Share

3.

Penulis: Syiffa Natasya
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-28 06:59:38

”Iya, Sayang. Kurang dari setahun kita bisa kayak biasa lagi.”

Aku mendengar suara Tuan Hamiz tengah menelfon seseorang. Tuan Hamiz berada di dekat kolam ikan yang menyatu dengan taman. Dari caranya menelfon, sudah pasti itu Dania.

”Aku nggak bisa nyuruh gugurin. Tenang aja, Sayang. Lagian di surat perjanjian juga, Alana nggak bisa nuntut apa-apa lagi.”

Seharusnya aku memang tidak perlu berharap, bukan? Perkataan Tuan Hamiz sudah jelas. Jus alpukat yang hendak kuberi padanya kuurungkan. Lebih baik aku kembali ke dalam rumah. Kupijat pelipisku dan juga mengusap perut. Entah dosa apa yang kulakukan hingga Tuhan memberiku cobaan sebesar ini.

”Alana, kenapa jusnya belum kamu kasih ke Tuan Hamiz?” Ibu mendekat dan mengambil tempat duduk di sebelahku.

”Tuan Hamiz lagi telfon sama orang kantor, Bu,” jawabku, memang berbohong.

Ibu mengusap perutku dan memandangi wajahku seperti ada noda di sana. Aku tersenyum, tanpa mengatakan apa pun, aku ingin ibu melihatku baik-baik saja.

”Seenggaknya kita lebih baik di sini, Alana, dibanding di rumah nyonya. Ibu nggak suka liat kamu dimaki-maki setiap hari, padahal kesalahan ini bukan salah kamu.” Ibu menunduk.

Aku mengusap tangannya. ”Aku baik-baik saja, Bu. Aku baik-baik saja sekali pun hidupku ke depannya bakal berubah drastis.”

”Eh? cucu ibu nggak pernah ke dokter buat periksa. Gimana si kamu, Nak. Ayo siap-siap, kita pergi ke dokter.”

”Sama saya saja, Bu.”

Sontak aku dan ibu menoleh bersamaan karena Tuan Hamiz yang berinisiatif untuk mengantar ke dokter kandungan. Mata ibu bahkan tidak berkedip. Aku memilih mengiyakan saja dan menuju kamar untuk berganti baju.

Aaakkh! Aku jelas berteriak, karena Tuan Hamiz menyelinap masuk begitu saja saat aku hendak membuka baju. Kuurungkan niat dan segera mengambil baju di ranjang memilih berganti di kamar mandi.

Lamat-lamat kudengar tawa dari Tuan Hamiz. Ada perasaan jengkel dalam hatiku. Kurang dari setengah jam, ia sudah menjanjikan sesuatu pada Dania. Namun sikapnya seolah suami siaga.

Kubuka pintu kamar mandi setelah puas menggerutu. Melihatnya sudah ada di depan meja rias dan menarik tanganku agar duduk di sebelahnya, mau tak mau aku menurut.

”Dania sering pake ini biar mukanya kinclong.” Tuan Hamiz membuka salah satu tutup skincare dan menyerahkan padaku, ”tenang saja, ini aman untuk ibu hamil.”

Memang harus membawa nama Dania? Kuhela napas dalam sedalamnya. Tidak kupakai skincare itu, tapi Tuan Hamiz berdecak dan mengolesiku tanpa diminta. Kepalaku spontan mundur karena sangat terkejut dengan perlakuan Tuan Hamiz.

”Tuan, kita hanya pura-pura biar anak yang saya kandung punya identitas. Tapi kenapa ... sikap Tuan begini,” tanyaku sambil menunduk.

”Dania nggak mau punya anak sekali pun aku dan dia nikah.” Tuan Hamiz mengangkat daguku agar lebih mudah untuk ia pakaikan cream.”Dan gantinya, anakmu tetap jadi anakku meski surat perjanjian sudah dibuat.”

Aku segera berdiri sambil memandangnya emosi. Enak saja, bukan Dania yang mengandung. Aku yang harus menahan mual dan tidak enak untuk makan, orang lain yang harus menimang.

