"Om Ridwan!" Pekik Intan.
Dia langsung mendekati mereka, tak lupa Intan juga menyalami Om nya itu. Ridwan-- merupakan adik kandung dari ayahnya Intan. Pak Ridho juga mendekati Ridwan, mereka berpelukan untuk melepas rindu. Karena memang sudah hampir 5 tahun mereka tak bertemu.
"Kemana saja kau selama ini? Mengapa baru sekarang menemui kakakmu ini? Apa kau masih marah pada kakak?" tanya Pak Ridho.
"Aku malu padamu, Kak. Dulu aku sangat keras kepala, dan tak pernah mau mendengarkan nasehatmu. Uang investasi yang aku berikan pada temanku, dibawa lari olehnya. Dan sekarang, aku tidak punya apa-apa," ujar Ridwan dengan penuh penyesalan.
Intan menyajikan minuman dan camilan untuk Om-nya itu, sementara Bu Irma hanya duduk dan menyimak saja. Setelah itu, Intan duduk disebelah Ibunya itu.
"Kita ini saudara, Wan. Jika bukan padaku, kemana lagi kau akan pergi? Ada apa? Apa yang terjadi sampai kau datang malam-malam seperti ini? Dimana Ika?" tanya Pak Ridho. Dia juga menanyakan adik iparnya itu.
"Aku kemari untuk meminjam uang, Kak. Ika akan segera melahirkan, Dokter menyarankan untuk melahirkan secara SC, tapi operasinya tertunda, karena aku belum punya uang, kak." ujar Ridwan.
"Tunggu sebentar!"
Pak Ridho beranjak dan menuju kamarnya, dia mengambil uang yang menjadi simpanan nya selama ini.
"Ambillah! Kakak, hanya itu yang bisa kakak berikan." ujar Pak Ridho menyerahkan uang berwarna merah berjumlah 10 lembar.
"Om, ambillah! Ini uang tabungan Intan selama Intan bekerja di kota, semoga cukup untuk membantu persalinan Tante Ika," Intan memberikan uang dalam jumlah yang lumayan banyak.
Ridwan mengambilnya, tak lama dia pamit, karena harus menemui istrinya dirumah sakit.
******
'Baiklah, mungkin saja Mbak Aida sedang sibuk. Jika, Mbak Aida tak ingin menemui Mama, seharusnya dia tak menghalangi Mas untuk menemui Mama. Mbak Aida juga tak mau punya anak, kan Mas?'
'Mas, menjadi model bukan alasan untuk tak punya anak. Temanku banyak yang model, tapi mereka tetap punya anak. Semuanya kembali pada diri mereka sendiri, mau tidaknya mereka memiliki anak. Bilang saja, Mbak Aida tidak mau punya anak, karena dia tidak mau mengurusi nya,'
Perkataan Ara terus terngiang dikepala Ihsan. Dia tak bisa memungkiri, bahwa yang dikatakan adiknya itu adalah benar adanya. Tapi, entah mengapa dia tetap tak setuju dengan perkataan adiknya. Menurutnya, dia merasa yakin kalau Aida akan berubah.
"Tapi, bagaimana jika dia tak berubah? Apakah pernikahanku akan tetap seperti ini? Terkadang, aku juga ingin memiliki anak, menggendongnya, mengajaknya bermain. Aku juga ingin merasakan menjadi seorang Ayah," lirih Ihsan.
"Ya, Allah. Sampai kapan semua ini akan berlangsung? Kapan Aida akan mengerti akan tugasnya sebagai seorang istri?" lirih nya lagi.
******
Aida bersiap untuk pergi ke pemotretan, walaupun tengah malam seperti ini, Aida akan tetap pergi jika ada pemotretan. Baginya, uang adalah yang terpenting. Tak ada yang lebih penting daripada uang.
"Nyonya!" panggil Mbok Darmi.
"Ada apa?" jawab Aida ketus.
