Share

Bab 5

Nia memarkirkan kendaraannya di parkiran mobil yang tersedia. Nia kemudian beralih menatap pemuda yang duduk di sampingnya.

"Kamu mau ikut saya turun atau tunggu di mobil aja? Ah, apa kamu mau pulang aja?" tanya Nia pada sosok pemuda yang tidak banyak bicara sejak tadi.

Pemuda itu menatap sekeliling dan menggeleng pelan. "Gue ikut lo aja, Tante. Pengap gue kalau nunggu lo di mobil." Pemuda itu berbicara dengan sangat tidak sopan menurut Nia. "Apalagi mobil lo enggak ada AC-nya. Ini apartemen tempat lo tinggal?" tanya pemuda itu pada Nia.

Nia kesal mendengar nada bicara anak SMA yang tidak ada sopan santunnya. Kesal, Nia dengan gemas memcubit lengan pemuda itu seraya melotot.

"Sopan kamu bicara dengan yang lebih tua. Pakai 'Aku-kakak' bukan 'Lo-gue."

"Ish, sakit, Tante. Oke-oke, gue maksudnya aku ngalah!" teriak pemuda itu ketika Nia semakin mengencangkan cubitannya.

"Nah, gitu dong. Harus sopan sama yang lebih dewasa dari kamu," ucap Nia. Setelah itu ia keluar dari mobil diikuti oleh pemuda SMA yang masih terus mengusap lengannya karena cubitan Nia.

"Dasar tua," cibir pemuda itu.

Nia berbalik menatap pemuda SMA itu dan menarik bibir yang selalu mengeluarkan kata-kata kasar sejak tadi.

"Jangan di biasakan." Nia mendelik dan melanjutkan langkahnya lagi. Sementara pemuda tanpa nama itu tidak berhenti menggerutu akan sikap barbar Nia.

Nia menghentikan langkahnya saat akan memasuki lobi apartemen. Kakinya seperti tertancap paku melihat pemandangan di hadapannya. Sahabat serta pacarnya berjalan bermesraan dengan saling merangkul tepat di hadapannya.

Hati Nia terasa teriris melihat pemandangan yang membuatnya sakit hati dan juga sakit mata. Kedua sejoli itu itu juga menghentikan langkah mereka tepat di hadapan Nia.

"Kenapa kamu di sini? Kamu mau ngemis biar Ramon mau sama kamu lagi?" ejek Sarah.

Sarah semakin membenci Nia karena gara-gara sahabatnya ini, jabatannya yang sudah bagus dengan posisi yang sedikit elit harus turun karena perbuatan Nia yang membongkar kebusukannya di kantor.

"Ngemis cinta dengan penjahat kelamin macam cowok ini?" Nia menatap remeh sosok Ramon yang berdiri di hadapannya. "Maaf banget. Saya enggak kekurangan laki-laki. Sepuluh cowok yang lebih ganteng dan kaya dari Ramon bisa saya dapatkan," decihnya.

"Oh?" cibir Sarah. "Terus ngapain kamu kesini? Datang ke apartemen cowok saya?" Suara Sarah cukup keras untuk membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menoleh dan menatap ke arah mereka penasaran. Sepertinya Sarah berniat mempermalukan Nia. Tapi, Nia tidak akan membuat dirinya berada dalam posisi tidak menguntungkan.

Nia berdeham sejenak dan melipat tangannya di dada, menatap pasangan selingkuh di depannya.

"Dengar, sebelum laki-laki di sebelah kamu itu jadi cowok kamu, dari beberapa tahun terakhir sampai detik ini, cowok di samping kamu statusnya masih pacar dan tunangan saya," kata Nia dengan lantang. "Kalau kamu enggak merusak hubungan kami dengan menjual tubuh kamu sama dia, dia enggak akan berpaling." Nia menambahkan, membuat Sarah mengepalkan tangannya malu. Sementara Ramon yang berdiri di sebelahnya tidak bisa berbuat apa-apa karena semua ini memang salahnya.

"Saya menemui kalian hanya karena dua hal yang mau saya umumkan," ujarnya tajam. "Pertama, saya mau putus hubungan dengan kalian berdua. Kamu, Ramon, hubungan kita berakhir." Nia menatap Ramon dengan mata tajamnya. "Kedua, kamu Sarah, saya enggak mau punya sahabat pengkhianat seperti kamu. Jadi, hubungan persahabatan kita putus mulai saat ini," tambahnya lagi.

