Gulai ayam nanas permintaan Keke, diganti dengan gulai ayam rebung. Hal itu karena ibunya ragu memasak gulai ayam nanas, menghindari resiko, takutnya Keke sudah berisi tapi belum sadar.Rasa gulai ayam rebung tak kalah enak, buktinya Keke nambah dua kali. Bujang tak pernah melihatnya makan selahap itu. "Nambah, Jang! Rugi kalau tidak nambah, masakan istriku paling enak di dunia, itulah yang membuatku jatuh cinta padanya," puji Pak Iwan pada istrinya, yang dipuji geleng-geleng kepala, sedangkan Bayu menatap ayahnya aneh. Seperti geli dan malu.Pujian Pak Iwan tak berlebihan, gulai ayam rebung itu memang enak, Bujang teringat akan almarhumah ibunya yang juga pintar memasak. Apa pun yang dibuat oleh almarhumah ibunya, tak ada yang tidak enak. Tiba-tiba Bujang rindu, walaupun sudah lama sekali mereka meninggal dunia. Mungkin besok lusa, dia akan mengajak Keke berziarah ke makam kedua orangtuanya."Ayo, Bang! Tambah nasinya!" Keke menyentuh siku Bujang, memberinya senyuman manis. Bujang m
Bujang mondar-mandir di depan kamar mandi Keke. Keke masuk beberapa menit yang lalu dengen menbawa alat tes kehamilan yang semalam dibelikan Bujang.Waktu subuh sebentar lagi, seperti kata ibu Keke, air urin pagi hari sehabis bangun tidur lebih akurat untuk tes kehamilan.Tadi malam, setelah sampai di rumah, dia mendapati Keke telah masuk ke dunia mimpi, wajar saja, Bujang sampai di rumah jam sebelas malam. Sementara istrinya itu telah menguap-nguap sebelum pergi ke apotik.Semalaman Bujang tidak tidur, padahal kehamilan Keke belum pasti, dia sudah berkhayal menggendong anak. Membayangkan saja hati Bujang sudah bahagia. Apa yang lebih sempurna dibanding menjadi seorang ayah? Tidak ada, menjadi seorang Ayah adalah bukti sempurnanya seorang laki-laki, dimana anak adalah pewaris darah dan nasab, keturunan merupakan aset yang lebih berharga dibandingkan harta dan jabatan.Pintu kamar mandi terbuka sedikit, kepala Keke mengintip dengan wajah tak terbaca. Bujang telah mempersiapkan diri unt
"Keke belum bangun, Jang?" tanya Pak Iwan. Bujang duduk di kursi kayu sambil melihat Pak Iwan yang menganyam rotan. Sepertinya Pak Bujang tengah membuat tudung saji.Sejak perdebatan tadi, Keke belum mau bicara sepatah kata pun, dia malah menghabiskan waktu untuk tidur, tanpa mandi, tanpa berniat membuka selimut sedikit pun."Masih, mungkin nggak enak badan.""Ibu rasa, Keke memang sudah berisi," sahut Ibu Keke sambil meletakkan dua gelas kopi dan sepiring goreng pisang di dekat Pak Iwan. Tanpa menunggu lama, Pak Iwan mencomot satu goreng pisang yang masih panas itu."Iya, tadi sudah kami tes, dan alhamdulilah, positif." Bujang tak punya alasan untuk menyembunyikan kenyataan itu, bagaimanapun, wanita yang pernah melahirkan dan punya anak, bisa melihat ciri-ciri orang hamil. Bujang pernah mendengar itu, tapi entah kapan."Alhamdulillah," sahut Pak Iwan dan istrinya dengan wajah berbinar."Tapi Keke melarang saya memberi tahu. Katanya biar kejutan." Bujang menambahkan."Sebenarnya pas k
Bagi Bujang, Keke itu bagaikan gula yang selalu manis, kehadirannya menjadi candu dan membuat hidup Bujang lebih bewarna. Keke mengenalkan berbagai rasa pada dirinya, rasa cinta, rasa sayang, rasa rindu dan rasa cemburu. Keke ibarat magnet yang menarik dirinya untuk selalu mendekat, tak ingin berjauhan bahkan untuk waktu yang sebentar.Kadang Bujang tak percaya bisa berjodoh dengan Keke, sang Primadona kampung yang menjadi buah bibir setiap orang. Padahal, selama ini Bujang sudah tak begitu berambisi lagi untuk menikah, kalau pun ada wanita sederhana yang mau menjadi istrinya, dia akan menerima dengan tangan terbuka, tapi Tuhan malah memberikan Keke sebagai pendampingnya, seakan Keke adalah hadiah karena kesabaran dan keikhlasannya selama ini yang telah menerima takdir.Bujang tak bisa melepaskan matanya dari wajah cantik itu, wajah berseri yang berdiri di antara kerumunan orang yang menonton pertunjukan Tambua Tansa. Keke begitu menikmati, dia berada tak jauh dari kelompok pemain Tam
