Share

2.

last update Last Updated: 2023-06-27 07:42:00

”Kamu serius sama keputusan kamu, kan, Alana?”

Ibu menggenggam tanganku. Matanya kembali mengeluarkan buliran kaca yang siap pecah. Bibirnya yang mulai keriput bergetar.

Aku mengangguk dan membalas genggaman tangannya. ”Semoga kita bisa lebih damai di desa, Bu.”

**

Ya, aku akhirnya menyerah hanya karena melihat Nyonya Sarah dan Dania membicarakan tentang pernikahan. Pesta seperti apa yang Dania inginkan. Gaun apa yang hendak dipakai. Makanan apa saja yang hendak disajikan untuk para tamu. Bulan madu di mana dan memiliki berapa anak. Mengingat itu semua hanya membuat perutku kembali kram.

Ya, aku kira akan semudah dua bulan ini bersabar. Nyatanya sulit. Tubuhku seperti terbakar melihat Tuan Hamiz mencumbu Dania di kamar yang menjadi saksi kebrutalan Tuan Hamiz padaku. Kamar di mana kehormatanku hilang.

Argh!

Tanpa sadar aku berteriak dan memukuli kepala. Aku depresi hingga terasa sekarat. Mungkin sopir taksi online menilaiku orang aneh. Aku tidak perduli. Ibu justru kembali menangis dan menangkap tanganku agar berhenti melakukan itu.

Terngiang-ngiang bagaimana tawa ria Dania. Terngiang pula ucapan Tuan Hamiz ketika aku berpamitan padanya.

”Cukup tau diri juga ya? Lain kali jangan mimpi terlalu tinggi!” cibir Tuan Hamiz. Tangannya tetap melingkar pada pinggang Dania. ”Tulis nomor rekening kamu, biar saya transfer semua biaya hidup selama setahun.”

Tenggorokanku saat itu benar-benar tercekat. Wajahnya yang tampan tidak memperlihatkan penyesalan. Aku bertekad untuk membencinya. Membencinya sebisaku.

”Saya bertekad untuk membesarkan anak ini sendiri tanpa uang darimu, Tuan. Silakan jalani kehidupan dengan bahagia,” jawabku.

Aku mundur beberapa langkah sambil menunduk untuk menyembunyikan wajah yang memerah menahan tangis.

”Tuan Hamiz ... meski anak ini ada dari kesalahan, tapi anak ini tetap suci. Semoga, Tuan benar-benar akan berbahagia.”

Aku segera berlari untuk memasukkan semua baju-bajuku ke dalam tas, lalu kucari ibu yang ternyata tengah melamun didekat jemuran baju. Aku memeluk ibu dan meminta pulang seperti kata-katanya kemarin.

Kini aku tengah berdiri di bus yang hendak membawaku ke kampung halaman. Kuperhatikan sekeliling, masih menginginkan jika Tuan Hamiz akan berubah mencintaiku dan tergesa datang memintaku kembali pulang.

”Mereka justru sangat bahagia, Alana. Sudah, ayo kita masuk.” Ibu meraih tanganku, menuntunku memasuki bus.

Di dalam bus aku hanya diam menunggu kapan sopir akan melajukan roda empat ini. Setengah jam agaknya berlalu, aku menutup mata mencoba tidur.

”Balik ke rumah!”

Suara ini ...

”Pulang ke rumah! Sudah ada perjanjian hitam di atas putih kalo kamu tinggal di rumah sampai anak itu lahir!”

Nada ketus yang kukenal. Kubuka mataku dan melihat ibu berdiri menampilkan wajah terkejut sepertiku. Tuan Hamiz menjulang tinggi hampir mengenai atap bus.

”Kamu tuli?” imbuh Tuan Hamiz lagi.

Wajahnya nampak tersiksa ada di sini. Tangannya menggenggam tanganku dan menariknya agar aku berdiri. Aku masih dilanda kebingungan karena ... mengapa Tuan Hamiz di sini dan menggenggam tanganku? Bahkan kami berlari karena tiba-tiba hujan turun.

