Seorang pria menatap langit-langit ruang perawatan yang berwarna putih dan terkesan monoton. Ruangan yang dia tempati dipenuhi atmosfir kebosanan. Aroma obat-obatan yang khas kembali menyapa penciumannya. Ingin rasanya Henry bangkit dan berlari sejauh mungkin dari ruangan itu, tapi semua itu hanya menjadi angan. Masa kejayaannya telah berlalu dan tidak menyisahkan sedikit pun sisa pencapaian yang bisa dinikmati saat ini. Pria itu membuka selimut yang menutupi tubuh untuk mendapati kakinya yang bengkak. Hal itu membuat Henry tersenyum hambar setelahnya. Tubuh kekar yang dulu dia gunakan untuk mengarungi hidup, kini terbaring tak berdaya. Penyakit gagal ginjal yang dia alami adalah penyebabnya."Seharusnya kau ada disampingku saat ini, Megan." lirih Henry dengan kedua mata yang memanas. Ingatan masa indah bersama sang istri kembali berkelibat di kepala, bayangan itu seakan menari di atas penderitaannya saat ini. Dahulu, setiap pagi dia selalu dibangunkan dengan suara merdu Megan dan p
Seorang pria berusia 48 tahun berjalan menyusuri koridor menuju ruangan Eryk. Sesekali pria itu menarik siku untuk melihat jam tangan yang melingkar di pegelangan tangan, meeting akan di mulai 10 menit lagi. Namun Eryk, selaku CEO Fregrant Potions, yang juga merupakan putranya belum menampakkan batang hidungnya, sehingga Kent berniat menemui putranya di sendiri. Mudah saja, Kent bisa menyuruh bawahannya untuk memanggilkan Eryk agar segera datang ke meeting room. Tetapi mengingat panggilan teleponnya yang diabaikan, Kent tahu bahwa saat ini pemuda itu sedang bersenang-senang di dalam singgasananya, seperti waktu-waktu sebelumnya. Hal itu justru akan membuatnya merasa malu sebagai orang tua.Suara sepatu pantofel yang menapak di lantai terdengar menggema. Olivia, sekretaris pribadi Eryk langsung membuka mata lebar dan berdiri menyambut sang Direktur. Dengan sedikit berlari gadis itu beranjak dari bangku kerjanya."Selamat pagi, Pak Direktur," sapa Olivia dengan canggung. Gadis 25 tah
Terhitung 4 bulan setelah Lucia dan Eryk menjalin hubungan, Lucia seolah memiliki sebuah tempat untuk bersandar dan menceritakan segala keluh kesahnya. Dia merasa Eryk adalah sesosok malaikat yang memang dikirim Tuhan untuk memapah langkahnya yang terseok-seok melewati segala rintangan hidupnya yang dipenuhi dengan bebatuan terjal. Malam itu, Eryk mengantar Lucia pulang ke rumahnya setelah mereka mengunjungi Henry di rumah sakit. "Apakah kau tahu, Eryk, aku merasa sangat bahagia bertemu denganmu." ucap Lucia sembari melepas seat beltnya. Gadis itu tersenyum, namun Eryk hanya membalas senyuman gadis itu dengan bibir yang menipis. Pria itu melihat ke arah bangunan rumah mewah yang ada di hadapan. Pekarangannya tampak tidak terawat. Rumput liar tumbuh di sepanjang tanah yang ada di sana. "Kenapa rumahmu gelap sekali? Dengan siapa kau tinggal?" masih berpegangan pada kemudi mobil, pria itu kini lebih terang-terangan memperlihatkan gestur penasarannya dengan sesuatu yang berada di dala
Lucia duduk di sebuah bangku taman sembari melihat ke sekeliling. Sudah 15 menit dia menunggu, namun Ruth tak kunjung tampak, sehingga dia mendengus sembari menumpu wajah dengan telapak tangan di atas paha. Semua orang tahu kalau menunggu adalah satu hal yang menyebalkan. "Huaa!" suara mengejutkan datang dari belakang disertai tepukan pada punggung Lucia yang saat itu terbalut dengan blouse berwarna kuning lemon. Lucia menoleh ke belakang sembari mengerucutkan bibir mungilnya, melempar delikan pada gadis yang terkekeh merasa puas karena berhasil mengejutkan Lucia. "Cepat sekali kau datang, apakah kau datang menaiki seekor siput?" sindir Lucia sembari melipat tangan di depan dada. Ruth mengambil posisi duduk di sebelah Lucia dengan kekehan yang tersisa. "Maafkan aku, aku harus membantu ibuku memandikan nenekku sebelum pergi." gadis itu menghela nafas lelah sembari tersenyum hambar. Lucia sudah mendengar jika nenek Ruth tidak lagi bisa beraktivitas akibat stroke yang menyerang di
