipukulkan ke tembok. Mereka semakin terkejut saat mengetahui penyebab suara itu. "Aahhh!" Liana menjerit histeris, spontan memejamkan matanya dan menutup wajah dengan telapak tangannya. "Masuklah, Nona." Liana yang ketakutan masuk ke mobil tanpa membuka matanya, pemandangan yang ia lihat benar-benar membuatnya terpukul. "To ... tolong!" Suara lirih seorang wanita yang bersimbah darah, terkapar lemah tak berdaya di atas jalanan beton yang mengarah ke pintu utama rumah Veronica. Tatapannya yang mulai kosong memandang sayu ke arah Hart. Mengulurkan tangannya untuk meraih apapun yang dapat menolongnya. Hart mengenalnya, Hart pernah melihat wanita yang kini kesakitan di hadapannya. Pemuda itu langsung melompat mendekatinya, merangkul tubuh wanita itu dan menopang kepalanya. "Kau akan baik-baik saja, tetaplah sadar.
Hart menatap jam tangannya, "Sudah larut rupanya," ungkapnya.Ia kembali ke depan, berharap dapat menemukan taksi jam sekian untuk tumpangan pulang.Entah kenapa Hart mengkhawatirkan kondisi Liana yang kurang baik, ingin segera melihat wanita itu dan memastikan keadaannya.Kini Hart berdiri di depan rumah sakit mengawasi sekitar, tapi yang ia lihat hanya kendaraan pribadi yang parkir di sana."Di depan ada jalanan umum, pasti akan ada taksi yang lewat," ungkap Hart dalam hati dan mulai melangkah."Hart, di sini!""Ali?"Hart menghampiri Ali yang baru saja keluar dari dalam sedan hitam dan berteriak memanggilnya."Kau di sini?""Ya, aku baru saja tiba.""Untung saja kau datang sebelum aku pulang.""Masuklah! Kita pulang sekarang," ajak Ali."Bagaimana keadaan Liana?"Hart bertanya saat kendaraan yang dibawa Ali mulai melaju."Dia baik-baik saja, Liana tertidur saat aku ke sini menj
"Bagaimana jika terjadi sesuatu padaku saat kau pergi. Tetaplah di sini dan temani aku." "Huh?" "Huh?" Liana mengucapkan kata yang sama. "Kau bercanda." Hart tersenyum tipis, kembali melangkah dengan niat yang sama. "Baiklah, kau boleh pergi. Jika terjadi sesuatu yang buruk padaku, maka itu salahmu." Liana menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, termasuk kepalanya. Tangan Hart sudah menempel pada gagang pintu, tinggal memutarnya sebelum keluar dari kamar Liana. Namun, Hart mengurungkan niatnya setelah mendengarkan ucapan Liana. "Biasakan mengunci pintu kamarmu," saran Hart sembari memutar logam yang menancap pada lubang kunci. Dari balik selimut, Liana mendengar suara langkah kaki Hart semakin mendekat. Setelah suara itu menghilang, Liana merasakan kasur tempat tidurnya terguncang seperti ombak. Sigap Liana membuka selimut yang menutupi kepalanya. Hanya menunjukkan wajahnya dengan ekspresi
Liana tidak melepaskan diri hingga pagi, wajah Hart menjadi pemandangan pertama yang ia lihat begitu membuka matanya. Masih dalam dekapan Hart seperti guling. Liana menyeret tubuhnya sedikit ke atas, berusaha mencapai puncak wajah Hart. Lalu mendaratkan kecupan manis pada kening lelaki yang sedang memeluknya itu. Entah dari mana Liana mendapatkan inisiatif dan keberanian melakukannya. Keberanian Liana kali ini berbeda dengan waktu itu, malam di mana Liana membelai nakal tubuh Hart di bawah kuasanya. Kali ini tidak ada pengaruh anggur, tidak ada efek cairan perangsang, cairan serupa yang diberikan pada Hart. Kecupan kali ini murni hasil inisiatif dan keberaniannya sendiri. Kecupan yang dibalut dengan kasih sayang sebagai ucapan terima kasih. Liana bersyukur telah menyeret Hart ke dalam hidunya. "Kau tidak bisa lagi mengelak, kau menciumku diam-diam," lirih Hart dengan suara serak, tapi dengan mata yang masih tertutup. Liana y
Hart dan Liana saling menatap kaget setelah mendengarkan pesan dari Ali. Gairah yang tadinya terkumpul hingga membentuk bola yang besar, meledak dan lenyap dalam sekejap. Liana memasang kembali tali gaun yang baru saja dilepaskan lalu turun dari pangkuan Hart. Liana mengambil mantel yang tergantung pada dinding di samping pintu kamarnya, bergegas turun untuk menemui Ali seraya mengenakannya. Seketika Ali berdiri dari duduknya begitu melihat Liana turun menyusuri tangga, disusul Hart dan pelayan yang ditugaskan oleh Ali untuk memanggil Liana. "Ada apa, Ali?" tanya Liana saat suaranya bisa menjangkau pendengaran Ali. Sekilas pandangan Ali tertuju pada Hart, sebuah pertanyaan terbesit di kepalanya, tapi ia harus segera menjawab pertanyaan Liana. "Aku mendapat kabar dari rumah besar, nyonya Elisa meninggal." "Jangan bilang kalau dia ...." "Benar, Nona. Itulah kabar buruknya, beliau dibunuh," ungkap Ali. Liana