Share

Bukan Istri Kedua
Bukan Istri Kedua
Author: Ratu Tiana

Bab 1

PART 1

Arrania atau kerap disapa sebagai Nia menghela napas untuk yang kesekian kalinya kala sambungan teleponnya tidak diangkat sama sekali oleh kekasihnya, Ramon.

Sudah hampir tiga bulan belakangan ini Ramon jarang berkomunikasi dengannya. Padahal sebelumnya Ramon jarang atau tidak pernah mengabaikan dirinya seperti ini.

Mereka menjalin hubungan sudah lebih dari tujuh tahun dan Ramon berjanji akan menikahinya ketika Ramon sukses.

.

Awalnya Nia tidak ingin curiga terhadap kekasih yang sudah lama ia pacari ini, namun belakangan ini ia merasakan perasaan tak nyaman yang menghantui dirinya.

Nia bangkit berdiri dengan wajah dingin seperti biasa. perempuan dewasa itu belum mencapai pintu terkejut ketika tubuhnya ditabrak oleh remaja yang mengenakan seragam SMA di depannya.

"Bisa jalan hati-hati biar enggak nabrak orang sembarangan?" ketus Nia.

"Sorry deh, Tan, gue enggak sengaja." Remaja lelaki itu mengibas tangannya dengan ekspresi santai seolah ia tidak merasa bersalah.

"Santai banget kamu ngomong kayak gitu sama orangtua." Nia menatap tajam remaja itu yang dibalas dengan dengkusan.

"Gue 'kan udah bilang enggak sengaja ya enggak sengaja. Ribet banget lo jadi perempuan."

Kesal karena remaja lelaki itu kurang ajar padanya, tangan Nia yang mengepal segera melayang di perut anak itu.

"Sorry, saya enggak sengaja. Tangan saya melayang sendiri."

Nia berjalan lurus ke depan sambil mengibaskan rambut hitam panjangnya di depan sang anak yang menunduk menyentuh perutnya sambil meringis kesakitan.

"Dasar tante gila! Pyschopath lo!"

Sampai di luar restoran, Nia masih mendengar makian dari remaja itu membuat Nia tersenyum sedikit. Setidaknya ia bisa melampiaskan sedikit emosinya yang tidak tersampaikan pada Ramon.

Nia menaiki mobil avanza miliknya yang menjadi kenang-kenangan terakhir orang tuanya saat ia berulang tahun yang ke sembilan belas. Mobil yang sudah sedikit butut itu ia lajukan ke sebuah toko yang terletak di depan pasar tradisional.

Toko emas yang menjadi warisan orang tuanya dan juga tempat ia mencari nafkah untuk dirinya sendiri.

"Siang, Mbak. Wah, Mbak Nia lagi bahagia ya kayaknya kalau dilihat dari ekspresi mukanya."

Jinar menatap Nia, bos tempatnya bekerja dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Senyum yang menurut Nia mengandung sebuah ejekan padanya.

"Diam kamu. Kamu itu saya gaji buat kerja dan jaga toko saya. Bukan buat mengomentari muka saya." Nia melirik Jinar sinis dan melangkah masuk.

Toko miliknya tidak terlalu besar dan hanya berukuran 4x4 persegi saja. Toko yang hanya memiliki tiga etalase dan sebuah kamar mini dengan tempat tidur yang cukup menampung dua orang.

"Sensi banget, Mbak. Pasti dicuekin si Ramon lagi tuh," cibir Jinar.

Nia membalikkan tubuhnya menatap Jinar kesal.

"Ngomong sekali lagi kamu, saya timpuk pakai batu biar tahu rasa kamu," ancam Nia.

Jinar menggerutu kemudian berbalik memunggungi Nia dan kembali memainkan ponsel miliknya.

Nia memang sadis dan jutek. Tidak salah meski memiliki tubuh aduhai tidak ada yang berani untuk mengganggunya.

Sore harinya Nia melajukan mobilnya berniat untuk memgunjungi kantor Ramon berada. Nia tidak memberi kabar pada Ramon karena ingin melihat sendiri kesibukan macam apa yang dilakukan kekasihnya itu di kantor.

