Share

Bab 6. Meninggalkan panti asuhan.

“Greta?! Ayo, buruan! Pak Kirno sudah stand by di bawah.” Nadya sedikit berteriak memanggil putri bungsunya yang tak kunjung turun dari kamarnya yang ada di lantai dua. Siang ini mereka akan menjemput Kemilau, seperti janji mereka kepada Sulis kemarin. Semakin cepat pernikahan itu terlaksana, semakin cepat pula harta warisan Jordhy pindah nama menjadi milik mereka.

Suara derit pintu terdengar dari atas. Lalu disusul derap langkah tergesa menuruni tangga. Itu sudah pasti Greta.

“Duh, Ma. Kayak yang penting banget sih pergi ke sana? Sampai aku diburu-buru gini.” Wanita berusia tiga puluh itu ngedumel sambil memasang anting di kedua telinganya. Kini dia berhadapan dengan Nadya yang sudah menunggunya di ruang tamu.

“Kita harus berjuang, Gre. Ini cuma sebentar kok. Ayo.” Nadya berdiri dan berjalan ke arah pintu utama. Greta mengekor saja tanpa berkata-kata lagi. Kedua antingnya sudah menempel sempurna di daun telinga. Clutch yang dia jepit di ketiak kini berpindah ke telapak tangan.

Kirno, supir pribadi Nadya sudah menunggu di sisi kiri mobil. Tepatnya di pintu jok belakang dimana nyonya besar dan nona muda akan duduk seperti biasa. Kirno membuka pintu sambil mempersilakan Nadya dan Greta masuk.

“Ke panti asuhan sejahtera ya, Kir. Kamu sudah tau ‘kan?” Nadya mengulangi lagi instruksinya setelah dia dan Greta duduk dengan nyaman di kursi belakang tunggangan mahal tersebut.

“Baik, Nyonya. Sudah, Nyonya.”

“Oke.”

Nadya dan Greta lalu tenggelam dalam pembicaraan seputar profesi kedokteran Greta yang sedang hiatus. Nadya memberi ultimatum supaya putrinya segera kembali bekerja.

“Seperti yang Sheza bilang kemarin, nanti kamu lupa kalau kelamaan berhenti, Gre.” Begitu kata Nadya.

“Iya, Ma, nanti aku pikirkan.” Greta menjawab dengan malas-malasan. Dia sendiri masih belum bisa mengatasi rasa trauma yang kini mendominasi dalam dirinya. Ayahnya sakit dan dia dipercaya untuk mengobati almarhum. Tapi ayahnya malah pergi di tangannya sendiri. Bagaimana bisa dia tetap bekerja dengan perasaaan bersalah yang selalu menghantui?

Perjalanan mereka memakan waktu satu jam lamanya. Saat pak Kirno benar-benar berhenti, anak-anak panti sudah berkumpul di depan teras. Begitupun dengan Sulis, perempuan yang mereka temui kemarin siang.

“Kir, kardus snack yang di bagasi tolong dikeluarin semua ya.” Nadya mengingatkan. Tadi pagi, dia meminta salah seorang maid untuk membeli beberapa jenis makanan ringan dalam jumlah banyak untuk dibagikan ke anak-anak panti. Ingat ‘kan? Nadya dan Greta harus bersandiwara dengan berpura-pura baik kepada mereka?

Saat Nadya dan Greta turun dari mobil, Sulis langsung melempar senyum untuk menyambut. Dia yang berjalan duluan untuk menghampiri ibu dan anak tersebut.

“Maafkan kalau kami datang kesiangan, Bu. Jalan ke sini lumayan macet.” Nadya tersenyum saat mengutarakan alasannya.

“Tidak masalah, Bu. Kebetulan Kemilau-nya sudah selesai berkemas. Tinggal dijemput saja.”

Nadya mengangguk. Lalu kedatangan Kirno dengan dua kardus makanan ringan di tangannya membuat anak-anak panti berbisik kesenangan.

“Buat anak-anak,” jelas Nadya dengan senyum manis di wajahnya.

Dan saat Kirno bolak-balik sampai enam kali, Sulis menjadi kebingungan.

“Duh, ini banyak banget, Bu. Jadi ngerepotin Ibu dan Non.” Sulis tidak nyaman menerima buah tangan yang sangat banyak itu. Namun Nadya menyentuh lengan Sulis dan berucap ‘tidak apa-apa’.

“Kalau begitu, sebentar saya panggilkan Kemilau, Bu. Mari masuk dulu.”

Sulis membawa Nadya dan Greta masuk ke ruangan yang kemarin. Setelah itu dia meninggalkan kedua wanita itu untuk memanggil Kemilau ke kamarnya.

Suara pintu diketuk membuat kaki Kemilau terpaksa bergerak dari kasur. Dia sudah putus asa. Ibu Sulis sama sekali tidak ingin mendengar suara hatinya. Iming-iming keluarga Saskara yang baik menjadi alasan bu Sulis untuk mendukung dia menerima perjodohan ini.