"Cih. Saya juga enggak rugi kalau pun saya dan kamu enggak bersahabat lagi," balas Sarah sambil melipat tangannya di dada.

Nia tak menanggapinya lagi. Lalu, ia kembali berujar, "para rentenir yang menagih utangnya akan saya arahkan ke kamu, Ramon. Saya enggak mau lagi berurusan dengan kamu dan hal-hal apa pun mengenai kamu. Saya akan kasih nomor telepon dan alamat kantor serta apartemen kamu ke para rentenir itu. Permisi."

Setelah itu ia berbalik pergi meninggalkan kedua sejoli yang terpaku di tempat.

Niat awal Nia ingin meminta uang bulanan pada Ramon harus ia telan. Jika ia melakukan hal itu, akan diletakkan dimana harga dirinya. Biarlah bulan ini ia akan mencari cara untuk bisa melunasi pembayaran pada rentenir. Nanti, di bulan berikutnya ia tidak akan mau lagi berurusan dengan orang-orang itu.

"Jadi, lo cewek yang dikhianati sama tunangan dan sahabat lo sendiri, Mbak? Kasihan amat hidup lo," cibir pemuda yang mengikuti Nia sejak tadi.

"Diam kamu bocah kecil. Kalau kamu enggak diam, saya enggak masalah kalau harus melakban bibir kamu," ucapnya terdengar serius.

"Ugh, aku takut." Pemuda itu menatap Nia dengan ekspresi seperti anak perempuan yang di ganggu oleh anak laki-laki dan itu sukses membuat Nia mendengkus.

"Kamu mau saya antar ke mana?" tanya Nia.

Nia melajukan mobilnya keluar dari pelataran parkir apartemen Ramon. Rencana Nia kali ini adalah makan bakso dan mie ayam dengan sambal sepuluh sendok. Tenang saja, Nia masih memiliki persediaan uang untuk berobat ke klinik.

"Gue bosan di rumah, Tan. Gue ikut lo aja deh."

Pemuda itu kembali meringis ketika sebelah tangan Nia bergerak mencubit lengan remaja itu.

"Udah saya bilang, yang sopan. Kamu, ih." Nia melotot sebentar dan kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Iya, Tante. Sorry."

"Siapa nama kamu?"

"Buat apa tanya nama g--aku, Tante?" Pemuda itu menatap Nia horor. "Sorry ya, Tan, walau aku ini jomblo dan baru tiga kali pacaran, bukan berarti aku suka sama mbak-mbak yang lebih tua." Pemuda itu menutup dadanya dengan kedua tangan sambil menatap ngeri sosok Nia.

"Kamu kira saya pencinta berondong apa, hah? Kamu dari tadi ikut saya terus tapi kita enggak saling tahu nama," kata Nia, panjang lebar.

"Oh ... Aku kira tante suka sama aku." Pemuda itu cengengesan dan membuat Nia memutar bola matanya malas.

"Siapa?'

"Siapa apanya, Tan?" Pemuda itu menatap Nia heran. Sementara yang di tatap mencoba untuk bersabar menghadapi pemuda di sampingnya. Pemuda yang entah mengapa bisa menemani Nia di kala sedang gundah gulana seperti sekarang ini.

"Nama kamu. Nama. Namanya siapa?" Nia menekan setiap kata dalam kalimatnya dan itu sukses membuat pemuda di sampingnya mengerti.

"Arga. Argani Sanjaya. Sekolah di SMA internasional di kota ini dan kelas sepuluh. Orangtua lengkap. Punya perusahaan besar dengan cabang di mana-mana. Adik ada dua. Satu SMP kelas dua dan satu SD kelas lima. Alamat rumah--"

"Stop, ya! Saya hanya perlu tahu nama kamu, Arga. Bukan identitas kamu," sela Nia, sebelum Arga kembali mencerocos panjang lebar.

"Iya kali tante mau tahu identitas aku. Siapa tahu tante tertarik mau jadi mama muda aku," sahut Arga asal.

"Amit-amit!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status