"Duluan, Pak!" Adrian yang sudah menyelesaikan makannya berdiri dan meninggalkan tempat itu.
Raja melihat Adrian yang sudah berdiri. Dia masih memproses segala hal yang sedang terjadi.
"Ngobrol dulu, Yan!" Raja mencoba menahan niat Adrian.
"Kalau gitu, pindah tempat duduk biar Bapak sama Cahaya bisa ngobrol dengan tenang," kata Adrian penuh pengertian.
Mengingat bagaimana kisah pelik cinta mereka dulu, Adrian yakin ada banyak hal yang pasti ingin Raja dan Cahaya bicarakan.
Menatap dalam tanpa peduli sekitar, Raja memindai penampilan Cahaya sekarang. Walau tidak bisa dengan jelas melihat wajah cantik Cahaya, Raja yakin Cahaya tetap memukau seperti pertama dia melihatnya.
"Disapa dong, Aa! Jangan diliatin saja. Emang nggak kangen?" celetuk Alya santai sambil menyuapkan suapan terakhir makan siangnya.
Raja menoleh sekilas pada Alya, hatinya bersorak gembira bisa bertemu dengan Cahaya kembali walau sambutan gadis itu tak sehangat yang dia sangka. Cahaya seakan enggan menatapnya dan lebih memilih duduk terdiam menundukkan kepala.
"Cahaya! Angkat kepala 'napa? Itu Aa Raja sampe nggak kenal kamunya karena nunduk terus!" Alya melemparkan kata pada Cahaya, membuat Raja kembali menatapnya dalam penuh rasa penasaran.
"Aya ... Cahaya? Ini kamu, Sa-yang?" terbata Raja mengucapkan kata terakhirnya. Suaranya pelan, tapi jelas di telinga Cahaya. Panggilan sayang yang selalu dia gunakan pada Cahaya.
Ada kehangatan yang dirasakan Cahaya saat Raja memanggilnya, sayang. Tapi, denyut sakit pun mengiringi kehangatan itu. Masih pantaskah panggilan itu Raja sematkan padanya?
Perlahan, Cahaya mengangkat kepalanya dan menampakkan wajahnya yang sudah sembab oleh air mata. Ya, Cahaya menangis untuk alasan yang tidak diketahuinya. Bahagia? Atau justru memang sedih bisa bertemu lagi dengan Raja?
Beruntung, suasana kantin mulai sepi ditinggalkan oleh karyawan yang sudah selesai makan siangnya.
"Apa kabar, A?" tanya Cahaya sambil mengusap pipinya yang basah.
Raja terkejut melihat Cahaya menangis walau dia juga bahagia bisa melihat gadis yang selalu dia rindukan.
Gadis yang pernah membuatnya tergila-gila, bahkan sampai detik ini. Terakhir kali bertemu, gadis itu kembali menolaknya. Raja pikir, setelah pertemuan itu, Cahaya akan bahagia dengan pilihannya, yaitu Kim.
Lalu apa mereka sudah menikah? Tapi ... di mana Kim? Kenapa Cahaya tidak tinggal di Korea? Apa Kim yang tinggal di Indonesia? Lalu apa mereka sudah menikah?Berbagai pertanyaan berputar di kepala Raja.
"Kabar baik, Ya. Kamu kenapa nangis? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Raja sambil menoleh ke arah Alya dan yang lain, seolah meminta jawaban dari teman Cahaya. Alya dan yang lainnya hanya mengangguk.
"Loh, Pak Raja nggak makan? Saya sudah habis malah." Iman yang sudah selesai dengan makan siangnya, mengajukan pertanyaan saat melihat Raja yang belum menyentuh makanan di depannya.
"Oh, iya, Pak. Sebentar," jawab Raja melihat sebentar ke arah pak Iman.
"Saya duluan ngga pa-pa, Pak? Ada perlu," ucap Pak Iman lagi.
"Iya silakan, Pak. Saya mau ngobrol dulu sama Cahaya," jawab Raja sambil tersenyum.
"Baiklah, semuanya saya duluan ya?!" pamit pak Iman lalu bangun dan berlalu.
"Kami duluan juga ya, A. Kalian ngobrol aja dulu. Ayo, Sayang. Yan, kamu ikut kan?" tanya Alya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Adrian.
"Oh, iya. Kita ngobrolnya nanti aja ya, Pak?" ujar Andrian yang langsung bangun, diikuti Andri yang kemudian membantu Alya berdiri.
Mereka langsung pergi meninggalkan Cahaya dan Raja yang masih canggung.
Raja menatap Cahaya yang kini sudah terlihat lebih santai. Sesekali tangan Cahaya mengaduk nasi yang ada di depannya. Selera makannya hilang entah ke mana. Perutnya kenyang oleh kejutan yang didapatnya hari ini.