Seperti dugaan Mila, Sulis lah yang mengetuk pintu.

“Calon mama mertua kamu sudah datang, Mil. Ayo.”

Wajah Mila langsung berkerut. Rasanya seperti anak yang dipaksa berpisah dengan orang tua, di saat anak belum siap untuk pergi. Mila langsung memeluk Sulis dan menangis lagi seperti kemarin-kemarin.

“Bu, please. Aku nggak menginginkan ini. Sama sekali. Bisa nggak aku di sini aja, Bu?” Dan gadis kecil itu masih berusaha ingin kabur dari kenyataan ini. Perutnya mulas, jantungnya berdebar tidak tenang karena dia akan memasuki sebuah realita yang sama sekali tidak pernah dia inginkan. Meski dia sangat penasaran tentang penelusurannya kemarin, ternyata tetap berat jika harus meninggalkan panti asuhan hanya untuk sebuah pernikahan paksa.

Sulis tak kuasa menahan air matanya. Selama tiga hari kemarin dia masih berusaha berpikir jauh. Ini semua untuk kebaikan Kemilau. Mila pantas mendapatkan hidup yang lebih layak. Itu saja yang Sulis pegang. Tapi, hatinya juga terluka melihat Mila menangis seperti ini. Dia juga tidak ingin melepas anak baik ini jika bukan demi masa depannya.

“Maafkan ibu, Mil. Maafkan Ibu.”

Tangisan Kemilau semakin pecah. Sepertinya Sulis pun tidak punya kuasa untuk melepaskan dia dari ikatan perjodohan ini. Dia sudah tau apa yang disembunyikan Sulis darinya dan itu membuat Kemilau benar-benar sedih. Bahkan sedih pun tidak bisa menggambarkan perasaannya sekarang. Hancur, mungkin.

Lima menit lamanya mereka berpelukan dalam diam. Sampai tangis Kemilau berhenti dan tersisa isakan kecil.

“Ibu sayang kamu, Mil. Justru karena Ibu mikirin masa depan kamu, makanya Ibu terima perjodohan ini.”

Kemilau semakin mengeratkan pelukannya.

“Kalau ada apa-apa, kamu kabarin ibu ya, Nak?”

Rasanya, sepuluh menit pun belum cukup untuk perpisahan ini. Kemilau seperti ingin berada dalam pelukan Sulis saja. Tidak ingin kemana-mana. Tapi Nadya dan Greta tidak mungkin menunggu terlalu lama.

“Bu … kalau Mila nggak betah, bisa balik sini ‘kan, Bu?” tanya gadis itu dengan polos. Air matanya kembali menetes.

“Harus seijin suami kamu, Nak. Ibu yakin, nak Radin bakal bisa jadiin kamu sebagai ratu dalam keluarga Saskara.”

Meski tidak ikhlas dan rela, akhirnya Kemilau mengikuti langkah Sulis yang membawanya keluar dari kamar, menuju ruang tunggu dimana Nadya dan Greta berada. Sesungguhnya hatinya sangat berat meninggalkan panti asuhan yang sudah menjadi tempat tinggalnya selama lima tahun terakhir. Kemilau ingin menangis meraung-raung ketika melewati ruang tamu dimana adik-adiknya sedang berkumpul menikmati cemilan yang entah dibawa oleh siapa.

“Halo, Mila.” Nadya berdiri dari kursinya melihat Kemilau dan Sulis muncul di depan pintu. Greta juga mengikuti. Nadya tersenyum manis sambil mengulurkan kedua tangannya ke arah Kemilau.

“Kamu pasti berat ya meninggalkan tempat ini?” tanya Nadya penuh simpati.

Kemilau bengong, diam di tempat. Ada yang aneh.

“Kamu akan terbiasa. Percayalah. Wasiat suami tante nggak mungkin keliru. Kamu adalah perempuan tepat yang almarhum pilih untuk mendampingi anak tante, Radinka.”

Greta juga ikut-ikutan mengusap punggung Kemilau. Mereka benar-benar berusaha membuat perempuan belia ini luluh dan masuk dalam perangkap mereka.

“Kamu yang kuat ya, Mil? Aku ada kok. Kita bakal jadi teman dan kakak adik.”

Kemilau hanyalah gadis polos yang hatinya masih mudah berubah-ubah. Di saat dia melihat kebaikan Nadya dan Greta, kesedihannya sedikit berkurang. Ketakutannya pun demikian. Sepertinya ucapan bu Sulis benar. Perjodohan ini tidak akan terlalu menyeramkan karena calon mama mertua dan kakak iparnya tidak seburuk yang dia kira. Tapi, yang jelas, ada hal yang harus Kemilau cari tau tentang keluarga ini. Dan tentang peristiwa kebakaran itu.

“Kalau kamu sudah siap, kita akan berangkat sekarang.”

Anggukan Kemilau membuat semua orang yang ada di dalam ruangan itu bernapas lega, terutama Sulis. Akhirnya dia bisa melepaskan Mila dengan ikhlas.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status