Turun dari mobilnya, ia berjalan santai memasuki kantor setelah ia memarkirkan mobil avanza putih miliknya. Meski terlihat mencolok di antara mobil mewah lainnya tapi Nia tetap cuek dan tak peduli.

Nia sudah pernah datang ke kantor ini bahkan sering sebelum Ramon bekerja di perusahaan. Tujuannya bukan karena ia memiliki kenalan bos atau apa pun itu. Ia hanya mengunjungi sahabat karib serta menagih uang arisan pada pegawai kantor yang cukup banyak dikenalnya.

Nia menyusuri koridor dengan sesekali tatapannya ia layangkan ke penjuru tempat.

Pandangan Nia yang terfokus ke depan membuatnya tak menyadari jika tubuhnya menabrak seseorang hingga ia mundur beberapa langkah.

Nia mendongak dan tertegun sekilas melihat sosok tampan nan dewasa yang berdiri kokoh di depannya. Tatapan tajam pria itu membuat Nia menelan ludahnya gugup.

Wajah putih tampan dengan rahang kokoh dan tataan rambut yang rapi membuat pria itu sungguh terlihat menggoda iman bagi seorang wanita. Tubuhnya juga terlihat sangat bagus dibalik jas hitam yang dikenakan pria itu.

"Ma--"

"Kamu mau sampai kapan menyembunyikan ini dari Nia, Ramon? Aku udah enggak tahan lagi kalau kita terus-terusan backstreet kayak gini."

Ekspresi Nia membeku mendengar suara yang sangat dikenalnya itu.

"Sabar, Sarah. Aku belum kasih tahu ke Nia dan belum siap memutuskan hubungan dengan dia. Aku enggak enak. Kamu 'kan tahu sendiri kalau selama ini dia yang membiayakan aku."

Itu suara Ramon, kekasihnya!

"Tapi, sampai kapan, Ramon? Aku enggak mau terus-terusan di duakan dan dia menjadi pengganggu hubungan di antara kita."

"Sarah, aku dan Nia sudah tujuh tahun pacaran dan sama kamu baru tiga bulan ini. Kamu ngertiin posisi aku dong, Sayang. Enggak mungkin aku tiba-tiba mutusin Nia begitu aja."

"Pokoknya Ramon, aku enggak mau tahu kamu harus segera putusin Nia. Kalau enggak aku sendiri yang akan bilang ke dia kalau kita udah sering tidur bareng."

Nia panas!

Jantungnya berdegup kencang mendengar percakapan antara Sarah --sahabatnya-- dan jaga Ramon, kekasihnya.

Tak memedulikan pria tampan nan menggoda di depannya, segera Nia melangkah maju dan melihat sosok Ramon dan Sarah yang tengah saling tatap di samping pintu lift.

Sedari tadi ia tidak melihat kedua pengkhianat itu karena tertutup oke tubuh kokoh pria itu. Jadi, saat inilah ia melihat manusia paling menjijikkan yang pernah ia temui.

Nia mendekati kedua sosok itu. Memutar tubuh mereka secara bersamaan dan segera melayangkan tamparan di kedua pipi Sarah dan Ramon secara bergantian.

Tak tanggung sampai di situ, Nia bahkan memberi pukulan berat pada bagian bawah tubuh Ramon yang menjadi aset kebanggaan pria itu, lalu memberi bogem mentah ke payudara kiri Sarah hingga membuat kedua orang itu kesakitan.

Para karyawan yang berniat pulang kerja segera mendekati tempat kejadian dan tercengang melihat sosok gadis dengan rahang mengeras dan mata tajam tengah menatap penuh kebencian pada dua orang yang terjatuh di lantai.

"Kalian berdua tega mengkhianati aku?" Nia menggelengkan kepalanya menatap keduanya dengan amarah penuh.

"Ramon, kamu mengkhianati aku sama sahabat aku sendiri! Di mana otak kamu, Ramon? Siapa yang selama ini mendukung kamu?"

