POV: Mila
Kuputuskan pulang saat matahari sudah menunjukkan keberadaannya. Semoga saja rumah kosong atau Tanteku sudah pulang dari tempat saudara. Mengingat wajah Om Danu yang buas malam itu membuatku takut untuk bertemu dengannya. Kadang-kadang aku ingin sekali memberi racun tikus di makanannya. Tapi nanti tempatku di neraka.
Kuraba bajuku, sudah kering sendiri setelah semalaman aku memakainya dengan keadaan basah kuyup. Kepalaku terasa sakit dan lemas, ini karena aku tidur di luar pasti. Semalam aku terduduk di pondok kebun orang, hanya tempat itu yang bisa kudatangi.
Aku masuk ke halaman rumah takut-takut. Rumah terbuat dari kayu itu terlihat sepi, jendelanya juga masih tertutup. Takutnya laki-laki brengsek itu masih di dalam rumah. Pintu tiba-tiba terbuka. Dan Tante Gina keluar dengan wajah menyeramkan. Lalu dari belakang pria brengsek itu keluar juga.
"DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI. TIDAK BERGUNA!" pekik Tanteku sembari melempariku dengan benda-benda yang ada di dekatnya. Sendal, sisir, lalu sapu melayang pada tubuhku. Sudut mataku melirik Om Danu yang tersenyum sinis ke arahku.
"BISA-BISANYA KAMU BAWA LAKI-LAKI MASUK KE KAMAR KAMU! UNTUNG SAJA OM KAMU PULANG!" ucapan itu menusuk jantungku. Bedebah itu memfitnahku. Om Danu tiba-tiba menendang tubuhku hingga aku tersungkur.
Belum sempat aku membantah, Tante Gina mengambil sapu lalu memukul tubuhku bertubi-tubi. Amukannya seperti orang yang kesurupan. Tidak perduli orang-orang yang lewat melihat ke arah rumah kami. Aku benar-benar dipermalukan. Aku digeret masuk ke dalam rumah.
"Ampun Tante... Ampun Tante." Isakku dengan tangan menyatu di bawah lututnya. Tangan Tante Gina menarik kuat rambutku, serasa akan terkelupas dari kulit kepalaku. "Sakit Tante... tolong lepasin Tante... "
"Katakan Mila siapa laki-laki itu? Biar kamu saya nikahkan saja daripada jadi beban di rumah saya."
"Gak ada Tante... " Isakanku semakin kuat, lututku bergesek dengan lantai hingga terasa perih di sana.
"Untung semalam saya datangnya cepat. Mungin mereka belum sempat melakukan apa-apa. Kita masih butuh tenaga Mila, sayang."
Aku melotot, pria itu mengarang cerita. Harusnya aku ceritakan saja pria ini berulangkali mencoba memperkosaku, tapi mulutku tak bisa berucap. Kasihan Tanteku bagaimana pun dia pengganti orangtuaku. Satu-satunya keluarga yang aku miliki.
"Mau jadi apa kamu, Mila? Sudah untung saya nampung kamu! Kasih makan mulut kamu! Ternyata kelakuan kamu murahan... sama aja kamu seperti ibu kamu."
Aku tidak menangis, untuk apa? Ibuku tidak melakukan kesalahan. Selama ini Tante selalu bilang ibuku menggoda saudara laki-lakinya. Aku yakin orang tuaku saling mencintai, jadi aku tidak akan menangisi mereka. Hanya saja tubuhku terasa remuk akibat pukulan yang kuterima. Harusnya aku tidak pulang tapi aku tidak tahu mau kemana.
Orang-orang berdatangan ke rumah kami, melihat betapa naasnya diriku. Aku menutup mataku pasrah, Tanteku pasti sudah bicara yang bukan-bukan tentangku.
"Perempuan kayak dia nggak pantas dikasihani. Bikin malu. Buat mesum di rumah orang," pekik Tanteku pada orang-orang di sana.
Aku memegang dadaku, terasa sesak. Kenapa Tanteku tega bicara seperti itu. Bukankah aku sama saja dengan anaknya, apalagi dia belum punya anak setelah bertahun-tahun menikah."Bubar semua! Jangan jadi penonton urusan keluarga orang. Kepo aja!" teriakan Om Danu membuatku sedikit lega, setidaknya aku tidak jadi bahan tontonan.
