POV Rayyan
Brakkk... Blummm... Brakkk."Nasha..."Aku membuka mataku, aku masih di dalam mobil. Posisi mobilku terbalik ke kanan. Area bahu kananku sakit, sepertinya ada yang patah mungkin tulang selangka. Rembesan darah keluar dari area kepala bagian kananku. Mungkin karena terkena serpihan kaca. Nafasku agak tersendat. Beberapa orang berusaha membalik mobilku, aku mendengar mereka bersuara walau samar. Nasha... Hanya nama istriku yang kuingat. Ya Allah kalau aku boleh meminta, beri aku kesempatan untuk bersamanya sampai aku tua.Aku merasakan tubuhku ditarik oleh beberapa orang. "Mas, Mas bisa dengar gak?""Mas, astaghfirullah Masnya terluka.""Hati-hati.""Pelan-pelan nariknya.""Kamu coba pegang yang sana!"Aku hanya bisa mendengar percakapan mereka tanpa mampu menjawab. Mereka bergotong royong mencoba mengeluarkanku dan berhasil. Beberapa orang mengangkatku dan membawaku menuju mobil bak terbuka yang entah mereka dapat darPOV NashaDua hari aku dirawat di rumah sakit. Setelah dicek keadaanku dan si kembar kami akhirnya pulang menuju rumah kedua orangtuaku. Sebelumnya kami mampir sebentar ke Orthopedi dengan mengajukan ijin menemui suamiku. Untung nama Mas Rayyan kategori dikenal oleh rekan sesama dokternya dan pihak rumah sakit pun mengijinkan.Tangis bahagia Mas Rayyan tak dapat dibendung, karena belum bisa bergerak leluasa si kembar hanya bisa ditaruh dalam dekapan sang Ayah bergantian. Begitupun denganku yang memeluknya mesra sebagai tanda kerinduan.*****Malam nanti acara akikah dan pemberian nama kedua putraku. Usia si kembar sudah seminggu. Keadaan Mas Rayyan sedikit membaik. Tangan kirinya sudah leluasa digerakkan sedangkan bahu kanannya harus menggunakan shoulder support.Mas Rayyan berubah menjadi bayi tua manja. Sebentar-sebentar meminta Rania meneleponku. Aku yang tengah sibuk mengurusi si kembar kadang tidak mengangkat teleponnya. Dan dia jadi marah-marah."
17 Tahun Kemudian"Mah, mana sepatu Royyan?""Mah, lihat buku Reihan gak?""Mah, kucirin rambut Fiqa.""Dek. Kamu lihat dasi warna biru punyanya Mas gak?""Nyam... Nyam... Nyam... Agi... Agi... Nak... Nak."Aku menghembuskan nafasku. Teriakan empat orang terkasihku sudah menggema rupanya. Inilah drama pagiku setiap hari. Padahal setiap malam aku sudah memastikan semua keperluan mereka tanpa sedikitpun yang terlupa. Tetapi pada prakteknya selalu begini."Roy, sepatu kamu di teras depan dekat pot bunga, kamu kemarin lupa asal naruh disana," teriakku."Rei, buku kamu ada di nakas dekat televisi, kamu tadi malam bawa kesana sambil nonton TV.""Mas, dasi Mas Rayyan ada di laci nomer dua.""Fiqa sini Nduk, ambil sisir, gelang karet sama jepitannya.""Oke Mah," seru semuanya kompak.Aku pun melanjutkan menyuapi Fina yang masih berusia tiga tahun. Anak keempatku yang kehadirannya tidak kusadari. Aku pikir aku gak baka
"Dek..." seru Mas Rayyan."Dalem," ucapku sambil memakaikan baju pada si bungsu, Rafina."Mana dompet Mas?"Aku menghembuskan nafasku kasar. Duh suamiku ini gak pernah berubah. Sikap pelupanya itu loh. Untung cinta."Di meja kerja coba cari!"Hening."Gak ada," teriaknya."Coba di meja rias Mas, kalau enggak di lacinya kalau enggak di kasur. Tadi malam kayaknya Mas ngambil uang buat beli bakso dech." Aku melanjutkan mendandani putri kecilku."Gak ada Dekkkkk."Huft... Setelah selesai dengan putri bungsuku, aku segera masuk ke kamar melewati Mas Rayyan yang sibuk memporak-porandakan kamar. Lalu langsung mencari dompet Mas Rayyan yang ngumpet di sela-sela tumpukan bantal."Ini apa Mas?" aku menyerahkan dompet kepadanya.Dia cuma menampilkan senyum pepsodentnya. Duh, manis."Mas... Mas... Sifat pelupa kok dipelihara, makanya kalau naruh barang penting itu jangan sembarangan. Taruh dong ditempatnya," omelku."Hehehe. Gak p
1. Naira"Assalamualaikum. Gimana Mas?" suara adik jutekku di seberang sana."Mas lagi ada kerjaan mendadak. Mesti balik dulu ke Cilacap sekalian pulang. Kamu nanti mau nitip dibawain apa?" sahutku."Gethuk sama keripik tempe buatan Eyang putri ya Mas.""Oke. Hati-hati ya kamu. Apa aku suruh Elang buat jemput kamu.""Plis deh Mas, aku udah gede kali gak usah main jemput kenapa?""Hahaha. Okelah. Hati-hati ya adekku yang paling jutek tapi gak paling cantik." Aku memutuskan sambungan telepon dengan Fiqa kemudian kuhubungi seseorang."Gimana Roy?" Suara seseorang diseberang sana."Katanya kamu lagi ikut temenmu ya menyelidiki sebuah kasus di Jogja?""Iya bener? Kenapa?""Bisa nitip adik jutekku bentar gak malam ini?""Hahaha." Terdengar suara tawa di seberang sana."Kenapa kamu ketawa?""Karena kamu lucu Roy, lupa adikmu itu pemegang sabuk hitam.""Iya, tetep aja aku was-was. Soalnya dia lagi main ke club.""B
