Eryk mengernyit melihat dua sahabatnya yang pergi dengan langkah tergesa. Pria itu menoleh ke sisi kanan dan kiri tubuh, namun sentuhan Kent pada pundaknya membuat Eryk tersadar. Rupanya wajah mengeras sang ayah yang membuat dua sahabatnya pergi secara tiba-tiba. Eryk mendengus. Kent datang di saat yang tidak tepat. Melihat dari cara Kent menatapnya dingin, sepertinya akan ada pembicaraan serius di antara keduanya. Pria paruh baya itu mengambil posisi duduk di sofa sebelah Eryk. Pria itu menarik nafas dan menghembuskannya berulang kali untuk menenangkan diri, dia tidak ingin berbicara dengan emosi meledak-ledak. Saat hendak masuk menaiki tangga menuju kamarnya, Kent tanpa bermaksud menguping mendengar percakapan tiga pemuda di ruang bersantai. Rencana Eryk untuk menjadikan Lucia mainan dan obsesi Eryk untuk mengambil kesucian gadis polos itu membuat Kent geram. "Katakan saja jika ada yang ingin ayah katakan." ucap Eryk, lalu mereguk minuman dalam gelas hingga tandas. "Gadis itu m
Eryk membenturkan kepala Lucia pada nakas di samping ranjang, senyumnya mengembang sempurna, seolah jerit dari mulut Lucia adalah alunan musik merdu yang membelai pendengaran. "Sebaiknya jangan berteriak," desis Eryk sembari membungkam mulut Lucia dengan menyumpalkan baju yang semula dia pakai. Cicitan Lucia seolah lelucon bagi pria itu, ia pun tertawa melihat pemandangan tersebut, sangat menghibur. Pria itu mencengkram dagu Lucia dengan satu tangannya dan menatap mata basah gadis itu lekat-lekat. Senyum di wajah rupawan Eryk terlihat sangat menyeramkan, Lucia kembali merasakan sebuah hal buruk akan kembali terjadi setelah ini. "Mata abu-abu ini sangat menggelitik hati setiap kali aku menatapnya. Dan betapa beruntungnya aku, kini mata ini menjadi milikku seutuhnya," Lucia menggeleng, memohon dengan suara tertahan karena tidak dapat berbicara dengan kondisi mulut tersumpal kain. Eryk mulai mencolokkan satu telunjuknya pada mata kanan Lucia. Gadis itu menjerit, namun usahanya sungg
Keheningan meruang setelah tiga pelayan keluar dari kamar Linda, menyisahkan Kent yang masih berdiri di tempat dan Lucia yang duduk di tepi ranjang. Satu sama lain saling enggan membuka pembicaraan, hingga akhirnya Kent berdeham dan sebuah kalimat lolos dari bibir ranum merah mudanya. "Apakah aku perlu membawamu ke rumah sakit lagi? Aku lihat lebam di wajahmu terlihat bertambah." ucap Kent datar dengan kedua tangan terkepal di dalam saku celana, dia benci dengan dirinya saat ini. Lagi-lagi jantungnya berdebar disaat yang tidak tepat. "Saya rasa tidak perlu, Tuan. Saya bisa pergi ke klinik sendiri nanti." jawab Lucia lalu mengulum bibir setelahnya. Luka akibat kejadian satu minggu yang lalu belum sepenuhnya pulih, dan seseorang kembali membuat gadis itu terluka. Kendati begitu Lucia sangat bersyukur, Tuhan mendatangkan Kent sebagai penolongnya kala itu. Tidak hanya tubuhnya yang terluka, bisa saja kehormatan yang ada di bagian bawah tubuhnya akan koyak jika Kent tidak menghentikan ke
Seminggu berlalu setelah kejadian penganiyayaan yang Eryk lakukan terhadap Lucia. Gadis itu masih belum bisa membunuh perasaan rindu yang seringkali datang menerjang. Berulang kali gadis itu melihat layar ponsel, berharap Eryk menghubunginya dan meminta maaf, namun hanya kecewa yang selalu Lucia dapatkan. Tidak satu pun pesan masuk datang dari pria itu. Lucia menatap Henry yang terlelap dengan bibir tersenyum lemah. Gadis itu bangkit berdiri dan mengecup kening sang ayah sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan. Lucia bermaksud mencari pekerjaan hari ini. Uang harus segera terkumpul agar sang ayah dapat kembali menjalani proses cuci darah."Aku pergi, Ayah. Doakan puterimu, semoga aku mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya." bisik gadis itu dengan suara yang nyaris tak terdengar agar Henry tidak terbangun. Lucia keluar dari ruang perawatan dengan senyum yang dipaksakan. Ia sedang berusaha menguatkan dirinya sendiri saat ini, setelah semalaman tidak dapat tidur da
