Berulang kali Risa menatap pantulan dirinya pada cermin. Mengenakan baju tidur transparan dengan belahan dada rendah membuatnya tampak begitu seksi, dan menggoda. Namun, Risa menyadari ada satu hal yang mengganjal di dalam hatinya.
Risa terdiam. Selama satu tahun berkencan dengan Arya ini adalah kali pertamanya menginap di rumah itu dengan status kekasih bayangan Arya. Risa bimbang di antara dua pilihan, menyenangkan kekasihnya atau menghargai Nazwa yang pernah menjadi sahabat terbaiknya. "Wah, kamu seksi, Sayang.""Mas Arya!" pekik Risa, ia buru-buru berlari ke arah pintu. Menarik lengan Arya lalu mengunci pintu. Risa menatapnya selintas, lalu berbalik tak mengacuhkan Arya yang tampak bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya. "Hei, kemarilah."Namun, Risa tetap tak acuh terhadap Arya. Ia memilih untuk berjalan menuju jendela yang menghadap langsung ke arah taman. Arya tertawa melihat reaksi Risa yang tak seperti biasanya, "Kamu kelihatan kesal, ada apa?"Sesuatu yang lembut menyentuh bahu polos Risa. Hangat, dan membuat gelenyar rasa yang membangkitkan gairahnya. Dalam terpejam, Risa merasakan setiap sentuhan lembut itu. "Katakanlah, apa yang membuatmu seperti ini?" tanya Arya sambil memutar tubuh Risa menghadap ke arahnya. "Aku hanya tak nyaman berada di sini, satu atap dengan, Istrimu," kata Risa sambil tertunduk. Tidak ada jawaban lain yang terlontar dari Arya. Dia justru pergi meninggalkan Risa yang masih tertunduk. Namun, kelegaan yang dirasakan Risa rupanya hanya sementara. Tak berselang lama dari kepergian Arya, ia mendapatkan sebuah pesan. @Pak Bos[Paviliun, kemarilah.]"Apa sebenarnya yang dia, inginkan?" gumam Risa sambil merebahkan tubuh lelahnya di ranjang, dan ketika Risa hampir saja terpejam, sebuah panggilan membuatnya kembali terjaga. "Halo Mas, ada apa?" tanya Risa dengan suara parau. "Ya, baiklah aku ke sana," ucapnya lagi malas. Suasana hati Risa benar-benar buruk malam itu, dengan wajah cemberut ia terpaksa menuruti ucapan Arya yang memintanya untuk segera ke paviliun. Dari kejauhan paviliun tampak temaram, hanya lampu bagian luar saja yang menyala sedangkan bagian dalam dibiarkan gelap."Apa, Mas Arya hanya mempermainkanku, saja?" gumam Risa sembari terus berjalan mendekat. Meski sempat ragu, tapi Risa memutuskan untuk masuk ke paviliun. Matanya berusaha memindai setiap sudut ruangan, tapi nihil hanya gelap yang mampu ia lihat di sana. "Apa dia benar-benar kesal, sampai mempermainkan aku, seperti ini?" ungkap Risa kesal. Kesal karena merasa dipermainkan, Risa memilih untuk kembali. Namun, saat ia hendak menggapai pintu, Risa merasakan seseorang menarik lengannya lalu memeluk dari arah belakang. "Aku tidak mempermainkan kamu, Sayang," ungkap Arya sambil berbisik. Risa terperanjat, dan hampir berteriak karena Arya yang tiba-tiba muncul. Namun, selang beberapa detik kemudian Risa justru menikmati kehangatan dari dekapan tubuh Arya. "Kenapa kamu matikan lampunya, Mas?" tanya Risa dengan nada mendesah-desah. Arya masih tak menjawab pertanyaan Risa, dia masih sangat menikmati aroma tubuh sang kekasih dengan tangan yang terus bergerilya menyentuh area sensitif Risa. "Pasti akan sangat menyenangkan bercinta dengan suasana gelap seperti ini," ucap Arya sambil memutar tubuh Risa, lalu melumat bibir tipis seksi itu. Risa tak dapat mengelak dari serangan tiba-tiba Arya, tapi saat Arya hendak membuka bajunya, refleks ia menghindar. "Ayolah, kenapa kamu terus menolak?""Sudah aku katakan, Mas. Aku tak nyaman bercinta denganmu di sini!"Lelaki itu menghela napas panjang, "Risa, lihatlah kita sekarang berada di paviliun sedangkan, Nazwa berada di rumah utama. Kita tidak sedang berada dalam satu atap yang sama, Risa."Namun, Risa masih saja bergeming. Dengan sedikit perasaan kesal di dalam hatinya Arya langsung mengangkat tubuh Risa, dan mendudukkannya di atas meja. "Sepertinya kamu rindu bermain kasar," ungkap Arya dengan sorot mata tajam. "Mas aku mohon, jangan."Arya tak peduli dengan permohonan Risa, yang ada dalam pikirannya kini hanyalah bersenang-senang. Suasana temaram, dan aroma yang