POV AyanaSuasana riuh tengah berlangsung di sebuah hotel. Maklumlah ini adalah pernikahan istimewa yang melibatkan dua keluarga besar dan terpandang. Dekorasi mewah, makanan yang mewah serta para tamu dengan penampilan wah persis dengan penampilanku yang juga sangat mewah dan wah.Aku hanya duduk sambil menatap wajahku di cermin. Cantik. Aku hanya tersenyum.Ceklek.Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Aku tersenyum membalas senyuman ramah dari seseorang."Mas Arfan.""Aya. Kamu cantik sekali.""Terima kasih, Mas."Mas Arfan menatapku tajam membuatku kikuk. Sungguh tatapannya membuatku canggung. Kecanggunganku terhenti dengan kedatangan pria lain yang tak kalah tampan dengan Arfan. Amir, calon suamiku."Kamu cantik sekali Aya. Aku gak sabar segera menjalani malam pertama kita," ucapnya santai.Aku sungguh malu mendengar omongannya sedangkan Mas Arfan terlihat membuang muka."Ayok. Kita keluar Sayan
POV RoyyanKeluarga kami sedang dilanda entah bahagia entah musibah. Bingung ngomongnya. Jadi, adik nomer tigaku si Rafiqa Nara Paramitha bikin geger. Dia minta dinikahkan sama cowok yang melamar dia kemarin di hari wisuda kami. Namanya Elang. Ckckck. Papah dan Mamah sempat kaget tapi Papah mengijinkan mereka menikah setelah Elang dan kedua orang tuanya datang melamar.Sebenarnya aku sempat heran dengan Papah. Papah itu tipe ayah yang posesif banget tapi kok dengan gampangnya mengijinkan Fiqa nikah sama tuh si Elang. Seperti bukan Papah banget.Fiqa juga aneh. Aku tahu selama ini Elang ngejar-ngejar Fiqa. Tapi bukannya Fiqa cuek ya? Kok ini mau-maunya dilamar dia? Dadakan lagi, nikahnya juga terkesan dadakan, hem ... jadi curiga.Aslinya aku agak gimana gitu pas tahu calonnya Fiqa namanya Elang. Haduh, aku jadi kepikiran sahabatku sejak SMP itu, gimana ya perasaannya kalau sampai tahu Fiqa mau nikah. Calonnya Fiqa namanya sama pula ma dia.
POV AyanaMalam ini, pertama kalinya aku merasakan kehangatan keluarga. Ada ayah, ibu, kakak dan adik. Sesuatu yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.Aku tahu Fiqa punya kakak kembar. Dan aku tahu pula yang kutemui sejak tadi itu Royyan. Entah kenapa aku bisa membedakan kedua kakak Fiqa dari sorot matanya. Mereka berdua sama-sama ganteng hanya saja entah kenapa dari awal, aku selalu terpesona pada tatapan Mas Royyan. Tatapan matanya sangat lembut mirip mendiang papahku.Aku kehilangan kedua orang tuaku saat masih kecil. Katanya saat usiaku satu tahun. Mereka meninggal karena kecelakaan pesawat saat akan pergi ke Malaysia.Aku tak pernah tahu seperti apa wujud aslinya, hanya berupa lembaran foto yang tertangkap melalui retina mataku.Eyangku Aditya Pratama salah satu pengusaha tekstil terkenal di Jakarta. Kami memiliki darah Jawa, katanya. Tapi aku tak tahu Jawa bagian mana tepatnya. Karena yang kutahu sejak dulu aku tinggal di Jakarta.
POV RoyyanAku menyandarkan tubuhku pada sofa ruang tamu. Capeknya. Berangkat pagi pulang malam. Sebulan ini pekerjaanku benar-benar melelahkan. Wuih."Mas ...," bisik sebuah suara lembut."Astaghfirulloh! A ... Andita." Aku kaget, ART yang direkomendasikan Mbok Ijah tiba-tiba datang menghampiriku."Mas Royyan baru pulang?""Iya.""Mau saya masakin air anget Mas, mau saya bikinin kopi atau mau saya pijitin," tawarnya."Gak usah! Sudah sana kamu tidur aja."Aku memilih segera masuk ke kamarku. Fuih.Andita itu ART yang baru bekerja selama seminggu di rumahku, dia cucu tetangganya Mbok Ijah. Gadis berusia 20 tahunan yang katanya gak bisa melanjutkan kuliah karena terhalang biaya. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh padanya.Dia itu seperti sengaja menggodaku. Seringkali kudapati dia berpakaian yang terlalu terbuka, belum lagi tingkah lakunya yang seperti berusaha menggodaku. Aku bingung, takutnya mem