Bertemu kembali dengan Cahaya, membuat dia seakan menemukan semangat hidupnya yang pernah hilang.
"Emm ... Kim? Apa kabarnya, Ya? Di mana dia sekarang?" Pertanyaan Raja menghempaskan perasaan Cahaya, mengingatkan dia pada sosok yang tidak ingin diingatnya kembali.
Cahaya yang bingung akhirnya berbohong, "Oppa, baik-baik aja, Aa. Dia ... di Korea."
Jawaban Cahaya membuat Raja berpikir kalau Cahaya sudah menikah dengan Kim. Mungkin, keduanya sedang berpisah untuk sementara waktu.
"Kamu kenapa nangis tadi?" tanya Raja menahan sakit di hatinya.
"Oh, aku-aku ... cuma merasa malu sama Aa," jawab Cahaya sambil mengusap pipinya dari sisa air mata.
"Oh, kenapa? Aku bahagia bisa bertemu kamu lagi, Ya. Senang banget!" Cahaya tersenyum ke arah Raja, namun matanya tak berani menatap Raja.
"Aku juga senang, Aa. Makan dulu, A. Nanti kita ngobrol lagi." Cahaya mencoba menghilangkan kecanggungan di antara mereka.
"Siap!" Raja mengikuti Cahaya yang mulai menyuap makanan, walau sudah tidak berselera lagi.
Sungguh ini bagaikan mimpi bagi Cahaya: bisa bertemu dan melihat Raja lagi. Apa lagi Raja terlihat semakin tampan, dengan bulu-bulu halus yang dibiarkan tumbuh di pipi sampai dagunya. Mata itu pun masih seperti tiga tahun yang lalu. Tatapannya masih selembut dulu. Menenangkan.
Satu yang disesalkan Cahaya: kenapa Raja harus menanyakan soal Kim? Di saat dia sudah bisa melupakan semuanya, dengan mudah nama itu disebut oleh Raja.
Lalu ... apa Raja masih sendiri?
'Kenapa aku harus bertanya? Laki-laki dengan ketampanan di atas rata-rata itu, pastilah sudah menikah. Bukankah aku yang dulu dengan sombongnya, menolak cinta yang ditawarkannya?' batin Cahaya.
Cahaya menghabiskan makan siangnya dengan malas kalau saja tidak mengingat mubazir. Cahaya berpikir Raja benar-benar sudah melupakan masa lalu mereka, terbukti dia terlihat begitu bahagia dengan hidupnya kini. Bahkan tanpa sungkan, sesekali Raja menggodanya.
'Tapi ... bukankah Raja memang sosok yang selalu ceria?'
'Beruntung sekali wanita yang bisa memiliki Raja. Apakah Norri? Atau yang lain? Dan yang pasti ... Itu bukan aku!'
'Ayolah Cahaya, cukup!'
Raja menjauhkan nampan bekas makannya, meraih botol minumnya, dan menghabiskan setengah dari isinya. Lalu menghadapkan badannya ke arah Cahaya dan menatapnya dalam.
Cahaya mencoba menenangkan debar di dada yang entah mengapa berdebar dengan kencang.
Jarak mereka yang lumayan dekat membuat Cahaya merasa gugup. Untunglah, suasana kantin sudah sepi ditinggalkan sebagian karyawan, hanya petugas catering yang mulai membereskan meja yang sudah kosong.