Wajah pria paruh baya itu mengeras, sepertinya dia tidak main-main dengan ancamannya beberapa waktu lalu. Sesekali Eryk menundukkan kepala untuk mendapati punggung bergetar Lucia yang ketakutan. "Ayah ..." lirih Eryk sembari mengusap batang hidung bangirnya. Pemuda itu tampak gugup sekarang. Dari ucapan Eryk, Lucia kini mengetahui bahwa pria paruh baya yang kini berjalan mendekat adalah ayah dari Eryk. Pria itu menatap putranya dengan tatapan tajam menghunus, hingga Eryk kesulitan menelan saliva. Seketika atmosfir ruangan terasa susah untuk dihirup. "Apa kau pikir ancamanku hanyalah main-main, Eryk." ucap Kent dengan suara bergetar, sarat akan kemarahan. Lucia yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi hanya bisa mempererat pelukannya pada kaki Eryk. "Ini bukan kemauanku, Ayah, gadis ini memaksa untuk menemuiku meski aku sudah mencegahnya," Eryk berkilah seraya melepas pelukan tangan Lucia di kakinya. Gadis itu terperangah melihat perlakuan Eryk. Pria itu memperlakukan L
Di sebuah kamar perawatan, Eryk tampak bosan sembari mengetuk-ngetukkan jarinya pada nakas yang terletak di sebelah ranjang. Sesekali pria itu membuka ponsel untuk membalas beberapa pesan yang masuk dari para wanita yang mengajaknya bersenang-senang. "Arrgh, kalau saja Ayah tidak menyakitinya. Seharusnya kita berada di rumah untuk istriahat malam ini." Eryk mendengus sembari menopang dagu dengan dua telapak tangan. Sementara itu, Kent tampak berdiri di depan jendela dan memperhatiakn gemerlap bintang di langit. Pria itu hanya merespon ucapan putranya dengan senyuman hambar. Semenjak Lucia dipindahkan di ruang perawatan, pria itu terus saja menjaga jarak dari gadis tersebut. Kent merasakan debaran yang menyiksa setiap kali menatap wajah Lucia. "Pulanglah jika kau bosan. Biar aku sendiri yang menunggu hingga gadis itu sadar." dengan tenang Kent berucap, tanpa menoleh ke arah Eryk yang memasang raut bersungut. Setelah ucapan itu lolos dari bibir Kent, seketika Eryk tersenyum dan men
Malam semakin larut dan suasana semakin hening. Hanya suara jarum jam yang terdengar mengisi ruang kamar bergaya vintage yang didominasi dengan warna krem. Diatas ranjang berukuran king terbaring seorang pria yang tak kunjung dapat memejamkan matanya, meski dia telah mencoba berulang kali.Kent menatap foto pernikahannya yang dibingkai besar menutupi sebagian dinding kamar. Memperlihatkan dia bersama Velarie tersenyum bahagia di hari pernikahan mereka. Saat pernikahan itu berlangsung Kent berusia 22. Kent bangkit berdiri dan berjalan mendekati foto tersebut. Pria itu menatap sendu pada wajah Velarie, karena jauh di dalam lubuk hatinya ada perempuan lain yang membuatnya merasakan getaran unik. "Aku akan meyakinkan diriku jika debaran ini muncul karena perasaan bersalah, Velarie. Kau tidak perlu risau, aku berjanji untuk tidak menyanding perempuan lain sepeninggalanmu."Mata Kent terpejam. Pria itu menarik nafas dalam sebelum akhirnya menghembuskannya perlahan. Demi janjinya kepada me
Luica menutup mulut dan menjauhkan wajahnya saat Kent hendak kembali menyuapkan bubur ke mulutnya. Dan itu membuat dahi Kent mengernyit."Kenapa?" tanya Kent menatap datar pada Lucia."Saya merasa sudah cukup kenyang." Kent melihat mangguk di tangan, tanpa disadari bubur di mangkuk tinggal setengah, untuk seukuran orang sakit, Kent pikir itu sudah cukup. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk menghabiskannya." Kent mengemasi peralatan makan yang semula dipakai, dan meletakkannya di atas nakas. Lucia mengamati pria itu dalam diam. Sebenarnya, apa maksud pria itu berbuat demikian padanya? Setelah sehari sebelumnya membuat gadis itu nyaris meregang nyawa kalau saja Lucia tidak segera di larikan ke rumah sakit. "Mengapa anda melakukan semua ini?" tanya Lucia pada akhirnya setelah sesaat keheningan meruang. Kent yang semula hendak langsung beramitan, akhinya urung beranjak. Pria itu duduk di kursi yang terletak di samping ranjang. Pria itu menipiskan bibir dan menarik nafas dalam s