Aku berhenti, melepaskan tanganku. ”Saya mau pulang kampung, Tuan. Tuan Hamiz nggak perlu memikirkan bagaimana bayi ini. Saya akan--”

”Cih. Menurut kamu saya ada di sini karena bayi itu? Perjanjian sudah dibuat. Janji adalah janji,” ujar Tuan Hamiz, suaranya meninggi seakan ia ingin aku mendengar dengan jelas di tengah hujan. ”Pulang sekarang!”

”Maaf, Tuan. Saya mau pulang ke kampung saja.” Aku berbalik badan, namun Tuan Hamiz menggendongku hingga otakku berhenti berpikir. Aku tidak ingin berharap lagi. Aku tidak ingin jatuh lagi atau sekedar mengagumi.

”Tuan! Izinkan saya pulang! Saya nggak menuntut apa-apa. Sobek saja kertas perjanjian itu. Saya mau pulang.”

Aku berteriak bahkan ibu memegangi lengan Tuan Hamiz untuk melepaskan aku. Tuan Hamiz membuka pintu mobil dan mendudukkan aku di kursi depan dekat dengannya. Ibu dan Tuan Hamiz di luar agaknya terlibat cekcok dan tidak lama mereka berdua masuk ke dalam dengan wajah sulit diartikan.

”Tuan!” panggilku.

”Diam!”

Bentakan Tuan Hamiz membuatku bungkam. Nyaliku ciut melihat rahangnya mengeras.

***

Apa ini? Aku bertanya-tanya karena aku dan ibu diturunkan di rumah bercat ungu kombinasi dengan warna putih. Tuan Hamiz melangkah lebih dulu dan membuka pintu. Ibu pun menggenggam tanganku dan membawaku masuk.

”Ini rumahmu. Rumah yang keluargaku janjikan,” ujar Tuan Hamiz. ”Setiap saat kamu bisa saya pantau. Dan sekarang kamu akan saya perlakukan seperti istri sampai anakmu lahir,” imbuhnya.

Belum sembuh kebingunganku, Tuan Hamiz berlari ke mobil dan mengeluarkan koper membawanya ke kamar.

”Selama itu juga, saya tinggal di sini.”

Aku menoleh pada ibu, namun wajahnya sama bingungnya denganku.

”Sudah, lebih baik kamu ganti baju. Nanti biar ibu masakin sesuatu, siapa tau di kulkas ada bahan makanan.”

Aku menuruti apa kata ibu. Tas yang kubawa segera kujinjing, namun aku tidak tahu harus ke kamar yang mana. Aku sekamar bersama Tuan Hamiz? Melihat wajahnya saja sekarang aku takut.

”Sudah saya bilang, kamu bakal saya perlakuin selayaknya seorang istri. Masuk dan rapiin bajumu di lemari. Bajumu juga basah, apa harus aku mandiin juga?”

Aku melotot mendengarnya. Bagaimana bisa sikapnya bisa berubah drastis begini? Kubuka tasku dan memasukkan baju, kemudian menghilang di balik kamar mandi. Ini benar-benar tidak masuk akal. Meski satu jam lalu aku berpikir Tuan Hamiz mendatangiku, tapi ketika Tuan datang, aku merasa akan lebih menderita lagi.

Kuambil napas dalam-dalam, kemudian keluar kamar mandi sambil mengendap. Tuan Hamiz tengah menyusun sesuatu di meja rias, melihatnya memakai celana sependek itu membuatku berteriak spontan.

”Apaan, sih! Kamu aja pernah liat,” katanya.

Mataku kembali melotot dengan bibir menganga. ”Kapan aku melihatnya? Aku justru hanya menangis saat itu.” Aku bergumam karena memang begitulah kenyataannya.

”Saya tau kamu suka saya dari lama. Mungkin menurut kamu, adanya kejadian ini cara cepat kamu dapetin saya,” ujar Tuan Hamiz sambil diiringi tawa.

Aku berbalik badan untuk membalas perkataannya, akan tetapi Tuan Hamiz ternyata sudah berdiri di dekatku hingga dahiku terbentur dadanya. Kuusap dahi dan Tuan Hamiz lagi-lagi hanya tertawa.