Aku berlutut di lantai, bukan meminta ampun tapi mereka membuatku seperti itu. Tanteku duduk di kursi di depanku. Keningnya mengkerut seperti memikirkan sesuatu. Aku berdoa pada Tuhan, supaya terlepas dari mereka.
"Saya nggak bisa nampung kamu lagi, perbuatan kamu sudah mempermalukan keluarga," ucap Tante Gina, saat aku ingin membuka mulut mata pria itu tajam padaku seakan mengancamku.
"Kamu mau ngusir dia Bu? Kasihan Mila mau tinggal dimana dia. Ingat Bu cuma dia satu-satunya darah daging kamu," ucap Om Danu seperti tidak rela aku pergi. Pintar sekali dia berakting.
Aku tidak berharap macam-macam, cukup Tuhan membawaku ke tempat yang lebih baik dari sini. Mungkin tidak ada lagi kesempatan aku lari dari jerat Om Danu lain kali. Mataku terpejam membayangkan itu.
"Nggak bisa, keputusanku udah bulat. Warisan peninggalan orangtua dia juga sudah habis. Darimana kita mau nafkahin dia?" tanya Tanteku dengan kesal. Aku sedikit meringis mendengar itu. Yang menghabiskan sebenarnya Om Danu yang suka berjudi dan Tante Gina suka belanja banyak-banyak. Sedangkan aku, putus sekolah dengan alasan warisan orangtuaku telah habis. Harusnya setahun lagi aku lulus.
Tiba-tiba Om Danu membisikkan sesuatu di telinga Tanteku, aku tidak tahu apa yang pria itu katakan. Tapi Tanteku mulai tersenyum menatapku. Kali ini wajahnya tidak kesal lagi.
Aku termasuk gadis ramah dan suka membantu pekerjaan rumah tanpa mengeluh. Saat aku putus sekolah banyak yang berniat melamarku, tapi Om dan Tante menolak dengan alasan aku belum cukup umur. Tapi aku yakin bukan karena itu.
Mereka membuatku seperti pembantu, aku jarang mendapatkan sapaan lembut. Makan makanan sisa dari mereka. Tapi aku tetap bersyukur. Tuhan, kenapa aku mendapatkan perlakuan seperti itu?
🥀🥀🥀
Sudah kuduga, mereka ingin menyingkirkanku dengan timbal balik yang tidak merugikan mereka. Tiba-tiba saja Tante dan Om memanggilku dan makan bersama di ruang makan, hal yang tidak pernah kami lakukan.
Tante juga yang memasak makanan ini. Ayam goreng kesukaanku. Biasanya setahun sekali aku menikmati ayam goreng. Bukan karena tidak pernah memasak ayam goreng hanya saja tidak ada jatahku. Saat aku memasak ayam goreng, yang tersisa hanya tulang-tulangnya saja. Terpaksa aku makan dengan garam dicampur sedikit air hangat. Coba saja, rasanya seperti kalian makan dengan ikan asin.
Di saat teman-teman seumuran denganku sudah berpakaian menarik tidak denganku, pakaianku bekas-bekas yang diberikan tetangga. Mungkin mereka kasihan. Terkadang malah ada yang memberikan aku kue sembunyi-sembunyi. Aku punya teman, dia tetangga kami dulu dia satu sekolah denganku. Terkadang Aina mengajariku pelajaran yang tertinggal. Jadi aku tidak bodoh-bodoh sekali.
"Ayok makan yang banyak Mila, Tante sengaja masakin ini khusus buat kamu. Maaf ya Tante mukulin kamu." Tante Gina meletakkan paha ayam ke piringku, senyumnya lembut sekali.
Aku tersenyum, sedikit curiga. "Iya Tante." Kulirik Om Danu yang menatapku sambil tersenyum, membuatku ingin muntah.
"Om punya kenalan di Jakarta, dia lagi butuh orang buat bantu-bantu. Kamu mau kan kerja ke sana?" tanya Om Danu. Mendengar itu aku sedikit antusias.
