»»»»
Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan.
"Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith.
"Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa."
"Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah.
"Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.
'Mampus!' Batinnya berteriak.
"Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.
"Malam, Om. Tante ..." Cia ingin kabur saja sekarang.
"Loh, kamu ..."
'Mati aku!' Cia lagi-lagi mengutuk dirinya dalam hati.
"Anda kenal putri saya?" tanya Radith. Cia menggeleng pelan ke arah Bernard, dan Dava melihatnya.
"Tentu saja tidak, Pak. Mana mungkin saya pernah bertemu putri Bapak." Cia bernapas lega mendengarnya. "Oh, ya. Perkenalkan, istri saya Irine, dan ketiga putra saya."
"Malam, Om, Tante. Saya Kevin ..." pria dengan sorot mata yang tampak tegas itu tersenyum ramah. Sambil menatap Radith dan Diana bergantian.
"Kalau tidak salah, Nak Kevin sedang kuliah di London, betul?" Radith memastikan apa yang dia dengar.
"Benar, Om. Saya sedang mengambil cuti beberapa minggu untuk membantu Papa di perusahaan."
"Waah, masa depan kamu cerah ya. Masih muda sudah bisa membantu di perusahaan."
"Terima kasih atas pujiannya, Om. Itu terlalu berlebihan."
"Tentu saja itu tak berlebihan. Jarang sekali anak muda seperti kamu mau membantu bekerja, apa lagi mengurus perusahaan." Kevin hanya tersenyum ramah menanggapi ucapan Radith.
"Malam, Om. Saya Gevin, anak paling ganteng Papa, aduh!" Cowok bernama Gevin itu mendengus sebal ke arah remaja laki-laki yang duduk di sebelahnya. "Apaan sih, sakit tau!" Ketus Gevin pada remaja itu.
"Malam, Om, Tante. Saya Levin!" Remaja itu memperkenalkan diri tanpa memperdulikan ocehan Gevin. Acara perkenalan formal pun berlalu, makan malam berlangsung hikmat tanpa canggung. Hingga hidangan mulai habis di santap.
Dava sejak tadi menampilkan raut wajah tak suka saat beberapa kali melihat Bernard melirik ke arah Cia. Dava ingin sekali menyembunyikan Cia di belakangnya, apa relasi bisnis papanya itu juga pernah bertemu dengan Cia sebelum ini. Gelagatnya sangat aneh, terlebih Dava jadi ingat pernah bertemu Cia di sebuah hotel mewah. Dava menghubungkan kejadian itu dengan keadaan saat ini, apa Cia benar-benar gadis yang seperti itu? Tapi, mana mungkin.
"Saya dengar, anak-anak anda bersekolah di SIS(Samsard Internasional School)?" tanya Bernard ramah. Radith mengangguk lalu menatap Dava.
"Benar, mereka kelas 11 saat ini!" jawab Radith. Irine dan Diana memilih tempat lain untuk mengobrol berdua, begitupun Bernard dan Radith. Cia menatap Dava datar, entah kenapa sejak tadi, Cia merasa bahwa Dava sedang marah.
"Lo kenal sama Om Bernard?" Dava menarik tangan Cia saat gadis itu hendak meninggalkan meja makan.
"Apa sih!"
"Ikut gue!" Tanpa di duga, Dava menarik Cia menjauh dari meja makan itu dan memilih tempat di lorong yang cukup sepi.
"Apaan sih! Lepas nggak!" Dava akhirnya berhenti melangkah dan menyudutkan Cia ke dinding.
"Cia, lo nggak ada hubungan sama Om Bernard kan?" Cia mendorong Dava sambil menatapnya kesal.
"Nggak jelas!" Cia hendak pergi. Namun, lagi-lagi Dava mencegahnya.
"Lo nggak jadi cewek nakal dan jual harga diri lo kan, Cia ..." satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Dava. Dava bahkan tidak menyangka Cia akan bereaksi dengan perkataannya.
"Apa sebenci itu lo sama gue!" Dava menggeleng saat melihat Cia tampak marah, "tuduhan lo itu nggak berdasar, lo nggak punya bukti. Dan lo, lo pikir gue cewek yang kayak gitu yah!"
"Cia ..."
"Kalo emang lo sebenci itu sama gue, jangan pernah nunjukin tampang memelas lo depan kamar gue tiap hari!" Dava terkejut mengetahui fakta bahwa Cia tau dirinya selalu berdiri di depan kamar Cia saat gadis itu ada di dalamnya, Dava hanya ingin menyapa dan mengucapkan selamat tidur pada adiknya, tapi Cia selalu tak pernah memiliki waktu untuknya.
"Ci, bukan gitu, gue cuma ..."
"Gue udah biasa di benci. Jadi, stop buat ganggu gue. Mending lo benci gue seumur hidup, dan muak sama gue biar lo pergi aja sekalian!" Cia melangkah meninggalkan Dava. Namun, saat akan pergi menjauh, langkah nya terhenti. Seseorang memeluknya dari belakang.