”Tuan, soal surat perjanjian. Lupain surat itu. Nggak pa-pa kalau Tuan Hamiz nikah sama Dania.” Aku membuka obrolan karena aku memang curiga setengah mati melihat sikapnya melunak begini. Tidak mungkin kan, Tuhan mengabulkan doaku secepat kilat?

Tuan Hamiz berdiri setelah duduk dari ranjang. Ia mendatangiku hingga aku tersudut di tembok. Aku yang setinggi bahunya harus mendongak jika ingin melihat wajah Tuan Hamiz.

”Saya memang berencana nikah sama Dania, tapi setelah urusan saya selesai karena Dania nggak mau dipoligami,” jawab Tuan Hamiz.

Aku merutuki diri karena telah bertanya, pada akhirnya aku kembali merasakan perih.

”Saya seorang lelaki yang tepat janji. Nggak masalah, hanya setahun. Dan selama itu, jangan jatuh cinta sama saya.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    67.

    Lucas serba salah hendak mengambil keputusan bagaimana. Ia memang sekarang tengah berada di rumah Luna karena memang ingin menyaksikan acara lamaran kedua sahabatnya itu. Namun, kejadian naas justru terjadi. Luna kini pingsan setelah Lucas mendapat panggilan video dari Febiola.Ummi Sunita menghampiri Lucas dan memegang lengannya. Wajahnya khawatir. Lucas memang sudah memberitahu tentang talak yang diberikan Jack ke Dania dengan bagaimana perangai mantan istri sahabatnya. Ummi Sunita simpatik jika memang begitu alasannya. Tak ada lagi alasan untuknya membenci Jack yang hanya ingin memperbaiki diri ke jalan yang Allah berikan melalui putrinya."Aku harus pergi dulu, Tante. Kasihan baju Amora dan Leon nggak ada ganti. Di sana temanku pun kerepotan kalau menghandle semua sendirian.""Nak Lucas, ada di rumah sakit mana nak Jack?" tanya Ummi Sunita."Di Rumah Sakit Harapan, Tante."Lucas meninggalkan Luna yang masih tak sadarkan diri akibat syok luar biasa. Ummi Sunita kembali ke putrinya

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    66.

    "Alana!"Hamiz menggendong istrinya ke kamar dengan jantung berdegup kencang. Wajah istrinya sangat pucat dan terdapat darah yang keluar dari hidung. "Kita bawa Alana ke rumah sakit aja, Hamiz!" titah Sarah pada putranya.Tanpa pikir panjang karena pikirannya pun kalut melihat darah yang mengalir, Hamiz menggendong lagi istrinya menuju mobil. "Hati-hati, Nak, turun lewat lift!" Cegah Sarah saat melihat Hamiz hendak menuruni tangga. Akan sangat berbahaya jika Hamiz tergelincir dan akan menambah Alana semakin sakit."Bi, jaga Arsen di rumah," pesannya."Iya, Bu. Kita ke atas yuk, Anak Baik."Agar Arsen tak menangis, dialihkan ke ruang bermain. Sarah menyusul Hamiz yang sudah ada di dalam lift begitu lift terbuka ia bukakan pintu mobil untuk Hamiz. Alana ditaruh di belakang dalam posisi berbaring dengan kepala ditaruh di kedua paha Sarah.Namun, saat baru saja hendak membuka pintu mobil, Sarah mendapat telepon dari Oma. Meski sudah diabaikan, akan tetapi telepon seluler terus saja berd

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    65.

    Hari-hari Jack terasa kelabu. Meski di satu sisi hati kecilnya merasa lega telah mengambil keputusan untuk pergi dari hubungan yang tidak sehat, ia tetap saja lelaki yang rasa cintanya besar pada seorang wanita yang naasnya menyakiti. Pekerjaan yang digarapnya seolah tidak benar. Beberapa kali ia ditegur atasan di kantor karena beberapa kali melamun.Jack kini tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan dengan Lucas. Ucapan sahabatnya yang sedari tadi tak berhenti berbicara sama sekali tak ia dengarkan. Lucas yang menyadari hal itu menarik Jack memasuki cafe."Lo sebenernya kenapa sih, Bro? Berat amat kayaknya tu beban hidup," canda Lucas.Jack mengacak rambutnya sembari mengetatkan rahang. "Bisa gila, gila, gila gue, Lucas! 3 hari yang lalu gue ke apartemen Dania, rencana pengen tau kejelasan pernikahan gue gimana ke depannya. Gimana pun gue emang nggak tegas sebagai laki, makanya gue dateng ke dia bermaksud biar bisa tau langkah selanjutnya ke Luna juga. Tapi ... apa lo tau?""Da

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    64.