"Kerja apa Om?" tanyaku bersemangat. Daripada di sini di mangsa pria bedebah ini. Lebih baik aku memulai hidup baru.
Om Danu menyikut Tante Gina, mataku mengamati kelakuan mereka. Apa yang mereka rencanakan. Kenapa Om Danu berat mengatakan.
"Kerjaannya enak kok, cuma duduk-duduk aja di sana," kata Tanteku. Dia menghentikan makannya dan terfokus pada wajahku. "Di Club malam kamu mau ya? Om kamu sudah bicara sama yang punya. Kamu tinggal berangkat saja."
Mataku melotot, kuletakkan sendok pelan supaya mereka tidak tersinggung. "Tante aku nggak mau kerja di Club malam. Itu tempat maksiat. Bagusan aku kerja jadi pembantu rumah tangga saja. Atau jadi TKW, kalau itu aku mau." Tolakku dengan tegas. Membayangkan dikelilingi laki-laki saja bulu kudukku merinding. Aku pernah nonton TV di rumah Aina, berita tentang penggerebekan club malam. Jauh dari kata positif, apanya yang tinggal duduk-duduk saja.
"Kamu itu nggak ngapa-ngapain di sana. Nggak semua pekerja club malam itu negatif. Otak kamu aja yang negatif!" ucap Om Danu memarahiku. "Kamu kerja di bagian dapur kok. Nuci sama masak."
Andaikan orangtuaku masih ada aku tidak mungkin diposisi sulit seperti ini. Aku tidak mau kerja di tempat seperti itu. Tapi tidak tahu bagaimana menolaknya, Om dam Tante sepertinya sudah merencanakan.
"Hitung-hitung kamu balas budi sama kami, Mila." Tante Gina, adikku ayahku mengungkit.
"Balas budi gimana, Tante? Aku di sini ngerjain semuanya. Masak, nuci, ngepel, malah aku ikut nyangkul di sawah. Semua harta orangtua aku kalian yang ambil alih," ucapku dengan berani. Jantungku seolah berhenti ditatap setajam itu oleh kedua orang itu.
"Jadi kamu mau perhitungan tenaga? Denger ya Mila, harta orangtua kamu itu sudah habis. Mereka ninggalin hutang sama rentenir. Semua harta kalian sudah habis terjual untuk bayarin itu!" bentak Om Danu, dia berdiri tegak dengan matanya masih tajam ke arahku. "Pokoknya kamu harus pergi, kalau tidak kamu terima akibatnya."
POV Mila.Aku duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangku, gaun tidur yang kupakai berwarna cream sangat ramping di tubuhku. Aku mengamati Alister dari kaca dia duduk di atas tempat tidur dengan laptopnya. "Mas, apa Elkana sudah mendapatkan hukuman?" tanyaku.Rasa ngeri masih terasa jika mengingat kejadian itu. Mas Alister mundar-mandir ke persidangan Elkana untuk membuat Elkana tidak bisa keluar dari penjara. Aku hanya diminta jadi saksi dalam satu kali persidangan, Alister pasti tidak ingin aku melihat Elkana."Aku menuntutnya dengan tuduhan pembunuhan Lily dan pencobaan pembunuhan Mang Udin." Dia menatapku dengan rambut yang masih basah karena tadi sepulang kerja dia langsung mandi. "Elkana dihukum mati setelah dia dinyatakan bersalah."Tubuhku menggigil karena mendengar itu, lalu dia kembali berucap. "Ini adalah moment paling mengerikan yang pernah kita hadapi. Tolong sayang... selama sis
Pekerjaan yang paling sia-sia di dunia ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Kedatangan Alister ke Singapore malah menghidupkan kembali perasaan Kezia pada Alister. Kezia bicara tentang perasaan yang dia rasakan untuk Alister, menceritakan tentang waktu yang ia habiskan bersama Alister di Singapure. Padahal Alister sangat profesional karena pekerjaan.Mila merasa wanita itu sedang berada di alam lain.Mila mencoba memberikan nasehat agar Kezia tenang tapi ia malah menerima tamparan lagi. Agreva kembali mundur karena pisau Kezia di leher Mila bisa membuat wanita itu nekad tanpa sadar."Kenapa kamu ngambil posisiku?" kata Kezia dengan mata dinginnya. "Kamu bikin aku marah... Aku akan menggantungmu... lalu bermain-main dengan mayatmu pakai pisau." Tubuh Mila gemetar, rasa takut membuatnya tidak berani bergerak."Kalau terus begini wanita itu akan nekad membunuh." Suara satpam berbis
