Share

Bag 11. Semakin Salah paham.

»»»»

    Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan.

"Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith.

"Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa." 

"Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah. 

"Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.

'Mampus!' Batinnya berteriak.

"Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.

"Malam, Om. Tante ..." Cia ingin kabur saja sekarang.

"Loh, kamu ..." 

'Mati aku!' Cia lagi-lagi mengutuk dirinya dalam hati.

"Anda kenal putri saya?" tanya Radith. Cia menggeleng pelan ke arah Bernard, dan Dava melihatnya.

"Tentu saja tidak, Pak. Mana mungkin saya pernah bertemu putri Bapak." Cia bernapas lega mendengarnya. "Oh, ya. Perkenalkan, istri saya Irine, dan ketiga putra saya."

"Malam, Om, Tante. Saya Kevin ..." pria dengan sorot mata yang tampak tegas itu tersenyum ramah. Sambil menatap Radith dan Diana bergantian.

"Kalau tidak salah, Nak Kevin sedang kuliah di London, betul?" Radith memastikan apa yang dia dengar.

"Benar, Om. Saya sedang mengambil cuti beberapa minggu untuk membantu Papa di perusahaan."

"Waah, masa depan kamu cerah ya. Masih muda sudah bisa membantu di perusahaan."

"Terima kasih atas pujiannya, Om. Itu terlalu berlebihan."

"Tentu saja itu tak berlebihan. Jarang sekali anak muda seperti kamu mau membantu bekerja, apa lagi mengurus perusahaan." Kevin hanya tersenyum ramah menanggapi ucapan Radith.

"Malam, Om. Saya Gevin, anak paling ganteng Papa, aduh!" Cowok bernama Gevin itu mendengus sebal ke arah remaja laki-laki yang duduk di sebelahnya. "Apaan sih, sakit tau!" Ketus Gevin pada remaja itu.

"Malam, Om, Tante. Saya Levin!" Remaja itu memperkenalkan diri tanpa memperdulikan ocehan Gevin. Acara perkenalan formal pun berlalu, makan malam berlangsung hikmat tanpa canggung. Hingga hidangan mulai habis di santap.

   Dava sejak tadi menampilkan raut wajah tak suka saat beberapa kali melihat Bernard melirik ke arah Cia. Dava ingin sekali menyembunyikan Cia di belakangnya, apa relasi bisnis papanya itu juga pernah bertemu dengan Cia sebelum ini. Gelagatnya sangat aneh, terlebih Dava jadi ingat pernah bertemu Cia di sebuah hotel mewah. Dava menghubungkan kejadian itu dengan keadaan saat ini, apa Cia benar-benar gadis yang seperti itu? Tapi, mana mungkin.

"Saya dengar, anak-anak anda bersekolah di SIS(Samsard Internasional School)?" tanya Bernard ramah. Radith mengangguk lalu menatap Dava.

"Benar, mereka kelas 11 saat ini!" jawab Radith. Irine dan Diana memilih tempat lain untuk mengobrol berdua, begitupun Bernard dan Radith. Cia menatap Dava datar, entah kenapa sejak tadi, Cia merasa bahwa Dava sedang marah.

"Lo kenal sama Om Bernard?" Dava menarik tangan Cia saat gadis itu hendak meninggalkan meja makan.

"Apa sih!"

"Ikut gue!" Tanpa di duga, Dava menarik Cia menjauh dari meja makan itu dan memilih tempat di lorong yang cukup sepi.

"Apaan sih! Lepas nggak!" Dava akhirnya berhenti melangkah dan menyudutkan Cia ke dinding.

"Cia, lo nggak ada hubungan sama Om Bernard kan?" Cia mendorong Dava sambil menatapnya kesal.

"Nggak jelas!" Cia hendak pergi. Namun, lagi-lagi Dava mencegahnya.

"Lo nggak jadi cewek nakal dan jual harga diri lo kan, Cia ..." satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Dava. Dava bahkan tidak menyangka Cia akan bereaksi dengan perkataannya.

"Apa sebenci itu lo sama gue!" Dava menggeleng saat melihat Cia tampak marah, "tuduhan lo itu nggak berdasar, lo nggak punya bukti. Dan lo, lo pikir gue cewek yang kayak gitu yah!" 

"Cia ..."

