“Apakah kau bersedia?”
Pria di seberang meja kembali bertanya, mengkonfirmasi tetapi aku masih belum mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. Alih-alih memikirkan jawaban sebenarnya aku sedan membawa ingatanku ke beberapa hari sebelumnya, ketika untuk pertama kalinya sejak surat dari perusahaan turun dan kami mengirimkan balasan melalui Pak Suseno untuk meminta pertemuan di dampingi pengacara, aku kembali mendatangi perusahaan.
Kali itu suasana cukup ramai sebab Alicia dan Doni juga ikut serta. Pun tuntutan kami lebih jelas, meminta pertanggung jawaban mereka mengenai dugaan percobaan intimidasi kepada kakakku. Kami ingin Pak Roy diturunkan, dan menjelaskan apa yang sebenarnya telah dia lakukan kepada Ruben. Terlebih menurut kepolisian, dua hari sebelum Ruben ditemukan menggantung dirinya di sel, Pak Roy lah yang sempat datang menemuinya.
“Mereka bicara cukup lama,” terang seorang sipir yang kami sebut sebagai Bu Ambar.
Dan ironisnya, meskipun secara medis Ruben telah pulih. Sayangnya, secara mental kakakku tidak pernah benar-benar sembuh. Tubuh Ruben semakin kurus, setelah dia menolak mengonsumsi apa pun. Seminggu di rumah sakit, dia hanya makan melalui selang infus.
“Kami berencana membawanya ke rumah sakit jiwa,” terang kepala penjara kepada kami. “Dia akan mendapatkan penanganan di sana. Yang lebih cocok untuk kondisinya.”
Tapi, kenapa?
Kakakku tidak gila!
Namun, menurut Robin itu wajar. “Kakakmu memang tidak gila. Tidak ada yang boleh menyebutnya gila. Tapi rumah sakit jiwa tidak selalu untuk orang gila, Sayang. Seperti namanya ..., Rumah Sakit Jiwa untuk mereka yang sakit secara jiwa.”
*_*
Sama seperti demo-demo sebelumnya, kami datang membawa segenggam harapan. Pagi itu, Robin yang nyetir. Kami mengendarai mobil bak terbuka milik Doni yang biasa digunakan untuk mengangkut sayuran.
Pria berwajah oriental itu bahkan langsung menjemput kami ketika pulang dari pasar. Lengkap dengan berbagai macam sayuran layu yang berserakan di bak belakang mobilnya, bekas ceceran sayur jualan sang ibu.
Setelah aku dan Alicia naik, kami bergegas menuju rumah orang tua Robin. Dia sudah menunggu kami, membawa sarapan untuk amunisi. Nasi goreng buatan ibunya memang tak ada duanya. Selain enak, porsinya pun sangat banyak. Cukup untuk membuat dan Alicia kekenyangan setelah menyantap satu bungkus berdua.
Aku heran bagaimana bisa Robin dan Doni menghabiskan makanan itu sebungkus untuk masing-masing? Tidakkah perut mereka terlalu penuh?
“Laki-laki butuh lebih banyak bahan bakar,” canda Doni. “Jaga-jaga kalau si Roy-Roy itu berani keluar. Akan langsung aku bogem mukanya sampai bonyok. Kalau perlu sampai giginya rontok.” Dia menyendok nasi, menyumpalkan ke dalam mulut. Sambil mencucu kepenuhan, dia mengunyah sarapan seolah itu makanan pertama yang dia santap setelah seribu tahun berpuasa.
“Akan kukirim dia ke neraka,” seru Alicia, tak kalah bersemangat. “Bahkan iblis pun akan ketakutan melihat kita menghajarnya.”
Sayangnya, rencana cuma rencana.
Kami masih cukup waras untuk menahan diri. Kami sudah pasti tak mau tambah masalah dengan menghajar pria sialan itu. Karena kalau sampai kami dipenjara, siapa yang akan memperjuangkan nasib Ruben? Apalagi setelah dia dikirim ke Malang untuk mendapat pengobatan. Untungnya, Robin cukup fleksibel. Dia yang kerja bolak-balik Malang Surabaya sesekali akan mengecek Ruben.
“Itu tanggung jawabku,” katanya. “Kakakmu juga kakakku.”