Alister menendang pintu kuat hingga Jeha dan seorang laki-laki itu terkejut. Alister menduga pria itu adalah penculik Mila dan juga psikopat yang membunuh Lily. Dia tidak akan membiarkan pria ini kabur meski nyawa taruhannya.Mang Udin masih berbaring tak sadarkan diri. Dibantu alat pernafasan. Bukan hanya itu yang membuat Alister kaget, pria itu membuka maskernya. Ternyata pria disebelah Jeha adalah Elkana. Sudah ia duga Elkana juga terlibat sayangnya mereka terlalu fokus pada Kezia."Kalian ingin membunuh Mang Udin? Kalian juga kan yang membunuh Lily?" Suara Alister penuh emosi, saat ia ingin mendekat tangan Jeha memegang alat pernafasan Mang Udin."Berhenti, atau saya nekad," ucap wanita berambut pendek itu.Alister mundur selangkah dengan tangan ke atas. Elkana tertawa melihat wajah takut Alister. Sangat puas Alister bisa ia kendalikan. Tangan Jeha didekat kepala Mang Udin berjaga-jaga kalau Alister melawan.Alister menatap penuh kebencia
Malam itu Agreva melajukan kecepatan mobilnya. Wajah panik Alister terlihat jelas di wajahnya, bibirnya gemetar menahan emosi dan cemas campur aduk. Salah seorang pelayannya menelpon agar dia cepat pulang karena Kezia mengamuk di rumahnya. Keadaan berbahaya.Alister melirik ke luar kaca dengan dengan geram, begitu juga Agreva yang menjadi supirnya, keadaaan genting begini jalanan macet. Kalau saja dia bisa menabrak mobil yang ada di depannya agar cepat sampai."LEBIH CEPAT LAGI!" Ujar Alister emosi, ketika jalanan mulai longgar.Alister ingat beberapa tahun lalu Kezia memukul Mila di kampus. Meskipun banyak orang di sekelilingnya Kezia tidak takut memukul Mila. Dia wanita paling nekad."LEBIH CEPAT LAGI AGREVA!""Baik Pak." Ucap Agreva menyetir dengan kecepatan penuh.Zia, sebaiknya jaga sikapmu. Tangannya terkepal di atas
POV Mila.Alister dijemput Agreva sejam lalu, mereka pergi menemui orang yang ditangkap polisi. Dia menyerahkan diri begitu saja. Itu hal yang mengejutkan bagi kami. Aku menunggu Alister di dalam kamar, begitu saja aku terpikir untuk mencari berkas tentang perceraian Kezia.Aku melangkah keluar lalu turun ke lantai bawah masuk ke ruang kerja di rumah itu.Aku menemukan di dalam lemari berkas itu, semuanya tersusun rapi. Data kesehatan Kezia, data pribadi suami Kezia juga ada. Pria itu orang Indonesia yang tinggal di Singapure.Maps coklat aku buka, ada foto-foto Kezia berpose dengan percaya diri. Tapi, aku juga menemukan ada foto-foto Kezia yang penuh dengan luka lebam. Ini sama dengan yang pernah Meira alami. Tampak gambar Kezia di wajahnya ada perban yang membelit ke atas kepala. Jantungku bergetar.Aku membuka laptop, mencari data Kezia yang disimpan Alister. Pasti dia menyimpan banyak