"Tuan Adit sudah menunggu Nyonya," ujar Mbok Darmi.
"Baiklah. Katakan padanya, aku akan segera menemuinya," perintah Aida dengan acuh.
Aida segera keluar dan turun, dia melemparkan senyuman kepada Adit.
"Maaf, sudah membuatmu menunggumu lama," ujar Aida.
*****
"Lagi lihatin apa sih, Sar!" tegur Mbok Darmi.
"Itu, Mbok. Kok, Nyonya Aida pergi tengah malam seperti ini dengan pria lain," ujar Aida.
"Dia adalah Pak Adit, management nya Nyonya sarah. Mungkin, mereka sedang ada pemotretan. Sudahlah, jangan terlalu mencampuri urusan orang. Sebaiknya, kau tidur saja, kau tidak mau kan sampai dimarahin Nyonya lagi," saran Mbok Darmi.
Sari mengangguk, dia kembali ke kamarnya. Sedangkan, Mbok Darmi masih membereskan cangkir kopi dan piring camilan yang dia sajikan untuk Aditya nantinya.
Drrtt ...
Mbok Darmi meletakkan cangkir kopi dan piring itu, dia bergegas mengangkat gagang telpon itu.
"Hallo!"
'Hallo, Mbok. Ini Ihsan. Apa Nyonya ada disana? Saya ingin bicara dengan nya,' ujar Ihsan dari seberang.
"Nyonya sedang pergi, Pak. Ada pemotretan malam," jawab Mbok Aida.
'Baiklah, Mbok.'
Mbok Darmi meletakkan kembali gagang telpon itu. Dia kembali berkutat dengan aktivitas nya.
"Mbok Darmi!" teriakkan Sari begitu menggelegar.
Mbok Darmi menoleh kearah tangga, dia melihat Sari tangannya sudah berlumuran darah, Mbok Darmi meletakkan apa yang ia pegang, dan berlari dengan terburu-buru kearah tangga.
"Apa yang terjadi, Sar? Kenapa tanganmu sampai terluka seperti ini?" tanya Mbok Darmi cemas, bagaimanapun juga Sari sudah dia anggap seperti anaknya sendiri.
"Sebenarnya, ini---
"Kita obati saja dulu, atau kau akan kehabisan darah," ujar Mbok Darmi.
Mbok Darmi menuntun Sari ke sofa, dia mengambil kotak P3K dan mengobati nya. Terlihat, kekhawatiran diwajah Mbok Darmi. Mbok Darmi sudah menganggap Sari sebagai putrinya, selama ini hanya dialah yang menjadi sandaran untuk Sari. Melihat nya terluka, membuat Mbok Darmi merasa sangat sedih.
"Apa yang terjadi?" tanya Mbok Darmi.Sari hanya bisa meringis kesakitan, niatnya untuk membunuh tikus yang ada dikamarnya, justru malah melukai tangan nya sendiri. Mbok Darmi mengambil air putih untuk Sari. Setelah merasa cukup tenang, Sari menceritakan segalanya pada Mbok Darmi."Tadi, ada tikus di kamar Sari, Mbok. Niatnya, tadi mau membunuh tikus itu. Tapi, malah tangan Sari yang terkena pisaunya," papar Sari."Sari, Sari. Lain kali, kalau ada apa-apa panggil Mbok, biar Mbok yang bantu. Kalau seperti ini, kau akan susah bekerja nanti. Kau tau sendiri, Nyonya Aida itu seperti apa? Dia tidak akan pernah suka, jika melihat seorang pembantu lelet dalam bekerja, kan?"Sari hanya diam, karena apa yang Mbok Darmi katakan itu memang benar adanya. Jika Aida melihatnya bekerja dengan lelet, dia pasti terkena omelan nya."Sari, kan tidak tahu kalau semuanya akan
