Share

Bukan Budak Nafsu Majikan
Bukan Budak Nafsu Majikan
Author: Syiffa Natasya

1.

Plaaaak!

Tuan Hamiz melayangkan tangan hingga mendarat ke pipiku. Terasa kebas, karena ini tamparan yang ke empat kalinya dalam setengah jam ini. Sementara, sudut bibirku sudah sejak tadi mengalir darah. Aku masih sama, menatapnya tanpa air mata.

”Saya sedang hamil, Tuan,” ucapku sembari menyeka sudut bibir yang basah.

Tuan Hamiz berteriak sambil mencengkram kedua bahuku. ”Cewek bodoh!”

Aku tetap tersenyum karena makian dari mulutnya sudah menjadi makanan sehari-hari. Kupandangi wajahnya yang putih berubah kemerahan karena marah. Tuan Hamiz menendang meja riasku hingga bedak tabur yang ada di atasnya jatuh. Aku memilih duduk saja di pinggir ranjang sambil mengusap perutku yang baru hamil dua bulan.

”Setelah anak ini lahir, kamu akan aku ceraikan!”

Mataku terpejam ketika Tuan Hamiz memilih keluar kamar sambil membanting pintu. Kembali kuusap perutku yang belum membuncit. Semoga, anak yang kukandung tidak sedih mendengar ayahnya seperti itu.

Matanya yang sendu menatapku dua bulan lalu, membuatku semakin berandai jika Tuan Hamiz memiliki perasaan padaku. Tuan Hamiz dengan mulut menguarkan aroma alkohol, mendekap tubuhku hingga sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Kehormatanku direnggut oleh Tuan Hamiz di bawah pengaruh alkohol.

Kungkungannya yang kuat membuatku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku terlalu syok, hingga meraung pun tidak bisa. Aku menyukainya, Tuan Hamiz cinta pertamaku, tapi tidak seharusnya dengan cara seperti ini kami bersatu.

Tuan Hamiz yang kelelahan langsung tertidur, sedangkan aku memunguti bajuku satu per satu sembari menangis. Aku ingin bungkam tentang ini, akan tetapi pintu terbuka, Tuan dan Nyonya menganga menatap ke arah kami.

”Apa yang kamu lakukan, Alana!” pekik Nyonya. Tanganku diseret bahkan tidak menungguku selesai memakai baju. ”Beraninya kamu ngerayu anak saya! Dasar anak babu! Berandai saja nggak boleh, apa lagi sampai kamu jadi menantu saya!”

Hancur. Apa lagi saat kulirik noda kemerahan di sprei Tuan Hamiz, tanda kesucianku benar-benar terenggut. Benar, seharusnya untuk bermimpi bahkan berandai itu pun tidak boleh. Ibu tidak masuk hari ini karena sudah empat hari sakit. Aku seorang diri memunguti harga diriku yang sudah tumpah ruah. Melirik ke arah Tuan Hamiz yang masih berada di dalam selimut tanpa mendengar makian yang dilayangkan padaku.

Selang beberapa waktu, aku sudah mengetahui jika aku tidak mendapat menstruasi. Aku masih bungkam karena terlalu takut untuk meminta pertanggungjawaban. Tapi, Oma datang dan mendapatiku muntah-muntah di kamar mandi.

”Kamu harus minta Hamiz tanggungjawab ke Alana, Sarah.”

Aku terkejut karena oma mengatakan itu. Bahkan aku tidak dipecat saja sudah sangat bersyukur. Aku tidak bermimpi sejauh itu untuk menikah dengan Tuan Hamiz.

Nyonya Sarah menatapku penuh benci, bahkan meludah. ”Mana mungkin aku mau punya mantu babu, Ma!”

Oma merangkul bahuku, wajahnya sulit kunilai senang atau tidak. Tapi aku kembali hancur mendengar ucapan selanjutnya.

”Tanggung jawab karena itu kesalahan Hamiz, Sarah. Tanggung jawab sampai anaknya lahir dan memiliki identitas, setelah itu kasih saja uang dan rumah. Kamu juga harus buat perjanjian hitam di atas putih, kalo Alana nggak akan menuntut apa pun lagi. Anaknya lahir, ceraikan saja.”

***

Benar, pernikahan akhirnya terjadi dan aku tinggal bersama keluarga Tuan Hamiz. Meski sudah menjadi istri Tuan Hamiz, pembantu tetap pembantu. Profesi yang harus kukerjakan setiap harinya.

”Bu, perutku sering kram.”

Aku mengeluh ke ibu, sambil duduk di antara cucian piring yang menumpuk. Ibu memegang pipiku yang memar, aku hanya menggeleng.

”Hamiz?” tanyanya, aku hanya mengangguk.

”Nak, kita orang miskin, tapi tidak sepantasnya diperlakukan begini.” Ibu memelukku dan kami menangis bersama. Memang sangat sesak jika dirasa, tapi aku tidak memiliki solusi.