POV Mila.Dia memintaku untuk tenang, tapi aku merasakan dari tangannya Alister sedang khawatir. Hidup kami berubah seperti film horor tapi tak berhantu.Beberapa polisi yang kami lewati menatap Alister dengan bermacam-macam ekspresi, aku tebak Alister sering berkunjung ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Ada yang menatapnya sinis ada juga yang ramah, mengingat Alister orang yang tempramental aku bisa mengerti kenapa mereka tidak suka melihat suamiku.Tiba-tiba suara seseorang memanggil kami, tepatnya memanggil Alister. Lebih dulu Agreva yang menoleh pada orang itu."Selaginya istrimu di sini biarkan kami meminta keterangannya." Aku tahu polisi ini, Wisnu orang yang membuat Alister pernah di tahan. Jovanka yang menceritakan. Tangan Alister menggenggam erat tanganku. "Kuharap kalian lebih menurut untuk diajak kerja sama.""Silahkan Pak, aku bersedia. Apa ini soal Lily atau penculikanku?" kataku dengan nada menantangnya."H...." Polisi
POV MilaHal yang terbersit di benakku adalah kejadian aku di culik. Aku bahkan masih ingat dengan orang yang duduk di sebelahku berbisik seperti setan mengancamku. Aku menatap suamiku dengan ekspresi panik. "Mas, siapa pelakunya? Siapa yang ingin mencelakai aku?"pertanyaan itu kuulangi lagi.Alister bergeming.Aku menatap ketiga polisi itu bergantian dengan perasaan takut. Mereka hanya membalas tatapanku tapi tidak menjawab pertanyaanku."Jadi memang ada yang berniat membunuh aku? Tolong ceritakan apa yang terjadi."Yang Sam katakan, "Mobil yang di bawa Mang Udin tiba-tiba rem-nya tidak berfungsi. Mobil itu berhenti di persimpangan. Menurut keterangan ada mobil di belakang mereka dan menabrak bemper sebelah kiri mobil Mang Udin. Mobilnya menabrak pohon besar." Dalam beberapa detik aku terdiam mendengar itu.Kata-kata polisi itu membuatku frustasi. Aku menatap buku catatan yang dibuka Sam. Aku rasa itu ada
POV Mila.Meira menelponku saat aku sedang sendirian, kebetulan sekali aku sangat jenuh sekali di rumah. Sudah jam segini Alister belum juga pulang, mungkin dia banyak pekerjaan jadi terlambat pulang. Obrolan kami seputar kehidupan sehari-hari dan juga tentang penculikanku, dia tahu kasus itu karena masuk berita. Harusnya polisi malu beritanya sudah tersiar tapi pelakunya belum tertangkap."Alister ingin aku pergi entah kemana dia ingin menyembunyikan aku. Mungkin keluar negeri. Idenya bagus banget kebetulan aku belum pernah ke sana." Jawabku pada pertanyaan Meira, nada bicaraku sok tenang padahal aku sangat marah sewaktu Alister bicara itu."Oya? Memangnya dia akan tahan kalau kamu pergi? Kayak gak tahu aja suami kamu gimana, Mila." Tanggapan Meira sama dengan yang kupikirkan. Tapi, detik kemudian dia berubah pendapat. "Tapi, kalau aku boleh saran... aku rasa Alister mengambil keputusan itu untuk kebaikan kamu. Dia itu ga
Setelah Alister selesai dengan pekerjaannya dia menyuruh Agreva dan Jovanka masuk ke ruangannya. Tentu saja hal itu berhubungan dengan penyelidikan mereka. Ekspresi Alister yang serius membuat Agreva dan Jovanka tegang, salahkan kenapa mereka menjadi kepercayaan Alister hingga semua-semuanya melalui mereka."Pak, polisi beberapa hari ini datang ke kantor menanyai para staf." Jovanka melaporkan, dia menceritakan detail dan padat saat polisi-polisi itu mendatangi kantor dengan seragam polisi mereka. Dahi Alister mengerut sempurna. "Saya bilang selagi Bapak tidak masuk seluruh staf dilarang memberikan keterangan.""Sialan! Memangnya mereka siapa berani mencurigai aku. Karena Oma meninggal dan aku beberapa hari tidak bergerak di rumah lantas mereka suka hati bertindak." Kata Alister penuh emosi.Agreva juga melaporkan kelima pria yang yang mereka sewa untuk membantu penyelidikan ini. Sayangnya Alister tidak berjumpa deng