menguar dari tubuh Risa benar-benar membuatnya gila. ***Matahari menyelinap diam-diam dari balik jendela paviliun. Risa memicingkan mata, beradaptasi dengan cahaya yang tiba-tiba mengenai wajahnya. "Ah, badanku pegal sekali," gumam Risa sembari bangkit dari ranjang, dan memungut baju tidurnya yang berserakan. Risa menoleh ke arah ranjang, seulas senyum tipis terlukis di wajah cantiknya kala mengingat pertempuran panasnya semalam bersama Arya. Tidak ingin berlama-lama di paviliun, Risa bergegas merapikan ranjang sebelum ia kembali ke dalam rumah. Suasana di sekitar paviliun masih tampak sepi, setelah memastikan semuanya aman ia berjalan cepat menuju kamarnya yang semula. "Baiklah, saatnya mandi dan menutupi bekas cinta ini dengan make-up," gumam Risa, sesaat setelah ia berada di kamar, menatap ke arah cermin dan melihat banyaknya kissmark di bahu serta di leher jenjangnya. Namun, baru saja Risa hendak melangkah ke kamar mandi. Pintu kamarnya terbuka, ia terbelalak saat mendapati seseorang telah berada di ambang pintu menatap tajam ke arahnya. "A-apa yang, Anda lakukan di sini, Dokter Dika?" tanya Risa, berusaha untuk tetap tenang. "Justru aku yang seharusnya bertanya, sedang apa kamu di kamarku?"Lelaki itu menatap tajam ke arah Risa sambil terus berjalan mendekat. Risa melangkah mundur tapi sayang, tembok menghentikan langkahnya. "Aku yang menginap di kamar ini," ucap Risa menimpali, ia mengedarkan pandangan dan Risa pun yakin jika kamar itu adalah kamar yang semalam ia masuki. "Benarkah? Lalu, ke mana kamu semalam jika benar ini adalah kamarmu?" Risa bungkam mendengar pertanyaan Dika, ia tampak memikirkan alasan tepat yang bisa menyelamatkan dirinya dalam situasi itu. "Ah, aku tahu di mana kamu semalam." Dika menyibak rambut panjang Risa, dia tersenyum penuh kemenangan menatap leher jenjang Risa yang dipenuhi Kissmark. "Katakan siapa yang membuat tanda-tanda, menjijikan ini?" tanya Dika sambil mencengkram ke dua bahu Risa. Tubuh Risa terkulai, dan dalam hitungan detik ia kehilangan kesadaran. Dika menarik tubuh lemah Risa ke dalam dekapannya, dan dalam waktu yang bersamaan seseorang datang ke kamar itu. "Hei, Risa bagaimana ti… ,"Angin yang berembus lembut disertai matahari senja yang menyelinap dari celah pepohonan seakan mengantarkan kepergian Arya. Dari balkon kamar, Risa terus menatap mobil jeep yang membawa Arya menjauh, semakin menjauh hingga hilang dari pandangan. Suasana sepi mulai menyelimuti, hanya suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menjadi nyanyian alam yang menemani kesendirian Risa. Ia tampak menghela napas dalam sambil mendudukan diri di sebuah kursi kayu. "Setidaknya, di sini aku bisa bernapas lega. Tidak ada lagi Tuan tua menyebalkan itu!" gerutu Risa. Rupanya, Risa masih merasa kesal dengan Bramantyo. Mungkin lebih tepatnya dendam dengan perlakuan menyebalkan lelaki itu terhadap dirinya. "Lihat saja, aku akan membuatmu malu, Bramantyo!" pekik Risa mencurahkan segala kekesalan di dalam hatinya tanpa khawatir ada seorang pun yang mendengarnya. Matahari semakin beranjak ke barat, angin pun berembus lebih kencang. Risa memeluk tubuhnya sendiri karena dingin yang seketika menyergapnya
Tempat yang terasa asing bagi Risa. Tidak ada lagi keramaian, mall, salon, restoran dan tempat-tempat yang biasa Risa datangi jika tengah dilanda rasa bosan. Kini hanya pepohonan menjulang yang menjadi teman setianya. "Ini ponsel baru, meskipun jauh dari keramaian aku dapat menjamin kamu masih bisa berselancar di dunia maya. Tapi ingat, gunakan akun palsu," ungkap Arya saat dia hendak kembali ke kota dan menyerahkan ponsel baru untuk sang kekasih. "Lalu, kapan kamu akan berkunjung kembali? Aku takut lama-lama diam seorang diri di sini." Risa menatap sekeliling lalu bergidik ngeri. "Aku takut setan, Mas," sambungnya sembari memeluk tubuh Arya. Melihat kekasih hatinya seperti itu, Arya terbahak. Risa seperti anak kecil dan dia begitu gemas terhadapnya. "Kok malah ketawa sih?" Ia mencebik dengan tangan yang dilipat di depan dada. Bibir tipis yang mengerucut dengan pipi sedikit menggembung membuat Arya tak tahan untuk tidak mencubit pipi sehalus sutra tersebut. "Aw, Sayang ih. Saki