Ibu mendongak dan memegangi bahuku. ”Kita pulang kampung saja, Alana. Kita rawat anak kamu di kampung.”

Pandanganku nanar menatap ke depan. Keinginan untuk pulang ke kampung halaman sudah tersirat lama dalam benak, hanya saja cemoohan orang-orang di desa pasti lebih menyakitkan kuterima dibanding di sini. Kutatap meja makan yang panjangnya hampir sama dengan rumahku di desa. Meski penuh kekejaman mengisi rumah ini, aku masih dapat melihat Tuan Hamiz.

Bodoh. Tidak mengerti pada hatiku yang luluh lantak. Di relung jiwaku sana, aku masih berani berandai jika Tuhan menyatukan kami karena memiliki tujuan.

”Alana ....” Ibu memanggilku, membuatku kembali fokus terhadapnya. Tangannya memegangi kedua bahuku yang lunglai. ”Ibu nggak kuat liat kamu diperlakukan nggak baik begini.”

Tidak ada kata yang harus kujawab. Aku hanya kembali berdiri sambil menahan mual dan kembali mencuci piring yang menumpuk. Di saat seperti ini aku ingin menangis, tapi agaknya air mataku sedang enggan keluar.

Aku menghentikan sejenak aktifitas karena sedari tadi ibu mengguncang lenganku untuk menoleh, seakan bising mesin pengering pakaian tidak menjadi pengganggu. Ibu menatapku dalam dan kuakui, aku merasa sedikit takut.

”Kamu emang udah nikah sama Tuan Hamiz, tapi kamu tetap babu, Alana! Ikut ibu pulang! Ibu masih mampu untuk menghidupi anak kamu. Ibu--”

Sebelum ibu melanjutkan ucapannya yang membuatku semakin berandai untuk damai, aku menyela. ”Alana nggak bisa, Bu! Alana takut! Apa kata orang-orang di desa liat Alana udah hamil?” Akhirnya tangis yang kuingin tahan keluar deras. ”Alana udah cukup bikin malu dan dikenal nggak baik di sini. Tapi nggak di desa Bu, kasihan almarhum bapak.”

Bapak meninggal karena difitnah dan julukan anak maling masih melekat hingga kini. Aku bahkan bingung, sebenarnya, apakah aku memiliki tempat untuk bernaung? Ibu hanya diam dan memandangku dengan mata berkaca. Pakaian di dalam mesin cuci dikeluarkan dengan tergesa dan ditaruh ke dalam keranjang. Ibu menghentakkan kaki dan berlalu dari hadapanku.

Ibu marah terhadapku, sedangkan aku sangat murka dengan diriku sendiri. Aku segera membalik badan saat kudengar sepasang sepatu hak beradu dengan lantai, tanda Nyonya Sarah akan datang. Aku mengelap semua piring yang telah kucuci dan memilih untuk mengerjakan pekerjaan lainnya.

Nyonya Sarah hanya memandangku sinis ketika aku melewatinya. Tidak ada kata pada menantunya ini agar istirahat saja, tatapannya justru sangat benci terhadapku.

Saat aku melewati pintu utama, kudengar mobil Tuan Hamiz. Aku melongok sebentar hanya untuk melihat wajahnya setelah menamparku, namun aku memang tidak diperbolehkan berandai-andai. Tuan Hamiz datang dengan seorang wanita berkulit seputih susu berjalan melewatiku tanpa memandang.

”Eh, Dania. Sini duduk, Sayang.”

Nyonya Sarah bahkan mempersilakan tamu yang dibawa Tuan Hamiz. Wajahnya berseri menatap wanita semulus porselen itu.

”Maafin tante ya, Sayang. Pertunangan kalian harus diundur sementara waktu,” imbuh Nyonya. Tangannya memegang jemari lentik wanita bernama Dania.

Pertunangan? Mendadak oksigen di sekitarku seakan menipis hingga kesulitan bernapas.

”Sebenarnya ada masalah apa, Tante? Kenapa pertunanganku sampai diundur.”

Aku tidak tahu persis wajah Dania bagaimana sekarang, akan tetapi melihat Nyonya menatapku benci, aku memilih pergi saja dari pintu utama menuju halaman belakang. Namun karena aku berlari, aku tidak memerhatikan jalanku.

Bug! Aku menabrak Tuan Hamiz.

”Liat penampilan kamu,” kata Tuan Hamiz. ”Seujung kuku aja kamu bukan tipeku. Jangan berandai-andai kalau adanya anak itu bisa membuatmu jadi nyonya di sini.”

Tuan Hamiz kembali melangkah lebar, akan tetapi segera kupegang tangannya. ”Maafkan saya, Tuan.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ivans
Pesona istri ku sia2kan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status