"Kalo emang lo sebenci itu sama gue, jangan pernah nunjukin tampang memelas lo depan kamar gue tiap hari!" Dava terkejut mengetahui fakta bahwa Cia tau dirinya selalu berdiri di depan kamar Cia saat gadis itu ada di dalamnya, Dava hanya ingin menyapa dan mengucapkan selamat tidur pada adiknya, tapi Cia selalu tak pernah memiliki waktu untuknya. 

"Ci, bukan gitu, gue cuma ..."

"Gue udah biasa di benci. Jadi, stop buat ganggu gue. Mending lo benci gue seumur hidup, dan muak sama gue biar lo pergi aja sekalian!" Cia melangkah meninggalkan Dava. Namun, saat akan pergi menjauh, langkah nya terhenti. Seseorang memeluknya dari belakang.

"Gue salah, gue minta maaf!" Cia tak mengindahkan ucapan Dava dan melepas pelukan sang kakak. Gadis itu pergi begitu saja dan kembali duduk di kursinya tadi. Meja makan sudah di rapikan selama Cia bicara dengan Dava tadi.

   Seorang cowok dengan santainya duduk di samping Cia. "Hai ..." sapanya penuh pesona. Cia hanya diam, jangankan terpesona, menolehpun tidak.

"Lo sekolah di Samsard, kan?" Gevin. Cowok dengan manik kecoklatan itu kembali bicara.

"Iya ..." Cia harus bisa menahan amarahnya untuk saat ini.

"Gue juga mau pindah ke sana besok!" Bohong! Cia langsung menatap Gevin, dan tatapan keduanya bertemu. Cia sepertinya tak asing dengan wajah Gevin, senyuman itu, bukankah ...

"Lo ..."

"Kak, gue pengen cake lagi!" Levin tiba-tiba muncul dan langsung menyela ucapan Cia pada Gevin.

"Ya udah sana lo ambil!" Gevin melirik meja, ternyata cake moca kesukaan adiknya itu sudah habis. Tersisa rasa lain, dan Levin memang tidak suka rasa lain. "Cokelat aja dulu, kan sama aja!" Gevin kembali fokus menatap Cia, tapi belum juga bicara, Levin sudah kembali berkata.

"Nggak mau! Nggak enak!" Tolaknya mentah-mentah.

"Lev ..."

"Mba!" Cia memanggil seorang pelayan. Gevin dan Levin menoleh bersamaan. "Cake mocanya ya," pesan Cia pada pelayan itu. 

"Iya, Mbak." Pelayan itu pergi ke dapur. Levin tersenyum senang karena dia bisa kembali memakan cake kesukaannya. Levin bukanlah anak kecil berusia 7 atau 8 tahun. Remaja itu berusia 13 tahun dan sudah memasuki bangku SMP, tapi karena dia di didik dengan penuh kemewahan dan terus di manja, maka dari itu, remaja yang harusnya tumbuh dengan melindungi, malah jadi harus di lindungi karena dia terlalu manja.

"Makasih, Kak Cia!" Cia menatap Levin lalu tersenyum sambil mengangguk.

"Cantik!" Komentar Gevin, melihat senyuman manis yang ada di bibir Cia. Levin sudah kembali duduk dikursi nya, sedangkan Kevin tampaknya ikut dalam perbincangan para pria dewasa di sana.

"Tadi lo mau ngomong apa?" Gevin mengembalikan fokus Cia.

"Nggak jadi!"

"Lah, gimana sih." Gevin terkekeh pelan.

"Sudah malam, kita sudahi saja pertemuan ini!" Radith dan Bernard sama-sama berdiri. Begitupun Irine dan Diana, tampaknya mereka sudah selesai dengan obrolan mereka.

"Cia, boleh kita bicara sebentar?" ucap Bernard saat semuanya sudah kembali berkumpul.

"Boleh ..."

"Nggak!" Tolak Dava. Cowok tinggi itu menatap Cia dengan kesal. Cia tak menanggapi Dava dan kembali menatap Bernard.

"Jika tidak bisa ..."

"Bisa kok, Om." Cia segera menjauh, dan Bernard mengikutinya. Dava ingin mengejar, tapi Radith menahannya.

"Kenapa boy?"

"Pa, Cia ..."

"Nggak apa-apa, mungkin mereka ada urusan. Katanya Putra Pak Bernard akan pindah ke sekolah kamu besok." Dava tak menanggapi. Hanya menatap ke arah perginya Cia dan Bernard tadi. Semoga saja, tidak terjadi apapun pada Cianya.

»»»»

To be Continue ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status