"Gue salah, gue minta maaf!" Cia tak mengindahkan ucapan Dava dan melepas pelukan sang kakak. Gadis itu pergi begitu saja dan kembali duduk di kursinya tadi. Meja makan sudah di rapikan selama Cia bicara dengan Dava tadi.
Seorang cowok dengan santainya duduk di samping Cia. "Hai ..." sapanya penuh pesona. Cia hanya diam, jangankan terpesona, menolehpun tidak.
"Lo sekolah di Samsard, kan?" Gevin. Cowok dengan manik kecoklatan itu kembali bicara.
"Iya ..." Cia harus bisa menahan amarahnya untuk saat ini.
"Gue juga mau pindah ke sana besok!" Bohong! Cia langsung menatap Gevin, dan tatapan keduanya bertemu. Cia sepertinya tak asing dengan wajah Gevin, senyuman itu, bukankah ...
"Lo ..."
"Kak, gue pengen cake lagi!" Levin tiba-tiba muncul dan langsung menyela ucapan Cia pada Gevin.
"Ya udah sana lo ambil!" Gevin melirik meja, ternyata cake moca kesukaan adiknya itu sudah habis. Tersisa rasa lain, dan Levin memang tidak suka rasa lain. "Cokelat aja dulu, kan sama aja!" Gevin kembali fokus menatap Cia, tapi belum juga bicara, Levin sudah kembali berkata.
"Nggak mau! Nggak enak!" Tolaknya mentah-mentah.
"Lev ..."
"Mba!" Cia memanggil seorang pelayan. Gevin dan Levin menoleh bersamaan. "Cake mocanya ya," pesan Cia pada pelayan itu.
"Iya, Mbak." Pelayan itu pergi ke dapur. Levin tersenyum senang karena dia bisa kembali memakan cake kesukaannya. Levin bukanlah anak kecil berusia 7 atau 8 tahun. Remaja itu berusia 13 tahun dan sudah memasuki bangku SMP, tapi karena dia di didik dengan penuh kemewahan dan terus di manja, maka dari itu, remaja yang harusnya tumbuh dengan melindungi, malah jadi harus di lindungi karena dia terlalu manja.
"Makasih, Kak Cia!" Cia menatap Levin lalu tersenyum sambil mengangguk.
"Cantik!" Komentar Gevin, melihat senyuman manis yang ada di bibir Cia. Levin sudah kembali duduk dikursi nya, sedangkan Kevin tampaknya ikut dalam perbincangan para pria dewasa di sana.
"Tadi lo mau ngomong apa?" Gevin mengembalikan fokus Cia.
"Nggak jadi!"
"Lah, gimana sih." Gevin terkekeh pelan.
"Sudah malam, kita sudahi saja pertemuan ini!" Radith dan Bernard sama-sama berdiri. Begitupun Irine dan Diana, tampaknya mereka sudah selesai dengan obrolan mereka.
"Cia, boleh kita bicara sebentar?" ucap Bernard saat semuanya sudah kembali berkumpul.
"Boleh ..."
"Nggak!" Tolak Dava. Cowok tinggi itu menatap Cia dengan kesal. Cia tak menanggapi Dava dan kembali menatap Bernard.
"Jika tidak bisa ..."
"Bisa kok, Om." Cia segera menjauh, dan Bernard mengikutinya. Dava ingin mengejar, tapi Radith menahannya.
"Kenapa boy?"
"Pa, Cia ..."
"Nggak apa-apa, mungkin mereka ada urusan. Katanya Putra Pak Bernard akan pindah ke sekolah kamu besok." Dava tak menanggapi. Hanya menatap ke arah perginya Cia dan Bernard tadi. Semoga saja, tidak terjadi apapun pada Cianya.
»»»»
To be Continue ....
»»»»"Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung."Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?""Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia.""Syukurlah.""Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama."Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
»»»» "Aduh!" Gevin sudah bersedeku di lantai dengan tangan yang terkunci ke belakang. "Jangan karena bokap lo nitipin lo ke gue, lo bisa seenaknya!" Cia mendorong Gevin hingga cowok itu terjatuh ke lantai. Sedangkan Cia langsung berlalu pergi begitu saja, harinya begitu sial.