Nikmat mana lagi yang layak aku dustakan? Setidaknya, keberadaan Robin dan keluarganya menjadi amunisi terbesarku sekarang. Keluarganya pun juga sangat membantu. Mereka tidak malu memiliki calon menantu seorang adik kriminal sepertiku.
Ruben bukan kriminal, kita sepakat itu. Tapi apakah orang di luar kasus peduli? Mereka hanya melabeli kakakku, menghakiminya tanpa tahu cerita sebenarnya. Tanpa mau tahu, malah.
Tak bisa kubayangkan hidupku tanpa mereka. Tanpa kedua sahabat setiaku, Dion dan Alicia. Aku bisa apa?
*_*
Terima kasih sudah membaca sejauh ini
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Kami langsung berangkat ya, Ma!" Juna mencium pipi Nyonya Anggara, kemudian menggandeng tangan Tami. Keduanya keluar dari rumah, menaiki mobil dan hanya ditatap dengan senyuman tipis di wajah wanita tua itu.Nyonya Anggara sejujurnya tidak ingin berprasangka buruk pada anak dan menantunya, hanya saja dia masih heran dengan sang menantu sebab Tami terlalu banyak menyimpan rahasia, seolah ingin menyembunyikan segalanya darinya. Padahal jelas Nyonya Anggara penasaran. Kenapa? Ya, kenapa dia seolah tidak pernah mengenali keluarga menantunya sendiri. Bahkan paman dan bibi Tami, tidak dia kenali sama sekali.Lalu, dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. Dia hendak menghubungi Viviane tapi mobil perempuan itu telanjur datang lebih dahulu."Ma? Tami mana?" tanya Viviane. Nyonya Anggara menjawab, "Ikut Juna ke acara peluncuran buku.""Di toko buku Gramedia?""Ya.""Ya ampun!" Viviane menghela napas panjang. "Terus gimana? Mama sudah bicara sama Tami?"Nyonya Anggara mengangguk. "Tapi, katanya
"Makan dulu," kata Juna sambil meletakkan piring berisi nasi goreng buatan ibunya ke samping ranjang Tami. "Udah nggak usah terlalu dipikirin. Nanti rumah sakit."Tami mengalihkan wajahnya dari Juna. "Enak banget kalau ngomong. Belum tahu ya rasanya disakitin, dikhianatin sampai segitunya sama pacaran dan sahabat sendiri.""Aku paham perasaan kamu. Meskipun kasus kita beda tapi rasanya tetap sama, gak beda jauh lah.""Ya bedalah, Mas. Kamu emang niat bikin mereka cemburu, kamu niat menjauhkan vivian dari kamu. Sementara aku? Semua yang kulakukan buat Ruben seolah-olah nggak ada harganya. Dia malah selingkuh di rumah kami. Kenapa sih harus sahabat aku sendiri? Cewek lain saja."Dunia tersenyum selalu menarik napas panjang. "Emangnya kalau ceweknya bukan Gina, buat kamu nggak masalah?""Ya tetap masalah sih, Mas. Tapi kan gak akan sesakit inilah saatnya.""Alasan." juna mencibir. "Terus rencana kamu sekarang apa?"Tami mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Aku bahkan gak punya bayangan a
Keesokan harinya kami berangkat ke rumah lamanya, tidak lupa dia membeli beberapa barang dari minimarket bagi oleh-oleh untuk sang kekasih. Semua ini dia lakukan juga sebagai permintaan maaf karena telah menyakiti perasaan Ruben, serta ingin dia kembangkan bisnis laundry yang selama ini dikembangkannya bersama pria itu. Sementara Juna, dia berada di rumah bersama Nyonya Anggara. Untungnya Juna bisa meyakinkan sang ibu jika Tami harus pergi keluar sebentar saja untuk bertemu dengan teman-temannya. "Aku nggak mau larang Tami, kalau dia memang mau ketemu teman-temannya Kenapa harus dilarang?""Kamu benar, Juna. Mama setuju dengan keputusan kamu. Karena meskipun kamu dan Tami sudah menikah, tetap saja Tami berhak memiliki kehidupannya sendiri di luar kamu.""Jadi Mas Juna nggak keberatan?" Begitulah akting Tami dan Juna untuk mengelabuhi wanita paruh baya itu. Dan tentu saja dengan senang hati nyonya Anggara menerima tawaran sang menantu untuk menjaga putranya. Sebagai orang tua tentu