Napas Nia memburu antara sesak dan benci ia rasa saat ini.

"N-nia, dengarin dulu penjelasan aku. Aku--"

"Cuma pacaran diam-diam di belakang aku dan bahkan udah tidur bareng. Begitu kamu mau menjelaskannya?" sela Nia terlebih dahulu.

Mulut Ramon tertutup rapat mendengar ucapan Nia yang benar adanya.

"Kamu tega, Ramon," tunjuk Nia pada Ramon yang tengah meringis kesakitan. "Kamu mengkhianati aku. Kamu mikir siapa yang biayain kuliah kamu? Siapa yang selama ini mendukung kamu dalam materi?"

Nia menghela napas kecewa.

"Sekarang kamu justru mengkhianati aku dengan sahabat aku sendiri? Apa kurangnya aku, Ramon? Bahkan, kamu enggak akan bisa kerja di sini kalau aku enggak nyogok Sarah buat terima kamu."

Ucapan Nia membuat suasana gempar.

Pasalnya Sarah yang bertanggungjawab dengan penerimaan karyawan baru di perusahaan.

"Kamu cuma bisa jadi tukang parkir di pasar atau enggak kasir di toko! Kalau enggak karena aku yang membiayain kamu untuk hidup lebih baik kamu mungkin bukan apa-apa sampai sekarang." Nia menjeda ucapannya sebentar. "Tapi, apa sekarang?"

Tatapan Nia beralih menatap Sarah yang tengah meringis kesakitan sambil memegang payudara dan pipinya.

"Dan, kamu, Sarah!" tunjuk Nia pada Sarah. "Kamu enggak ingat apa yang udah aku lakukan untuk kamu selama ini? Aku yang nolong kamu waktu lapor polisi pas kamu itu di perkaos sama preman waktu SMA."

Kali ini bahkan suara Nia lebih menggelegar membuat semua yang disana semakin gempar.

"Aku yang nolong kamu waktu kamu kesusahan bayar uang kuliah. Bahkan, aku nolong keluarga kamu yang enggak bisa makan waktu kita kuliah. Aku yang beli beras dan kebutuhan keluarga kamu. Terus, ini balasan kamu?"

"Kamu bahkan enggak ingat waktu kamu yang hampir dijual sama pacar kamu di klub, siapa yang nolong kamu sampai selamat?"

Nia menggeleng kecewa. Dia tidak akan pernah memaafkan kedua orang yang sudah mengkhianatinya.

"Sarah, kamu benar-benar bikin kecewa. Aku kira kamu itu sahabat aku, tapi ternyata kamu nusuk aku dari belakang."

"Ini semua salah kamu, Nia. Kamu yang enggak bisa kasih kepuasan ke Ramon dan menyebabkan Ramon lebih memilih aku sebagai kekasihnya. Kamu enggak bisa salahin aku dalam hal ini. Ini semua karena kamu yang sok jual mahal."

Sarah dengan tidak tahu malu menyentak marah dan tidak mengakui kesalahannya. Seolah dirinya benar dalam segala hal. Namun, ia tidak menyadari tatapan jijik orang-orang yang ditujukan padanya.

"Oh, pantes kamu bersikap murahan. Orang kamu udah enggak perawan lagi. Beda dong sama aku yang masih perawan dan terjaga. Jadi wajar aku jual mahal." Nia mendengkus dengan napas memburu.

"Ramon, kamu lihat sendiri betapa murahnya selingkuhan kamu itu." Nia menatap sinis Ramon. "Kalau mau cari selingkuhan cari yang lebih cantik, lebih baik, dan lebih bahenol dari aku." Wanita itu melepaskan cincin pemberian Ramon padanya tahun lalu dan melemparkannya tepat di depan wajah Ramon. "Kita putus. Jijik aku lihat manusia kayak kamu."

Nia membalikkan tubuhnya kemudian pergi dengan wajah yang terangkat angkuh. Dia tidak akan menunjukkan kekecewaan dan kesedihannya pada orang-orang yang menatapnya iba.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status