Kim tak menyembunyikan kehancurannya. Di depan Raja dia menceritakan semua cerita hidupnya. Terpaksa menikahi wanita pilihan orang tuanya, mengabaikan semua perasaannya untuk menemui Cahaya, yang dia yakin pasti menunggunya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pernah berpikir untuk melupakan gadis itu, saat pernikahannya terberkati oleh kehamilan istrinya. Memilih tetap hidup dengan rasa yang sudah mati. Dia bagai tak memiliki tujuan pasti, hanya diam dan menuruti semua keinginan ayahnya. Hingga asa itu hidup lagi, saat istrinya harus menyerah dalam perjuangan meraih cintanya, meninggal setelah memberinya seorang putri yang kemudian diberinya nama, sesuai dengan nama sang pujaan seperti keinginan Su Ni. Kim merangkai mimpi lagi, berharap Cahaya masih sendiri dan sudi menerimanya kembali. Datang ke Indonesia dengan harapan yang bertumbuh besar. Bahagia, saat alamat yang tertulis dalam kertas yang mulai memudar, bisa dia temukan. Bertemu Rosita yang dengan jelas mengatakan, kalau
Taksi yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan gerbang apartemen. Setelah membayar, Raja meminta Cahaya untuk menunggunya membukakan pintu. Tak ada penolakan, Cahaya biarkan suaminya melakukan apapun yang dikehendaki. Tangan keduanya bergandengan memasuki area apartemen. Baju yang kemarin dipakai Cahaya kerja, kali ini pun kembali dipakainya. Karena memang kemarin, jangankan berganti pakaian, masuk ke apartemennya saja Cahaya tidak sempat, karena langsung dibawa Raja yang dalam keadaan cemburu, melihatnya datang bersama Kim. Langkah Cahaya terlihat berbeda, sisa serangan Raja di malam pertama mereka yang tertunda, membuat Cahaya masih merasakan sakit di setiap langkahnya. Sedang si pelaku utama, dengan sabar mengimbangi langkah istrinya dengan tatapan iba. Meski tak ada lagi kata maaf yang dia katakan, karena memang seperti itu prosesnya. Nanti setelah terbiasa, sakit itupun tak lagi terasa. Ah, biasa … bagaimana akan terbiasa? Sedang dia tak lama berada di sana, rasanya Raja
Semalaman dia di sana. Menghabiskan setiap detik yang membuatnya bagai dicekik, bahkan setiap oksigen yang dihirup, membuat dadanya sesak disetiap hembusan. Jangan tanya rasa hatinya. Hampa. Tak berdaya. Ingin mati saja, bersama dengan cintanya yang kini telah kandas. Lepas. Hancur tak tersisa. Bayangan semua hal yang bisa dilewati dengan semua kehangatan, oleh gadis pujaan dengan seseorang yang pernah begitu dekat dengannya, semakin membuatnya enggan memejamkan mata. Berharap dan menunggu, mungkin saja pasangan yang sudah dinyatakan sebagai suami istri itu, kembali meski malam telah larut, atau di saat pagi siap menjelang. Meski dia tahu, itu tentu saja pemikiran yang salah, karena dua orang yang terus memenuhi pikirannya, tengah panas menghabiskan malam. Memadu kasih, melebur kerinduan. Sedang dia membeku, bersama serpihan salju yang turun dengan lebat di luar. Mereka sepasang pengantin baru, terpisah karena tugas yang tidak bisa ditolak, tentu saja saat bertemu, mereka akan ter
Mata yang tadi terpejam rapat itu perlahan terbuka, mengumpulkan kesadaran yang beberapa saat lalu terseret oleh alam mimpi yang sekejap dikunjungi. Kehangatan yang sempat membuatnya lelap beberapa saat lalu, membuatnya menduga kalau kehangatan tadi hanyalah mimpi, saat tak mendapati sosok yang tadi merengkuhnya dalam nikmat, kini tak ada di sisi. Mimpi? Cahaya semakin menegaskan pandangan, melihat keseluruhan tempat di mana dia berada kini. Ini bukan kamarnya di apartemen, yang sudah menjadi tempat tinggal sementara tiga bulan terakhir. Jelas ini bukan mimpi. Bahkan rasa sakit dan perih yang menyengatnya di bawah sana, adalah bukti nyata kalau dia tidak bermimpi, suaminya ada di Korea. Tapi kemana dia? "Sayang?!" Mata Cahaya terpaku pada pintu kamar mandi di sudut ruangan. Berharap Raja keluar dari sana, setelah mendengar panggilannya. Tak ada jawaban. Apa Raja meninggalkannya sendirian di sana? Apa suaminya itu masih marah, tentang kejadian tak diharapkan mengawali pertemuan me