”Aku nggak bawa bayi itu dari rumah ini. Dari awal sudah kubilang, ini rumah kalian bersama bayi itu--”

Kusela ucapan Tuan Hamiz. ”Bukan bayi itu, ini bayimu! Anakmu! Darah dagingmu! Apa Tuan sebegitu mudah mencemooh bayi yang saya kandung ini?! Apa nggak bisakah, Tuan, bilang ini anakku? Bagaimana pun Tuan memulainya, ini anak yang suci tanpa harus terlibat dosa orang tuanya! Bukan, ayahnya!”

Aku sudah gemetar dan menangis karena sakit hati. Setiap Tuan Hamiz mengatakan tentang bayi yang kukandung, Tuan Hamiz akan selalu mengatakannya seperti itu. Apa salahnya mengakui ini anaknya?

Tuan Hamiz mendekat berusaha mengusap pundakku, tapi aku segera mundur beberapa langkah agar tak ia sentuh lagi setelah hari itu.

”Tuan, saya orang miskin. Tapi apa Tuan tau bagaimana sulitnya saya menerima ini? Saya masih kuliah, Tuan. Saya punya banyak mimpi, maka dari itu saya rendahkan diriku untuk ikut bekerja di rumah Tuan. Tapi ... Tuan menghancurkan segenap mimpi dan hati saya.”

Tidak kuhiraukan suara yang semakin bergetar dan tidak terdengar jelas. Aku bahkan merasa sangat lemas setelah menangis dan terduduk di lantai. Akhirnya, apa yang ingin kuucapkan terucap dengan lugas. Kututupi wajahku yang memerah, aku merasa bukan menjadi diriku setelah kehamilan ini. Terlalu banyak perasaan was-was yang kurasa.

Sebuah tangan melingkari pinggangku. Aku meronta karena ternyata Tuan Hamiz yang tengah berusaha melingkarkan tangannya.

”Maaf,” ucap Tuan Hamiz.

***

Aku sudah berbaring di ranjang pasien di depan dokter kandungan. Perawat cantik yang ditugaskan menaruh cairan gel padaku dengan sikap membuka baju. Dokter memutar-mutar transducer di sana sambil melihat monitor. Kulihat Tuan Hamiz menganga melihat benda kecil yang bergerak-gerak karena transducer itu. Kulihat di ujung matanya meleh air bening.

”Sekarang kita dengar detak jantungnya si bayi ya, Pak, Bu.”

Kami mengiyakan pada dokter secara bersamaan. Tak begitu lama, Dokter Fransiska mengarahkan alat yang tak kuketahui namanya itu dan terdengar detak jantung. Aku tersenyum haru hingga hanya bisa tersenyum.

Gel di perut segera dibersihkan oleh perawat cantik tadi dan dokter memberikan resep untuk ditebus di tempat pengambilan obat.

”Bayinya berkembang dengan baik, ya, Pak. Tolong jangan membuat Bu Alana stress. Ibu hamil cenderung lebih mudah stress dan berganti mood. Cukupi juga gizinya agar berat bayi sesuai,” pesan Dokter. ”Saat ibu hamil tertekan dan stress, bayi yang di dalamnya juga ikut terkena imbas, Pak.”

”Baik, Dok.”

Kami berjalan beriringan setelah keluar dari ruangan. Tuan Hamiz bahkan menggandeng tanganku ke ruangan pengambilan obat. Aku berusaha melepaskan, tapi tangan Tuan Hamiz meraihnya lagi.

”Anakku harus baik-baik saja di dalam, jangan dilepas, nanti kamu jatuh.”

Aku berdecak mendengar amanatnya yang telat diucapkan.

”Kamu duduk di sini saja, aku yang ambil obat.”

Belum kujawab, tapi Tuan Hamiz sudah menghilang di balik koridor. Aku duduk sambil memainkan ponsel agar tidak bosan.

”Panggilan kepada Bu Dania Rahma untuk segera ke ruang ICU.”

Aku sontak mengangkat wajahku mencari si pemilik nama. Apakah Dania yang sama? Ya, ternyata Dania yang sama tengah berjalan menuju ruangan ICU. Sejenak jantungku berdetak lebih kencang. Apakah ...? Tidak, tidak mungkin.