Dari kejauhan Kent tersenyum lega melihat Lucia yang tersenyum lebar seraya mengelus perut kenyangnya. Namun di menit berikutnya, pria itu mengernyit penuh tanya saat melihat Lucia menempelkan ponsel di telinganya. Telepon dari siapa?Dering ponsel yang berbunyi membuat Lucia bersegera meraih benda pipih yang menjadi sumber bunyi tersebut. Layar ponsel yang sering kali terlihat hitam kali ini menyala, menampilkan nama Eryk Orlov sebagai pihak pemanggil. Lucia sangat senang, namun sesaat kemudian dia merasa gelisah mengingat kekerasan yang dia alami beberapa waktu lalu. Haruskah gadis itu mengangkat telepon Eryk? "Hah, sebaiknya aku angkat saja. Bisa saja dia menyesali perbuatannya dan bermaksud meminta maaf kali ini." Lucia tersenyum sembari mengangkat telepon dari Eryk. "Hallo?" sapa Lucia, mata gadis itu terpejam sembari mengucap harapan dalam hati. "Lucia? Kau ada di mana?" tanya seorang pria dari sambungan seberang."Ah ..." Lucia mendesah kecewa. Apa yang dia dengar idak sesu
Dengan langkah sedikit tergesa Kent memasuki mansion dan menuju ruang bersantai. Tatapan pria itu langsung tertuju pada meja bar di ruang bersantai, lalu mendengus kecewa saat tidak mendapati Eryk berada di bar. "Apa Eryk belum juga kembali, Linda?" tanya Kent kepada satu pelayan yang saat itu tengah membersihkan permadani dengan alat penyedot debu. "Tuan Eryk belum kembali, Tuan." jawab pelayan muda itu yang menyempatkan diri menatap tuannya, sebelum akhirnya kembali menunduk untuk melakukan pekerjaanya. Mendengar jawaban Linda, Kent lantas mendengus sembari memijit pelipis yang terasa berdenyut. Pria paruh baya itu lantas berjalan dan mengambil posisi duduk di meja bar, tanpa niat mengambil minuman untuk dirinya sendiri. "Apa perlu saya menuangkan minuman untuk Anda, Tuan?" tawar Linda seraya berjalan mendekat. "Tidak Linda. Tidak perlu." jawab Kent singkat sembari mengetukkan buku jarinya di atas meja bar. Wajah pria itu terlihat gusar. "Ah, baiklah." ucap Linda sebelum akhin
Lisa tersenyum puas saat terbangun dari tidur dan mendapati wajah pria yang dia cintai saat pertama membuka mata hari itu. Perempuan itu melarikan jemarinya di atas dada telanjang Eryk yang bidang dan sedikit berbulu. Namun tak lama setelah itu, dering ponsel menarik perhatiannya. Dengan enggan, karena rasa kantuk yang masih bergelayut, Lisa bangkit untuk mengambil ponsel Eryk yang seolah berteriak memaksa si pemilik ponsel untuk memenuhi panggilannya. Lisa mengambil benda tersebut dari atas nakas. Alis gadis itu seketika bertaut saat mendapati nama Lucia sebagai penelepon. Lucia? Mungkinkah yang saat ini menelepon Eryk adalah Lucia saudara kandungnya? Atau mungkin gadis lain yang kebetulan memiliki nama sama? Sederet pertanyaan memenuhi kepala Lisa. Namun siapa pun perempuan bernama Lucia yang saat ini menelepon pacarnya, tetap saja gadis itu tidak terima, seketika perasaan cemburu mengambil alih dirinya. Sehingga Lisa membuka log panggilan di ponsel Eryk untuk mencocokan nomor pe
Henry terbangun dari tidurnya saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah fentilasi. Cukup menyilaukan, sehingga mengusik tidurnya. Saat satu tangannya bergerak, jemari pria itu merasakan sebuah tekstur halus. Ia pun melirik ke arah bawah dan mendapati anak gadisnya tengah terlelap dengan posisi duduk, sedangkan tangan dan kepalanya terletak di atas ranjang. Seketika pria itu mengulas senyum getir. Gurat lelah terlihat jelas dalam tidur pulas Lucia. Membuatnya merasa semakin berdosa karena membiarkan gadis itu memikul tanggung jawab yang tidak seharusnya. Sentuhan hangat dan lembut di kepala membuat Lucia perlahan membuka mata. Beberapa kali mata gadis itu mengerjab, dan saat penglihatannya sudah jelas, dia mendapati sang ayah sudah terbangun dengan wajah tersenyum mengarah padanya."Ayah sudah bangun?" ucap Lucia yang juga mengulas senyum tulus, terasa menyejukkan bagi Henry laksana embun pagi. "Ayah terbangun begitu teringat padamu. Ayah pikir kau tidak akan datang berkunju