»»»»» Pagi di sekolah yang damai. Semua orang tampak senang karena sepertinya si pentolan sekolah tidak masuk sekolah. Walaupun semua orang tampak senang, lain hal dengan cowok bermanik mata abu-abu yang kini duduk di tepi lapangan basket. Dia bersama sahabatnya, Iqbal sedang menghabiskan waktu hanya duduk diam sambil menunggu bel pelajaran di mulai. Iqbal menatap Dava dengan bingung, sejak beberapa hari lalu, Dava tampaknya sering melamun dan sering tidak fokus. "Cia?" Pertanyaan singkat dan tidak jelas Iqbal justru di tangkap jelas oleh Dava. Cowok manik abu itu mengangguk, lalu menghela napasnya, "udah lah, dia itu memang susah di tebak. Gue denger, kemaren dia bikin rusuh di kantin!" "Gara-gara gue!" Dava menatap kunci mobil milik Cia di tangannya. Benar, kemarin dia dan Cia berangkat bersama dan pada akhirnya, Cia meninggalkan kunci mobilnya sekali
»»»»"Dava!" Radith berlari mendekati Dava yang masih duduk di depan ruang Operasi."Pa!" Cowok manik abu itu segera berdiri."Apa yang terjadi?" Radith bertanya pada Kasim dan Naida yang masih menemani Dava."Maaf, pak. Saat ini, Cia sedang di operasi." Radith tak mengerti apa yang di ucapkan Kasim."Apa maksud Bapak?""Dokter bilang, pisau yang menusuk perut Cia, mengenai organ vitalnya, dan saat ini Cia harus di operasi!" jelas Kasim. Radith menatap Dava yang sudah kembali duduk di kursinya, seragam sekolahnya masih berlumuran darah juga kedua tangannya yang tampak bergetar."Dava ..." Radith duduk di samping Dava, lalu merangkul bahu puteranya itu."Pa ...!" Dava langsung memeluk Radith dengan erat. Dava masih tak percaya, beberapa jam yang lalu, adiknya berbaring di pangkuannya denga
»»»» Cia menatap jam yang terus berdetak di dinding ruang rawatnya. Sudah 2 hari dia di rawat dan seharusnya, nanti malam adalah pertandingannya dengan pembalap dari New Zealand. Cia tak ingin melewatkan kesempatan itu, tapi bagaimana bisa dia keluar, jika dia terus di awasi 24 jam begini!"Hai Cia ..." Cia berdecak kesal. Kenapa di saat seperti ini, harus muncul orang yang menyebalkan!"Ngapain lo kesini!" Ketus Cia. Kian hanya tersenyum seperti biasa."Kita kan temen, jadi wajar kalo gue jengukin lo, ya kan?""Nggak perlu, dah sana balik!""Ih, jahat banget. Padahal kan gue cuma pengen tau keadaan lo doang!""Gue baik-baik aja. Puas lo, dah sana balik!""Ish! Iya-iya, gue pulang nih!" Cia mengalihkan tatapannya, dan saat itu dia mendapat ide bagus."Tunggu!"
»»»» Radith datang sambil berlari mendekati Dava. Cowok itu sudah duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Cia, sedangkan gadis itu masih berbaring tak sadarkan diri. "Gimana keadaannya?" "Kacau, Pa!" Dava menatap Cia sesaat lalu menunduk. "Dokter bilang, Cia bisa aja kehilangan nyawanya, untung dia cepet-cepet di bawa kesini!" "Cowok yang kamu bilang dateng sama Cia, sekarang di mana?" "Dia udah pulang. Dia sama sekali nggak mau ngomong apapun, bahkan dia cuma jawab satu pertanyaan, itu cuma nama dia doang! Sisanya dia sama sekali nggak ngomong apa-apa!" "Kamu biarin dia gitu aja?" "Untuk sekarang iya. Lagian, dia bawa bodyguardnya, Dava nggak bisa apa-apa. Tapi, Gevin bantu Dava dan ngikutin mereka." "Gevin?" "Temen sekelas D
»»»»"Dua tahun lalu ... di halte depan sekolah!" Cia menahan ucapannya, Jun tidak mengerti apa yang Cia maksud, "lo yang nabrak Kakak gue, kan ...." cowok Korea itu benar-benar terkejut mendengar apa yang Cia ucapkan. Tidak, bukan hanya terkejut, Jun juga tak percaya dengan pendengarannya."Maksud lo ... apa?""Motor yang lo pake waktu itu, sama persis kayak motor yang dulu nabrak Kakak gue. Gue nggak tau siapa pengendaranya, tapi itu jelas motor yang sama!" Jun terdiam lalu menunduk, "waktu itu hujan ..." Cia lalu terdiam, menatap Jun yang masih menunduk di depannya."Iya ... itu gue!" Cia segera mengalihkan tatapannya."Kenapa lo pergi? Kenapa lo nggak tolongin Kak Nita waktu itu?""Gue ... takut, jadi ...""Lo kabur." Jun tak berani menatap Cia. "Lo tau, apa yang udah lo lakuin waktu itu?"
****"Udah waktunya makan ..." Dava duduk di samping Cia, di tangan cowok itu terdapat mangkuk berisi bubur dan segelas air putih."...""Ci, makan dulu.""...""Gue suapin ya!" Cia menatap Dava kesal."Bisa nggak lo jangan ganggu gue!""Bisa, asal lo harus makan dulu!" Cia mendengus. Tanpa menunggu lama, gadis itu mengambil mangkuk dan memakan bubur yang sudah tersedia. Beberapa kali Cia tampak ingin memuntahkan makanan itu, Dava yang melihatnya sedikit memicing."Lo ... nggak suka bubur?" Cia tak menjawab. Setelah menghabiskan setengah bubur yang ada, gadis itu memberikan mangkuknya kembali pada Dava."Gue udah kenyang!" Sambil mengambil gelas berisi air minum dari tangan Dava, "gue udah selesai. Jadi jangan ganggu gue lagi!" Cia buru-buru berbaring dan menutup seluruh tubuhn