Ihsan Pov ...Pernikahan ku dengan Aida tak pernah terasa bahagia, bagaimana tidak? Setiap hari, kami sibuk dengan aktivitas kami masing-masing. Kami hanya bertemu di waktu malam saja, itupun kalau Aida tak sibuk dengan pemotretan nya. Terkadang, dia harus pulang menjelang subuh, aku tak bisa menghalangi nya, karena memang itu semua menjadi kesepakatan kami.Tapi, setiap kali aku membahas perihal anak, Aida selalu mengatakan bahwa ia belum siap.'Jika aku sampai hamil, maka aku akan dikeluarkan dari dunia model, Mas. Dan, aku belum siap untuk keluar. Aku harap Mas Ihsan akan mengerti,'Mengalah!Hanya mengalah lah yang selalu aku lakukan. Hingga 4 tahun pernikahan, tapi Aida tetap tak berubah. Aku juga tak bisa melepaskan Aida begitu saja, karena aku menginginkan pernikahan satu kali dalam hidupku.Ara-- adik perempuan ku selalu
"Kenapa cuma segini, Mas? Biasanya kau memberiku lebih dari 10 juta setiap bulannya, kenapa sekarang hanya tinggal 5 juta. Oh, aku tau. Pasti kau memberikan nya pada Mama dan adik mu itu. Iya, hah?! Jawab aku mas!" Aida menatap Ihsan dengan tatapan nyalang."Kalau memang iya, kau mau apa? Bersyukurlah, karena aku masih memberikan mu nafkah bulan ini. Mengingat, perlakuanmu pada keluarga ku, jangankan untuk memberimu nafkah. Melihat wajahmu saja aku tak sudi," ujar Ihsan. Sungguh, ia tak mampu menahan kekesalannya pada Aida hari ini."Oh, melihat wajahku kau tak sudi. Jika begitu ceraikan aku!" ucap Aida lantang.Ihsan terdiam beberapa saat, kemudian dia menghela napas, "Aku tidak akan pernah menceraikan mu, karena bagiku pernikahan hanyalah satu kali dalam seumur hidup. Entah bagimu,"Ihsan memilih pergi, karena tak ingin memperpanjang masalah. Ihsan masuk ke ruang kerjanya, dia mem
Ara melangkahkan kakinya masuk kedalam minimarket, tangannya yang lincah mulai memasukkan beberapa bahan kebutuhan untuk sebulan. Saat akan membayar, Ara berpapasan dengan seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya. Ara tak ingin berlama-lama, dia segera membayar barang belanjaan nya dan pergi."Ara, tunggu!" lelaki itu berlari mengejar Ara.Ara dengan secepatnya naik ke mobil, lelaki itu mengetuk kaca mobil, dia terus memohon agar Ara mau mendengarkan nya.Didalam mobil, Ara memukul stir mobil dengan geram. Airmata lolos begitu saja di pipinya, ingatan masa lalu benar-benar menyakitkan hatinya.'Maafkan aku, Ara. Aku tak bisa melanjutkan pernikahan ini, aku tak mungkin menikahi wanita malam seperti mu,' ucap lelaki itu."Kenapa dia kembali? Disaat aku sudah melupakan nya, dia kembali lagi. Apa belum puas dia mengacaukan hidupku?!" teriak Ara dengan
Intan melangkahkan kaki masuk kedalam perusahaan itu, sebenarnya dia masih ingin mengambil cuti, karena dia merasa kasihan dengan Riska yang masih saja menangisi Ibunya. Tapi, Intan sadar. Dia tak bisa mengambil cuti terlalu lama, mengingat dia masih anak baru.Intan menekan tombol lift, bersamaan dengan seorang pria yang juga menekan. Intan menoleh, dia sekilas memperhatikan orang tersebut. Dia merasa seperti pernah melihat orang itu."Bapak yang nabrak saya malam itu, kan?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Intan."Eh," Intan langsung menutup mulutnya. Dia tau, tak seharusnya dia berkata seperti itu, karena bisa aja dia salah orang.Pria itu yang ternyata bernama Ihsan, mengamati gadis itu sebelum akhirnya mengangguk."Iya. Bagaimana dengan kakimu? Apa masih sakit?" tanya Ihsan dingin."Iya, tapi kalau dibawa jalan masih agak sedikit sakit," ujar Intan."Mau kerumah sakit?" tanya Ihsan,