Seorang lelaki berkulit sawo matang dengan tato di tangan mengikuti Dania dan menggandeng tangannya. Mereka berdua tampak akrab.

”Pasti anak kita baik-baik saja, Sayang.”

Kini aku tercekat mendengarnya. Sayang? Lalu Tuan Hamiz? Aku mengikuti kedua orang itu dan melihat dari kaca yang ternyata seorang anak lelaki memakai banyak selang di hidung dan kabel rumit di dada.

Aku kembali ke tempatku duduk, ternyata Tuan Hamiz sudah selesai dan menunggu. Apa harus kukatakan pada Tuan Hamiz tentang yang kulihat ini? Namun, apa Tuan Hamiz akan percaya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    67.

    Lucas serba salah hendak mengambil keputusan bagaimana. Ia memang sekarang tengah berada di rumah Luna karena memang ingin menyaksikan acara lamaran kedua sahabatnya itu. Namun, kejadian naas justru terjadi. Luna kini pingsan setelah Lucas mendapat panggilan video dari Febiola.Ummi Sunita menghampiri Lucas dan memegang lengannya. Wajahnya khawatir. Lucas memang sudah memberitahu tentang talak yang diberikan Jack ke Dania dengan bagaimana perangai mantan istri sahabatnya. Ummi Sunita simpatik jika memang begitu alasannya. Tak ada lagi alasan untuknya membenci Jack yang hanya ingin memperbaiki diri ke jalan yang Allah berikan melalui putrinya."Aku harus pergi dulu, Tante. Kasihan baju Amora dan Leon nggak ada ganti. Di sana temanku pun kerepotan kalau menghandle semua sendirian.""Nak Lucas, ada di rumah sakit mana nak Jack?" tanya Ummi Sunita."Di Rumah Sakit Harapan, Tante."Lucas meninggalkan Luna yang masih tak sadarkan diri akibat syok luar biasa. Ummi Sunita kembali ke putrinya

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    66.

    "Alana!"Hamiz menggendong istrinya ke kamar dengan jantung berdegup kencang. Wajah istrinya sangat pucat dan terdapat darah yang keluar dari hidung. "Kita bawa Alana ke rumah sakit aja, Hamiz!" titah Sarah pada putranya.Tanpa pikir panjang karena pikirannya pun kalut melihat darah yang mengalir, Hamiz menggendong lagi istrinya menuju mobil. "Hati-hati, Nak, turun lewat lift!" Cegah Sarah saat melihat Hamiz hendak menuruni tangga. Akan sangat berbahaya jika Hamiz tergelincir dan akan menambah Alana semakin sakit."Bi, jaga Arsen di rumah," pesannya."Iya, Bu. Kita ke atas yuk, Anak Baik."Agar Arsen tak menangis, dialihkan ke ruang bermain. Sarah menyusul Hamiz yang sudah ada di dalam lift begitu lift terbuka ia bukakan pintu mobil untuk Hamiz. Alana ditaruh di belakang dalam posisi berbaring dengan kepala ditaruh di kedua paha Sarah.Namun, saat baru saja hendak membuka pintu mobil, Sarah mendapat telepon dari Oma. Meski sudah diabaikan, akan tetapi telepon seluler terus saja berd

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    65.

    Hari-hari Jack terasa kelabu. Meski di satu sisi hati kecilnya merasa lega telah mengambil keputusan untuk pergi dari hubungan yang tidak sehat, ia tetap saja lelaki yang rasa cintanya besar pada seorang wanita yang naasnya menyakiti. Pekerjaan yang digarapnya seolah tidak benar. Beberapa kali ia ditegur atasan di kantor karena beberapa kali melamun.Jack kini tengah berada di salah satu pusat perbelanjaan dengan Lucas. Ucapan sahabatnya yang sedari tadi tak berhenti berbicara sama sekali tak ia dengarkan. Lucas yang menyadari hal itu menarik Jack memasuki cafe."Lo sebenernya kenapa sih, Bro? Berat amat kayaknya tu beban hidup," canda Lucas.Jack mengacak rambutnya sembari mengetatkan rahang. "Bisa gila, gila, gila gue, Lucas! 3 hari yang lalu gue ke apartemen Dania, rencana pengen tau kejelasan pernikahan gue gimana ke depannya. Gimana pun gue emang nggak tegas sebagai laki, makanya gue dateng ke dia bermaksud biar bisa tau langkah selanjutnya ke Luna juga. Tapi ... apa lo tau?""Da

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    64.