    Jack tak fokus dengan pekerjaannya. Pikirannya sendiri kacau perihal permintaan Ummi Sunita yang menginginkan adanya restu istri pertama. Sedangkan, bagaimana ia akan membicarakannya dengan Dania? Laptop yang masih menyala, ia tutup. Bu Linda menghampiri putra satu-satunya itu dan memberinya kopi. Bu Linda tahu kegelisahan apa yang tengah dihadapi oleh Jack."Saran ibu, kamu ceraikan saja si Dania, Jack. Dia juga nggak sayang sama kamu, terutama ke anak-anak. Kalo diteruskan, rumah tangga kalian jadi apa? Apa kamu mau kedua anakmu ikut ke jejak ibunya yang begitu?" Perlahan, Bu Linda yang memang tidak setuju memberi pengertian pada putranya agar secepatnya mengambil keputusan. Ia sudah menyukai Luna saat baru pertama bertemu."Jack bingung, Bu. Kadang di hati Jack nggak rela mau lepasin Dania, tapi liat Luna, Jack merasa benar menjadikannya istri meski Jack belum ada perasaan," jelasnya.Bu Linda mengusap rambut putranya yang memang tengah tidur di pangkuan. "Jack, kesampingkan rasa

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    63.

    Angin sore ini begitu kencang. Api yang sengaja dibuat menjilat-jilat ke sana ke mari karena angin yang tak tentu arah. Seorang gadis tengah menusuk marshmellow dan membakarnya pada api yang tengah besar menyala."Mau ngapain lagi kamu di sini?" Suara seorang lelaki membuatnya menoleh diiringi bunyi pintu yang dibuka kian lebar. Senyum ia buat semanis mungkin sembari mengacungkan marshmellow di tangan yang mulai berubah warna menjadi kecoklatan."Sini, duduk di sini." Gadis itu menepuk kursi kayu yang sengaja ia bawa jauh-jauh ke tempat itu. Dibukanya lagi box berisi sosis dan daging yang sudah ditusuk rapi."Anggap aja untuk menebus rasa bersalah karena kemarin sikapku keterlaluan. Aku tau kita nggak punya hubungan sama sekali, Niko. Aku hanya berusaha siapa tau kamu punya perasaan yang sama denganku." Niko menutup pintu dan menghampiri Sandra. Di pertemuan terakhir kali, ia pun merasa sedikit keterlaluan memperlakukan Sandra begitu. "Kamu mau camping, kok ada tenda di sini? Yang

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    62.

    Luna menghembuskan napas lega karena ternyata bukan mobil wanita yang ia takuti. Lucas mengikuti langkah Bu Linda, begitu juga Luna. Pandangannya menelisik ke sekeliling, malu jika Jack ternyata ada di rumah atau bahkan istrinya.Baru-baru ini, perihal video yang baru viral, ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hati. Ia takut, jika nanti Dania berbuat nekat seperti perbuatannya pada lelaki di video di mana sudah mantan, namun berani melawan istri sahnya."Leo, ada Tante Luna, salim dulu, Sayang," ucap Bu Linda, memanggil cucu pertamanya. Leo berdiri dari depan tv menuju Lucas untuk bersalaman, kemudian beralih pada Luna yang kini duduk di depan bocah itu mensejajarkan diri dengan Leo. Ia menelisik wajahnya, di mana duplikat Dania dan Jack. Tampan, namun ia merasa kasihan karena tubuh bocah 5 tahun itu yang kurus."Leo suka lego nggak?" Leo tersenyum dan mengangguk. "Suka, Tante! Papa beliin aku lego banyak banget. Sini ... ikut Leo ke ruang bermain. Lihat susunan lego yang udah a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status