"Kenapa, Mbak? Kenapa wajahmu itu berubah pucat? Tenang saja, karena Saya tak akan melakukan apapun kepadamu. Saya tidak ingin tangan saya yang indah ini ternodai karena menyentuh kulit mu Mbak. Silahkan Mbak pergi dari rumah saya!" ucap Ara dengan senyum mengejek.Ara menuntun mamanya masuk ke dalam rumah, setelah memastikan mamanya aman, Ara keluar menghampiri Aida yang masih mematung di tempat."Saya rasa selain pelit, Mbak juga tuli!" celetuk Ara."Ara!" Aida menatap tajam ke arah Ara. Tapi, yang ditatap hanya menampilkan senyuman mengejek."Tidak usah berteriak-teriak, Mbak! Atau suara Mbak akan habis nanti. Sudahlah, silahkan pergi dari rumah saya." usir Ara pada Aida seraya menarik tangan Aida kasar dan menghempaskan nya keluar pagar."Sudah aku katakan, aku tidak akan pernah pergi sebelum kau memberikan apa yang aku mau." Aida berkacak pinggang."Kau ini tuli atau apa Mbak?! Sudah saya katakan, uan
Sari memegang kepalanya yang terasa sakit karena tarikan Aida tadi. Kedua mata Sari mengembun. Gadis itu benar-benar tak tau dimana letak kesalahannya, sampai Aida begitu sangat membencinya. Apa mungkin Aida salah paham, saat dia dan Ihsan berada satu mobil pada malam hari. Sebenarnya, itu bukanlah sebuah kesengajaan. Saat itu Aida meminta Sari untuk ke minimarket membelikan camilan kesukaannya, ditengah jalan dia bertemu Ihsan, dan mengajaknya untuk pulang bersama."Mbok! Sari tuh salah apa sih, mbok? Kenapa Nyonya Aida sangat membenci Sari? Padahal, selama ini Sari selalu melakukan yang terbaik untuk nyonya," isak Sari. Saat ini dia tengah diobati oleh Mbok Darmi"Nduk, ngk salah apa-apa. Mungkin nyonya Aida sedang banyak pikiran," ujar Mbok Darmi mencoba menenangkan Sari."Mbok! Sari mau berhenti kerja aja, Mbok. Sari ngk betah disini. Sari mau cari pekerjaan lain saja," ujar Sari.
Ihsan pulang kerumah dan langsung masuk ke kamarnya. Dia melihat Aida sedang menelpon seseorang, dia menunggu Aida sampai selesai menelpon. Tak lama kemudian, Aida telah menyelesaikan panggilan telpon nya. Ihsan langsung menghampiri nya."Aida! Apa benar kau datang kerumah? Dan kau juga mengambil uang yang aku berikan pada Mama dan Ara?" tanya Ihsan dengan nada menggebu-gebu."Iya. Memangnya kenapa? Itu 'kan juga hak ku," jawab Aida santai."Keterlaluan kau! Bukankah aku sudah memberikan hakmu. Uang segitu saja kau permasalahkan!""Kau itu yang keterlaluan! Kau memberikan mamamu lebih banyak dari punyaku. Apakah itu adil? Tidak.""Jika uang itu memang kurang, seharusnya kau mengatakan nya padaku. Aku pasti akan memberikan nya. Tapi, bukan dengan cara mengambil uang dari Mama dan Ara," sungut Ihsan kesal."Aku hanya mengambil uang Mama bukan Ara. Ini hanyalah masalah kecil, jangan memperbesar."Aida duduk