    Jack tak fokus dengan pekerjaannya. Pikirannya sendiri kacau perihal permintaan Ummi Sunita yang menginginkan adanya restu istri pertama. Sedangkan, bagaimana ia akan membicarakannya dengan Dania? Laptop yang masih menyala, ia tutup. Bu Linda menghampiri putra satu-satunya itu dan memberinya kopi. Bu Linda tahu kegelisahan apa yang tengah dihadapi oleh Jack."Saran ibu, kamu ceraikan saja si Dania, Jack. Dia juga nggak sayang sama kamu, terutama ke anak-anak. Kalo diteruskan, rumah tangga kalian jadi apa? Apa kamu mau kedua anakmu ikut ke jejak ibunya yang begitu?" Perlahan, Bu Linda yang memang tidak setuju memberi pengertian pada putranya agar secepatnya mengambil keputusan. Ia sudah menyukai Luna saat baru pertama bertemu."Jack bingung, Bu. Kadang di hati Jack nggak rela mau lepasin Dania, tapi liat Luna, Jack merasa benar menjadikannya istri meski Jack belum ada perasaan," jelasnya.Bu Linda mengusap rambut putranya yang memang tengah tidur di pangkuan. "Jack, kesampingkan rasa

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    63.

    Angin sore ini begitu kencang. Api yang sengaja dibuat menjilat-jilat ke sana ke mari karena angin yang tak tentu arah. Seorang gadis tengah menusuk marshmellow dan membakarnya pada api yang tengah besar menyala."Mau ngapain lagi kamu di sini?" Suara seorang lelaki membuatnya menoleh diiringi bunyi pintu yang dibuka kian lebar. Senyum ia buat semanis mungkin sembari mengacungkan marshmellow di tangan yang mulai berubah warna menjadi kecoklatan."Sini, duduk di sini." Gadis itu menepuk kursi kayu yang sengaja ia bawa jauh-jauh ke tempat itu. Dibukanya lagi box berisi sosis dan daging yang sudah ditusuk rapi."Anggap aja untuk menebus rasa bersalah karena kemarin sikapku keterlaluan. Aku tau kita nggak punya hubungan sama sekali, Niko. Aku hanya berusaha siapa tau kamu punya perasaan yang sama denganku." Niko menutup pintu dan menghampiri Sandra. Di pertemuan terakhir kali, ia pun merasa sedikit keterlaluan memperlakukan Sandra begitu. "Kamu mau camping, kok ada tenda di sini? Yang

  • Bukan Budak Nafsu Majikan    62.

    Luna menghembuskan napas lega karena ternyata bukan mobil wanita yang ia takuti. Lucas mengikuti langkah Bu Linda, begitu juga Luna. Pandangannya menelisik ke sekeliling, malu jika Jack ternyata ada di rumah atau bahkan istrinya.Baru-baru ini, perihal video yang baru viral, ada rasa takut yang menyelinap ke dalam hati. Ia takut, jika nanti Dania berbuat nekat seperti perbuatannya pada lelaki di video di mana sudah mantan, namun berani melawan istri sahnya."Leo, ada Tante Luna, salim dulu, Sayang," ucap Bu Linda, memanggil cucu pertamanya. Leo berdiri dari depan tv menuju Lucas untuk bersalaman, kemudian beralih pada Luna yang kini duduk di depan bocah itu mensejajarkan diri dengan Leo. Ia menelisik wajahnya, di mana duplikat Dania dan Jack. Tampan, namun ia merasa kasihan karena tubuh bocah 5 tahun itu yang kurus."Leo suka lego nggak?" Leo tersenyum dan mengangguk. "Suka, Tante! Papa beliin aku lego banyak banget. Sini ... ikut Leo ke ruang bermain. Lihat susunan lego yang udah a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status