Drttt … drttt … Getaran ponsel yang beradu dengan nakas disamping tempat tidur, mengalihkan perhatian Raja dari menatap wajah damai Cahaya. Beberapa saat setelah penyatuan mereka, istrinya itu langsung tertidur dengan nyaman dalam pelukannya, mengabaikan desakan gairah Raja yang kembali bangkit, saat kulit tubuh mereka kembali bergesekan, dia biarkan istrinya lelap. Bahkan napas yang terhembus belum sepenuhnya normal, namun lagi Raja mengharap bisa mengulang kenikmatan yang baru saja berlalu. Menarik pelan lengannya yang dijadikan bantal oleh cahaya, Raja berusaha agar gerakannya tidak mengganggu lelap tidur istrinya yang nampak kelelahan, meski mereka hanya melakukan dalam waktu yang sebentar, tapi istrinya langsung kalah dalam sekali serangan, sama sepertinya yang juga menyerah di awal pertempuran. Mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya, Raja melihat nama Khadi juga Mukta di layar, memintanya melakukan panggilan grup. Menepuk keningnya pelan, Raja melihat pe
Young Nam hanya diam menanggapi perkataan Hana, apalagi kata yang selanjutnya terlontar, memang sanggup membuatnya menyalahkan dirinya seperti yang dikatakan Hana tadi. Anaknya menderita karena dia. Dialah yang empat tahun ini menciptakan luka dan sakit di hati anaknya. Merubah anaknya yang dulu sangat ceria setelah bertemu dengan Cahaya, menjadi pendiam setelah keegoisannya menjodohkan Kim dengan anak kakaknya. Meski kata maaf sudah dia sampaikan, restu sudah diberikan, ternyata kisah mereka memang harus terhenti begitu saja, saat dia mengucap kata tidak untuk hubungan mereka dulu.Sesal. Itu yang Young Nam rasakan sekarang. Apalagi ketiga anak muda itu masih berputar dalam lingkaran yang sama. Rasa traumanya atas penghianatan sahabat dan tunangannya, harus dia limpahkan dengan memberikan duka pada anaknya. Padahal kasus untuk Kim, Cahaya, dan Raja jelas beda. Tapi dia sudah tidak memberikan ruang restu untuk Cahaya, saat tahu kalau gadis yang dicintai anaknya adalah kekasih dari Raj
Dengan tergesa Hana berdiri, melangkah dengan penuh kemarahan mendekat pada Young Nam."Semua salah kamu, Oppa. Kamu yang sudah menciptakan luka untuk anakmu sendiri. Kamu yang sudah dengan sadar membuat hidup anakku merana, menderita. Semua salah kamu!" Hana berteriak kalap. Semua penyesalan juga rasa bersalahnya membuat dia berlaku diluar kebiasaan. Dia yang selalu lembut berbicara pada suaminya, mengikuti dengan patuh apapun yang terucap dari bibir Young Nam, kini berteriak lantang menyalahkan semua yang sudah terjadi pada Kim.Ya, perasaan sayangnya kalah dengan rasa sesal, melihat Kim yang memang sudah tidak pernah tertawa dengan riang, saat Young Nam memutuskan menikahkan Kim dengan Su Ni, kini harus lebih hancur lagi setelah tahu ternyata Cahaya sudah menikah."Yobo, apa yang kamu katakan?" Young Nam mencoba menyentuh pundak istrinya yang baru kali ini dia lihat semarah itu. Tidak, istrinya murka tepatnya. Sangat murka.Dengan kasar Hana menepis tangan Young Nam yang akan menye
Hana yang sedari tadi mengetuk pintu namun tak mendapat tanggapan dari Kim, akhirnya memilih membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. A Ya sudah tidur, sengaja dia menidurkannya di kamarnya, karena Hana yakin saat ini Kim butuh ruang untuk sendiri.Perlahan Hana melangkah mendekati anak semata wayangnya. Duduk di samping Kim yang terus memandang pada selembar photo, photo yang dia tahu pasti siapa yang tergambar di sana. Telinganya dengan jelas bisa mendengar isakan tertahan Kim. Apa yang sebenarnya sudah terjadi, hingga Kim harus menangis seperti ini?"Young Jin? Kenapa?""Ma …. apa aku memang tidak pantas untuk bahagia?" tanya Kim dalam kesedihan yang terdengar menyayat. Isakannya semakin kuat terdengar."Sayang, ada apa?"Ibu mana tidak ikut merana, saat mendengar anak kebanggaannya menangis seperti itu? Bahkan sebelum Kim menjelaskan pun, mata Hana sudah memanas, dan siap menangis merasakan kepiluan hati Kim."Cahaya, Ma … Cahaya.""Ada apa dengan cahaya, Sayang? Katakan dengan
"Yan, apa pak Raja tidak akan berbuat kasar pada Cahaya?" tanya Andri saat mereka kembali ke apartemen.Tadi saat kejadian, Andri hanya bisa menjadi penonton dengan apa yang terjadi di depan matanya. Untungnya Indah dan Rita tidak mengetahui kejadian yang terjadi di depan apartemen, hingga Adrian maupun Andri tidak harus menjelaskan pada keduanya. Bukan tidak mungkin, Indah dan Rita akan menjadikan kejadian tersebut, menjadi bahan perbincangan dengan temannya di Indonesia."Kenapa berpikir seperti itu, Dri?""Aku khawatir saja. Dan untuk melarang kepergian mereka tadi juga, tidak punya kuasa. Mereka suami istri, tapi melihat bagaimana pak Raja tadi menarik tangan Cahaya, aku jadi takut kalau pak Raja akan marah pada Cahaya." Andri mengungkapkan kekhawatirannya."Pak Raja pernah ada di situasi yang lebih berat dari tadi, Dri. Dan aku yakin, pak Raja bisa mengontrol emosinya dengan baik. Hanya satu yang aku sesalkan atas sikap Cahaya, kenapa dia tidak mengatakan dengan jujur mengenai pe