"Kepalaku pusing sekali," lirih Risa ketika, ia mulai tersadar. Tubuhnya lemas dengan kepala yang terasa pusing sekali. Beberapa kali ia pun mengerjap saat cahaya langsung menerpa wajahnya. "Apa kamu baik-baik, saja?"Beberapa saat ia tertegun, berusaha mengingat suara yang terasa sangat familiar untuknya. "Maafkan aku," ungkapnya lagi sambil mengecup kening Risa lembut. "Mas, Arya?"Arya tersenyum, senyuman laksana sinar matahari pagi yang sangat menenangkan. "Kamu jahat, Mas!" pekiknya, sembari memukul dada bidang Arya. Dalam sekali gerakan, Arya menarik tubuh lemas Risa ke dalam dekapannya. Tangisan Risa semakin menjadi dan tersedu-sedu. "Aku janji tidak akan menyakitimu lagi."***Risa yang belum mampu berjalan, dibopong Arya ke kamar mandi. Dengan sangat telaten, dia melepaskan satu persatu kain yang menempel pada tubuh perempuan itu. Risa tersipu mendapatkan perlakuan seperti itu dari Arya. "Apa wajahku sangat menarik? Sehingga kamu terus menatapku, tanpa berkedip?" Ri
"Setelah ini apa aku harus tetap menunggu?" tanya Risa dengan suara parau. Arya membeku, dengan pikiran yang entah berjelajah ke mana. Hati lelaki itu bimbang, disaat seperti itu jelas dia harus mementingkan Nazwa agar hidupnya selamat. "Bagaimana jika satu bulan kamu bertahan menjadi seorang pelayan?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya, dan selang beberapa detik Arya menyesal telah bertanya seperti itu. Gerimis di dalam hati Risa kini menjelma laksana badai. Hatinya luluh lantak mendengar ucapan Arya yang terasa begitu menyakitkan. "Aku tahu kamu pasti akan seperti ini!" ungkap Risa, sambil menghentakkan kaki lalu pergi meninggalkan Arya yang tengah diselimuti perasaan menyesal. Langkah Risa lunglai, energi yang biasanya meluap-luap dalam dirinya kini lenyap begitu saja. Harapan yang sempat ia tanam, tercerabut hanya karena satu ungkapan dari mulut Arya. "Baiklah, sudah saatnya aku menyerah," lirih Risa, sambil terus berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Meng
"Tuan, Nona Nazwa pingsan!" pekik Mae. Bramantyo bergeming untuk sesaat, dia berbalik lalu berlari menghampiri sang putri. Dia memeluknya erat seraya terus menyebut nama Nazwa. "Siapkan mobil!" teriak Arya. Dalam hitungan detik semua orang dibuat panik dengan kondisi Nazwa yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Begitupun Risa, meskipun tak ada lagi rasa persahabatan di dalam hatinya, tetap saja ia bersikap seolah-olah dirinya yang paling peduli. "Ini semua salahku. Maafkan aku, Nazwa," lirih Risa sambil berlari mengikuti Arya yang membopong tubuh Nazwa. Air mata Risa terus berlinang, air mata palsu yang hanya ingin mendapatkan simpati dari seorang Bramantyo. "Kamu tidak perlu ikut!" Hadang Bramantyo saat Risa hendak masuk ke mobil. "Saat, Nazwa sadar dia pasti akan mencari, Risa. Ayah, aku mohon biarkan dia ikut," sahut Arya dengan posisi kepala menyembul keluar pintu mobil. Bramantyo bergeming, dia seakan menimbang apa yang diucapkan oleh menantunya itu. "Ayah! Nazwa harus seg
"Bukankah sudah saya katakan jika mulai pagi ini kamu harus segera pindah ke kamar pelayan?"Risa menunduk, kedua tangannya saling meremas. "Lalu kenapa jam sepuluh kamu masih berada di sini?!" sambungnya tegas. Suara Bramantyo menggelegar bagaikan gemuruh di tengah-tengah badai. "Maaf, Tuan. Semalam saya tidak bisa tidur," balas Risa dengan suara lirih. Bramantyo berjalan mendekati tumpukan baju yang belum sempat Risa kemas semua. Dahinya lelaki itu berkerut melihat barang-barang mewah yang dimiliki Risa. "Apa kamu seorang simpanan?" tanya Bramantyo tiba-tiba. Risa bagaikan terpaku tepat ke dasar bumi. Petir seakan menyambar dirinya mendengar pertanyaan dari Bramantyo. "Ma-maksud, Tuan apa?""Dari mana kamu mampu membeli baju-baju mewah ini?" Bramantyo meraih satu baju, lalu melemparkan tepat pada wajah Risa. "Setahuku satu helai baju ini setara dengan upahmu bekerja sebagai asisten di kantor. Lalu, bagaimana kamu bisa membeli barang ini?"Tidak ada jawaban yang terlontar dari