Keke mendapatkan tawaran kerja sebagai guru honorer di SD N 49 yang tak jauh dari rumah. Sekolah itu terletak di perbatasan desa, cukup ditempuh dengan mengendarai motor selama sepuluh menit melewati jalan menurun dan berkerikil.Sekolah negeri itu baru diresmikan oleh pemerintah tiga tahun yang lalu, jadi angkatan pertama masih duduk di kelas tiga. Seluruh murid berjumlah enam puluh orang, sepuluh orang guru yang rata-rata Pegawai Negri Sipil.Keke diminta mengajar ilmu komputer di kelas satu sampai kelas tiga. Jamnya tidak banyak, hanya enam jam seminggu, setidaknya Keke bisa mencari kesibukan lain selain mengurus rumah.Kandungan Keke sudah berusia tujuh bulan, tapi besarnya sudah seperti sembilan bulan. Namun, dia bukanlah wanita hamil yang malas bergerak, bahkan jika perkerjaan rumah selesai, dia membantu mengecat perabot buatan Bujang. Keke sangat senang saat keinginannya untuk bekerja disetujui oleh Bujang. Selain jaraknya dekat dengan rumah, Keke hanya perlu datang di jam men
"Bang, panas!" Keluh Keke, padahal kipas angin telah dinyalakan dengan level tertinggi. Dari tadi dia mencari posisi yang nyaman, tapi belum juga didapatkannya. Belum lagi rasa gatal yang teramat sangat di kulitnya jika kena keringat. Bujang selalu mencegah Keke jika Keke menggaruk menggunakan kukunya, Bujang dengan sabar menggunakan kain sebagai pembatas antara kuku dan kulit Keke jika membantu menggaruk perut besar itu.Bujang yang tadi sudah mulai tertidur bangun lagi. Dia bangkit, Keke masih belum tidur juga. Dia bergerak gelisah ke kiri dan ke kanan dari tadi, sehingga tempat tidur berderit terus.Memang, di usia kehamilannya yang ke sembilan bulan, semakin sulit bagi Keke untuk tidur malam. Dia tidur sambil duduk, satu lagi, hanya mengenakan sarung seperti kemben karena kepanasan. Kadang Bujang geleng-geleng, namun dia memaklumi, perasaan tak nyaman itu hanya Keke yang merasakannya."Besok kita pada AC saja ya, Ke." Bujang memaksa mata beratnya terbuka sempurna. Kalau baginya, u
Anak adalah harta yang tak bisa dinilai harganya. Dia bukan materi yang bisa dicari dengan cara usaha yang menghasilkan untung rugi, tapi hanya orang yang dipercayakan oleh yang Maha kuasa yang akan memilikinya. Ucapan syukur tak putus-putus terucap dari bibir Bujang, bayi kembar mereka tengah dimandikan oleh perawat, dua perawat sekaligus turun tangan memandikan, bahkan perawat yang berbadan gemuk, mendapatkan jatah tembakan kencing pagi dari bayi laki-laki mereka."Haha, dapat jatah kamu, Wit." Rekannya menertawakan perawat yang dipanggil Wit itu. Dia hanya membalas dengan senyum kalem.Bayi kembar Bujang dan Keke mengeluatkan suara tangisnya, mereka bertanding mengeluarkan suara tangis siapa yang paling keras. Dan hasilnya, dimenangkan bayi perempuan. Sedangkan bayi laki-laki diam sendiri karena kalah suara."Bu Keke sudah bisa dimandikan, ini sarapannya, ini obatnya ya, Pak!" kata perawat pada Bujang.Buang melirik bayi mereka, bayi kembar itu, menghabiskan malam dengan begadang
Tujuh tahun yang laluKamar berukuran lima kali enam meter, dengan jendala yang menghadap ke matahari terbit. Di sebuah tempat tidur itu, sosok tubuh tidur menghadap ke jendela. Sesakali air mata meleleh di pipinya.Dia bukannya wanita pemalas yang suka tidur dari pada bekerja. Namun, kabar kali ini membuat persendiannya lemah. Dia kecewa dan bersedih.Dia hanya wanita tua yang memiliki anak tunggal dan tak memiliki saudara. Anak tunggalnya pun adalah laki-laki. Bukan dia tak mau memiliki anak yang banyak, tapi mungkin dia kurang subur sebagai wanita, karena untuk mendapatkan Bujang saja dia harus berobat terlebih dahulu.Wanita yang berusia sekitar enam puluhan itu menoleh saat ada sentuhan lembut di bahunya. Dia bukannya tak tau bahwa seseorang telah masuk ke kamarnya, tapi dia merasa enggan menoleh."Bu," suara besar tapi terkesan penuh kasih itu adalah milik putranya. "Aku ingin bicara."Wanita yang tak lain adalah ibunya Bujang itu bangun dari pembaringannya. Menatap wajah lelah